Senin, 27 Februari 2017

ISLAM DAN DEMOKRASI


ISLAM DAN DEMOKRASI

Oleh : M. Abu Arif Aini, S.Ag., M.Pd.





I



Sepintas, mencari keterkaitan antara Islam dan demokrasi tidaklah mudah, sebab demokrasi berlandaskan pada otoritas masyarakat sebagai penentu kebijakan dan hukum, sementara Islam mempunyai doktrin bahwa otoritas dan kebijakan di tangan Tuhan. Islam juga mempunyai ajaran yang mengharuskan setiap pemeluknya untuk menerapkan hukumnya di manapun dan kapanpun.  Islam  adalah sebuah agama, demokrasi adalah idiologi. Agama dan idiologi merupakan dua entitas yang berbeda, meskipun bisa terjadi akulturasi nilai-nilai antara keduanya.   Sementara itu, ada dua problem tentang hubungan antara agama dan demokrasi. Pertama, masalah filosofis yakni jika klaim agama terhadap pemeluknya sedemikian total maka akan menggeser otonomi dan kemerdekaan manusia yang berarti juga menggeser prinsip-prinsip demokrasi. Kedua, masalah historis-sosiologis, ketika kenyataannya peran agama tidak jarang digunakan oleh penguasa untuk mendukung kepentingan politiknya. Kedua masalah tersebut sering terjadi secara bersamaan, hanya saja masalah yang kedua bisa saja terjadi dalam hal apapun, sebab yang namanya legitimasi bisa diperoleh dengan cara apapun termasuk dengan menggunakan agama dan simbol-simbol lainnya. Yang cukup krusial dibicarakan adalah masalah kedua, sebab hal ini tidak hanya menyangkut transformasi pemahaman dan kesadaran keagamaan, tetapi juga kultur dan prilaku politik umat.  Jika spekrum masalah masih muncul ketika mengkaitkan agama dengan demokrasi, dikalangan sebagian umat Islam, Jelas ini satu problem.

Problem berikutnya adalah masih terdapat varian sikap dan beragam perspektif terhadap nilai-nilai demokrasi, yang berintikan kedaulatan rakyat. Mengingat terkadang rakyat sendiri tidak menyadari bahwa di tangannya itu ada kedaulatan, seperti kebanyakan rakyat negara-negara feodal. Masih terdapat rakyat yang tidak lagi memandang perlunya kedaulatan yang ada di tangannya, kerena apa yang menjadi kepentingannya toh sudah terpenuhi, seperti terjadi pada sebagian cukup besar kalangan menengah bawah di Amerika dan negara-negara Barat lainya. Ada banyak  rakyat semakin tidak percaya bahwa kedaulatan yang ada di tangannya bisa punya arti bagi perbaikan nasibnya, seperti terjadi juga di Amerika untuk kalangan kelas bawah jelata.  Jika di Amerika sendiri ---yang mengklaim sebagai negara kampium demokrasi--- "wajah" demokrasi dan kesadaran sebagian rakyatnya belum merefleksikan bagaimana demokratisasi yang das sollen, bagaiman halnya dengan Indonesia ?

Belum lagi, bila secara filosofis dipertanyakan : siapa rakyat yang dimaksud ? Jawaban teoritis, "semua warga negara adalah rakyat", tapi pada tataran empirik selalu saja akan terbentur pada kenyataan bahwa rakyat itu ada yang di lapis atas yang kuat dan dekat dengan pusat kekuasaan, ada yang di bawah yang lemah dan jauh dari pusat pengambilan keputusan, di samping itu tentu ada yang di tengah menjadi yang tidak dekat tetapi juga tidak terlalu jauh. Dalam ungkapan seharai-hari, "warteg warung rakyat, bis kota angkutan rakyat"  jelas yang dimaksud dengan kata-kata rakyat adalah mereka yang ada di lapis bawah.Tapi ketika diucapkan "kekayaan alam, bumi dan laut dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat", yang dimaksud dengan rakyat ternyata berbeda dengan yang tersebut diatas.

Kalau diamati secara elaboratif, Islam sebagai ajaran normatif dalam banyak hal mempunyai singgungan terhadap nilai fundamental dari demokrasi, sehingga interaksi antara keduanya bisa saling mendukung. Terdapat nilai-nilai Islam yang juga menjadi prinsip-prinsip dasar demokrasi, kerenanya keberadaan Islam bisa menjadi inspirasi bagi demokratisasi. Paparan berikut, mencoba menjelaskan fotret pemahaman umat Islam tentang nilai-nilai demokrasi serta keterkaitannya dengan nilai-nilai Islam.





II





Isu dan diskursus demokrasi mencuat secara mondial hampir bersamaan waktunya dengan munculnya revolusi industri. Hal ini barangkali bukan kebetulan, karena adanya revolusi industri telah menimbulkan berbagai perubahan ---baik dalam lingkup keluarga, hubungan kerja, kehidupan menjadi lebih bersifat individualistik--- yang memerlukan tatanan sosial baru yang harus dikembangkan berdasarkan nilai-nilai humanistik. Demikian pula ada hubungan perubahan yang sistematis antara pelaksanaan demokrasi dan tingkat kemakmuran suantu bangsa. Semakin makmur suatu bangsa, semakin demokratis bangsa tersebut.

Asal usul demokrasi dapat ditelusuri historisnya pada zaman Yunani yang mencoba membentuk negara untuk menjawab pertanyaan bagaimana suatu sistem politik harus diorganisir sehingga bisa mensejahterakan warganya. Pada era modern, demokrasi terkenal bersamaan meletusnya revolusi Prancis untuk membebaskan rakyat dari sistem politik otoriter, dengan semboyannya : liberte, egalite, dan fraternite. Semboyan tersebut memberi  inspirasi bagi perkembangan demokrasi sesudahnya ke  berbagai penjuru dunia. Di Amerika Serikat, sosok demokrasi menjadi lebih jelas dengan semboyannya : government of the people, by the people, and for the people. Dalam perkembangan lebih lanjut, muncul berbagai varian demokrasi yang menunjukkan bahwa demokrasi itu sendiri merupakan konsep universal tetapi tumbuh berkembangan secara dinamis berakulturasi dengan nilai-nilai lokal dan sesuai kondisi setempat. Misalnya, demokrasai libral di negara-negara kapitalis, demokrasi sosialis pada masyarakat komunis, dan di Indonesia sendiri menjadi demokrasi terpimpin pada zaman orla dan demokrasi pancasila di era orba.

Demokrasi sendiri mengandung nilai-nilai universal yang sebenarnya juga terkandung dalam idiologi dan ajaran manapun, seperti persamaan, keadilan, HAM, toleransi dan pluralisme. Hanya saja dalam tataran praktek, demokrasi yang mempunyai akar historis dari Barat, sering kali harus dibenturkan dengan Islam. Benturan itu terjadi disamping karena dipandang ada perbedaan otoritas dan sumber legitimasi, juga karena sudah terbangun konstruk pemikiran dikotomis antara Islam dan Barat di kalangan sebagian umat Islam sendiri. Watak holistik Islam menyebabkan umat Islam begitu yakin atas keharusan Islam menjadi alternatif yang paling unggul dari ajaran dan idiologi lain, termasuk dalam hal sistem politik.

Permasalahannya kemudian terletak pada corak pemikiran umat Islam mana yang dapat mengantarkan pada hubungan yang harmonis antara Islam dan demokrasi. Pada wilayah inilah pemahaman umat Islam akan teruji, terutama pensikapannya terhadap tiga pilar demokrasi, yakni kebebasan, keadilan dan musyawarah. Yang dimaksud kebebasan di sini adalah terbukanya peluang kepada semua orang dan berarti pula hak untuk mengatur ekonomi atau kemandirian diri orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya sendiri sesuai apa yang dia yakini.  Keadilan, berarti pemberlakuan secara sama terhadap individu atau pun kelompok dihadapan kekuasaan negara, atau jaminan hak-hak individu warga negara atau hak kolektif dari masyarakat dihadapan hukum.  Adapun musyawarah (syura) berarti bentuk atau cara memelihara kebebasan dan memperjuangkan keadilan itu lewat jalur permusyawaratan.

Pemaknaan yang paling sederhana terhadap demokrasi, khususnya Indonesia, adalah pengembangan sikap dan pemikiran moderat dan toleran. Karenanya mengharuskan umat Islam Indonesia mempunyai prinsip-prinsip yang dipegangi, yaitu prisip berada di tengah-tengah (tawassuth), sikap keseimbangan (tawazun), toleran (tasammuh) dan adil (i'tidal). Prinsip-prinsip ini harus dipegangi dan menjadi anutan sehingga dapat menunjukkan kepada tindakan-tindakan yang lebih baik dalam kehidupan. Cara pandang toleran dan moderat perlu menjadi pegangan karena segala kebaikan itu pasti terdapat diantara dua ujung ekstrimitas (tatharruf).

Prinsip toleransi menjadi kata kunci bagi kultur demokrasi, khusunya toleransi terhadap perbedaan pendapat, baik dalam masalah keagamaan maupun kemasyarakatan dan kebudayaan. Hal ini pada gilirannya akan bermuara pada sikap amar makruf nahi munkar yang di sini didefinisikan sebagai "selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan". Sikap moderat merupakan ajaran Islam dan Islam tidak membenarkan ekstremisme dan sikap berlebih-lebihan. Penyimpangan dari karakteristik tawassuth dan i'tidal inilah yang menimbulkan aliran sempalan , yakni aliran-aliran dalam Islam yang keluar dari kesepakatan bersama. Islam juga menekankan arti penting persaudaraan, baik persaudaraan seiman (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan sesama warga negara (ukhuwah wathaniyah) dan persaudaraan antar sesama manusia (ukhuwah basyariyah).

Demokrasi sebagai sebuah gagasan yang mengusung prinsip kebebasan, kesetaraan dan kedaulatan manusia dalam penentuan keputusan prihal urusan bersama, secara mendasar sejalan dengan ajaran Islam. Hal tersebut diukur dari dua hal, pertama, pada Islam terdapat ajaran tentang nilai-nilai kehidupan yang harus dijadikan acuan, yaitu (1) al-musawwah, atau persamaan derajat manusia dihadapan Allah, bahwa yang membedakan seseorang dari yang lain adalah amal perbuatannnya (QS. 49 :13),  (2) al-hurriyyah, kemerdekaan atau kebebasan, atau atas nama pertanggungjawaban moral dan hukum oleh setiap individu ditegakkan, baik di dunia maupun di akhirat (QS. 52 : 21),   (3) al-ukhuwah, persaudaraan sesama manusia sebagai suatu spesies yang diciptakan dari bahan yang sama dan terlahir dari ibu dan bapak yang sama (QS. 2 : 213),  (4) al-'adalah, keadilan yang berintikan kepada pemenuhan hak-hak mansuia sebagai individu maupun sebagai warga masyarakat/negara (QS.  16 : 90);          (5) al-syura, dimana setiap warga masyarakat berhak atas partisipasi dalam urusan publik yang menyangkut kepentingan bersama (QS. 42 : 38).

Kedua, kompatibilitas Islam dan demokrasi juga dilihat pada ajaranya tentang hak-hak fundamental yang harus diusahakan pemenuhannya oleh diri sendiri maupun negara yang meliputi :

a.    Hak hidup (       (حفظ النفس

Merupakan jaminan dasar akan keselamatan warga masyarakat atas tindakan badani di luar ketentuan hukum. Jaminan akan keselamatan fisik warga msyarakat mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil terhadap semua warga masyarakatnya tampa kecuali, sesuai dengan hak masing-masing. Hanya dengan kepastian hukum lah sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antara sesama warganya, sedangkan kedua jenis persamaan itulah yang menjamin terwujudnya keadilan sosial dalam arti sebenar-benarnya.



b.    Hak beragama atau berkeyakinan (حفظ الدين)

Merupakan jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing, tampa ada paksaan untuk berpindah agama. Jaminan dasar atas keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antar warga masyarakat atas dasar sikap saling hormat menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya krangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan sejarah  dengan penindasan, kesempitan pandangan dan kezaliman terhadap kelompok minoritas yang berbeda keyakinan agamanya dari kelompok mayoritas. Sejarah umat manusia membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah bagian inherent dari kehidupan manusia.  Sikap toleransi lah yang mendorong terjadinya transformasi sosial dalam skala massif sepanjang sejarah. Bahkan sejarah agama membuktikan munculnya agama sebagai dobrakan moral atas kungkungan ketat dari pandangan yang dominan, yang berwatak menindas, seperti dibuktikan oleh Islam dengan dobrakannya atas ketidakadilan wawasan hidup jahiliyah yang dianut mayoritas orang Arab waktu itu. Dengan tauhid, Islam menegakkan penghargaan terhadap perbedaan pendapat dan heteroginitas keyakinan. Jika perbedaan pendapat dapat ditolerir dalam hal yang paling mendasar seperti keimanan, tentunya sikap tenggang rasa lebih lagi diperkenankan dalam mengelola perbedaan pandangan politik dan idiologi.



c.    Hak untuk berfikir dan berprofesi ((حفظ العقل

Jaminan akan kebebasan berfikir sebagai konsekuensi dari jaminan akan pilihan bebas untuk menganut agama sesuai keyakinan. Demikan pula halnya dengan kebebasan dalam menentukan profesi sesuai skill, peluang dan pengetahuannya, merupakan refleksi dari kebebasan berfikir. Penghargaan kepada kebebasan memilih profesi berarti kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan atas resiko sendiri, mengenai keberhasilan yang ingin diraih dan kegagalan yang membayanginya. Itu berarti peluang untuk menentukan arah hidup lengkap dengan tanggung jawabnya sendiri, tentunya tetap dalam bingkai alur umum kehidupan masyarakat. Artinya, harus tetap ada keseimbangan antara hak-hak individu dalam menentukan profesinya, berdasarkan kebebasan berfikir dan berkeyakinan, dengan kebutuhan masyarakat.



d.    Hak milik individu ((حفظ المال

Jaminan dasar akan keselamatan hak milik diletakkan secara proporsional dalam kaitannya dengan hak-hak kolektif masyarakat. Masyarakat dapat menetapkan kewajiban-kewajiban kolektif bagi setiap individu sampai batas terjauh kemampuan mereka dan tampa menghilangkan hak-hak yang melekat bagi setiap diri masing-masing warga masyarakat. Dengan demikian warga masyarakat secara perorangan memiliki peluang dan sarana untuk mengembangkan diri melalui cara dan pola yang dipilihnya sendiri, namun tetap dalam krangka alur umum kehidupan masyarakat.  



e.    Hak untuk memiliki garis keturunan dan keutuhan keluarga ((حفظ النسل    

Kesucian dan keutuhan keluarga harus dilingdungi oleh adanya kepastian hukum, karena keluarga merupakan ikatan sosial paling dasar. Keluarga tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam bentuk  apapun oleh sistem kekuasaan yang ada. Dalam kelompok masyarakat lebih besar, selalu ada kecenderungan untuk melakukan formalisasi ajaran secara berlebihan, sehingga menindas kebebasan individu dan mempersempit ruang gerak individu warga masyarakat dalam melakukan eksperimentasi dengan pandangan hidupnya sendiri dan untuk menguji garis batas kebenaran keayakinan.  Islam memberikan kebebasan untuk melakukan upaya perbandingan antara berbagai keyakinan, termasuk keimanan kita, untuk membuktikan keampuhan konsep keimanan sendiri. Disamping kebenaran yang dapat diraih melalui pengalaman esoteris, Islam juga memberi peluang bagi pencapaian kebenaran melalui proses dialektis. Justru proses dialektis inilah yang memerlukan derajat  toleransi sangat tinggi dari pemeluk suatu keyakinan, dan Islam memberikan wadah untuk itu, yaitu lingkungan masyarakat terkecil yang bernama keluarga.



III



Bertolak dari komitmen untuk melindungi hak-hak kemanusiaan inilah, Islam mencanangkan keseluruhan syari'at dan aturan-aturan normatif dan etiknya. Dari masing-masing hak dasar tersebut, tentunya dapat dipahami kemestian adanya hak-hak lain yang sangat erat terkait yang menyertainya. Perlindungan hak hidup atau keselamatan fisik tidaklah mungkin dipenuhi tampa dukungan oleh hak membela diri, hak bebas dari ancaman, hak bebas dari penyiksaan sewenang-wenang, hak atas lingkungan yang sehat dan sebagainya. Juga hak kebebasan berfikir sangat erat terkait dengan hak memperoleh pendidikan dan informasi, hak mengemukakan pendapat dan seterusnya. Demikian pula hak atas kepemilikan pribadi secara eksistensial terkait erat dengan hak memperoleh pekerjaan dengan upah yang layak dan adil, hak bebas dari penggusuran sewenag-wenang dan sebagainya.

Pemberlakuan hak-hak tersebut dalam pandangan Islam terbuka untuk semua pihak yang berkepentingan tampa melihat perbedaan agama, budaya, suku bangsa, adat dan sebagainya, karena Islam sendiri datang sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin).  Dengan demikian tidak ada konsep dan pandangan yang paling demokratis dan humanistik selain pandangan Islam mengenai kebebasan, keadilan, persamaan, HAM, toleransi, pluralisme dan musyawarah, juga jaminan Islam tentang lima hak-hak fundamental manusia, yakni hak hidup, hak beragama dan berkeyakinan, hak berfikir bebas dan memilih profesi, hak milik pribadi, serta hak untuk memiliki keturunan dan keutuhan keluarga. Tinggal soal bagaimana fotret implementasinya di lapangan, mari kita diskusikan.



BAHAN BACAAN





1)            Al-Ahkam Al-Sulthaniyah  karya  Imam Almawardi

2)            Al-Mustasyfa karya Imam Gazali

3)            Kontekstulisasi dokterin Islam dalam sejarah editor Nurcholish Madjid.

4)            Agama, demokrasi dan transformasi sosial editor M. Masyhur Amin dan M. Nadjib.

5)            Islam Indonesia menatap masa depan  terbitan  P3M Jakarta.

6)            Humanisme dalam Islam karya Marcel A. Boisard

7)            Islam doktrin dan peradaban karya  Nurcholish Madjid

8)            Membumikan Islam oleh  M. Syafi'i  Ma'arif

9)            Kontekstualisasi Al-Qur'an oleh  K.H. Umar Syihab.

10)       Fikih Sosial  oleh  K.H. Sahal mahfudz.

11)       Agama di tengah kemelut  editor  Hasan M. Noer.

12)       Rekonstruksi dan renungan relegius Islam  editor Muhammad Wahyuni Nafis.

13)       Islam tradisi di tengah kancah dunia modern  kerya Sayyed Hossein Nasr.

14)       Agama di tengah sekulerisasi politik oleh Donald Eugene Smith.

15)       Rekayasan masa depan peradaban muslim  oleh Ziauddin Sardar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar