Sabtu, 28 September 2013

KESENGAJAAN DALAM TINDAK PIDANA









KESENGAJAAN DALAM TINDAK PIDANA
Oleh: Muhammad Taisir


A. Pendahuluan

Ketika kita berbicara tentang perkara Pidana, maka sudah barang tentu kita akan dihadapkan kepada perbuatan pidana, peristiwa pidana dan tindak pidana (delik)[1]. Dalam melakukan tindak pidana unsur subyektivitas dan unsur obyektivitas pastilah ada. Dikatakan ada unsur subyektivitas sebab dalam melakukan suatu tindak pidana tentunya si pelaku ingin melakukan suatu tindak kejahatan dari jalan pikiran atau perasaan si pelaku (unsur kesengajaan) ataupun keinginan untuk melakukan hal tersebut (tindak pidana) karena desakan suatu pihak (unsur paksaan), atau bahkan si pelaku melakukan suatu tindak pidana karena kealpaan-(culpa)-nya. Berarti dalam melakukan tindak pidana ini ada keinginan dari pelaku untuk melakukan tindakan tersebut, baik itu disengaja ataupun tidak. Sedangkan adanya unsur obyektivitas tentunya sudah jelas sebab seseorang tidak akan melakukan suatu tindak pidana tanpa adanya obyek, baik obyek tersebut berbentuk barang ataupun manusia.
Melihat kedua unsur di atas tentulah para penegak hukum akan mempertimbangkan sanksi yang akan diberikan kepada seorang pelaku yang melakukan tindak pidana. Dengan demikian, ukuran hukuman yang dijatuhkan oleh majelis hakim tidak asal-asalan.
Dengan memperhatikan fenomena tersebut, kami akan mencoba membahas salah satu unsur seseorang dapat dikenakan hukuman (pidana), yaitu kesengajaan.

B. Pembahasan

1. Pengertian Kesengajaan

Kata kesengajaan berasal dari kata "sengaja", dalam bahasa Inggrisnya adalah intention, dari kata intend yang artinya berniat melakukan sesuatu, atau dari kata intentional, premeditated, and willful yang artinya dengan sengaja. Menurut Oxford Advanced Learner's Dictionary " that which one purposes or plans to do"[2]. Dalam bahasa Belanda, kesengajaan (dengan sengaja) ini disebut opzetelijk dari kata opzet (sengaja), dalam bahasa Prancis disebut dolus, sedangkan dalam bahasa Latin disebut doleus. Melihat pengertian yang disebutkan dalam Oxford Advanced Learner's Dictionary tersebut, kita ketahui bahwa kesengajaan adalah keinginan, kehendak atau kemauan seseorang untuk melakukan sesuatu. Jika dihubungkan dengan tindak pidana maka, maka dalam melakukan suatu tindak pidana haruslah ada unsur-unsur yang menyebabkan tindakan tersebut dikatakan kesengajaan melakukan suatu tindak pidana. Adapun unsur-unsur tersebut, yaitu:
harus ada kehendak, keinginan, atau kemauan pada diri seseorang untuk melakukan tindak pidana;
orang yang berbuat sesuatu dengan sengaja itu sudah mengetahui dan sadar sebelumnya akan akibat-akibat perbuatannya.[3]
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang beraku pada saat sekarang ini sama sekali tidak menerangkan tentang makna/arti dari kesengajaan dalam melakukan tindak pidana. Konsep KUHP baru yang akan datang bermaksud merumuskan istilah kesengajaan dan juga kealpaan (culpa)[4].
Jika kita melihat perumusan KUHP di negara-negara lain, kita bisa membagi, mengenai perumusan maksud kesengajaan dan kealpaan, menjadi dua kelompok[5], yaitu:
  1. ada yang hanya merumuskan dan menegaskan bahwa seseorang hanya dapat dipidana jika ada unsur kesengajaan dan kealpaan tanpa menjelaskan maksud/definisi kedua bentuk tersebut. Teknis perumusan ini bisa dilihat misalnya dalam KUHP Norwegia, Greenland, Jepang, Korea dan KUHP Jerman 1871.
  2. Ada pula yang memandang perlu merumuskan pengertian kesengajaan dan kealpaan, seperti pada KUHP Thailand, Swiss, Polandia, Republik Demokrasi Jerman dan KUHP Yugoslavia.
 2. Kesengajaan Menurut KUHP Negara-Negara Lain

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa perumusan tentang kesengajaan dan kealpaan di negara-negara lain bisa dibagi menjadi kelompok, yaitu yang hanya merumuskan tentang kesengajaan dan kealpaan tanpa menjelaskan definisi kedua istilah tersebut; dan yang merumuskan definisi kedua istilah tersebut (kealpaan dan kesengaja-an). Tujuan dari penulisan beberapa contoh KUHP di Negara-negara lain ini adalah sebagai kaca perbandingan bagi kita tentang definisi kesengajaan.
Di sini, kami hanya membatasi penjelasan tentang kesengajaan menurut negara-negara lain. Adapun tentang kealpaan akan dijelaskan oleh pemakalah yang lain.

a. KUHP Thailand

KUHP Thailand telah memberikan pengertian tentang definisi kesengajaan, yaitu pada Pasal 59 paragraf 2[6] yang berbunyi “Melakukan sesuatu dengan sengaja ialah melakukan perbuatan secara sadar dan pada saat yang sama si pembuat menghendaki atau dapat memperkirakan/mengetahui lebih dahulu akibat dari perbuatan yang demikian itu”.
Pada Pasal 59 paragraf/ayat 3 ditegaskan bahwa “apabila si pembuat tidak mengetahui fakta-fakta ayang merupakan (unsur) tindak pidana, tidaklah dapat dianggap ia menghendaki atau dapat memperkirakan/mengetahui lebih dahulu akibat dari perbuatan yang demikian itu”.
Jika melihat bunyi pasa 59 paragraf/ayat 3 tersebut dapat disimpulkan bahwa error facti tidak dapat dipandang sebagai perbuatan yang disengaja (memiliki unsur kesengajaan). Namun demikian, apabila ignorance of fact itu terjadi karena kealpaan, maka si pelaku dapat dikenakan pidana, seperti disebutkan pada pasal 62 ayat (2)[7].

b. KUHP Polandia (Pasal 7 paragraf 1)

Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa perbuatan tersebut dikatakan dilakukan dengan sengaja jika si pelanggar mempunyai kesengajaan untuk melakukan pebuatan terlarang itu, yaitu ia menghendaki terjadinya perbuatan itu dan ia membiarkan atau menyetujui terjadinya kemungkinan itu[8].

c. KUHP Republik Demokrasi Jerman (Pasal 6)[9]

Pada ayat 1 pasal tersebut (pasal 6) disebutkan bahwa dilakukan dengan sengaja jika ia (si pelaku) secara sadar menetapkan melakukan suatu tindak pidana. Sedangkan pada ayat 2 juga disebutkan bahwa dikatakan dilakukan dengan sengaja meskipun seseorang tidak bermaksud melakukan tindak pidana itu namun secara sadar menyetujui kemungkinan terjadinya tindak pidana itu dan tetap memutuskan untuk berbuat.

d. KUHP Yugoslavia (Pasal 7 ayat 2)

KUHP Yugoslavia pada pasal 7 ayat 2 menyebutkan ketentuan tindak pidana yang disengaja yang tidak jauh berbeda dari KUHP negara-negara lain (Thailand, Polandia, dan Republik Demokrasi Jerman), yaitu pelaku menyadari perbuatannya, menghendakinya, menyadari bahwa perbuatan tersebut terlarang dan menyetujui terjadinya akibat itu.

e. KUHP Swiss (Pasal 18)

Pada pasal 18 tersebut hanya menyebutkan dua unsur suatu tindak pidana disebut dilakukan dengan sengaja, yaitu si pelaku mengetahui dan menghendaki perbuatan tersebut[10].

Sekarang, marilah kita bandingkan dengan konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita yang baru, yaitu pada pasal 34 ayat 2 yang berbunyi:

“Tindak pidana dilakukan dengan sengaja, apabila yang melakukan tindak pidana mengetahui dan menghendakinya”.

Ternyata, perumusan tersebut sangat dan terlalu singkat. Sepertinya konsep KUHP Baru kita mengambil rumusan KUHP Swiss pasal 18 seperti yang telah disebutkan terdahulu. Sedangkan pada KUHP negara-negara lain, seperti KUHP Thailand, Yugoslavia, Polandia dan KUHP Republik Demokasi Jerman, selain kedua unsur di atas juga merumuskan unsur-unsur lain, yaitu unsur kesadaran, persetujuan dan membiarkan tindak pidana tersebut.

3. Macam-Macam Dolus

Drs. C.S.T. Kansil, SH. dalam bukunya Latihan Pengatar Hukum Indonesia meyebutkan ada enam (6) macam dolus, yaitu: dolus eventualis, dolus determinatus, dolus indeterminatus, dolus alternativus, dolus indirectus, dan yang terakhir adalah dolus premeditatus[11].

a. Dolus Eventualis

Apabila kita mencermati dari segi bahasa, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya nahwa dolus artinya adalah :dengan sengaja” dan eventualis jika diambil dari bahasa Inggris berasal dari kata “event” yang maksudnya kurang lebih kejadian, sehingga dolus eventualis bisa diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja pada waktu kejadian. Maksudnya bahwa si pelaku tahu bahwa perbuatannya tersebut akan berakibat fatal bagi si penderita/korban, namun ia tetap melakukan perbuatan/tindakan tersebut. Sebagai contoh: si A mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, sedangkan ia tahu bahwa ada anak-anak sedang bermain di jalan. Seandainya ia tidak mengurangi kecepatan laju mobilnya maka ia pasti akan menabrak mereka yang berakibat luka-luka atau kematian. Jadi, kalau si pelaku mengurangi kecepatanya, mungkin hal-hal tersebut tidak akan terjadi.

Namun, menurut Prof. Moeljatno, SH.[12], dolus eventualis bukan merupakan kesengajaan. Beliau menyatakan bahwa teori yang paling jelas mengenai hal ini (dolus eventualis) adalah teori “inkauf nehmen”(teori apa boleh buat), yaitu teori yang mengenai dolus eventualis, bukan tentang kensengajaan, yang mana akibat atau keadaan yang diketahui kemungkinan adanya tidak disetujui. Namun, akibat yang ditimbulkan dapat diterima. Sehingga ada dua syarat untuk adanya kesengajaan, yaitu:

  1. terdakwa mengetahui kemungkinan adanya akibat yang merupakan delik;
  2. sikapnya ketikakemungkinan itu terjadi, ialah apa boleh buat, dapat disetujuinya dan berani menanggung resiko.

b. Dolus Determinatus

Jika melihat dari segi bahasa, determinatus, dalam bahasa Inggris, berasal dari kata determine yang artinya kurang lebih menentukan. Jadi dolus determinatus adalah suatu tindak pidana yang disengaja dan obyek/sasarannya telah ditentukan. Sebagai contoh: Si A ingin membunuh si B.

c. Dolus Indeterminatus

Dolus Indeterminatus adalah suatu tindakan yang mana si pelaku tidak menentukan sasarannya, siapapun yang terkena tidak masalah, misalnya pembunuhan dilakukan pada waktu sidang/rapat di lapangan.

d. Dolus Alternativus

Sedangkan dolus ini adalah seperti namanya yaitu alternative si pelaku melakukan suatu perbuatan/tindak pidana dengan memilih salah satu dari targetnya, misalnya si A ingin membunuh si B atau si C (sala satu di antara jumlah tertentu).

e. Dolus Indirectus

Yang dimaksud dengan dolus indirectus adalah seseorang melakukan suatu tindak pidana dengan maksud menganiaya saja, namun si korban/atau yang dianiayanya mati.

f. Dolus Premeditatus

Dolus Premeditatus adalah melakukan kejahatan dengan sengaja, dengan dipikirkan, direncanakan, diperhitungkan terlebih dahulu secara teliti dan mendalam.

4. Beberapa Pasal dalam KUHP tentang Kesengajaan

Pasal yang dengan jelas menyebutkan kata sengaja dalam KUHP kita adalah pasal 354, yang berbunyi:

(1) Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara palng lama delapan tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Pasal yang lain adalah pasal 338 yang berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang, karena pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun”.

Untuk lebih jelasnya tentang pasal-pasal mengenai kesengajaan, silahkan melihat/membaca kembali Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita.

5. Kesimpulan

Setelah bergelut dengan berbagai penjelasan tentang kesengajaan, maka sampailah kita kepada suatu kesimpulan, bahwa kesengajaan dalam tindak pidana adalah apabila yang melakukan tindak pidana dengan sadar, mengetahui dan menghendakinya atau juka tidak melakukannya (ia diam) tapi ia setuju dengan tindakan tersebut dan membiarkan tindak pidana tersebut.
Adapun macam-macam tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja (dolus) adalah: dolus eventualis, dolus determinatus, dolus indeterminatus, dolus alternativus, dolus indirectus, dan yang terakhir adalah dolus premeditatus.

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi, 1998. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, cet. III.

Hornby, AS, 1995. Oxford Advanced Learner's Dictionary. Oxford University Press, Fifth Edition.

Kansil, C. S. T., 1999. Latihan Ujian Pengantar Hukum Indonesia Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta, Sinar Grafika, cet. III.

Moeljatno, 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta, PT. Rineka Cipta, cet. VII.

Poernomo, Bambang, 1993. Pola Dasar Teori – Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana (Edisi Kedua). Yogyakarta, Liberty, cet. I.

__________________, 1988. Kapita Selekta Hukum Pidana. Yogyakarta, Liberty, cet. I.

Prodjodikoro, Wirjono, 2003. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia (Edisi Ketiga). Bandung, PT. Refika Aditama, cet. I.

Puspa, Yan Pramadya, _. Kamus Hukum Edisi Lengkap. Semarang, Aneka Ilmu.

Sudarsono, 2002. Kamus Hukum (Edisi Baru) . Jakarta, PT. Rineka Cipta, cet. III.

Sugandhi, R., 1981. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Penjelasannya. Surabaya, Usaha Nasional.

Footnote:

[1] Tindak Pidana (delik) ialah perbuatan, yang melanggar peraturan-peraturan pidana, diancam dengan hukuman oleh undang-undang dan dilakukan oleh seseorang dengan bersalah yang mana ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan/tindakan tersebut.
[2] AS. Hornby, 1995. Oxford Advanced Learner's Dictionary. Oxford University Press, Fifth Edition, p. 621.
[3] CST. Kansil, 1999. Latihan Ujian Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta, Sinar Grafika, cet. III, hal. 287. Selanjutnya lihat Mr. J.E. Jonkers dalam Handboek van het Nederlandsch-Indische Strafrecht, hal. 47 dan seterusnya.
[4] Barda Nawawi Arief, 1998. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta, Raja Grafindo, cet. III, hal. 89.
[5] Ibid, hal. 90.
[6] Bunyi asli dari KUHP tersebut adalah “To do an act intentionally is to do an act consciously and at the same time the doer desired or could have foreseen the effect of such doing”.
[7] Untuk lebih jelasnya, lihat Barda Nawawi Arief, 1998. Perbandingan ........., hal. 91.
[8] Bunyi pasal tersebut adalah “An offense is intentional when the perpetrator has the intent to commit the prohibited act, that is he wills its commission or foreseeing the possibility of committing it the reconciles himself to this”.
[9] Untuk lebih jelasnya bunyi pasal 6 tersebut, lihat ibid, hal. 92.
[10] Moeljatno, 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta, Rineka Cipta, cet. VII, hal. 171.
[11] CST. Kansil, ibid, hal. 288.
[12] Moeljatno, 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. ……… ibid, hal.175-176.
     
      Baca Selengkapnya »      

Pengaruh Peradaban Yunani dan Romawi terhadap Peradaban Islam







Pengaruh Peradaban Yunani dan Romawi terhadap Peradaban Islam


Oleh: Muhammad Taisir

Pendahuluan

Semenjak pertama kali manusia membuka mata, untuk menatap indahnya dunia, sampai terakhir kali ia menutupnya, tak akan pernah luput dari suatu aktivitas produktif, yaitu menghasilkan sebuah produk kebudayaan.

Kebudayaan (culture/tsaqofah) sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia merupakan Sunnatullah yang senantiasa berevolusi seiring dengan masa dan waktu. Lambat laun interaksi kebudayaan antar sesama manusia akan menjelma menjadi sebuah peradaban (civilization/hadharah) yang mapan dan mandiri. Dengan pisau bedah analisis yang lebih tajam, kita dapat mengkerucutkan bahwa sejarah kebudayaan adalah sejarah perjalanan hidup umat manusia di muka bumi.

Secara fitrah manusia diciptakan dengan sengaja oleh Tuhan beraneka ragam warna kulit, suku, ras, keyakinan dan pelbagai macam perbedaan. Akan tetapi perlu diingat, bahwa perbedaan lahiriyah bukan merupakan substansi asasi sebuah perbedaan. Karena sebenarnya pluralisme (kemajemukan) budaya, berawal dari sebuah perbedaan pandangan tentang bagaimana manusia menyikapi dunia ini sesuai dengan proporsi keyakinannya. Dengan kata lain gesekan-gesekan budaya antar sesama manusia adalah gesekan sebuah keyakinan. Hal ini pertama kali diilustrasikan oleh Qobil yang serta merta ingin menang sendiri, dan mengeksploitasi orang lain. Sementara Habil lebih toleran dan lebih memilih melawati rel-rel Tuhan dari pada keserakahan dan ketamakan.

Begitu juga dengan peradaban-peradaban besar yang pernah mewarnai kanvas dunia . Peradaban Mesir kuno adalah peradaban yang dicatat oleh sejarah sebagai peradaban penindasan. Hal ini dibuktikan dengan perjalanan terusirnya Bani Israil yang termaktub dalam kitab-kitab suci agama samawi. Peradaban Yunani kuno adalah peradaban yang juga menghegemoni manusia non Yunani. Hal ini di buktikan dengan klasifikasi Aristoteles, tentang pengelompokan manusia menjadi dua golongan. Pertama, golongan yang mampu menggunakan akal sebagai anugerah Tuhan dengan sempurna. Kedua, adalah golongan yang hanya mampu memaksimalkan jasmani belaka. Menurut bangsa Yunani golongan kedua ini lebih pantas untuk dijadikan budak-budak yang dapat dihisap begitu saja. Sehingga bangsa Yunani berpandangan bahwa mereka harus menjadi golongan pertama dan menjadikan golongan kedua sebagai alat pemuas hawa nafsu mereka. Tak heran bila menjajah bangsa lain menurut bangsa Yunani adalah perang suci. Perang membela panji-panji Tuhan. Begitu juga peradaban Romawi adalah peradaban yang selalu mengebiri dan mengintimidasi bangsa-bangsa non Romawi agar tidak nyaman hidup bersanding dengan mereka. Perdamaian menurut mereka adalah kekuasaan absolut (mutlak) di tangan bangsa Romawi. Feno-mena inilah yang dilestarikan oleh Presiden George Walker Bush sebagai simpatisan peradaban ini, sehingga ia pun meng-kategorikan manusia yang tidak sepaham dengannya sebagai musuh, kawan iblis dan penjahat yang harus dibasmi. Semangat imprealisme tak ubahnya hadir sebagai jargon-jargon yang dipoles dengan keadilan, kebebasan, dan hak asasi manusia.

Fenomena-fenomena di atas adalah sebuah tamsil dari sebuah gesekan antara kebudayaan yang telah menjelma menjadi sebuah peradaban yang mapan dengan pihak kedua yang sedang mencari identitas budaya. Selama pihak kedua masih pasif, pasrah bongkokan, maka mereka akan senantiasa menjadi budak setiap peradaban yang menghegemoni. Meski demikian, bukan berarti kita harus memandang sebelah mata peradaban orang lain namun, diakui atau tidak acapkali kehadiran sebuah kebudayaan yang menjadi cikal-bakal peradaban yang mapan, selalu menjadikan tumbal pihak lain.

Sebelum kita melihat dampak transpormasi kepemimpinan dari segi kehidupan umat manusia, baik dari segi sosial cultural, moral serta intelektual, perulah kita tinjau watak peradaban barat kedudukannya semangatnya, filsafat hidupnya serta pertumbuhannya.

Peradaban barat yang kita kenal pada abad ke 20 ini bukanlah produk abad abad kegelapan Eropa, juga bukan peradaban baru, sebagaiman disangka banyak orang, melainkan produk sejarah sejak beribu-ribu tahun silam. Peradaban barat adalah peradaban Yunani dan peradaban Romawi yang telah mewariskan kebudayaan politik pemikiran dan kebudayaan. Peradaban barat telah mengambil warisan peradaban lama itu dalam segala manifestasinya, berupa wilayah kekuasaan, tata politik, filsafat sosial, budaya intelektual, dan ilmu pengetahuan, serta mengambil alih segala cirri aspirasi dan kecenderungan kecenderunganya hingga ke dalam darah dagingnya.

Peradaban Yunani adalah peradaban tertua sepanjang catatan sejarah yang mempengaruhi pemikiran Eropa, dan yang menjadi landasan pertama bagi berdirinya filsafat Eropa yang mewarnai kepribadian Eropa. Dan di atas reruntuhan peradaban Yunani berdiri pula Romawi membawa semangat yang sama, yakni jiwa Eropa. Selama berabad abad bangsa Eropa menegakan ciri-ciri dan kepribadian peradaban Romawi ini dengan mewariskan filsafat, ilmu, kebudayaan, serta pemikiran pemikirannya.

Pada abad kesembilan belas Eropa muncul dengan warisan peradaban lama itu dalam gaya dan warna cemerlang seolah-olah suatu peradaban baru, namun sebenarnya hanyalah menampilkan warisan peradaban Yunani dan Romawi belaka.

Untuk membuat kritik terhadap peradaban barat abad ke 20, marilah kita tinjau peradaban peradaban Yunani dan Romawi itu dengan segala ciri dan semangatnya.

 Pembahasan

Telah dimaklumi bersama adalah sebelum lahirnya Islam, telah ada berbagai macam peradaban yang tebentuk. Namun, peradaban-peradaban tersebut lambat laun tidak terdengar lagi di telinga kita. Adalah dua peradaban yang bertahan lama saat itu dan bahkan pengaruhnya masih terasa sampai pada saat sekarang ini. Itulah peradaban Yunani dan Romawi. Dua peradaban yang memiliki orientasi yang berbeda. Yunani yang terkenal dengan intelektualitas keilmuannya dan Romawi dengan militerismenya.

Penaklukan atas wilayah Persia dan Romawi membawa pengaruh yang cukup besar dalam perkembangann sejarah Islam. Penaklukan atas sebagian wilayah kekuasaan Romawi membuat wilayah Islam berbatasan dengan Laut Tengah. Mereka sekarang menyadari perlunya membangun armada laut. Sehingga penaklukan atas Romawi secara tidak langsung mengilhami terbentuknya armada laut Islam. Setelah penaklukan atas Persia dan Romawi tersebut, umat Islam berhubungan erat dengan peradaban Syria dan Yunani. Dampak dari kontak kultural ini melatarbelakangi kemajuan keilmuan umat Islam sehingga umat Islam menduduki peran penting dalam sejarah perkembangan intelektual dunia. Faktor keberhasilan umat Islam melakukan ekspansi karena semangat dan dorongan moral keagamaan.

Umar bin Khattab juga telah membentuk tata pemerintahan seperti yang telah ada di Romawi, yaitu pembentukan departemen-departemen pemerintahan seperti Departemen Pertahanan dan lain-lain. Beliau juga telah membentuk kantor-kantor pos di berbagai wilayah Islam.

Dari segi bangunan, umat Islam banyak mencontoh arsitektur Romawi. Seperti ketika pembangunan kota Baghdad khalifah Al-Manshur (khalifah Abbasiyah yang kedua) telah mengundang para arsitek-arsitek Romawi untuk merancang bentuk/tata letak kota Baghdad.

Pada masa khalifah al-Makmun didirikanlah "Darul Hikmah" yaitu pusat studi Islam. Di tempat itulah mulai diterjemahkan buku-buku filsafat dari Yunani dan Romawi serta buku-buku kedokteran. Namun, umat Islam pada waktu itu bukan hanya menterjemahkannya saja. Namun, mereka juga menelaah dan mendiskusikan buku-buku tersebut dan merevisi (mengishlah) kesalahan-kesalahan dan penyimpangan yang ada di dalam buku tersebut.[1]


DAFTAR PUSTAKA

Al-Nadwi, Abul Hasan Ali, 1988. Islam Membangun Pradaban Dunia. Jakarta, Pustaka Jaya, cet. I.

Hamka, Prof. Dr., 2001. Sejarah Umat Islam. Pustaka Nasional PTE LTD, Sinagpura, cet. III.

Mas’ud, Ibnu dkk., 1998. Ilmu Alaiah Dasar. Pustaka Setia, Bandung, cet. I.

Http://Afkar.NuMesir.Org/Edisi/17/Komentar.Html

Http://vitasarasi.multiply.com/reviews/item/22

عاشور، سعيد عبد الفتاح، 1998. حضارة الإسلام. معهد الدراسات الإسلامية، الطبعة الثانية.

Footnote:

[1] Sa'id Abdul Fattah 'Asyur, 1998. Hadlaratul Islam. Ma'had at-Dirasat Al-Islamiyah, cet. II, hal. 256.
     
      Baca Selengkapnya »      

Jumat, 27 September 2013

KARAKTERISTIK PERADABAN YUNANI









Karakteristik Peradaban Yunani

Yunani adalah bangsa yang mendapat banyak karunia, bangsa yang paling cerdas, cerdik, bakat dan hasrat intelektual dan cultural yang tinggi. Bangsa Yunani telah memainkan peranan penting diatas panggung sejarah dunia dengan hasil filsafat dan kebudayaannya, serta tokoh tokoh terkemuka di bidang ilmu dan kebudayaan yang menyemarakkan perpustakaan-perpustakaan dunia.

Jika kita membuat kritik dan analisis tentang ciri-ciri peradaban Yunani dengan mengesampingkan segala unsur peradaban lain yang turut berperan serta di dalamnya, maka peradaban itu mempunyai beberapa keistimewaan dibanding dengan peradaban-peradaban lainnya terutama peradaban-peradaban timur sebagai berikut:
Kepercayaan yang berlebih-lebihan terhadap kemampuan panca indera dengan meremehkan hal-hal di luar jangkauan panca indra.
Kelangkaan rasa keagamaan dan kerohanian.
Sangat menjunjung tinggi kehidupan duniawi dan menaruh perhatian yang berlebihan terhadap manfaat dan kenikmatan hidup.
Memiliki rasa patriotisme.

Semua itu dapat diringkas dengan satu kata: materialisme. Materialisme Yunani ini telah menjadi lambang peradabannya sehingga mewarnai segala yang bertalian dengan Yunani, mereka tidak mampu menggambarkan sifat-sifat Allah dan kekuasaanya kecuali dalam bentuk bermacam-macam dewa yang dipahatkan dalam bentuk patung-patung lalu membangun tempat tempat peribadatan dan kuil-kuil sebagai tempat dewa-dewa itu. Demikianlah untuk urusan rezeki ada dewanya sendiri untuk cinta dewa sendiri dan ada pula dewa kemenangan. Segala atribut untuk tubuh manusia dikenakan juga padanya lalu disusunlah mitos-mitos dan legenda-legenda sekitar dewa-dewa itu. Mereka melukiskan pengertian pengertian abstrak dalam bentuk fisik maka terciptalah dewa cinta dewa kecantikan dan seterusnya. Dasar/pola sepuluh landasan berpikir dan sembilan cakrawala dari filsafat Aristoteles dalam bukunya catagoris tidak lain adalah percikan pemikiran materialistik yang sangat berpengaruh dalam peradaban Yunani.

Dr. Hass telah menyampaikan tiga makalah, dan ada beberapa yang dapat dikutip dari tiga makalah itu:

“Peradaban Yunani adalah inti dari peradaban barat sekarang ini, yang terpenting dalam peradaban itu menurut para tokohnya ialah tumbuhnya berbagai potensi manusia dengan pertumbuhan yang berkesinambungan. Ukuran ideal menurut mereka adalah tubuh yang indah dan serasi. Pikiran demikian tiada lain ialah karena penelitian besar terhadap hal-hal yang dapat dijangkau oleh panca indera. Perhatian mereka yang terbesar ditumpahkan pada latihan fisik, permainan olahraga, tari, dll. Sedangkan pendidikan mental meliputi puisi, nyanyi, teater, filsafat dan ilmu-ilmu fisika dijaga sedemikian rupa supaya tidak mencapai taraf yang mengutamakan jiwa melebihi keutamaan badan. Agama mereka kosong dari nilai-nilai spiritual tanpa teologi, tanpa lapisan elit keagamaan. Adapun warna spiritual dalam tradisi azves dan lain-lainnya sesungguhnya adaptasi dari peradaban timur dan tidak valid untuk dikaitkan dengan peradaban Yunani." [1]

Kaum intelektual Barat mengakui langkanya rasa keagamaan dan tipisnya kesadaran spiritual serta kesungguhan bangsa Yunani dalam menjalankan agama, ditambah kecenderungan hidup mewah dan santai. W. E. H. Lecky, misalnya menulis dalam bukunya History of European Morals sebagai berikut:

"Yunani menggerakkan semangat rasionalistik intelektual, sementara Mesir menggerakkan semangat spiritual mistis." Selanjutnya Lecky mengutip pengarang Romawi, Apuleuis yang berkata) orang-orang Mesir mengagungkan dewa-dewa mereka dengan merendahkan diri dan meratap sementara orang Yunani memuliakan dewa-dewa mereka dengan menari dan menyanyi lalu mengomentari hal itu) tak dapat disangsikan lagi bahwa sejarah membenarkan dan menguatkan keterangan itu. Tak ada satu agamapun yang dapat menyamai agama dan tradisi tradisi Yunani dalam banyak hal seperti kesenangan-kesenangan, hari raya dan permainan-permainan dan tipisnya rasa takut dan tunduk kepada Tuhan. Orang orang Yunani tidak memuliakan Tuhan mereka kecuali hanya seperti mengagungkan tokoh-tokoh dan para pemimpin mereka. Mereka cukup memuliakan Tuhan dengan upacara-upacara biasa dan perayaan perayaan tradisional yang berlaku."[2]

Di Yunani terdapat filsafat ketuhanan dan berbagai akidah yang jauh dari rasa hormat kepada Tuhan, beribadah, merendah diri, merasa takut dan meminta perlindungan kepada-Nya, karena filosof yang meniadakan ikhtiar Tuhan, perbuatan, penciptaan, dan penguasaan-Nya atas alam semesta serta yang mengaitkan alam ini dengan apa yang disebutnya dan gerak semesta, tidak menghendaki Allah dalam kehidupan praktis melainkan hanya sebagai tradisi. Maka kalau kita mendengar bahwa bangsa Yunani tidak tunduk kepada Tuhan Allah dan bahwa ibadah-ibadah serta amalan perbuatan keagamaan mereka hanya bersifat fisik tanpa jiwa, dan bahwa mereka mengagungkan Tuhan hanya seperti mengagungkan tokoh-tokoh dan pemimpin mereka, kitapun sama sekali tak merasa heran, justru kita akan merasa heran jika mendengar yang sebaliknya.

Orang Yunani mengagung-agungkan kehidupan duniawi hingga melampui batas, demikian pula kesenangan terhadap patung-patung, gambar-gambar, nyanyian, musik, yang mereka sebut sebagai seni yang indah. Para pengarang dan pujangga melampiaskan kebabasan individu sedemikian rupa hingga tak kenal lagi batas dan tak peduli terhadap dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap moral bangsa. Moto seorang laki-laki merdeka adalah mereguk kepuasan nafsu sepuas-puasnya, memburu kesenangan hidup dan menikmati kehidupan dunia tanpa mengenal batas. Sebagaimana dikutip oleh Plato dalam bukunya melukiskan laki-laki Yunani yang merdeka seperti kritikus masa kini menyerang dunia abad ke 20 yang hidup di salah satu ibu kota negara barat. Jika dikatakan padanya bahwa kesenangannya itu ada yang baik dan yang buruk dan yang baik itu harus pantas dikerjakan dan dihormati, sedang yang buruk harus dihindari dan pantas mendapat hukuman, iapun tidak akan menerima dan tak akan mendengar aturan benar ini. Demikianlah dia menjalani hari-hari dalam kehidupannya, melampiaskan hawa nafsu yang sering merongrongnya. Sekali ia bermabuk-mabukan sambil menikmati nyanyian di lain kali ia hanya menenggak air dan kadang-kadang tenggelam dalam pendidikan dan latihan, dan di lain kali lagi bersantai-santai dan bermalas-malasan, kadang masuk dunia politik dan berpidato sesuai dengan tema masanya, hidupnya tak menentu namun ia tetap mengangap hidup ini menyenangkan dan penuh kenikmatan, dan akan dijalani kehidupan sedemikian itu sampai akhir hayatnya .

Adapun patriotisme memang sudah menjadi tabiat yang melekat pada orang Eropa lebih kuat dibandingkan Asia. Patriotisme lebih kuat dan nyata karena didorong oleh kondisi geografisnya. Kawasan Asia amat luas dan meliputi berbagai iklim dan berbagai ras dan penduduk yang amat banyak tanahnya subur menjamin berbagai macam macam penghidupan. Sedangkan Eropa dipenuhi oleh pergulatan hidup yang tak kunjung selesai untuk menentukan kelangsungan hidup karena padatnya penduduk dan sempitnya wilayah yang sukar diubah alamnya, terutama bagian barat Eropa tengah dan selatan, karena itu gambaran politis Eropa kuno tidak lebih dari kumpulan negara negara kecil dengan wilayah beberapa mil saja. Dan contoh yang paling realistis dari gambaran ini ialah tanah Yunani yang diawali sejarahnya merupakan tempat berdirinya berpuluh-puluh kota kecil yang berdiri sendiri sendiri.

Maka tidak mengherankan jika Yunani menjunjung tinggi patriotisme. Patriotisme disepakati sebagai lebih utama daripada sekedar kebaikan budi, bahkan Aristoteles tidak cukup hanya mengajarkan patriotisme belaka melainkan juga mengajarkan bahwa orang Yunani harus memperlakukan bangsa-bangsa barbar (orang asing) sebagai memperlakukan binatang ternak sehingga jika seorang filosof berkata bahwa ia tidak hanya membela oraang orang senegaranya saja melainkan berbuat baik kepada seluruh orang-orang Yunani maka filosof itu pasti menimbulkan keheranan orang-orang dan akan memperoleh pandangan yang sinis dari orang orang senegaranya.

Footnote:

[1] Abul Hasan Ali Aml-Nadwi, Islam Membangun Peradaban Dunia, Pustaka Raya, hal. 230. (lihat juga Halide Edib, hal. 226-227).

[2] Abul Hasan Ali Aml-Nadwi, Islam Membangun Peradaban Dunia, Pustaka Raya, hal. 230. (lihat juga W. E. H. Lecky, History of European Morals, London, 1869, J. I, hal. 334-335).
     
      Baca Selengkapnya »      

TEORI KEBENARAN SINTAKSIS








TEORI KEBENARAN SINTAKSIS
Oleh: Muhammad Taisir


A. PENDAHULUAN

Dalam sejarah perkembangan ilmu, peran filsafat ilmu dalam struktur bangunan keilmuan tidak bisa disangsikan. Sebagai landasan filosofis bagi tegaknya suatu ilmu, mustahil para ilmuwan menafikan peran filsafat ilmu dalam setiap kegiatan keilmuan, seiring dengan itu, kesadaran untuk meningkatkan mutu akademik dikalangan akademisi, membuat disiplin ini semakin dirasakan peran pentingnya.

Sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat ilmu merupakan sebuah istilah yang mengacu pada dua hal, pada teori pengetahuan (epistemologi) dan pada teori tentang perkembangan sejarah (akal budi) manusia. Perkembangan ini bermula dari tahap mistis atau teologis ke tahap metafisis dan berakhir pada tahapan yang paling tinggi, yakni tahap positif.

Filsafat ilmu juga merupakan telaah secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu, seperti “Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya ilmu pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosesnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita dapat mendapatkan pengetahuan yang benar ?

Dalam makalah ini, penulis mencoba mendeskripsikan tentang maksud dari Teori Kebenaran Sintaksis.

B. PEMBAHASAN

1. Apakah yang Dimaksud dengan Teori ?


Sebelum kita membahas apa yang dimaksud dengan Teori Kebenaran Sintaksis, alangkah baiknya bila kita terlebih dahulu mengetahui apa itu "teori". Teori adalah sarana pokok untuk menyatakan hubungan sistematis alam gejala sosial maupun natura yang ingin diteliti. Teori merupakan abstraksi dari pengertian atau hubungan dari proporsi atau dalil.[1]

F. N. Kerlinger (1973) dalam bukunya yang berjudul Foundations of Behavioral Research, yanng diterbitkan oleh Holt, Rinerhat and Winston Inc. New York, seperti yang dikutip oleh Moh. Nazir, Ph. D menyatakan bahwa teori adalah sebuah set konsep atau construct yang berhubungan satu dengan yand lainnya, suatu set dari proporsi yang mengandung suatu pandangan sistematis dari fenomena.[2]

Apabila kita ingin mengenal teori ada beberapa hal yang harus kita perhatikan, sedikitnya tiga hal, yaitu:
  1. teori adalah sebuah set proporsi yang terdiri atas konstrak (construct) yang sudah didefinisikan secara luas dan dengan hubungan unsur-unsur dalam set tersebut secara jelas pula.
  2. teori menjelaskan hubungan antarvariabel atau antarconstrak (construct) sehingga pandangan yang sistematis dari fenomena-fenomena yang diterangkan oleh variabel dengan jelas kelihatan.
  3. teori menerangkan fenomena dengan cara menspesifikasikan variabel mana yang berhubungan dengan variabel mana.[3]
2. Kebenaran

Untuk memperoleh suatu kebenaran adakalanya dilakukan dengan cara penelitian terhadap fenomena yang fana, yang dikenal dengan penemuan kebenaran melalui proses ilmiah sebab ditemukan secara ilmiah. Namun, banyak juga kebenaran terhadap suatu fenomena yang tidak diperoleh melalui proses ilmiah/penelitian.

Umumnya, suatu kebenaran ilmiah dapat diterima karena tiga hal, yaitu:
  1. adanya koheren;
  2. adanya koresponden; dan
  3. pragmatis
Makna ketiga hal di atas telah dijelaskan oleh pemakalah sebelumnya dan kami tidak akan mengulangi lagi pembahasan tentang tiga hal tersebut.

Seperti dikatakan sebelumnya, tidak selamanya suatu kebenaran diperoleh dengan cara ilmiah. adakalanya kebenaran tersebut diperoleh melalui proses nonilmiah, seperti yang disebutkan berikut ini:
  1. penemuan kebenaran secara kebetulan,
  2. penemuan kebenaran secara common sense (akal sehat),
  3. penemuan kebenaran melalui wahyu,
  4. penemuan kebenaran secara intuitif,
  5. penemuan kebenaran secara trial dan error,
  6. penemuan kebenaran melalui spekulasi,
  7. penemuan kebenaran karena kewibawaan.[4]

3. Sintaksis


Setelah kita membahas tentang teori dan kebenaran, sekarang kami mencoba menjelaskan makna sintaksis.

Kata "sintaksis" berasal dari bahasa Yunani sun 'dengan' dan tattein 'menempatkan'. Jadi, secara etimologis sintaksis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat dan kelompok-kelompok kata menjadi kalimat.[5] Sintaksis merupakan sub-bidang dari linguistik. Sintaks atau sintaksis adalah ilmu yang mempelajari aturan, atau "hubungan berpola" yang mengatur bagaimana kata-kata dalam kalimat bergabung. Ilmu ini membahas bagaimana kata berbeda yang dapat dikelompokkan sebagai nomina, adjektif, verba dan lain-lain digabungkan ke dalam klausa yang pada gilirannya bergabung ke dalam kalimat.[6] Untuk lebih baiknya dan lebih jelasnya gambaran tentang sintaksis ini kami akan mencoba mencantumkan beberapa definisi dari sintaksis.
  1. "Syntax is the part of grammar, or the subsystem of a grammar, that deals with the position, order, and function of words and larger units in sentence, clauses, and phrases."[7]
  2. "Syntax is the branch of grammar which concerned with the study of the arrangement of words in sentence and of the means by which such relationship are shown, e. g. word order or inflexion." (= "Sintaksis adalah cabang tata bahasa mengenai studi penghimpunan kata-kata dalam kalimat-kalimat dan alat dengan mana hubungan seperti itu terlihat, misalnya, tertib kata atau infleksi").[8]
  3. "Syntax is concerned with the discovery of basic sentence types and with the description of the possible of substitutions for each element of the basic types." (="Sintaksis berkenaan dengan penemuan jenis-jenis kalimat dasar dan pemberian penggantian yang mungkin dari setiap unsur dari jenis dasar itu").[9]
  4. "Syntax is the study and rules of the relation of words to one another as expressions of ideas and parts of the structures of sentences; the study and science of sentence construction". (Sintaksis adalah studi dan aturan-aturan dari hubungan kata-kata satu sama lainnya sebagai pernyataan gagasan dan sebagai bagian-bagian dari sturktur-struktur kalimat; studi dan ilmu bangunan kalimat").[10]
Dari berbagai pengertian di atas kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa sintaksis adalah bagian dari gramatika (tata bahasa) yang membahas susunan atau hubungan antar-kata dalam suatu kalimat.

4. Teori Kebenaran Sintaksis

Setelah kita membahas panjang lebar tentang makna dari masing-masing kata teori, kebenaran dan sintaksis maka tibalah saatnya kita mengetahui apakah maksud dari teori kebenaran sintaksis itu. jika kita cermati pengertian masing-masing kata di atas maka kita bisa menyatakan bahwa teori kebenaran sintaksis itu adalah suatu teori yang mengatakan bahwa suatu pernyataan dikatakan benar atau memiliki nilai benar jika sesuai dengan sintaksis atau susunan kaidah gramatika (tata bahasa) yang baku. Berarti secara otomatis jika suatu pernyataan tidak sesuai dengan susunan tata bahasa yang benar atau menyimpang dari kaidah-kaidah gramatika yang baku, maka pernyataan tersebut tidak mempunyai arti. Teori Kebenaran ini tercipta dari para filsuf analisa bahasa yang begitu ketat dalam pemakaian tata bahasa/gramatika seperti Friederich Schleiermarcher (1768-1834). Menurutnya, seperti yang dikutip Poespoprojo (1987), pemahaman adalah suatu rekonstruksi, bertolak dari ekspresi yang selesai diungkapkan menjurus kembali ke suasana kejiwaan dimana ekspresi tersebut diungkapkan. Di sini terdapat dua momen yang yang saling berkaitan atau terjalin yaitu momen tata bahasa/ gramatika dan momen kejiwaan.[11]

C. KESIMPULAN

Dari uraian di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Teori Kebenaran Sintaksis adalah suatu teori yang mengatakan bahwa suatu pernyataan dikatakan benar atau memiliki nilai benar jika sesuai dengan sintaksis atau susunan kaidah gramatika (tata bahasa) yang baku. Teori ini berkembang di kalangan para filsuf analisa bahasa yang salah satu tokohnya adalah Friederich Schleiermarcher (1768-1834) yang menyatakan adanya dua momen yang saling berkaitan dalam menyatakan adanya unsur kebenaran dalam suatu pernyataan, yaitu momen tata bahasa/gramatika dan momen kejiwaan.

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar, 1987. Linguistik, Suatu Pengantar. Bandung, Angkasa, cet. IV.
Chapman, L. Robert, 1997. The Encyclopedia Americana, International Edition, Volume 26. Danbury, Connecticut, Grolier Incorporated, International Headquarters.
Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Sintaksis.
Muslih, Muhammad, 2004. Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta, Belukar, cet. I.
Nazir, Moh., 2003. Metode Penelitian. Jakarta, Ghalia Indonesia, cet. V.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 1996. Filsafat Ilmu. Yogyakarta, Liberty Yogyakarta bekerjasama dengan YP. Fakultas Filsafat UGM, cet. I.
Verhaar, J. W. M., 1986. Pengantar Linguistik, Jilid I. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, cet. XI.
Verhaar, J. W. M., 2004. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, cet. IV.


Footnote:

[1] Moh. Nazir, Ph. D, 2003. Metode Penelitian. Jakarta, Ghalia Indonesia, cet. V hal. 19.

[2] F.N. Kelinger, 1973. Foundations of Behavioral Research. New York, Holt, Rinerhat and Winston Inc. hal. 9 (seperti yang dikutip oleh Moh. Nazir, Ph. D. dalam bukunya Metode Penelitian cetakan V yang diterbitkan oleh Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 9)

[3] Moh. Nazir. op.cit.

[4] Ibid. hal. 16.

[5] J. W. M. Verhaar, 1986. Pengantar Linguistik, Jilid I. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, cet. XI. hal. 70.

[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Sintaksis.

[7] Chapman, L. Robert, 1997. The Encyclopedia Americana, International Edition, Volume 26. Danbury, Connecticut, Grolier Incorporated, International Headquarters. hal. 182.

[8] A. Chaedar alwasilah, 1987. Linguistik, Suatu Pengantar. Bandung, Angkasa, cet. IV. hal. 104 (dikutip dari Dictionary of Language and Linguistics karya R.R.K. Hartmann dan F.C. Stork, diterbitkan oleh Applied Science Publishers Ltd., London, 1976. hal. 231).

[9] A. Chaedar alwasilah …….. hal. 105. (dikutip dari Dictionary of Linguistics, karya Mario Pei and Frank Geynor, diterbitkan oleh Littlefield, Adam & Co., New Jersey, 1975, hal. 39).

[10] A. Chaedar alwasilah………. hal. 105. (dikutip dari Archibald A. Hill, Linguistic. Voice of America Forum Lectures, 1969. hal. 211).

[11] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 1996. Filsafat Ilmu. Yogyakarta, Liberty Yogyakarta bekerjasama dengan YP. Fakultas Filsafat UGM, cet. I, hal. 118-119.
     
      Baca Selengkapnya »