Jumat, 21 Agustus 2015

PERNIKAHAN SEBAGAI SOLUSI ATAU AWAL TIMBULNYA MASALAH?

Hj.Rashda Diana, Lc

“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Qs An-nisa : 1)
            Demikianlah firman Allah yang menyerukan kepada hambanya agar menikah hingga membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
            Pernikahan adalah sebuah ikatan yang suci dan perjanjian yang kokoh, panggilan fitrah dan seruan syari’ah.
            Dengan pernikahan tercipta rasa cinta, kasih sayang dan ketenangan. Dengan pernikahan pula dihimpunkan jiwa yang kusut, dipersatukan hati yang tercerai dan diharapkan lahirnya angka keturunan yang alim shaleh.
            Pernikahan disyari’atkan oleh islam karena merupakan salah satu usaha untuk memelihara kemuliaan keturunan serta menjadi kunci kemasyarakatan. Maka dari itu adanya lembaga pernikahan merupakan suatu kebutuhan pokok umat manusia guna memelihara kedamaian dan keteraturan dalam kehidupan.
            Lembaga pernikahan merupakan suatu institusi islam yang secara alamiah dapat menyalurkan kebutuhan biologis manusia. Bila kebutuhan biologis itu dapat disalurkan secara benar, maka akan dapat mengantarkannya kepada ketenangan batin serta ketentraman jiwa, dan dapat memupuk rasa kasih sayang yang bertanggung jawab. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Ruum ayat 21
            Namun ada beberapa hal yang menyebabkan hilangnya urgensitas pernikahan dan melenyapkan sebagian berkahnya, diantaranya adalah munculnya kesalahan persepsi dalam memahami makna pernikahan dan terjadinya kelalaian dalam menempuh jalan menuju ke sana.
            Sesungguhnya medan pernihakan bukanlah semata menyuguhkan kenikmatan berupa syahwat belaka. Ia merupakan medan jihad yang agung, perlu pengorbanan dan perjuangan yang tidak sedikit. Diantara manusia yang berjuang didalamnya ada yang tidak kuat melanjutkannya, walhasil bukan syahid yang ia dapatkan, namun sebaliknya. Walaupun demikian tidak sedikit dari mereka yang berhasil dalam mencapai ridla Illahi, hingga mampu mewujudkan keluarga yang penuh dengan mawaddah wa rahmah.
            Perlu kita ketahui, bahwa kehancuran suatu bangsa berawal dari rusaknya tatanan rumah tangga masyarakatnya. Keluarga yang tidak terjaga keutuhan susunan organisasi rumah tangganya akan melahirkan anak yang tidak berkualitas karena memperoleh pendidikan yang tidak tepat dari keluarganya. Maka dari itu tidak ada bangsa yang kokoh dan diberkahi Allah SWT tanpa diawali dari keluarga yang diberkahi pula oleh Allah SWT.
            Untuk menuju keluarga atau rumah tangga yang diberkahi Allah SWT, perlu berbagai kesiapan dan ilmu pengetahuan yang cukup. Hal ini yang harus dimiliki oleh setiap individu yang akan berumah tangga, baik pria maupun wanitanya, sehingga masing-masing memahami apa hak dan kewajiban serta posisinya bila sudah berkeluarga. Sebab jika seseorang menikah, namun tidak tahu bagaimana harus memposisikan diri, maka rumah tangga adalah awal dari masalah.

A.    HUKUM PERNIKAHAN
Penikahan disyari’atkan dalam agama islam dan tingkatan yang paling rendah dari suatu hal yang disyariatkan. Hukumnya adalah harus atau boleh.
Bahkan jika direnungkan, akan ditemukan suatu kenyataan bahwa dalil-dalil syara’ tentang pernikahan tidak hanya sekedar menunjukan harus, bahkan menunjukan sunnah atau wajub.
Beberapa ulama mengatakan bahwa hukum menikah adalah fardlu ‘ain; berdosa orang yang meninggalkannya jika ia telah mampu melaksanakannya. Pendapat ini diuraikan oleh Ahli Zahir.[1]
Sedangkan Ibn Hazm berpendapat bahwa menikah hanya diwajibkan atas laki-laki, tidak ikut wanita.[2]
Pendapat yang mengatakan wajib adalah riwayat dari Ahmad, dan merupakan pendapat sebagian pengikut madzhab Hambali.[3]
Sebagian pengikut madzhab Syafi’i Iraq berpendapat bahwa menikah hukumnya fardlu kifayah, penduduk negeri boleh memerangi orang-orang yang tidak mau melaksanakannya.[4]


Beberapa orang yang mengatakan fardlu atau wajib ai’n atau wajib kifayah berdalil dengan nash-nash yang memerintahkan untuk menikah, seperti firman Allah SWT:
فانكحوا ماطاب لكم من النساء مثني وثلاث ورباع، فان خفتم الاتعدلوا فواحدة او ماملكت ايمانكم ( النساء : 3) .
وانكحوا الايامي منكم ( النور : 32)
Dan nikahkanlah orang-orang yang tidak mempunyai suami atau istri diantara kamu.
ِAdapun dalil dari As sunnah, sebagai berikut:
يا معشر الشباب, من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج, ومن لم يستطع فعليه بالصوم, فإنه له وجاء (رواه البخاري والمسلم).
Hai golongan pemuda, barangsiapa diantara kamu telah sanggup menikah, menikahlah karena menikah itu lebih menundukan mata dan lebih memelihara faraj(kehormatan, kemaluan) dan barang siapa tidak sanggup hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan syahwat.(HR.Bukhari dan Muslim).
لكني أنا أصلي وأًصوم وأفطر وأتزوج النساء, فمن رغب عن سنتي فليس مني (رواه البخاري والمسلم).
Tetapi aku sembahyang, tidur, puasa, berbuka dan menikah. Barang siapa tidak menyukai perjalananku(sunnahku) ia bukan umatku.(HR. Bukhari dan Muslim).
Berangkat dari dua ayat dan dua hadis tersebut, cukup jelas bahwa nikah disyariat kan oleh agama, sejalan dengan hikmah manusia diciptakan oleh Allah yaitu untuk memakmurkan dunia ini dengan jalan terpeliharanya perkembangbiakan ummat manusia. Adanya manusia sangat tergantung pada pengaturan pernikahan, karena dengan pernikahan terjadilah keturunan yang berkembang biak dan teratur sempurna berupa pengkeluargaan-pengkeluargaan yang sesamanya diikat oleh ikatan kasih sayang. Dari ikatan ini diaturlah semua urusan penghidupan, karena pekerjaan yang mesti dilakukan oleh bersama tidak akan mungkin dapat dilakukan oleh seseorang secara sendirian.
ومن اياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا اليها وجعل بينكم مودة ورحمة (الروم: 21).
من تزوج فقد أحرز شطر دينه, فليتق الله في الشطر الآخر.
  1. Kedudukan Hukum Asli Nikah
Dalam masalah hukum menikah dalam hukum menikah terdapat perbedaan  pandangan ulama dalam tiga pendapat:[5]
    1. pendapat pertama memandang bahwa menikah hukumnya wajib. Pendapat ini dipelopori oleh Daud az-Zuhaili, Ibnu hajm, dan imam ahmad menurut salah satu riwayat.
    2. Pendapat kedua ini mengatakan bahwa menikah, hukumnya sunnah. Demikian menurut imam abu hanifah dan imam ahmad menurut salah satu riwayat.
    3. Pendapat ketiga memandang bahwa menikah hukumnya mubah. Pendapat ini dipelopori oleh imam syafi’I.
  1. Hukum Nikah Ditinjau Dari Kondisi Seseorang
Selanjutnya, hukum menikah ditinjau dari kondisi seseorang sebagai berikut:
    1. Orang yang terlalu berkobar-kobar nafsunya terhadap wanita dan tidak dapat mengendalikannya sedang ia mempunyai kesanggupan untuk menikah, hukum menikah bagi orang ini adalah fardu karena kondisi seperti itu telah meyakinkan bahwa tanpa menikah ia pasti akan jatuh dalam perzinahan[6]. namun apabila sekedar dikhawatirkan akan terjadi perzinahan, maka hukum baginya wajib, ini menurut golongan hanafi. Sedangkan menurut pandangan madzhab lain, dalam kedua macam kondisi sifat orang tersebut hukum menikah baginya adalah wajib.
    2. Orang yang apabila menikah, dan ia yakin bahwa wanita calon istrinya tersebut akan menderita dan teraniaya bila di nikahinya, karena ia tidak mampu mengemban tanggung jawab, maka hukum menikah baginya adalah haram. Namun bila sekedar merasa khawatir bahwa calon istrinya itu akan teraniaya, maka hukumnya adalah makruh.
    3. Orang yang apabila menikah, ia sangat khawatir calon istrinya akan teraniaya, tetapi kalau tidak menikah ia khawatir akan terjerumus pada perzinahan, maka hukum menikah baginya adalah makruh.
    4. Orang yang keadaan hidupnya sederhana dan memiliki kesanggupan untuk menikah sedang ia tidak khawatir terjerumus pada perzinahan, jika ia mempunyai keinginan untuk menikah dengan niat menjaga diri atau dengan niat memperoleh keturunan, hukum menikah baginya adalah sunnah.

 B. Hikmah Pernikahan Dalam Pandangan Islam.
Motif-motif syariat islam memerintahkan umatnya untuk melaksanakan pernikahan adalah dengan tujuan untuk:
1.      Melestarikan keturunan
2.      Menjaga nasab (status)
3.      Menyelamatkan masyarakat dari dekadensi moral
4.      Sebagai wahana kerjasama suami-istri dalam penbentukan keluarga dan pendidikan anak
5.      Menyelamatkan masyarakat dari berbagai penyakit
6.      Memperoleh ketenangan rohani dan jiwa
7.      Membangkitkan rasa keibuan dan kebapakan
1.      Melestarikan Keturunan
Diantara pernyataan yang tak perlu diperdebatkan lagi bahwa pernikahan merupakan cara untuk mengembangkan keturunan manusia, faktor utama dalam kesinambungan dan keberadaannya sampai Allah mewariskan bumi dan isinya. Seperti yang dijelaskan di QS An-Nahl: 72 dan An-Nisa: 1
2.      Menjaga Nasab
Dengan pernikahan yang di syariatkan Allah, anak-anak akan mendapat kehormatan dengan kenasaban mereka kepada bapak-bapak mereka karena didalam nasab ini terkandung pengakuan diri mereka, kehormatan kemanusian dan kebahagian jiwa mereka.
Namun apabila pernikahan itu tak terwujud, maka keturunan sudah tidak ada kehormatannya. Dan ini merupakan noda besar bagi akhlak yang mulia, dengan demikian akan tersebarlah kerusakan secara meluas serta dekadensi moral dan penghalalan segala cara.
3.      Menyelamatkan Masyarakat Dari Dekadensi Moral
Dengan pernikahanlah masyarakat dapat selamat dari dekadensi moral, dan dengan pernikahan jualah masyarakat dapat menyelamatkan induvidu dari kebejadan sosial karena prilaku manusia dengan lawan jenis telah tersalurkan melalui pernikahan yang sah dan hubungan yang halal. ‘wahai kaum muda, barang siapa diantara kamu yang telah mampu menikah, menikahlah. Sesungguhnya menikah itu lebih dapat menundukan pandangan mata, dan lebih dapat menjaga kehormatannya. Maka barang siapa yang belum mampu hendaklah berpuasa, karena puasa itu merupakan pengekang syahwat baginya (HR jama’ah).
4.      Sebagai Wahana Kerjasama Suami Istri Dalam Pembentukan Keluarga Dan Pendidikan Anak.
Dengan pernikahan suami istri dapat menjalin kerjasama dalam menciptakan keluarga yang harmonis, mendidik anak dan menanggung beban kehidupan bersama. Saling bersinergi dalam menyempurnakan tugas dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan tabiat dan kodratnya.
5.      Menyelamatkan Masyarakat Dari Berbagi Penyakit
Dengan pernikahan, masyarakat akan terhindar dari berbagai penyakit yang membahayakan lagi menular, tersebar akibat perzinahan dan perbuatan najis serta kotor. Diantaranya: penyakit gonorhoe, bernanah, syphilis, dan aids.
6.      Ketenangan Rohani Dan Jiwa
Selanjutnya terjalinlah ikatan mawaddah warramah (cinta dan kasih sayang) antara suami istri yang semakin bertambah. Masing-masing merasakan ketenangan, kelembutan dan keramahan serta kebahagiaan di bawah naungan satu dengan yang lain.
7.      Membangkitkan Rasa Keibuan Dan Kebapakan
Dengan pernikahan, makin timbullah rasa kasih sayang orang tua terhadap anak dan bertambahlah rasa kecenderungan kepada buah hatinya. Setiap orang yang berakal sehat dan berpandangan benar, pasti akan menyakini bahwa perasaan-perasaan psychologis ini sangat perpengaruh pada pendidikan dan pembentukan watak anak demi kemaslahatan mereka dalam menyongsong masa depan yang mulia dan bahagia.



[1] Lihat Badau’u as-Shana’i 2/228 oleh Al Kassany dan Bidayatu Al Mujtahid 2/3 oleh Ibn Rusd
[2] Al Mahally 9/440-444, Ibnu Hazm.
[3] Lihat Al Mugny 9/340-341 oleh Ibn Qudamah
[4] Lihat Al Mugny al Muhtaj 3/125 oleh Asy-Syarbini
[5] Bidayah al-mujtahid,juz 2 Hal 2. Ibrahim Hoosen, fiqh Perbandingan: 132.
[6] Wahbah zuhaili, Al-Fiqhul Al islami wa Adillatuhu, Juz 9: 31 Ibrahim Hoosen, fiqh Perbandingan: 136 
     
      Baca Selengkapnya »      

Kamis, 20 Agustus 2015

PERJALANAN UMAR BIN KHATTAB

Di akhir kehidupan nabi, ada sebuah pesan takwa yang mengatakan bahwa barang siapa yang tidak ingin tersesat maka ikutilah kitab dan sunah. Kitab yang dimaksud adalah Quran, sunnah berarti segala perilaku nabi yang mencerminkan interpretasi Quran.
Diantara khulafaurrasyidin adalah Umar yang memiliki keberanian dalam berbagai hal, dia pada mulanya adalah seorang kafir yang sangat menentang kenabian Muhammad SAW, hanya karena adiknya yang telah menjadi muslimah terlebih dahulu membacakan ayat-ayat ilahi terbukalah hatinya untuk memeluk Islam. Semenjak itu dia mengakui bahwa Muhammad adalah benar-benar utusan Allah. Sejarah merekam bahwa Umar adalah sahabat yang memiliki loyalitas yang tinggi kepada rasulullah, dia juga tidak segan-segan mengajukan keberatan manakala rasulullah mengemukakan pandangan-pandangannya jika dirasa bahwa nabi bertindak atau berpikir atas kemauannya sendiri, bukan atas petunjuk langsung dari Allah.
Umar dilahirkan di Makkah tahun 40 sebelum hijrah. Sahabat-sahabat Umar adalah mereka para al-Qurra atau al-Huffadz. Diantara empat sahabat nabi Umar memiliki kreatifitas tersendiri. Pada masa akhir kepemimpinan Abu Bakar dia mengemukakan gagasan pembukuan Quran. Hal tersebut belum pernah dilaksanakan oleh rasulullah dan Abu Bakar merasa keberatan pula untuk melaksanakannya, namun karena desakan dan argumen-argumen yang cukup urgen demi keselamatan dan keutuhan Quran maka pembukuan Quran dilakukan dibawah pengawasan Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yang paling dekat dan paling mengetahui seluk beluk al-Quran. Maka muncullah naskah Quran yang pertama.
Pada masa kepemimpinan Utsman penyatuan Quran dilakukan, lagi-lagi dipimpin oleh Zaid. Maka secara formal mushaf yang dipakai adalah mushaf utsmani; yaitu Quran yang kita baca dan kita hayati sekarang ini. Dengan demikian keutuhan dan kesucian Quran terjaga karena usaha dan kesungguhan yang luar biasa.
Tidak diragukan lagi keutuhan Quran adalah warisan intellektual Islam yang paling berharga. Meskipun dinamakan mushaf utsmani namun ide awalnya muncul karena seorang Umar.
Contohnya adalah manakala Umar menemukan seorang pencuri, dia tidak menghukum qishash seperti yang tertulis dalam Quran yaitu potong tangan. 
Karena kreatifitas pemikirannya Umar diakui baik oleh para sarjana muslim ataupun non muslim, dia dikatakan sebagai orang kedua setelah nabi yang menentukan sejarah Islam. Namun kritik terhadapnya juga begitu banyak; Ibnu Taimiyah, seorang ulama, telah mencatat berbagai kesalahan Umar. Kaum Syi'ah telah mengklaim bahwa Umar adalah ahlul-bid'ah yang berbangga dengan penyelewengan yang dilakukannya. Namun perlu dicatat bahwa kritik terhadap Umar ini muncul setelah wafatnya, jadi tiada lain kecuali mereka telah mengadakan pengadilan 'inabsensia' yang tidak menemukan hasil, meskipun mereka mengkritik dan mencatat berbagai kesalahan Umar namun tetap para intellek mengakui bahwa Umar berada di posisi penting dalam sejarah Islam.
Terlepas dari pandangan negatif terhadapnya perlu dicatat bahwa Islam mencapai masa keemasannya di zaman Umar, dia tidak hanya menangkap ruh-ruh Islam secara menyeluruh, dia berhasil membawa kaum muslimin menuju pintu demokrasi dan sosialitas.
Keadaan masyarakat pada saat itu terlihat sangat memiliki keimanan yang tinggi terhadap Quran dan sunnah. Wujud penjiwaan mereka terhadap keduanya sangat terlihat dalam dinamika kehidupan sosio-kultural. Seorang pemimpin memang benar-benar seorang pemimpin yang berjalan diatas norma-norma Islam; dapat memimpin dirinya, keluarganya dan masyarakat Islam secara keseluruhan.   
Umar bukan seorang yang bergelimang harta benda, dia orang biasa yang tidak seperti orang biasa. Ada sebuah cerita yang mengatakan bahwa utusan raja Romawi dengan rombongannya datang memasuki kota madinah hendak menemui Umar. Dia bertanya "dimana istana Umar?" seorang muslim menjawab: "anda hendak bertemu sayyidina Umar?, dia sedang berbaring disana", ternyata orang yang berbaring di atas lantai masjid nabi tanpa alas adalah sayyidina Umar. Memang dia adalah orang yang sederhana dan tidak royal layaknya raja-raja lain yang bergelimang harta, tahta dan wanita. Namun sangat disayangkan, Umar harus mati terbunuh pada saat menjadi imam shalat oleh Feroz alias Abu Lu'lu. Wallahu a'lam Bisshawab

     
      Baca Selengkapnya »