Senin, 06 Februari 2017

OPTIMALISASI ZAKAT SEBAGAI SOLUSI UNTUK MENGENTASKAN KEMISKINAN (Telaah Kritis QS. At-Taubah ayat 60)


A.    PENDAHULUAN

Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dengan al-Qur’an sebagai kitab sucinya. Ia merupakan agama untuk seluruh umat manusia (ad-din asy-syamil), bukan untuk perorangan atau kelompok/golongan tertentu. Ajaran-ajarannya mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Terlebih masalah kesejahteraan manusia tidak luput daripada ajaran Islam yang terdapat dalam kitab suci al-Qur’an.

Meskipun demikian, masih saja, bahkan selalu saja ada umat Islam yang tidak sejahtera kehidupannya alias masih berada di bawah garis kemiskinan.

Memang, kemiskinan merupakan problematika sosial yang tidak bisa dihindari. Setiap Negara di dunia ini selalu tertimpa masalah sosial yang dinamakan kemiskinan. Rakyat-rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan ini sangat sulit untuk ditiadakan. Tindakan yang bisa dilaksanakan baik pemerintah maupun rakyat itu sendiri adalah meminimalisir kuantitas penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan ini. Atau paling tidak, laju kemiskinan ini dapat ditekan hingga titik nol, kalaupun itu bisa dilakukan.

Seperti yang disebutkan di atas, setiap Negara di dunia ini hampir pasti pernah mengalami masalah kemiskinan. Negara-negara yang tengah berjuang untuk mengembangkan diri, meningkatkan pertumbuhan ekonomi ataupun peningkatan-peningkatan di berbagai sektor, bahkan mengalami laju pertumbuhan tingkat kemiskinan yang tinggi. Negara-negara tersebut lebih dikenal dengan istilah Negara-negara berkembang (developing countries). Sementara di Negara-negara yang telah memiliki tingkat kemajuan yang tinggi, masalah kemiskinan ini bisa ditekan meskipun sulit untuk dihapuskan. Negara-negara yang memiliki tingkat kemajuan setingkat lebih tinggi dari Negara-negara berkembang ini dikenal dengan Negara-negara maju (developed countries).

Perjuangan masing-masing Negara untuk mensejahterakan rakyatnya merupakan salah satu motivasi yang menyebabkan mereka harus bersusah payah merancang dan merumuskan strategi guna mehilangkan masalah kemiskinan ini. Berbagai macam teori ekonomi coba diterapkan. Pakar-pakar ekonomi terus-menerus bermunculan. Masing-masing dari mereka mengusulkan teori-teori ataupun metode-metode yang bisa dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan ini. Namun demikian, apakah problematika kemiskinan ini telah tuntas dengan diaplikasikannya teori-teori yang telah di kemukakan para pakar ekonomi tersebut?

Melihat kenyataan yang terjadi saat sekarang ini, berbagai macam teori dan metode yang telah dikemukakan oleh para ekonom yang handal itu tidak mampu menyelesaikan problematika kemiskinan ini.

Ketika keresahan mulai menyelimuti jiwa-jiwa yang kebingungan, maka sudah sepantasnya kita menengok, kembali kepada agama kita Islam, mendalami kitab sucinya, al-Qur’an yang suci mengharap ditemukannya solusi tebaik yang harus diterapkan untuk mengeliminasi atau paling tidak meminimalisir laju kemiskinan yang sang sulit dihindari ini.

Salah satu solusi yang ditawarkan al-Qur’an adalah perintah untuk membayar zakat, bagi orang-orang kaya yang mampu membayarnya. Namun, mengapa masih saja terjadi kemiskinan pada diri umat Islam? Apakah al-Qur’an tidak mampu memberikan solusi agar manusia pada umumnya, dan umat Islam khusunya hidup sejahtera, sehingga dapat menjalankan perintah Allah dan Rasulnya dengan tenang?

Melihat fenomena di atas, penulis mencoba memaparkan sedikit tentang salah satu strategi al-Qur’an dalam mensejahterakan umat, terutama kemiskinan yang selama ini selalu menjadi permasalahan dan selalu ada di setiap tempat dan waktu, yaitu melalui zakat. Untuk mempermudah penulisan karya ini, penulis memfokuskan pembahasannya pada analisis ayat al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 60, yang membahas tentang Zakat serta mustahiqnya; bagaimana cara optimalisasi zakat untuk mengentaskan kemiskinan.

Tujuan penulis membahas permasalahan ini adalah untuk mengetahui cara mengoptimalisasi zakat guna mengentaskan kemiskinan, terutama di negara kita Indonesia. Dalam tulisan ini penulis menggunakan metode analisis kritis guna memdapatkan hasil yang diharapkan. Dengan demikian, hasilnya diharapkan mampu memberikan sedikit sumbangsih dalam rangka mengentaskan kemiskinan, atau paling tidak meminimalisasi kemiskinan, terutama di negara kita Indonesia.



B.     PEMBAHASAN

1.      Tafsir QS. At-Taubah ayat 60

۞إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡعَٰمِلِينَ عَلَيۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمۡ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَٰرِمِينَ وَفِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ٦٠

Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Dalam ayat ini jelas sekali disebutkan bahwasanya yang berhak untuk menerima zakat itu ada delapan, yaitu:

a.       Fakir

b.      Miskin

c.       Amil Zakat

d.      Muallaf

e.       Hamba Sahaya

f.       Orang yang banyak hutang (yang tidak digunakan untuk maksiat kepada Allah SWT) yang tidak bisa membayar hutangnya.

g.      Fi Sabilillah; dan

h.      Ibnu Sabil

a.       Pengertian Fakir dan Miskin

Di dalam ayat ini al-Qur’an telah menyebutkan dua istilah bagi kemiskinan ini, yaitu, fuqaraa’ yang merupakan jamak’ (plural) dari faqir; dan masaakiin yang merupakan jamak’ (plural) dari miskin. al-Qur’an selalu menggunakan kedua istilah ini ketika menyebutkan tentang problematika kemiskinan ini. munculnya dua istilah ini sudah barang tentu ada perbedaan di antara kedua istilah ini.

Imam al-Thabari dalam tafsirnya menerangkan bahwa maksud dari kata fuqaraa’ adalah orang orang sangat membutuhkan bantuan untuk meringankan bebannya, (المحتاجون المتعففون عن المسألة), sedangkan masaakiin ialah orang yang keliling untuk meminta-minta (الطوافين السائلين) . [1]

Imam al-Suyuthi juga menjelaskan makna fuqara dengan orang yang tidak mempunyai harta dan tidak mampu memenuhi kebutuhannya, sedangkan makna masaakiin ialah orang yang tidak mencukupi kebutuhannya dan hidup serba kekurangan.[2] Definisi yang tidak jauh berbeda juga diberikan oleh Wahbah al-Zuhailiy, yaitu fuqaraa ialah orang yang tidak mempunyai sesuatu sedikitpun, sedangkan masaakiin ialah orang yang mempunyai harta namun tidak mencukupi kebutuhannya.[3]

Sedangkan definisi faqir dan miskin, seperti yang dikemukakan di dalam al-Qur’an dan terjemahnya Departemen Agama RI, yaitu:

“orang fakir adalah orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. sedangkan orang miskin adalah orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan”.[4]



Melihat berbagai definisi di atas, jelaslah bahwa orang fakir adalah orang yang tidak mempunyai daya upaya, baik berupa harta maupun tenaga yang menyebabkan ketidakmampuannya memenuhi hajat hidupnya. Dengan begitu orang fakir inilah yang terutama harus dibantu sebelum yang lainnya.

Sedangkan orang miskin ini memiliki kemampuan untuk bekerja namun belum bisa mencukupi kehidupannya. Dari itu, ia masih memerlukan uluran tangan orang-orang yang berada untuk mencukupi kebutuhannya.

b.      Pengertian Amil Zakat

Yang dimaksud dengan ‘aamilin ‘alaiha ialah orang yang berkecimpung dalam zakat, dalam artian pengelola zakat.

Imam al-Thabari menjelaskan makna al-‘aamiliinalaiha dengan alladzi ya’mal ‘alaiha.[5]

Lebih lanjut dijelaskan oleh Syeikh Kholid Abdurrahman al-‘Ak dalam Shafwah al-Bayan li Ma’aniy al-qur’an al-Karim Mudzayyilan bi Asbab Al-Nuzul li Al-Suyuthi,[6] bahwa makna al-‘aamiliinalaiha mencakup semua pengelola zakat, baik yang membagi, mencatat, dan yang menjaga harta zakat tersebut. Demikian juga definisi yang diberikan oleh Wahbah al-Zuhailiy.[7]

Imam al-Suyuthi juga menjelaskan tentang makna al-‘aamiliinalaiha dengan definisi yang hampir sama dengan yang disebutkan oleh Syeikh Kholid Abdurrahman al-‘Ak.[8] Demikian juga definisi yang diberikan oleh Wahbah al-Zuhaily dalam al-Tafsir al-Wajiz ‘ala Hamisy al-Qur’an al-‘Azim.[9]

Dengan demikian, amil zakat itu tidak hanya terbatas pada yang membagi harta zakat saja, namun lebih luas adalah lembaga dan badan yang menangani masalah harta zakat tersebut.

c.       Pengertian Muallaf

Imam At-Thabari menjelaskan maksud dari muallafati quluubuhum adalah orang-orang yang baru masuk Islam yang hatinya masih lemah sehingga perlu untuk dihibur sehingga semakin teguhlah ia untuk memeluk agama Islam.[10]  Lebih lanjut Imam as-Suyuthi menjelaskan pemeberian zakat bagi muallaf ini dimaksudkan untuk mengukuhkan dan memantapkan keislaman mereka.[11]

Definisi yang serupa juga disebutkan oleh Wahbah al-Zuhailiy dalam dalam kitab tafsirnya al-Tafsir al-Wajiz ‘ala Hamisy al-Qur’an al-‘Azim.[12]

d.      Pengertian fi sabilillah

Pengertian fi sabilillah ini pada awalnya adalah orang yang berjihad di jalan Allah SWT, yaitu berperang. Namun, seiring perjalanan waktu, definisi ini menjadi luas cakupannya, tidak hanya berperang di jalan Allah SWT, tetapi bisa juga dimaknai dengan bantuan pendidikan, pembangunan masjid, mushalla, madrasah, dan sarana-sarana untuk kepentingan umat, juga bisa dikategorikan sebagai fi sabilillah.


e.       Pengertian Ibnu Sabil

Definisi ibn Sabil ini sudah sangat jelas, yaitu orang musafir perjalanan jauh, yang kehabisan bekal sehingga perlu untuk dibantu. Sudah tentu perjalanannya tidak untuk maksiat kepada Allah SWT.

Setelah menjelaskan delapan golongan ini, Allah SWT menekankan kewajiban membayar zakat.



2.      Analisis QS. At-Taubah ayat 60

Setelah membahas penafsiran surat At-Taubah ayat 60 ini, marilah kita analisis lebih jauh kandungannya.

Allah SWT memulai ayat ini dengan Inna, yang mengindikasikan bahwa peruntukan zakat itu sangat jelas, tegas, dan lugas, yaitu delapan golongan yang telah disebutkan di atas.  Penekanan ini, ditambah dengan kata faridatan, menunjukkan kewajiban zakat ini.

Analisis yang kedua adalah penyebutan langsung peruntukan zakat, yaitu delapan golongan, seperti yang telah disebutkan pada ayat 60 surat At-taubah tersebut secara tertib. Artinya, pemberian zakat itu harus didahulukan bagi fakir dan miskin, kemudian amil zakat, dan seterusnya. Mengapa demikian? Hal ini menarik untuk dikaji.

Pertanyaan yang kedua adalah, mengapa Allah SWT mewajibkan zakat?

Jika kita merenungkan lebih jauh, urutan yang telah disebutkan Allah SWT pada ayat ini merupakan indikasi bahwa zakat tersebut mempunyai skala prioritas. Dan, yang paling diprioritaskan adalah fakir dan miskin. Mengapa demikian? Ada beberapa alasan:

1.      Hal ini dimaksudkan agar umat Islam ini khususnya, serta umat manusia pada umumnya mempunyai kepedulian kepada orang-orang yang tidak mampu di sekitarnya;

2.      Mempererat ukhuwwah di antara sesama manusia, terutama umat Islam;

3.      Menjaga keberlangsungan hidup kaum dlu’afa (fakir dan miskin)

4.      Kriminalitas biasanya terjadi akibat masalah ekonomi yang dihadapi manusia, dengan memberikan zakat kepada yang kurang mampu, bisa mengurangi tingkat kriminalitas di suatu daerah ataupun suatu negara;

5.      Kekurangan ekonomi bisa menyebabkan orang perbuat apa saja, bahkan menjual imannya. Dengan adanya zakat, yang mengutamakan orang-orang yang tidak mampu, maka iman seseorang bisa terselamatkan.

Al-Qur’an juga mempunyai strategi bagaimana “memaksa” umat Islam untuk mengeluarkan zakat. Adapun strategi yang disebutkan al-Qur’an adalah:

1.      Mewajibkan kaum muslimin untuk membayar zakat, seperti yang disebutkan dalam QS. At-Taubah ayat 60.

2.      Adanya perintah untuk mengambil dari harta orang-orang kaya zakatnya guna membersihkan dan mensucikan mereka dari dosa-dosa, yang terdapat dalam QS At-Taubah ayat 103.

خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةٗ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيۡهِمۡۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٞ لَّهُمۡۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ١٠٣

Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.[13]



3.      Perintah zakat beriringan dengan perintah shalat, guna menguatkan kewajiban zakat ini, seperti dalam QS. Al-Baqarah ayat 43.

وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ ٤٣

Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku´lah beserta orang-orang yang ruku´.[14]



Ini menunjukkan bahwa tingkat kewajiban zakat sama dengan shalat, sehingga orang-orang yang  tidak membayar zakat mendapatkan hukuman (dosa) yang sama seperti orang yang meninggalkan shalat.

4.      Memberikan ancaman bagi orang-orang yang enggan membayar zakat, seperti dalam QS. Al-Ma’un, yang disebut langsung sebagai orang yang mendustakan agama, juga dalam QS. Al-Balad; dan lain sebagainya.

Dengan demikian, baik fakir maupun miskin kedua-duanya harus mendapatkan uluran tangan kita. Itulah sebabnya delapan golongan penerima zakat (mustahiq zakat) seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an surat at-taubah ayat 60 di atas, yang diutamakan adalah orang-orang fakir (fuqaraa’) dan orang-orang miskin (masaakiin).

3.      Langkah-langkah optimalisasi zakat untuk mengentaskan kemiskinan menurut QS. At-Taubah ayat 60

Sebelum kita membahas langkah-langkah optimalisasi zakat guna mengentaskan kemiskinan, ada baiknya kita sebutkan anjuran yang dirumuskan al-Qur’an untuk mengentaskan kemiskinan, seperti yang disebutkan oleh M. Quraish Shihab[15], yaitu:

1.      kewajiban setiap individu, yaitu dengan cara berusaha dan bekerja keras, pantang berpangku tangan selama masih mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya;

2.      kewajiban orang lain/masyarakat, yaitu dengan memberikan bantuan kepada orang-orang yang tidak mampu, yang salah satunya adalah dengan membayar zakat serta mengalokasikannya kepada yang berhak menerimanya dengan skala prioritas kaum fakir miskin; dan

3.      kewajiban pemerintah, yaitu dengan cara memperhatikan kesejahteraan rakyat dengan sumber dana dan cara yang sah, seperti dari pajak, dan tentunya zakat dalam cakupan yang luas.

Setelah menjelaskan tiga anjuran pokok anjuran al-Qur’an yang harus ditempuh untuk mengentaskan kemiskinan ini, maka penulis akan mencoba memberikan solusi dengan zakat ini, kemiskinan bisa kita minimalisasi, yaitu dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1.      Maksimalisasi pembayaran zakat, dengan cara:

a.       menyerukan dan mensosialisasikan kewajiban membayar zakat bagi umat Islam dengan penjelasan targhib wa tarhib. Ini adalah tugas para tuan guru, muballigh, dan para alim ulama, serta pejabat yang berwenang untuk melakukan hal tersebut. Langkah-langkah yang harus diambil, di antaranya:

·         melakukan dakwah dan sosialisasi secara intensif;

·         mengadakan sosialisasi dengan cara yang beraneka ragam, baik dalam pengajian-pengajian (majlis ta’lim), diskusi-diskusi, ataupun obrolan-obrolan santai, serta dengan menggunakan bahasa yang bisa dipahami masyarakat.

b.      Membuat kader-kader di setiap dusun atau desa sebagai perpanjangan tangan para muballigh ini, guna memberikan pemahaman kepada masyarakatnya.

2.      Maksimalisasi ketepatan sasaran penerimaan zakat, dengan cara;

a.       Pendataan yang akurat tentang jumlah riil fakir miskin di daerah-daerah, terutama daerah pedusunan dan pedesaan.

b.      Membentuk amil-amil zakat di dusun-dusun dan desa-desa, yang langsung menyalurkan kepada kaum dlu’afa (fakir miskin) sehingga kemungkinan ketidaktepatan sasaran relatif kecil.

3.      Memanfaatkan masjid sebagai pusat pengelolaan zakat dengan memaksimalkan peran ta’mir masjid, sehingga tidak hanya bertugas sebagai muazzin, dan penjaga masjid. 

4.      Memberikan pelatihan kepada amil-amil zakat agar harta zakat tidak salah sasaran sehingga bisa dinikmati orang-orang yang berhak menerimanya, utamanya fakir miskin.

Jika langkah-langkah tersebut di atas diterapkan, penulis yakin, insya Allah kemiskinan yang melanda umat Islam, terutama di negara kita Indonesia, dan khususnya daerah kita Nusa Tenggara Barat tercinta.  

C.    Penutup

a.      Simpulan

Setelah melalui pembahasan yang singkat dari tulisan ini penulis mencoba menyimpulkannya dengan hasil sebagai berikut:

1.      Menurut QS. At-Taubah ayat 60, bahwa pembayaran zakat diprioritaskan bagi faqir dan miskin;

2.      Zakat mampu mengentaskan atau paling tidak meminimalisasi kemiskinan umat Islam, terutama di Indonesia jika dikelola dan disalurkan dengan benar;

3.      Langkah-langkah yang diperlukan untuk mengoptimalkan harta zakat adalah dengan memperbaiki sumber daya manusianya; baik sumber daya manusia yang membayar zakat, maupun sumber daya manusia yang pengelola zakat.

Demikianlah simpulan yang penulis buat, semoga bermanfaat. Dan akhirnya, kepada Allahlah kita memohon petunjuk. wallahu a’lam bissowab.  

b.      Saran

Melalui tulisan singkat ini penulis mencoba memberikan saran kepada setiap orang yang bergelut di bidang pengelolaan zakat untuk melakukan tugasnya secara optimal, agar penggunaan harta zakat tepat sasaran,

Kepada akademisi, untuk mengkaji ulang tulisan ini serta mengembangkannya agar lebih sempurna.

Saran dan masukan serta kritikan yang membangun sangat bermanfaat bagi kita semua, terutama penulis untuk perbaikan di kemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA



Al-Qur’an al-Karim

al-‘Ak , Syeikh Kholid Abdurrahman. Shafwah al-Bayan li Ma’aniy al-qur’an al-Karim Mudzayyilan bi Asbab Al-Nuzul li Al-Suyuthi. Dimasyq: Dar al-Basyaair, 1994.

al-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakar. Tafsir al-Jalalain j. 1. CV. Pustaka Assalam, tt.

 al-Thabariy, Muhammad ibn Jarir Ibn Yazid ibn Katsir ibn Galib al-Amiliy Abu Ja’far. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an j. 14 (tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir). Muassasah al-Risalah, 2000.

al-Tujibiy, Abu Yahya Muhammad ibn Shumadih. Mukhtashar min Tafsir al-Imam at-Thabariy. Kairo: Dar al-Manar lin-Nasyr wa at-Tauzi’, tt.

al-Zuhaili, Wahbah. al-Tafsir al-Wajiz ‘ala Hamisy al-Qur’an al-‘Azim. Dimasyq, Dar al-Fikr.

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.

Taufiq, Mohamad. Software Qur’an in Ms Word versi 2.2.00.  taufiq product, 2013.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Al-Jumanatul ‘Ali (Seuntai Mutiara yang Maha Luhur). Bandung: penerbit J-Art, 2005.


[1] Abu Yahya Muhammad ibn Shumadih al-Tujibiy, Mukhtashar min Tafsir al-Imam at-Thabariy (Kairo: Dar al-Manar lin-Nasyr wa at-Tauzi’, tt), hal. 196. Lihat Juga, Muhammad ibn Jarir Ibn Yazid ibn Katsir ibn Galib al-Amiliy Abu Ja’far al-Thabariy, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an j. 14 (tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir) (Muassasah al-Risalah, 2000), 305.
[2] Jalaluddin Muhammad ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakar al-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain j. 1 (CV. Pustaka Assalam, tt), 164.
[3] Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Wajiz ‘ala Hamisy al-Qur’an al-‘Azim (Dimasyq, Dar al-Fikr), 197.
[4] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Al-Jumanatul ‘Ali (Seuntai Mutiara yang Maha Luhur) (Bandung: 2005), penerbit J-Art, hal. 197 footnote nomor 660.
[5] Muhammad ibn Jarir Ibn Yazid ibn Katsir ibn Galib al-Amiliy Abu Ja’far al-Thabariy, Jami’ al-Bayan...., 311.
[6] Syeikh Kholid Abdurrahman al-‘Ak , Shafwah al-Bayan li Ma’aniy al-qur’an al-Karim Mudzayyilan bi Asbab Al-Nuzul li Al-Suyuthi (Dimasyq: Dar al-Basyaair, 1994), 196.
[7] Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Wajiz …, 197.
[8] Jalaluddin Muhammad ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakar as-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain...., 164.
[9] Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Wajiz …, 197.
[10] Muhammad ibn Jarir Ibn Yazid ibn Katsir ibn Galib al-Amiliy Abu Ja’far al-Thabariy, Jami’ al-Bayan...., 312-313.
[11] Jalaluddin Muhammad ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakar as-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain...., 164.
[12] Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Wajiz …, 197.
[13] Mohamad Taufiq, Software Qur’an in Ms Word versi 2.2.00  (taufiq product, 2013).
[14] Ibid.
[15] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 452-458.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar