Senin, 27 Februari 2017

ISLAM DAN DEMOKRASI


ISLAM DAN DEMOKRASI

Oleh : M. Abu Arif Aini, S.Ag., M.Pd.





I



Sepintas, mencari keterkaitan antara Islam dan demokrasi tidaklah mudah, sebab demokrasi berlandaskan pada otoritas masyarakat sebagai penentu kebijakan dan hukum, sementara Islam mempunyai doktrin bahwa otoritas dan kebijakan di tangan Tuhan. Islam juga mempunyai ajaran yang mengharuskan setiap pemeluknya untuk menerapkan hukumnya di manapun dan kapanpun.  Islam  adalah sebuah agama, demokrasi adalah idiologi. Agama dan idiologi merupakan dua entitas yang berbeda, meskipun bisa terjadi akulturasi nilai-nilai antara keduanya.   Sementara itu, ada dua problem tentang hubungan antara agama dan demokrasi. Pertama, masalah filosofis yakni jika klaim agama terhadap pemeluknya sedemikian total maka akan menggeser otonomi dan kemerdekaan manusia yang berarti juga menggeser prinsip-prinsip demokrasi. Kedua, masalah historis-sosiologis, ketika kenyataannya peran agama tidak jarang digunakan oleh penguasa untuk mendukung kepentingan politiknya. Kedua masalah tersebut sering terjadi secara bersamaan, hanya saja masalah yang kedua bisa saja terjadi dalam hal apapun, sebab yang namanya legitimasi bisa diperoleh dengan cara apapun termasuk dengan menggunakan agama dan simbol-simbol lainnya. Yang cukup krusial dibicarakan adalah masalah kedua, sebab hal ini tidak hanya menyangkut transformasi pemahaman dan kesadaran keagamaan, tetapi juga kultur dan prilaku politik umat.  Jika spekrum masalah masih muncul ketika mengkaitkan agama dengan demokrasi, dikalangan sebagian umat Islam, Jelas ini satu problem.

Problem berikutnya adalah masih terdapat varian sikap dan beragam perspektif terhadap nilai-nilai demokrasi, yang berintikan kedaulatan rakyat. Mengingat terkadang rakyat sendiri tidak menyadari bahwa di tangannya itu ada kedaulatan, seperti kebanyakan rakyat negara-negara feodal. Masih terdapat rakyat yang tidak lagi memandang perlunya kedaulatan yang ada di tangannya, kerena apa yang menjadi kepentingannya toh sudah terpenuhi, seperti terjadi pada sebagian cukup besar kalangan menengah bawah di Amerika dan negara-negara Barat lainya. Ada banyak  rakyat semakin tidak percaya bahwa kedaulatan yang ada di tangannya bisa punya arti bagi perbaikan nasibnya, seperti terjadi juga di Amerika untuk kalangan kelas bawah jelata.  Jika di Amerika sendiri ---yang mengklaim sebagai negara kampium demokrasi--- "wajah" demokrasi dan kesadaran sebagian rakyatnya belum merefleksikan bagaimana demokratisasi yang das sollen, bagaiman halnya dengan Indonesia ?

Belum lagi, bila secara filosofis dipertanyakan : siapa rakyat yang dimaksud ? Jawaban teoritis, "semua warga negara adalah rakyat", tapi pada tataran empirik selalu saja akan terbentur pada kenyataan bahwa rakyat itu ada yang di lapis atas yang kuat dan dekat dengan pusat kekuasaan, ada yang di bawah yang lemah dan jauh dari pusat pengambilan keputusan, di samping itu tentu ada yang di tengah menjadi yang tidak dekat tetapi juga tidak terlalu jauh. Dalam ungkapan seharai-hari, "warteg warung rakyat, bis kota angkutan rakyat"  jelas yang dimaksud dengan kata-kata rakyat adalah mereka yang ada di lapis bawah.Tapi ketika diucapkan "kekayaan alam, bumi dan laut dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat", yang dimaksud dengan rakyat ternyata berbeda dengan yang tersebut diatas.

Kalau diamati secara elaboratif, Islam sebagai ajaran normatif dalam banyak hal mempunyai singgungan terhadap nilai fundamental dari demokrasi, sehingga interaksi antara keduanya bisa saling mendukung. Terdapat nilai-nilai Islam yang juga menjadi prinsip-prinsip dasar demokrasi, kerenanya keberadaan Islam bisa menjadi inspirasi bagi demokratisasi. Paparan berikut, mencoba menjelaskan fotret pemahaman umat Islam tentang nilai-nilai demokrasi serta keterkaitannya dengan nilai-nilai Islam.





II





Isu dan diskursus demokrasi mencuat secara mondial hampir bersamaan waktunya dengan munculnya revolusi industri. Hal ini barangkali bukan kebetulan, karena adanya revolusi industri telah menimbulkan berbagai perubahan ---baik dalam lingkup keluarga, hubungan kerja, kehidupan menjadi lebih bersifat individualistik--- yang memerlukan tatanan sosial baru yang harus dikembangkan berdasarkan nilai-nilai humanistik. Demikian pula ada hubungan perubahan yang sistematis antara pelaksanaan demokrasi dan tingkat kemakmuran suantu bangsa. Semakin makmur suatu bangsa, semakin demokratis bangsa tersebut.

Asal usul demokrasi dapat ditelusuri historisnya pada zaman Yunani yang mencoba membentuk negara untuk menjawab pertanyaan bagaimana suatu sistem politik harus diorganisir sehingga bisa mensejahterakan warganya. Pada era modern, demokrasi terkenal bersamaan meletusnya revolusi Prancis untuk membebaskan rakyat dari sistem politik otoriter, dengan semboyannya : liberte, egalite, dan fraternite. Semboyan tersebut memberi  inspirasi bagi perkembangan demokrasi sesudahnya ke  berbagai penjuru dunia. Di Amerika Serikat, sosok demokrasi menjadi lebih jelas dengan semboyannya : government of the people, by the people, and for the people. Dalam perkembangan lebih lanjut, muncul berbagai varian demokrasi yang menunjukkan bahwa demokrasi itu sendiri merupakan konsep universal tetapi tumbuh berkembangan secara dinamis berakulturasi dengan nilai-nilai lokal dan sesuai kondisi setempat. Misalnya, demokrasai libral di negara-negara kapitalis, demokrasi sosialis pada masyarakat komunis, dan di Indonesia sendiri menjadi demokrasi terpimpin pada zaman orla dan demokrasi pancasila di era orba.

Demokrasi sendiri mengandung nilai-nilai universal yang sebenarnya juga terkandung dalam idiologi dan ajaran manapun, seperti persamaan, keadilan, HAM, toleransi dan pluralisme. Hanya saja dalam tataran praktek, demokrasi yang mempunyai akar historis dari Barat, sering kali harus dibenturkan dengan Islam. Benturan itu terjadi disamping karena dipandang ada perbedaan otoritas dan sumber legitimasi, juga karena sudah terbangun konstruk pemikiran dikotomis antara Islam dan Barat di kalangan sebagian umat Islam sendiri. Watak holistik Islam menyebabkan umat Islam begitu yakin atas keharusan Islam menjadi alternatif yang paling unggul dari ajaran dan idiologi lain, termasuk dalam hal sistem politik.

Permasalahannya kemudian terletak pada corak pemikiran umat Islam mana yang dapat mengantarkan pada hubungan yang harmonis antara Islam dan demokrasi. Pada wilayah inilah pemahaman umat Islam akan teruji, terutama pensikapannya terhadap tiga pilar demokrasi, yakni kebebasan, keadilan dan musyawarah. Yang dimaksud kebebasan di sini adalah terbukanya peluang kepada semua orang dan berarti pula hak untuk mengatur ekonomi atau kemandirian diri orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya sendiri sesuai apa yang dia yakini.  Keadilan, berarti pemberlakuan secara sama terhadap individu atau pun kelompok dihadapan kekuasaan negara, atau jaminan hak-hak individu warga negara atau hak kolektif dari masyarakat dihadapan hukum.  Adapun musyawarah (syura) berarti bentuk atau cara memelihara kebebasan dan memperjuangkan keadilan itu lewat jalur permusyawaratan.

Pemaknaan yang paling sederhana terhadap demokrasi, khususnya Indonesia, adalah pengembangan sikap dan pemikiran moderat dan toleran. Karenanya mengharuskan umat Islam Indonesia mempunyai prinsip-prinsip yang dipegangi, yaitu prisip berada di tengah-tengah (tawassuth), sikap keseimbangan (tawazun), toleran (tasammuh) dan adil (i'tidal). Prinsip-prinsip ini harus dipegangi dan menjadi anutan sehingga dapat menunjukkan kepada tindakan-tindakan yang lebih baik dalam kehidupan. Cara pandang toleran dan moderat perlu menjadi pegangan karena segala kebaikan itu pasti terdapat diantara dua ujung ekstrimitas (tatharruf).

Prinsip toleransi menjadi kata kunci bagi kultur demokrasi, khusunya toleransi terhadap perbedaan pendapat, baik dalam masalah keagamaan maupun kemasyarakatan dan kebudayaan. Hal ini pada gilirannya akan bermuara pada sikap amar makruf nahi munkar yang di sini didefinisikan sebagai "selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan". Sikap moderat merupakan ajaran Islam dan Islam tidak membenarkan ekstremisme dan sikap berlebih-lebihan. Penyimpangan dari karakteristik tawassuth dan i'tidal inilah yang menimbulkan aliran sempalan , yakni aliran-aliran dalam Islam yang keluar dari kesepakatan bersama. Islam juga menekankan arti penting persaudaraan, baik persaudaraan seiman (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan sesama warga negara (ukhuwah wathaniyah) dan persaudaraan antar sesama manusia (ukhuwah basyariyah).

Demokrasi sebagai sebuah gagasan yang mengusung prinsip kebebasan, kesetaraan dan kedaulatan manusia dalam penentuan keputusan prihal urusan bersama, secara mendasar sejalan dengan ajaran Islam. Hal tersebut diukur dari dua hal, pertama, pada Islam terdapat ajaran tentang nilai-nilai kehidupan yang harus dijadikan acuan, yaitu (1) al-musawwah, atau persamaan derajat manusia dihadapan Allah, bahwa yang membedakan seseorang dari yang lain adalah amal perbuatannnya (QS. 49 :13),  (2) al-hurriyyah, kemerdekaan atau kebebasan, atau atas nama pertanggungjawaban moral dan hukum oleh setiap individu ditegakkan, baik di dunia maupun di akhirat (QS. 52 : 21),   (3) al-ukhuwah, persaudaraan sesama manusia sebagai suatu spesies yang diciptakan dari bahan yang sama dan terlahir dari ibu dan bapak yang sama (QS. 2 : 213),  (4) al-'adalah, keadilan yang berintikan kepada pemenuhan hak-hak mansuia sebagai individu maupun sebagai warga masyarakat/negara (QS.  16 : 90);          (5) al-syura, dimana setiap warga masyarakat berhak atas partisipasi dalam urusan publik yang menyangkut kepentingan bersama (QS. 42 : 38).

Kedua, kompatibilitas Islam dan demokrasi juga dilihat pada ajaranya tentang hak-hak fundamental yang harus diusahakan pemenuhannya oleh diri sendiri maupun negara yang meliputi :

a.    Hak hidup (       (حفظ النفس

Merupakan jaminan dasar akan keselamatan warga masyarakat atas tindakan badani di luar ketentuan hukum. Jaminan akan keselamatan fisik warga msyarakat mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil terhadap semua warga masyarakatnya tampa kecuali, sesuai dengan hak masing-masing. Hanya dengan kepastian hukum lah sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antara sesama warganya, sedangkan kedua jenis persamaan itulah yang menjamin terwujudnya keadilan sosial dalam arti sebenar-benarnya.



b.    Hak beragama atau berkeyakinan (حفظ الدين)

Merupakan jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing, tampa ada paksaan untuk berpindah agama. Jaminan dasar atas keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antar warga masyarakat atas dasar sikap saling hormat menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya krangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan sejarah  dengan penindasan, kesempitan pandangan dan kezaliman terhadap kelompok minoritas yang berbeda keyakinan agamanya dari kelompok mayoritas. Sejarah umat manusia membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah bagian inherent dari kehidupan manusia.  Sikap toleransi lah yang mendorong terjadinya transformasi sosial dalam skala massif sepanjang sejarah. Bahkan sejarah agama membuktikan munculnya agama sebagai dobrakan moral atas kungkungan ketat dari pandangan yang dominan, yang berwatak menindas, seperti dibuktikan oleh Islam dengan dobrakannya atas ketidakadilan wawasan hidup jahiliyah yang dianut mayoritas orang Arab waktu itu. Dengan tauhid, Islam menegakkan penghargaan terhadap perbedaan pendapat dan heteroginitas keyakinan. Jika perbedaan pendapat dapat ditolerir dalam hal yang paling mendasar seperti keimanan, tentunya sikap tenggang rasa lebih lagi diperkenankan dalam mengelola perbedaan pandangan politik dan idiologi.



c.    Hak untuk berfikir dan berprofesi ((حفظ العقل

Jaminan akan kebebasan berfikir sebagai konsekuensi dari jaminan akan pilihan bebas untuk menganut agama sesuai keyakinan. Demikan pula halnya dengan kebebasan dalam menentukan profesi sesuai skill, peluang dan pengetahuannya, merupakan refleksi dari kebebasan berfikir. Penghargaan kepada kebebasan memilih profesi berarti kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan atas resiko sendiri, mengenai keberhasilan yang ingin diraih dan kegagalan yang membayanginya. Itu berarti peluang untuk menentukan arah hidup lengkap dengan tanggung jawabnya sendiri, tentunya tetap dalam bingkai alur umum kehidupan masyarakat. Artinya, harus tetap ada keseimbangan antara hak-hak individu dalam menentukan profesinya, berdasarkan kebebasan berfikir dan berkeyakinan, dengan kebutuhan masyarakat.



d.    Hak milik individu ((حفظ المال

Jaminan dasar akan keselamatan hak milik diletakkan secara proporsional dalam kaitannya dengan hak-hak kolektif masyarakat. Masyarakat dapat menetapkan kewajiban-kewajiban kolektif bagi setiap individu sampai batas terjauh kemampuan mereka dan tampa menghilangkan hak-hak yang melekat bagi setiap diri masing-masing warga masyarakat. Dengan demikian warga masyarakat secara perorangan memiliki peluang dan sarana untuk mengembangkan diri melalui cara dan pola yang dipilihnya sendiri, namun tetap dalam krangka alur umum kehidupan masyarakat.  



e.    Hak untuk memiliki garis keturunan dan keutuhan keluarga ((حفظ النسل    

Kesucian dan keutuhan keluarga harus dilingdungi oleh adanya kepastian hukum, karena keluarga merupakan ikatan sosial paling dasar. Keluarga tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam bentuk  apapun oleh sistem kekuasaan yang ada. Dalam kelompok masyarakat lebih besar, selalu ada kecenderungan untuk melakukan formalisasi ajaran secara berlebihan, sehingga menindas kebebasan individu dan mempersempit ruang gerak individu warga masyarakat dalam melakukan eksperimentasi dengan pandangan hidupnya sendiri dan untuk menguji garis batas kebenaran keayakinan.  Islam memberikan kebebasan untuk melakukan upaya perbandingan antara berbagai keyakinan, termasuk keimanan kita, untuk membuktikan keampuhan konsep keimanan sendiri. Disamping kebenaran yang dapat diraih melalui pengalaman esoteris, Islam juga memberi peluang bagi pencapaian kebenaran melalui proses dialektis. Justru proses dialektis inilah yang memerlukan derajat  toleransi sangat tinggi dari pemeluk suatu keyakinan, dan Islam memberikan wadah untuk itu, yaitu lingkungan masyarakat terkecil yang bernama keluarga.



III



Bertolak dari komitmen untuk melindungi hak-hak kemanusiaan inilah, Islam mencanangkan keseluruhan syari'at dan aturan-aturan normatif dan etiknya. Dari masing-masing hak dasar tersebut, tentunya dapat dipahami kemestian adanya hak-hak lain yang sangat erat terkait yang menyertainya. Perlindungan hak hidup atau keselamatan fisik tidaklah mungkin dipenuhi tampa dukungan oleh hak membela diri, hak bebas dari ancaman, hak bebas dari penyiksaan sewenang-wenang, hak atas lingkungan yang sehat dan sebagainya. Juga hak kebebasan berfikir sangat erat terkait dengan hak memperoleh pendidikan dan informasi, hak mengemukakan pendapat dan seterusnya. Demikian pula hak atas kepemilikan pribadi secara eksistensial terkait erat dengan hak memperoleh pekerjaan dengan upah yang layak dan adil, hak bebas dari penggusuran sewenag-wenang dan sebagainya.

Pemberlakuan hak-hak tersebut dalam pandangan Islam terbuka untuk semua pihak yang berkepentingan tampa melihat perbedaan agama, budaya, suku bangsa, adat dan sebagainya, karena Islam sendiri datang sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin).  Dengan demikian tidak ada konsep dan pandangan yang paling demokratis dan humanistik selain pandangan Islam mengenai kebebasan, keadilan, persamaan, HAM, toleransi, pluralisme dan musyawarah, juga jaminan Islam tentang lima hak-hak fundamental manusia, yakni hak hidup, hak beragama dan berkeyakinan, hak berfikir bebas dan memilih profesi, hak milik pribadi, serta hak untuk memiliki keturunan dan keutuhan keluarga. Tinggal soal bagaimana fotret implementasinya di lapangan, mari kita diskusikan.



BAHAN BACAAN





1)            Al-Ahkam Al-Sulthaniyah  karya  Imam Almawardi

2)            Al-Mustasyfa karya Imam Gazali

3)            Kontekstulisasi dokterin Islam dalam sejarah editor Nurcholish Madjid.

4)            Agama, demokrasi dan transformasi sosial editor M. Masyhur Amin dan M. Nadjib.

5)            Islam Indonesia menatap masa depan  terbitan  P3M Jakarta.

6)            Humanisme dalam Islam karya Marcel A. Boisard

7)            Islam doktrin dan peradaban karya  Nurcholish Madjid

8)            Membumikan Islam oleh  M. Syafi'i  Ma'arif

9)            Kontekstualisasi Al-Qur'an oleh  K.H. Umar Syihab.

10)       Fikih Sosial  oleh  K.H. Sahal mahfudz.

11)       Agama di tengah kemelut  editor  Hasan M. Noer.

12)       Rekonstruksi dan renungan relegius Islam  editor Muhammad Wahyuni Nafis.

13)       Islam tradisi di tengah kancah dunia modern  kerya Sayyed Hossein Nasr.

14)       Agama di tengah sekulerisasi politik oleh Donald Eugene Smith.

15)       Rekayasan masa depan peradaban muslim  oleh Ziauddin Sardar.
     
      Baca Selengkapnya »      

Sabtu, 25 Februari 2017

Download IDM terbaru (IDM 6.27 build 05) Full Version


Hello teman-teman, apa kabar? baik-baik saja kan?....
ketemu lagi nich.......
Bagi teman-teman yang ingin meng-upgrade IDMnya ke versi yang terbaru, telah muncul IDM versi 6.27 build 05. bagi yang berminat silahkan didownload di blog yang tercinta ini.
Oke, tanpa basa-basi silahkan didownload programnya di sini.
     
      Baca Selengkapnya »      

DAKWAH TRANSFORMATIF (Persfektif Perubahan Sosial dan Budaya Masyarakat)


DAKWAH TRANSFORMATIF

(Persfektif Perubahan Sosial dan Budaya Masyarakat)



Oleh : M. Abu Arif Aini, S.Ag.,M.Pd





I





Secara dikotomis, kita terbiasa membagi model dakwah menjadi dakwah bil liasan dan dakwah bil hal. Masdar F. Mas'udi, menyebut yang pertama sebagai dakwah dengan kalam yang terlalu verbal dan mengutamakan cuap-cuap yang sering kali hanya kosong. Sedang yang kedua disebutnya dakwah dengan sikap, dengan amaliah nyata alias action1). Repotnya, dua model dakwah yang idealnya berjalan seimbang itu, cenderung timpang. Yang pertama berkembang pesat di tengah umat, sementara yang kedua tertatih-tatih. Ini jelas satu problem.

Peroblem lainnya, ada semacam kerancauan paradigma dalam konsep dakwah kita selama ini, baik dakwah bil lisan maupun dakwah bil hal. Yakni kecenderungan untuk menjadikan umat sebagai obyek dakwah yang pasif, yang harus dituntun karena kedho'ifan dan potensinya bertindak jahil, maka para da'i dan institusi dakwah, lantas bertindak sebagai penjaga garis agar umat tetap berpijak pada jalan lurus. Meminjam istilah Mansour Fakh, proses dakwah selama ini cenderung mengarah pada konsep 'komunikasi ala bank'. Masyarakat diibaratkan wadah kosong yang harus diisi dengan seperangkat keyakinan, nilai moral serta praktik kehidupan agar disimpan dan dikeluarkan sewaktu dibutuhkan2).

Akibatnya, para da'i jadi subyek aktif, dan umat sekedar obyek pasif. Wajar jika umat kemudian mengidentifikasikan da'i sebagai prototype manusia ideal. Ini kemudian diperkokoh kultur masyarakat yang cenderung paternalistik. Pola hubungan seperti ini melahirkan tolok ukur yang serba kuantitatif dan formal. Di mana keberhasilan dan kegagalan dakwah dilihat dari ukuran laris tidaknya da'i, sedikit banyaknya pengunjung dan sebagainya.

Jelas yang diuntungkan dari proses dakwah model ini adalah da'i yang secara sosial, politik dan  ekonomis menjadi elite. Sementara umat yang menjadi obyek dakwah tetap terpuruk, sulit bangkit dan tak mampu mengubah keadaan. Karena yang diberikan da'i kepada mereka, kata Soetjipto Wirosardjono3), hanyalah "obat bius".







II



Pola dakwah seperti ini akan berimplikasi kepada proses dehumanisasi, menafikan kemanusiaan dan menguntungkan sekelompok kecil elite masyarakat. Padahal secara historis dakwah justru mengakar pada humanisasi, praktek pengembangan kemanusiaan.  Itu sebabnya, isu dakwah yang mula-mula dicanangkan Rasulullah adalah tauhid dalam pengertian hubungan antara kelas masyarakat kuat dan lemah, penindas dan tertindas. Tak heran bila ayat-ayat Makkiyah tajam mengkritik segala bentuk akumulasi kekayaan dan eksploitasi ekonomi seraya mengancam pelakunya yang tidak punya kepedulian sosial. Maka yang diuntungkan dari sana, dengan beberapa pengecualiaan, adalah lapisan termiskin dan terlemah dari masyarakat Makkah4).

Jelas, bahwa gerakan dakwah yang di emban Rasulullah adalah gerakan menuju transformasi sosial. Dakwah dijabarkan sebagai gerakan pembebasan dari eksploitasi, dominasi, penindasan serta ketidak adilan dalam semua aspeknya. Dari sanalah kemudian terbentuk masyarakat yang punya kecanggihan sosial dan kapasitas politik amat modern dimasanya, yang oleh Nurcholish Madjid dengan meminjam istilah Robert N. Bellah disebut memiliki ciri-ciri terbuka, demokratis dan partisipatif5). Patut disayangkan, ciri-ciri modernitas tadi berangsur-angsur lenyap pasca Rezim Umayyah yang tertutup dan otoriter, karena belum kokohnya prasarana penopang.

Maka dalam konteks sosio-kultural proses dakwah harus mampu mengembalikan humanisasi umat yang telah lama runtuh dan terjebak suasana fatalistik. Proses dakwah sebagai gerakan pemanusiaan mesti dikembalikan pada kesadaran bahwa tak seorang pun boleh merasa berhak menjadi da'i. Sebaliknya, masyarakatlah yang harus menjadi da'i bagi mereka sendiri. Ini jauh dari pemahaman bahwa masyarakat yang lemah harus menjadi sasaran transfer pengetahuan dan nilai-nilai kelompok yang lebih kuat. Sebab itu, dakwah hendaknya diarahkan menuju proses dialog untuk menumbuhkan kesadaran akan potensi masyarakat sebagai makhluk kreatif, yang berkemampuan mengelola diri dan lingkungannya. Dengan begitu, esensi dakwah bukan mencoba merubah masyarakat, tetapi menciptakan kesempatan bagi masyarakat untuk merobah diri lewat kesadaran dan pemahaman terhadap masalah yang dihadapi mereka6). Konsep ini sejalan dengan pernyataan wahyu bahwa Allah tidak akan merubah keadaan sebuah masyarakat sampai mereka sendiri merubahnya7).

Untuk itu dalam rangka melahirkan masyarakat dakwah dimana masyarakat berperan sebagai subyek bukan obyek, dibutuhkan munculnya da'i partisipatif, yang mampu memfasilitasi masyarakat untuk memahami masalah, menyatakan pendapat, merencanakan dan mengevaluasi transformasi sosial yang mereka kehendaki dan akhirnya masyarakat pula yang menikmati hasilnya. Muhammad Jalauddin al-Qosimy menilai, da'i tipe ini memegang peranan penting dalam upaya mengentaskan masyarakat dari kejahilan dan penindasan, karena tanggungjawabnya tak terbatas pada pribadinya saja melainkan pada masyarakatnya8).

Karakteristik da'i tipe tersebut ditandai dengan adanya hubungan saling menghargai antara da'i dan masyarakat. Isu sentralnya adalah masyarakat dan pengalamannya, bukan da'i dan persepsinya. Materi dakwahpun berpijak pada pengalaman masyarakat, bukan sesuatu yang disodorkan dari luar kepada mereka untuk diinternalisasikan9). Dari situlah, masyarakat didorong untuk memiliki kesadaran kritis memandang kehidupan serta memperbaiki keadaan.





III



Jika disepakati bahwa dakwah mengarah pada proses humanisasi masyarakat secara sosio-kultural, maka strategi yang dapat  dijadikan alternatif ialah menambahkan pendekatan peran serta (partisipatif) untuk menyempurnakan konsep dakwah selama ini. Dengan begitu bisa diharapkan lahirnya dakwah yang bukan sekedar tablighul ayah (penyampaian pesan-pesan agama), melainkan bina'ul mujtama' (pembangunan masyarakat). Dalam hal ini peran da'i hanyalah sebagai fasilitator yang mengantarkan masyarakat agar mampu menciptakan kondisi yang mereka idamkan. Merekalah yang bertindak merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi dan akhirnya menindaklanjuti keseluruhan proses dakwah tersebut. Nilai-nilai yang mendasari dakwah tersebut bukan nilai orang lain atau da'i, tetapi nilai-nilai yang hidup dilingkungan mereka sendiri yang bersumber dari ajaran agama mereka sendiri. Dengan begitu, mereka berperan menjadi da'i untuk diri sendiri.

Dalam konteks melenium ketiga ini, dimana masyarakatnya sudah demikian kritis, maka yang diperlukan ialah dakwah yang berorientasi transformasi sosio-kultural dengan pendekatan partisipatif. Intinya adalah bagaimana mewujudkan tujuan dakwah, yang tak lain ialah pengembangan potensi fitrah dan fungsi khilafah kemanusiaan dalam rangka membentuk nizhamul hayat (system kehidupan sosial) yang diridhi Allah10). Tujuan tersebut tak mustahil dicapai karena seperti diungkapkan Cak Nur mengutip analisis Marshall G.S. Hudgson, kemengangan Islam di Jawa khususnya dan di Indonesia umumnya, begitu sempurna dengan adanya banyak kompromi antara ajaran-ajaran Islam dengan unsur-unsur budaya lokal11). Dengan demikian strategi dakwah masa depan perlu mengagendakan beberapa hal, antara lain :

Pertama, Mendasarkan proses dakwah pada pemihakan terhadap kepentingan masyarakat. Itu berarti penolakan segala bentuk dakwah untuk kepentingan lain.

Kedua, mengintensifkan dialog dan keterlibatan masyarakat guna membangun kesadaran kritis untuk memperbaiki keadaan.

Ketiga, memfasilitasi masyarakat agar mampu memecahkan masalahanya sendiri serta melakukan transformasi sosial yang mereka kehendaki. Jadi bukan sekedar mengurai masalah masyarakat supaya dipecahkan pihak lain.

Keempat, menjadikan dakwah sebagai media pendidikan dan pengembangan potensi masyarakat, sehingga dengan demikian masyarakat akan terbebas dari kejahilan dan kedha'ifan. Semoga !!!







CATATAN



1)        Masdar F. Mas'udi, "Dakwah, Membela Kepentingan Siapa" dalam Pesantren, No. 4/Vol.IV/1987, hal. 2.

2)        Lihat, Mansour Fakih, "Dakwah : Siapa yang diuntungkan ?" dalam Pesantren, No. 4/Vol.IV/1987, hal 9.

3)        Lihat, Soetjipto Wirosardjono, "Potensi dalam Kesenjangan" dalam Pesantren, No.4/Vol.IV/1987, hal. 3.

4)        Fakih, Op.Cit., hal. 11.

5)        Lihat, Nurcholish Madjid, "Akar Islam beberapa segi budaya Indonesia dan kemungkinan pengembangannya bagimasa depan bangsa", dalam Nurchlish MAdjid, Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan, Mizan, Bandung, 1994, hal. 63.

6)        Fakih, Op.Cit., hal. 11.

7)        Lihat, Al-Qur'an surat 13 ayat 11.

8)        Lihat, Muhammad Jalaluddin al-Qasimy, Mau'izat al-Mu'minin, Jilid I, Dar al-Fikr, Beirut, tampa tahun, hal. 4.

9)        Fakih, Loc.Cit.

10)    Lihat, M. Nasir, "Dakwah dan Tujuannya". Dalam Forum Dakwah, Kumpulan hasil seminar Dakwah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Pusat Dakwah Islam Indonesia, Jakarta, 1971, hal. 364.
11) Madjid, Op.Cit., hal : 67-68.
     
      Baca Selengkapnya »      

Rabu, 22 Februari 2017

POLIGAMI DALAM PANDANGAN LIBERAL DAN ULAMA


POLIGAMI DALAM PANDANGAN

LIBERAL DAN ULAMA

Abdul Rohman Shobari[1]

A. Pendahuluan

Sebagai sebuah istilah maupun realitas empiris, Poligami,[2] telah lama terkurung dalam wilayah perdebatan yang tidak ada habis-habisnya. Jika diteliti, pemicu sebetulnya bukanlah terletak pada ke-dhannî-an (ketidaktegasan) dalil mengenai kebolehannya, tetapi lebih banyak didorong oleh sejumlah kepentingan pihak tertentu atau buruknya praktik poligami yang ditunjukkan oleh pasangan yang berpoligami. Hal inilah kemudian dijadikan sebagai jastifikasi (pembenar) oleh sebagian kalangan untuk menolak keabsahan poligami sebagai sebuah realitas hukum Islam.

Bahkan, kalangan Islam Liberal, termasuk kaum feminis, memandang poligami sebagai salah satu bentuk penindasan atau tindakan diskriminatif atas perempuan. Bagi Abdullah Ahmed Na‘im "poligami" adalah diskriminasi hukum keluarga dan perdata, dengan asumsi yang dia bangun "laki-laki muslim dapat mengawini hingga empat perempuan dalam waktu bersamaan, tetapi perempuan hanya dapat kawin dengan seorang laki-laki.[3] Jika An-Naim menganggap poligami, sebagai penindas perempuan, Amina Wadud Muhsin menganggap bahwa poligami sebagai tindakan non Qur'ani dan dianggap upaya mendukung nafsu tak terkendali kaum pria".[4] Lain pula dengan Mahmud Muhammad Thaha mengatakan :"Bahwa poligami bukan ajaran dasar Islam.[5] Dan tidak ketinggalan tokoh Feminis Liberal Indonesia, ikut andil melontarkan penolakan terhadap praktek pernikahan poligami, dengan alasan Nabi melarang keinginan 'Ali berpoligami.[6]

Dari pandangan dan tuduhan miring perlu kita dudukkan secara benar, pertama : Kalau poligami dianggap diskriminatif atas perempuan, karena laki-laki bisa mengawini hingga empat perempuan, sedangkan perempuan tidak bisa. Mengapa Islam tidak membolehkan perempuan mengawini lebih dari satu?. Ketika perempuan mempunyai beberapa suami kemudian dia melakukan hubungan seks, dengan setiap suaminya, kemudian dia hamil. Bagaimanakah, wanita itu bisa menentukan ayah anak yang dikandungya.[7] 

Kedua : Bukan poligami yang tidak Qur'ani[8], tetapi perzinaan[9] dan perselingkuhan yang tidak Qur'ani, Nafsu yang mana yang tidak terkendali? Orang pezina yang tak terkendali nafsunya ataukah pelaku poligami yang dianggap tidak bisa mengendalikan nafsunya?. Ketiga : Memang benar perinsip dasar Islam wanita setara dengan laki-laki dalam pernikahan, tetapi apakah semua harus setara, ketika laki-laki boleh menikahi sampai empat perempuan, dan apakah harus sama perempuan juga bisa menikahi sampai empat laki-laki, diatas sudah kita jelaskan sebagaimana disampaikan oleh Ali ra. Keempat : Hak wanita yang mana yang dilecehkan dengan berpoligami, tidakkah Islam membolehkan poligami itu dengan syarat, ketika syarat yang ada tidak mampu dipenuhi, Islam memberikan sebuah solusi maka menikahlah secara monogami[10]. Kelima : Ketika membaca haditsnya sepotong maka benar Rosulullah SAW melarang keingginan Ali berpoligami. Tetapi ketika membaca secara utuh maka akan menemukan jawaban yang tepat, mengapa Rosulullah melarang ?[11] inilah yang harus kita dudukkan.

Berpijak pada problematika dan pemaparan diatas, maka perlu dalam pembahasan makalah ini, untuk memetakan  masalah utama yang ada. Disini kita bisa mengangkat dua masalah utama. Pertama : Bagaimana Poligami sebelum dan sesudah Islam, Kedua : pandangan liberalis, feminis, serta ulama terhadap poligami. Dengan pembatasan masalah tersebut penulis berharap, pembahasan ini tidak menjadi bias sehingga tidak melupakan pokok masalah yang ada.



B.  Pengertian dan Sejarah Pro-Kontra Poligami

1. Pengertian Poligami.

Kata poligami secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata polus yang berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Jika pengertian tersebut digabung maka poligami mempunyai arti : "Suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari satu orang. "Sistem perkawinan yang banyak atau seorang  lelaki mempunyai istri lebih dari satu orang dan sebaliknya, seorang perempuan mempunyai beberapa orang suami dalam waktu yang bersamaan pada dasarnya disebut poligami.[12] Pengertian poligami menurut bahasa Indonesia adalah :"Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan atau poligami adalah adat seorang laki-laki beristri lebih dari seorang perempuan.[13]

Para ahli untuk membedakan mana yang mempunyai pasangan banyak, dari pihak lelaki atau dari pihak wanita, maka dibuatlah istilah yang berbeda. Untuk lelaki yang berpasangan wanita lebih dari satu dengan istilah poligini. Sebaliknya jika yang banyak punya pasangan pihak wanita maka disebut poliandri.[14]

Menurut syareat Islam, poligami atau ta'addud al-zaujaj diartikan sebagai satu tindakan membolehkan untuk mengawini perempuan yang disenangi, dua, tiga, atau empat dengan syarat dapat berlaku adil terhadap mereka.[15]



2. Sejarah Pro Kontra Poligami.

Sebagaimana telah kita sebutkan diatas bahwa poligami adalah salah satu bentuk perkawinan yang diperdebatkan oleh publik, baik yang mendukung ataupun yang menolak, mereka memberikan argumen masing-masing. Poligami termasuk dari salah satu bentuk perjodohan majmuk. Tetapi poligami, berbeda, baik dengan poliandri[16] maupun "komunisme seksual"[17] karena statusnya lebih lumrah dan relatif lebih dapat diterima. Poligami bukan hanya terdapat pada suku liar tetapi banyak pula bangsa beradab yang menerapkanya. Disamping bangsa Arab sebelum Islam, adat kebiasaan itu terdapat dikalangan orang Yahudi, dikalangan bangsa Iran zaman Sassania[18], dan pada bangsa lainya.[19]

Sejarah telah mencatat, poligami telah muncul sebelum Islam datang. Islam telah membolehkan peraktik poligami, Islam membatasi bagi lelaki yang ingin berpoligami yaitu maksimal empat orang perempuan, dengan syarat harus berlaku adil. Dari praktek poligami, dimana Islam membolehkan, tetapi praktek dilapangan terjadi adanya pro dan kontra terhadap poligami. Masyarakat umum dalam menyikapi praktek poligami yang ada, terbagi menjadi 4 (empat) golongan yaitu: pertama mereka yang pro terhadap poligami tetapi tidak melaksanakan atau tidak berani melasanakan, kedua mereka yang kontra dan benar-benar tidak setuju terhadap poligami, ketiga mereka dipermukaan menetang poligami tetapi diam-diam melaksanakan, dan yang terakhir tidak setuju dengan poligami tetapi toleran kepada yang melaksanakan.

   Sebagai contoh : Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF) yaitu kelompok perempuan muda NU, mereka memberikan beberapa alasan mengapa mereka menolak poligami : mereka menolak poligami, karena dilatarbelakangi oleh QS. An Nisa’(4):129 berbunyi ”Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara perempuan-perempuan (istri-istrimu) walaupun kamu terlalu cenderung (kepada perempuan yang engkau cintai) sehingga engkau biarkan perempuan yang lain) seperti tergantung (terlupakan). Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari sebab-sebab perselisihan) maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Itu berarti menurut YKF dan banyak penafsir yang lain bahwa seorang suami yang menikahi lebih dari satu istri harus bertindak secara adil terhadap istri-istrinya dan tidak boleh membedakan antara yang satu dengan yang lain.[20]  

Demikian juga Poligami dianggap membawa masalah. Sebagaimana disampaikan Rosyid ridha ada tiga masalah yang bersifat pokok : yang pertama, Islam tidak mewajibkan atau menganjurkan poligami, melainkan menunjukkan bahwa sedikit sekali para pelaku poligami yang membebaskan diri dari kezaliman yang diharamkan. Hikmah yang terkandung di sini adalah bahwa bagi kaum pria yang ingin mempraktekkan poligami ini, hendakya berpikir matang-matang mempertimbangkan kemauannya, serta melihat kemasa depan yang berkaitan dengan keadilan yang wajib ia laksanakan.[21]kedua, Islam tidak secara mutlak mengharamkan poligami, namun tidak pula terlalu longgar, mengingat watak dan kebiasaan kaum pria yang punya kemampuan tinggi dalam berbagai bidang dan sekaligus pada lazimnya tidak puas dengan hanya satu istri, dan lantaran adanya tuntutan kebutuhan sementara kaum pria terhadap keturunan di saat istrinya sudah berusia lanjut atau adanya sebab-sebab lain yang membuatnya tidak bisa hamil.[22]Ketiga, persoalan ini di dudukkan oleh Islam dalam hukum mubah (boleh) dengan ikatan syarat dan sebab yang telah dikemukakan di muka yang harus dipertimbangkan betul madharatnya, dan akan membawa manfaat bagi mereka yang memperaktekkannya manakala semua hukum Islam yang berkenaan dengan itu dipenuhi.[23] 



C.  Poligami sebelum Islam

Tidak bisa dipungkiri, bahwa jauh sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw yang membawa Islam, umat terdahulu telah memperaktikkan sistem poligami[24]. Sebagaimana saya sebutkan dimuka, untuk mempertegas kembali bahwa cukup banyak fakta sejarah membuktikan. Hal ini diakui oleh Musthafa al-Sibai seperti dikatakannya : "Poligami itu sudah ada dikalangan bangsa-bangsa yang hidup pada zaman purba,....pada bangsa Yunani, Cina, India, Babylonia, Mesir dan lain-lain". Dan ditambahkanya : "Poligami dikalangan mereka tak terbatas, sehingga mencapai 130 istri bagi seorang suami; bahkan seorang raja Cina ada yang mempunyai istri sebanyak 30.000 (tiga puluh ribu) orang".[25]Poligami dilakukan orang-orang perkasa atau memiliki kekuasaan, seperti para raja atau para panglima perang. Tradisi poligami kala itu dijadikan bentuk keperkasaanya seseorang.[26]

Dikalangan pengikut Yahudi Timur Tengah, bentuk perkawinan poligami lazim dilaksanakan, bahkan menurut mereka, Injil sendiri tidak menyebutkan batas dari jumlah istri yang boleh dikawini oleh seorang laki-laki begitu juga jumlah gundiknya. Dan dikalangan bangsa Persia, Agama memberikan penghargaan kepada orang yang mempunyai istri banyak.[27]Agama Kristen tidak melarang adanya praktik poligami, sebab tidak ada satu keterangan yang jelas dalam injil tentang landasan perkawinan monogami atau landasan melarang poligami.[28]

Namun dalam Injil Matius pasal 10 ayat 10-12 dan juga Injil Lukas  pasal 16 ayat 18, diterangkan bahwa Isa Al-Masih pernah berkata: "barang siapa menceraikan istrinya dan lalu menikah dengan wanita lain, maka hukumnya dia berzina dengan wanita itu. Demikian juga kalau seorang wanita menceraikan suaminya dan menikah dengan lelaki lain, maka hukumnya dia berzina dengan lelaki itu. (Matius: 10 : 10-12). Namun dalam pelaksanaannya hanya golongan Kristen katholik saja yang tidak membolehkan pembubaran akad nikah kecuali dengan kematian saja. Untuk aliran orthodoks dan protestan atau Gereja Masehi injil membolehkan seorang kristen untuk menceraikan istrinya dengan syarat-syarat yang ditentukan pula.

Tidak ada Dewan Gereja pada awal Kristen yang menentang Poligami. St. Agustine secara jelas justru menyatakan bahwa dia tidak mengutuk poligami. Martin Luther mempunyai sifat yang toleran dan menyetujui status poligami Philip dan Hasse. Tahun 1531 kaum Anababtis[29] mendakwahkan poligami. Hingga saat ini beberapa uskup di Afrika masih mendukung praktik itu dengan berpijak pada dasar modal dan beberapa pertimbangan lain.[30]

Dari pemaparan diatas. Tampak jelas bahwa praktek poligami sudah terjadi jauh sebelum Islam datang, dan masih dipraktekkan hingga saat ini. Yang kedua poligami sebelum Islam dipraktekkan tanpa ada batasan yang jelas, atau tanpa batas. Ketiga baik orang Yahudi ataupun Kristen melakukan praktek poligami, karena tidak ada larangan atau anjuran yang jelas dari Kitab Injil. Adapun  larangan Al-Masih terhadap penceraian baik yang dilakukan pihak lelaki ataupun perempuan kemudian menikah dengan yang lain temasuk melakukan  perzinaan, lalu bagaimana dengan yang tidak bercerai kemudian melakukan poligami.

Jadi pelaksanaan poligami sesuai fakta sejarah telah terjadi jauh sebelum Islam hadir ditengah-tengah genarasi awal Islam hingga generasi sekarang. Maka terasa aneh, apa yang telah ditulis oleh Will Durant dalam bukunya :" The Story of Civilization" di abad pertengahan, para teolog berpendapat melalui propaganda yang dilancarkan terhadap Islam, ialah Muhammad-lah yang pertama kali memperkenalkan poligami di dunia, dan fondasi Islam terletak pada poligami. Ditegaskan bahwa penyebab pesatnya penyebaran agama Islam dikalangan berbagai bangsa dan rakyat dunia ialah dihalalkanya poligami; sementara penyebab utama kemunduran dunia timur adalah juga poligami.[31]

Dari lontaran pendapat para teolog diatas sungguh tidak mendasar, Bahwa sebelum Rosulullah Muhammad saw melakukan poligami, penduduk disekitar Makkah ataupun Madinah sudah banyak melakukan poligami. Yang kedua Islam menyebar dengan pesat karena dakwah yang disampaikan penuh hikmah (yang berlandaskan pada wahyu) dan mauidhoh hasanah (dengan ungkapan dan penyampaian yang santun).[32]



D.  Poligami dan Kemaslahatan Dalam Islam

Islam tidak sepenuhnya menghapus poligami, walaupun Islam menghapus sepenuhnya poliandri. Tetapi Islam membatasinya. Islam menghapus ketidakterbatasan poligami dan membatasinya hingga empat istri. Lagipula, Islam menetapkan syarat dan batasan, dan tidak mengizinkan setiap orang mempunyai beberapa orang  Istri.[33] Sebagaimana kita jelaskan diatas. Bahwa praktek poligami di masa Islam sangat berbeda dengan praktek poligami sebelum Islam. Perbedaan itu menonjol pada dua hal. Pertama, pada bilangan istri, dari tidak terbatas jumlahnya menjadi dibatasi hanya empat. Pembatasan ini dirasakan sangat berat, sebab laki-laki masa itu sudah terbiasa dengan banyak istri, lalu mereka di suruh memilih empat saja dan menceraikan selebihnya. Kedua, pada syarat poligami, yaitu harus mampu berlaku adil. Sebelumnya, poligami itu tidak mengenal syarat apa pun, termasuk syarat keadilan. Akibatnya, poligami banyak membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi kaum perempuan, karena para suami yang berpoligami tidak terikat pada keharusan berlaku adil, sehingga mereka berlaku aniaya dan semena-mena mengikuti luapan nafsunya[34].

Setiap sesuatu pasti ada hikmahnya. Itulah yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Begitu pula dengan  poligami, ada beberapa hikmah poligami yang perlu diketahui, diantaranya adalah sebagai berikut :

1.      Masalah sosial

Pertumbuhan angka wanita dibanding pria saat ini adalah jauh lebih tinggi. Jika angka wanita lebih banyak ketimbang pria, maka permasalahan disana-sini sering terjadi, seperti banyaknya perzinaan, perselingkuhan, perkosaan, merajalelanya para PSK (pekerja seks komersial) atau TTM (teman tapi mesum) dan masih banyak lagi lainya. Oleh karena itu, adanya poligami sangat membantu untuk masalah ini. Jadi, dari sisi sosial memang memungkinkan para laki-laki berpoligami.

Demikian juga disampaikan olek Yoyoh Yusroh bahwa poligami merupakan pilihan sosial dan solusi sosial. Yoyoh Yusroh, wakil ketua UU Anti Pornografi, F.PKS, DPR-RI dengan penuh yakin dengan argumen, ia berkesimpulan bahwa poligami adalah pilihan sosial karena dapat menjadi solusi sosial. Menjadi solusi karena dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial. Argumen sebagai solusi sosial inilah hingga dengan tegas ia menyatakan bahwa saya setuju poligami dan saya rela dipoligami.

Sedangkan Aa Gym berpendapat poligami merupakan solusi bagi masalah-masalah sosial, moral dan akhlak, sehingga poligami harus di proporsionalkan, tidak dipandang sebagai tidak baik, perbuatan zalim, dan menindas.[35]



2.      Kemaslahatan Individu dan Keluarga

Dalam setiap rumah tangga, banyak sekali permasalahan yang terjadi, di antaranya adalah masalah individu istri, seperti mandul atau istri memiliki penyakit yang tidak dapat melayani suami dalam masalah "kebutuhan biologis" dan lain sebagainya[36]. Adanya poligami merupakan solusi kongkrit dalam mengatasi masalah tersebut agar tidak terjadi hal-hal yang tidak dibenarkan dalam Islam, seperti perselingkuhan, perzinaan atau lainya, jika istri terkena penyakit berkepanjangan yang tidak bisa melayani suami sebagaimana mestinya, sedangkan suami sangat berhasrat untuk melakukan hubungan suami istri atau istri mandul sedangkan suami sudah sangat menginginkan untuk memiliki anak. Hal ini dapat diatasi dengan cara poligami dengan tanpa harus menceraikan istri pertamanya.



E.  Penafsiran ayat-ayat poligami

            Setelah kita membahas poligami, dari tinjauan Historis, baik yang terjadi sebelum Islam datang ataupun setelah Islam datang, maka perlu kita membahas ayat-ayat poligami dan pandangan para mufassir dan feminis dalam menafsirkan ayat poligami yaitu surat an-Nisa' ayat : 3 sebagai berikut :

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا [37]

Artinya : "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat[38]. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil[39], maka kawinilah seorang saja, budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adala lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya".

Sebelum menginjak pada tafsir ayat diatas perlu kita melihat sebab ayat ini diturunkan lebih dahulu. Dalam pangkal ayat ini terdapat lanjutan tentang memelihara anak yatim dan juga Allah mengizinkan untuk beristri lebih dari satu, yaitu sampai dengan empat. Untuk mengetahui duduk persoalan, lebih baik diterangkan riwayat Aisyah istri Rosulullah, tentang sebab turunya ayat ini, karena menjawab pertanyaan Urwah bin Zubair, anak Asma kakak Aisyah, yang sering bertanya kepadanya tentang masalah agama yang musykil. Urwah bertanya bagaimana asal mula orang dibolehkan beristri lebih dari satu sampai empat, dengan alasan memelihara hak anak yatim. Aisyah menjawab :

            " Wahai kemenakanku! Ayat ini mengenai anak perempuan yatim yang dalam penjagaan walinya, dan telah tercampur harta anak itu dengan harta walinya. Si wali tertarik pada harta dan kecantikan anak itu, lalu ia bermaksud menikahinya dengan tidak membayar mahar secara adil, sebagaimana pembayaran mahar  dengan perempuan lain. Oleh karena niat yang tidak jujur ini, maka dia dilarang menikah dengan anak yatim itu, kecuali ia membayar mahar secara adil dan layak seperti kepada perempuan lain. Daripada melangsungkan niat yang tidak jujur itu, dianjurkan lebih baik menikah dengan perempuan lain, walaupun sampai dengan empat"[40]







A. Penafsiran Ulama Tafsir

Ulama Tafsir dalam memahami dan menafsirkan ayat poligami di atas. Imam Ath-Thabari memahami ayat diatas dalam konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim yang ada dalam asuhan walinya, dan juga perempuan-perempuan lain yang menjadi istri mereka. Dia menafsirkan ayat tersebut dengan kewajiban berlaku adil terhadap anak yatim dan kewajiban berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yang dikawini. Lebih lanjut menurut Ath-Thabari, apabila seorang laki-laki tidak dapat berbuat adil terhadap anak yatim yang akan dikawininya, maka hendaklah ia mengawini perempuan-perempuan lain yang ia sukai, dua, tiga, maupun empat. Namun "jika khawatir" tidak dapat berlaku adil terhadap mereka, maka nikahilah satu orang istri saja. Jika masih juga khawatir tidak bisa berlaku adil walaupun terhadap satu istri, maka janganlah engkau menikahinya. Akan tetapi, nikahilah budak-budak yang kamu miliki, karena mereka itu adalah milikmu dan merupakan hartamu (para budak tidak menuntut hak sebagaimana hak perempuan-perempuan merdeka). Yang demikian itu lebih dekat pada keselamatan dari dosa, aniaya, dan penyelewengan terhadap perempuan.[41]

Dari penafsiran Imam ath-Thabari diatas, sangat jelas beliau menekankan untuk berlaku adil bagi kaum lelaki baik terhadap hak-hak anak yatim maupun terhadap hak-hak perempuan yang dia kawini. Jadi, bukan berarti ayat ini menunjukkan kebolehan berpoligami sampai empat orang istri dengan tanpa syarat yang ketat, sehingga syarat tersebut tidak mungkin (untuk tidak mengatakan mustahil) bisa dipenuhi oleh setiap laki-laki.[42] Adapun syarat-syarat dalam poligami sebagaimana disampaikan Abdul Halim Abu Syuqqah dalam kitabnya "Pembebasan Wanita" sebagai berikut :

1.      Tidak lebih dari 4 (empat) istri, sebagaimana al-Qur’an 4:3.

2.      Mampu memberi nafkah kepada istri-istri dan anak-anaknya serta orang yang menjadi tanggunganya.

3.      Mampu memeliara istri-istri dan nanak-anaknya dengan baik.

4.      Dapat berbuat adil.[43]



            Sedangkan Imam Fahru al-Razi menambahkan bahwa firman Allah : وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا (jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil) sebagai syarat, dan فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ  (maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi) sebagai suatu kebolehan. Dengan demikian, mesti ada keterangan yang jelas tentang bagaimana sebenarnya hubungan antara kebolehan menikahi perempuan-perempuan yang disukai (beristri sampai empat atau poligami) dengan syarat tersebut di atas.[44]

            Menurut ar-Razi, dalam mendudukkan permasalahan poligami seseorang dibolehkan atau tidak dalam berpoligami pada dasarnya tidak terlepas dari empat alasan:

1. Karena adanya wali yang tertarik kepada kecantikan dan harta anak yatim perempuan dan bermaksud menikahinya tetapi enggan membayar mahar maka yang demikian ini jelas dilarang dalam Islam, sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut ini.

”Bahwa Urwah bin Zubair telah bertanya kepada Aisyah (istri Rasulullah), apa maksud firman Allah وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى Aisyah menjawab: " wahai kemenakanku! Ayat ini mengenai anak yatim perempuan yang ada dalam asuhan walinya, si wali tertarik pada harta dan pada kecantikan anak itu. Maka bermaksudlah dia untuk menikahinya dengan memberi mahar yang paling rendah, kemudian ia menggaulinya dengan cara yang tidak baik. "Oleh karena itu, Allah berfirman, jika kamu khawatir akan menganiaya terhadap anak-anak yatim ketika kamu menikahi mereka, maka nikahilah perempuan-perempuan lain yang kamu suka. Aisyah meneruskan pembicaraanya: "Kemudian ada orang meminta fatwa kepada Rosulullah tentang perempuan-perempuan itu  sesudah ayat ini turun. Selanjutnya turunlah ayat (surat an-Nisa' juga ayat 127). Mereka meminta fatwa kepadamu  tentang perempuan-perempuan. Katakanlah : Allah akan memberi keterangan kepadamu di dalam kitab (ini) dari hal anak-anak yatim perempuan yang kamu tidak mau memberikan apa yang diwajibkan untuk mereka, padahal kamu menikahinya. Kata Aisyah selanjutnya: "Yang dimaksud dengan yang dibacakan kepadamu dalam kitab ini  ialah ayat yang pertama itu, yaitu jika kamu takut tidak akan mampu berlaku adil (bila menikahi) anak-anak yatim, maka nikahilah perempuan-perempuan  (lain) yang kamu senangi,"[45]

2. Karena adanya lelaki yang berpoligami tetapi tidak memberi hak-hak istri-istrinya dan tidak berlaku adil terhadap mereka."[46]

3.      Karena adanya lelaki yang engan menjadi wali disatu sisi bagi anak-anak yatim perempuan, disisi yang lain dia menginginkan untuk menikahinya, akan tetapi dia takut tidak bisa berlaku adil terhadap hak-hak anak yatim, sementara dia takut juga dari dosa zina, maka hendaknya menikahi saja perempuan-perempuan yang dihalalkan baginya. "[47]

4.      Karena adanya seorang lelaki yang berpoligami serta mengayomi anak-anak yatim tetapi tidak mampu memberikan nafkah kepada istri-istri mereka, maka mereka mengambil harta anak anak yatim yang ada padanya untuk diberikan kepada istri-istri mereka. Ketika seorang lelaki tidak mampu berlaku adil terhadap harta anak yatim karena banyak istri maka dilarang untuk berpoligami. Sebagaimana disebutkana dalam riwayat Ikrimah dibawah ini.

”Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa ia berkata: " Ada seorang laki-laki yang memiliki banyak istri, dan ia juga mengayomi anak-anak yatim. Ketika ia menafkahkan harta pribadinya  untuk istri-istrinya dan tidaklah cukup harta tersebut, karena ia banyak kebutuhan, maka diambillah harta anak yatim untuk menafkahi mereka. Allah berfirman: Jika kamu takut tidak mampu berlaku adil terhadap harta anak-anak yatim, karena kamu banyak istri, maka dilarang bagi kamu menikahi lebih dari empat istri, supaya kamu bebas dari ketakutan itu. Jika kamu masih takut dengan beristri empat , maka nikahlah dengan seorang istri saja. Ingatlah, batas maksimal (paling banyak) adalah emapt orang, dan batas minimal adalah satu orang, dan diperingatkan antara keduanya. Maka Allah juga mengatakan: Jika kamu khawatir dengan empat orang, maka nikahilah tiga orang, jika kamu khawatir dengan tiga orang maka nikahilah dua orang, jika kamu khawatir dengan dua orang, maka nikahilah satu orang orang saja. Penafsiran ini lebih dekat, seolah-olah Allah mengkhawatirkan orang yang memiliki banyak istri, boleh jadi ia akan terjerumus seperti wali yang mengambil harta anak yatim yang ada dalam asuhannya, untuk menutupi kebutuhan nafkah yang banyak disebabkan ia memiliki istri yang banyak.[48]

Berdasarkan penjelasan diatas, baik Ath-Thabari maupun ar-Razi, memahami ayat tersebut masih dalam kaitanya dengan perintah berlaku adil terhadap anak-anak yatim dan juga keharusan berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yang dinikahi. At-Thabari mengatakan : "Jika kamu khawatir tidk mampu berlaku adil terhadap anak yatim, demikian juga terhadap perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, maka janganlah kamu nikahi mereka walaupun hanya satu orang. Tetapi cukuplah kamu menikahi budak-budak yang kamu miliki. Sebab mengawini budaknya sendiri lebih memungkinkah untuk tidak berbuat penyelewengan (semena-mena terhadap perempuan).

Sementara itu, ar-Razi berpendapat bahwa apabila seorang laki-laki khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap anak-anak yatim yang akan dikawininya, maka hendaklah ia mengawini perempuan-perempuan lain sebanyak yang ia sukai, dua, tiga, maupun empat. Dan jangan menikahi lebih dari empat orang istri, agar hilang kekhawatiran tersebut. Namun jika masih khawatir tidak bisa berlaku adil terhadap empat orang istri maka seorang istri lebih baik bagi mereka. Kemudian ar-Razi memperingatkan bahwa batas maksimal empat orang istri, dan batas minimal satu orang istri. Sedangkan diantara dua batas tersebut (dua atau tiga orang istri) itu boleh-boleh saja, asal kamu mampu berlaku adil.[49]


B. Penafsiran Feminis Liberal.

Dalam memahami ayat 3 dari surat an-Nisa Feminis liberal memberikan pendapat sebagaimana berikut ini.

Amina Wadud Muhsin memahami ayat di atas dalam kaitanya dengan perlakuan adil terhadap anak yatim yang harus dipenuhi oleh laki-laki yang bertanggung jawab mengelola kekayaan mereka. Solusi yang terbaik untuk mencegah kesalahan adalah dengan mengawininya. Sementara di satu sisi al-Qur'an membatasi jumlah perempuan yang boleh dikawini, perlakuan adil terhadap anak yatim dan adil terhadap istri. Tampaknya inilah yang sering dilupakan oleh yag mendukung poligami.

Amina Wadud mengaitkannya dengan surat an-Nisa' ayat 129 yang mengatakan bahwa kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Sebagaimana beberapa penafsir, dia juga berkesimpulan bahwa monogami merupakan bentuk perkawinan yang lebih disukai oleh al-Qur'an. Dengan monogami tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang penuh cinta kasih dan tentram dapat terpenuhi. Sementara dalam poligami hal itu tidak mungkin karena seorang suami ataupun ayah akan membagi cinta dan kasih sayangnya pada lebih dari satu keluarga.[50]

Menurut Asghar Ali Engineer ayat diatas lebih menekankan untuk berbuat adil terhadap anak-anak yatim, bukan mengawini lebih dari seorang perempuan. Karena konteks ayat ini adalah tentang kondisi pada masa itu, dimana mereka yang bertugas memelihara kekayaan anak-anak yatim sering berbuat tidak semestinya dan terkadang mengawininya tanpa mas kawin. Ayat Al-Qur'an ini turun untuk memperbaiki perbuatan yang salah tersebut. Dengan mengemukakan penafsiran Aisyah terhadap ayat tersebut yang berarti jika para pemelihara anak-anak (perempuan) yatim khawatir dengan mengawini mereka karena tidak mampu berbuat adil, maka sebaiknya mereka mengawini perempuan-perempuan lain. Jadi ayat tersebut harus dipahami menurut konteksnya, bukan pembolehan poligami yang bersifat umum.[51]

Dari pemaparan penafsiran di atas bisa kita dapatkan adanya perbedaan antara mufassir dengan para feminis muslim dalam memandang keadilan sebagai syarat poligami. Para mufassir memandang, bahwa syarat keadilan masih memungkinkan mampu dilaksanakan seorang lelaki yang berpoligami, sehingga secara tidak langsung mereka memperbolehkan poligami. Sebaliknya, para feminis liberal secara ekplisit melarang poligami karena keadilan adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi dan mustahil bisa dilakukan oleh semua lelaki yang berpoligami. Jadi tanpa adanya keadilan maka poligami dilarang.



F.  Pandangan Kaum Liberal dan Feminis Tentang Poligami

            Mari kita lihat bagaimana pandangan kaum liberal dan feminis dalam menyikapi poligami, para feminis liberal memberikan beberapa pandangan tentang poligami serta mereka melontarkan beberapa statemen yang mereka anggap sebagai subhat-subhat yang  ada dalam poligami yaitu :



Abdullah Ahmed Na‘im,[52]mengatakan Bahwa "poligami" sebagai diskriminasi Agama dalam hukum keluarga dan perdata, dengan asumsi yang dia bangun "laki-laki muslim dapat mengawini hingga empat perempuan dalam waktu bersamaan, tetapi perempuan hanya dapat kawin dengan seorang laki-laki.[53]

Jika poligami dianggap sebagai tindakan diskriminasi agama dalam tinjauan hukum keluarga dan perdata apakah karena laki-laki boleh menikahi perempuan hingga empat tetapi tidak sebaliknya, karena perempuan tidak bisa menikahi empat laki-laki sehingga dikatakan sebagai bentuk diskriminasi. Alasan ini adalah salah dan bertentangan dengan Islam. Sebagaimana ditegaskan Murtadha Muthahhari  bahwa poliandri tidak pernah mampu menarik perlindungan, cinta kasih, keterpautan, dan bakti setia dari kaum pria kepadanya. Itulah sebabnya mengapa poliandri, sebagaimana pelacuran, selalu dibenci wanita. Dengan demikian, poliandri tidak sesuai dengan selera serta kebutuhan pria, tidak pula seirama dengan selera dan kebutuhan wanita.[54]

Bahwa wanita yang menikahi lebih dari satu lelaki merupakan bentuk penyelewengan  terhadap syareat Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah riwayat, ketika sekelompok wanita mendatangi Ali ra. Menanyakan kenapa wanita tidak bisa menikahi lelaki lebih dari satu. Maka Ali dengan tegas mengatakan ”apabila seorang wanita mempunyai beberapa suami (poliandri), dengan sendirinya ia akan mengadakan hubungan seks dengan setiap suaminya itu, dan kemudian akan hamil. Bagaimanakah, tanya Ali, wanita itu dapat menentukan ayah anak yang dikandungnya?.[55] Maka dari riwayat diatas menjadi jelas mengapa Islam menolak terhadap poliandri.

            Subhat yang kedua disampaikan Mahmud Muhammad Thaha."Bahwa poligami bukan ajaran Prinsip dasar Islam.[56]Karena dia berpendapat:"Bahwa prinsip dasar dalam Islam adalah wanita setara dengan laki-laki dalam masalah pernikahan. Laki-laki secara keseluruhan adalah milik wanita secara keseluruhan, tanpa harus membayar mahar, tanpa ada penceraian antara keduanya.[57]Adapun mengenai poligami dikatakan bukan prinsip dasar Islam karena Allah telah melarang sebagaimana firman-Nya: "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka nikahilah seorang saja, (lihat surah An-Nisa' : 3).

Apa yang disampaikan Thaha adalah suatu kesalahan fatal,  ketika dia memandang bahwa pria dan wanita adalah setara, sehingga dia berpendapat mahar tidak harus dibayar dalam sebuah pernikahan, penceraian tidak harus terjadi. Pandangan Thaha adalah keliru karena al-Qur’an dengan tegas menyampaikan bahwa mahar itu harus dibayar, hingga seorang lelaki yang ingin menikah dengan seorang budak orang lain-pun dalam prinsip dasar Islam mahar harus dibayar?.[58]Benar prinsip dasar dalam pernikahan yang diharapkan oleh Islam adalah terbinanya keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, ketika tujuan itu tercapai, maka harapan pernikahan bisa menjadi langgeng. Islam membenci thalak (penceraian), tetapi Islam membolehkan thalak sebagaimana yang terjadi pada Zaid bin Haritsah (sahabat dan anak angkat Nabi) yang telah menceraikan Istrinya (Zainab binti Jahsy).

Amina Wadud Muhsin mengatakan : "Poligami bukan hanya tak tercantum dalam al-Qur'an, tetapi jelas merupakan tindakan non Qur'ani serta berupaya mendukung nafsu yang tak terkendali. Subhat yang dilontarkan Amina Wadud bahwa poligami merupakan tindakan non Qur’ani adalah tidak bisa di benarkan karena jelas al-Qur’an membolehkan praktik poligami ketika dia mampu berbuat adil sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an 4 : 3.

Sedangkan Sayyid Sabiq dalam memberikan pendapat tentang keadilan sebagaimana berikut: "Allah membolehkan berpoligami dengan batas samapai empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka dalam urusan makan, minum, tempat tinggal, pakaian, dan kediaman, atau segala sesuatu yang bersifat kebendaan antara istri yang kaya dengan istri yang fakir, dan yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang bawah. Bila suami khawatir berbuat zalim dan tidak dapat memenuhi hak-hak mereka, maka diharamkan berpoligami.[59]Maka keadilan yang bisa dicapai oleh manusia adalah keadilan yang bersifat lahiriyah, akan tetapi keadilan bathiniyah yaitu dalam hal cinta kasih dan kecondongan hati, berada di luar kemampuan manusia[60].

Sedangkan subhat yang kedua yang dilontarkan Amina Wadud bahwa poligami dianggap upaya mendukung nafsu adalah tidak benar. Ketika poligami dikatakan pendukung nafsu atau mengumbar nafsu. Perlu kita luruskan pandangan Amina Wadud terhadap poligami. Bahwa motivasi pernikahan bukanlah  hanya untuk sexual semata, karena kalau kita hanya melihat dari sisi itu maka hampir semua pernikahan kembalinya kepada hal tersebut. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah menjaga diri dari melanggar batas yang sudah ditentukan oleh Allah SWT, seperti perzinahan, onani, lesbian, homosexual dan lain-lain.[61]

Siti Musda Mulia melontarkan penolakannya terhadap poligami serta tuduhan yang keji terhadap pelaku poligami diantaranya :

1. Nabi melarang keinginan 'Ali berpoligami.

2. Nabi-pun menyatakan sikap ketidakrelaan jika anaknya dimadu.[62]

3. Seorang laki-laki yang berpoligami pada prinsipnya adalah laki-laki yang mengumbar hawa nafsunya.[63]

4. Poligami adalah selingkuh yang dilegalkan, dan lebih menyakitkan perasaan istri[64]

5. Poligami adalah Haram lighoiri[65]

Dari apa yang telah dilontarkan Ibu Musda Mulia marilah kita dudukkan secara proporsional sehingga tidak salah dalam memahami hadits nabi dan memahami poligami. Sebenarnya poligami adalah dibolehkan dalam Islam dengan syarat yang ditentukan.

Pada poin pertama dan kedua: Ketika kita berpegang dengan satu hadits Nabi saja maka benar apa yang dijadikan hujjah Ibu Musda, bahwa Nabi melarang Ali untuk berpoligami, dan Nabi tidak rela kalau anaknya dimadu, tetapi kalau kita membaca riwayat  yang lain maka menjadi salah.

Yang kita pertanyakan mengapa Nabi melarang Ali untuk berpoligami ?, dan mengapa Nabi tidak rela kalau anaknya dimadu (dipoligami)?. inilah yang perlu kita cari jawabanya. Mari kita lihat hadits yang lain dalam bab yang sama sehingga menjadi jelas, karena kalau kita memahami hadits sepotong-sepotong yang kita dapatkan pemahaman sepotong. Bahwa hadits yang telah diangkat oleh Ibu Musda bukanlah hanya diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim, Turmudzi dan Ibnu majah saja, tetapi masih banyak perowi lain yang meriwayatkan.[66]Sebagaimana  hadits dibawah ini dengan lafadz Baihaqi.



Hadits I

أَنَّ الْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ أَخْبَرَهُ : أَنَّ عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ خَطَبَ ابْنَةَ أَبِى جَهْلٍ وَعِنْدَهُ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمَّا سَمِعَتْ بِذَلِكَ فَاطِمَةُ أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ لَهُ : إِنَّ قَوْمَكَ يَتَحَدَّثُونَ أَنَّكَ لاَ تَغْضَبُ لِبَنَاتِكَ وَهَذَا عَلِىٌّ نَاكِحٌ ابْنَةَ أَبِى جَهْلٍ. قَالَ الْمِسْوَرُ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَسَمِعْتُهُ حِينَ تَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ :« أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّى أَنْكَحْتُ أَبَا الْعَاصِ فَحَدَّثَنِى فَصَدَقَنِى وَإِنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ بَضْعَةٌ مِنِّى وَإِنِّى أَكْرَهُ أَنْ يَفْتِنُوهَا وَإِنَّهُ وَاللَّهِ لاَ تَجْتَمِعُ ابْنَةُ رَسُولِ اللَّهِ وَابْنَةُ عَدُوِّ اللَّهِ عِنْدَ رَجُلٍ وَاحِدٍ أَبَدًا ». فَتَرَكَ عَلِىٌّ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ الْخِطْبَةَ. رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ فِى الصَّحِيحِ عَنْ أَبِى الْيَمَانِ وَرَوَاهُ مُسْلِمٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدَّارِمِىِّ عَنْ أَبِى الْيَمَانِ. {ت} وَرَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ حَلْحَلَةَ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَلِىٍّ عَنِ الْمِسْوَرِ فَزَادَ :« حَدَّثَنِى فَصَدَقَنِى وَوَعَدَنِى فَوَفَى لِى وَإِنِّى لَسْتُ أُحَرِّمُ حَلاَلاً وَلاَ أُحِلُّ حَرَامًا ».

"Bahwasanya Miswar bin Makhramah menghabarkanya kepada Ali bin Husein : Bahwasanya Ali bin Abi Tholib ra hendak melamar putri Abu Jahal (berpoligami), dan  Ali masih memiliki Istri Fathimah binti Rosulullah saw, ketika Fathimah mendengarnya, maka ia menghadap Rosulullah saw, kemudian berkata: Sesungguhnya umatmu membicarakan bahwa engkau tidak marah kepada putrimu ketika Ali hendak berpoligami, menikahi putri Abu Jahal". Miswar berkata: bahwa Nabi SAW. Berdiri dan saya mendengarkan ketika beliau bersaksi kemudian bersabda: "adapun setelah itu, maka sesungguhnya aku telah menikahkan Abu Al-Ash kemudian ia berbicara kepadaku  dan aku membenarkan. Dan sesungguhnya Fathimah binti Muhammad saw. Adalah darah dagingku dan sesungguhnya aku marah jika ada yang memfitnahnya. Demi Allah, sesungguhnya tidak akan bisa berkumpul putri Rosulullah dengan putri musuh Allah selamanya dalam satu laki-laki (dipoligami)." Maka Ali ra membatalkan rencana khitbahnya. Diriwayatkan oleh Bukhori dalam kitab Shohihnya dari Abi al-Yamani dan diriwayatkan Muslim dari Abdillah Bin Abdirrohman al-Darimi dari Abi al-Yamani dan juga diriwayatkan dari Muhammad bin Amru bin Halhalh dari Ibnu Syihab dari Ali dari Miswar maka dia menambahkan : dia telah memberitahukan kepadaku, aku membenarkanya, aku berjanji maka aku menepati dan sesungguhnya aku tidak mengharamkan yang halal dan juga tidak menghalalkan yang haram.[67]



Hadits II

(خ م ت د) المسور بن مخرمة - رضي الله عنه - : قال : « إِنَّ عليّا خطب بنت أبي جهل ، وعنده فاطمة ابنة النبي -صلى الله عليه وسلم-. فسمعت بذلك فاطمة. فأتت رسول الله -صلى الله عليه وسلم- ، فقالت: يزعم قومك أنك لا تغضبُ لبناتك. وهذا عليّ ناكحا ابنة أبي جهل. فقام رسولُ الله -صلى الله عليه وسلم- ، فسمعته حين تشهد يقول : أما بعد ، فإِني أنكحت أبا العاص بن الربيع. فحدّثني وصدقني. وإن فاطمةَ بَضْعة مِنِّي. وأنا أكره أن يسوءوها - وفي رواية : أن يفتنوها - والله لا تجتمع بنت رسول الله ، وبنت عدوّ الله عند رجل واحد أبدا. فترك عليّ الخِطبة».



Hadits III



    وفي أخرى قال : سمعتُ رسولَ الله -صلى الله عليه وسلم- يقول ، وهو على المنبر : «إِن بني هاشم بن المغيرة استأذنوني في أن يُنكِحُوا ابنتهم عليَّ بن أبي طالب. فلا آذن ، ثم لا آذن ، إِلا أن يريد ابنُ أبي طالب أن يطلق ابنتي وينكح ابنتهم ، فإنما هي بَضْعة مني. يَريبني ما رابَها. ويؤذيني ما آذاها ». أخرجه البخاري ، ومسلم. وأخرج الترمذي الأولى. وأخرج أبو داود الثانية ، وزاد الترمذي : « ثم لا آذن » مرة ثالثة.[68]

Dari hadits diatas marilah kita dudukkan apa yang ada pada poin satu dan dua diatas, Pertama, mengapa Nabi melarang keinginan Ali berpoligami, dalam hadits diatas sangat jelas nabi melarang karena calon istri kedua Ali anak Abu Jahal, dan Nabi dengan tegas mengatakan tidak akan bisa berkumpul putri Nabi dengan putri musuh Allah dalam satu laki-laki. Kedua, ketidakrelaan Nabi anaknya dimadu, bukan karena menolak poligami tetapi menolak pengumpulan putri beliau dengan putri Abu Jahal  dalam satu laki-laki (Poligami). Maka dengan tegas Rosulullah melanjutkan dari apa yang telah dia sampaikan: sesungguhnya aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram.

Pada poin ketiga: Ketika seseorang mampu melakukan poligami dikatakan orang yang mengumbar hawa nafsunya, lantas orang yang zina, selingkuh, kumpul kebo, homo seksual, lesbian dikatakan apa? Apa harus dikatakan meliberalkan hawa nafsunya.

Pada poin keempat: Poligami adalah selingkuh yang dilegalkan karena lebih menyakitkan perasaan istri. Disini Ibu musda tidak bisa membedakan poligami dan selingkuh, dan sepertinya sudah pernah merasakan sakitnya dipoligami daripada sakitnya di tinggal selingkuh. Abu salma al-Atsari mengatakan selingkuh itu tidak sama dengan poligami, menyebut selingkuh itu sama dengan poligami, maka ini artinya sama dengan menyatakan bahwa Alloh sebagai pencipta alam semesta memperbolehkan perselingkuhan, karena Alloh memperbolehkan poligami. Jelas ini adalah suatu kebodohan kalau tidak mau dikatakan kedustaan terhadap Allah Azza wa Jalla.[69]

Pada poin kelima; bahwa poligami membawa ekses-ekses, poligami tidak akan membawa ekses ketika pelaku poligami memperhatikan syarat-syarat  poligami. Maknanya ketika syarat-syarat poligami itu diperhatikan serta dilaksanakan maka tidak akan menjadi dampak yang negatif bagi pelaku serta masyarakat pada umumnya.

MM. Billah mengatakan poligami melanggar HAM dan Islam. Apa yang dikatakan Billah diatas apakah karena adanya ketidaksetaraan dalam poligami sehingga dikatakan melanggar. Pendapat ini adalah keliru, karena memang tidak bisa disetarakan antara lelaki dan perempuan dalam poligami sebagaimana pemakalah terangkan diatas ketika disetarakan perempuan harus juga memiliki suami lebih dari satu justru inilah yang bertentangan dengan Islam.

Neneng Dara Afifah mengatakan bahwa poligami mewadahi keserakahan seksual, menarik seksual, mencari kesenangan, dan untuk membuktikan masih kuat dan menarik. Sebagaimana saya jelaskan diatas bahwa tujuan pernikahan baik itu pernikahan poligami ataupun pernikahan monogami bukanlah semata-mata untuk memuaskan kebutuhan seksual semata, tetapi ada yang lebih penting dari itu yaitu menjaga diri dari melanggar batas yang sudah ditentukan oleh Allah.



G. Pandangan Ulama Tentang Poligami

            Sebelumnya telah kita bahas poligami dalam pandangan kaum liberal dan feminis, dalam bab ini kita akan melihat, bagaimana pandangan ulama terhadap poligami. Pada umumnya yang dijadikan dasar kebolehan dan tidak bolehnya melakukan poligami adalah al-Qur'an surah An-Nisa: 3 dan 129, maka perlu kita melihat pendapat para ulama tentang kedua ayat tersebut.

1.  Pendapat ulama klasik

Selama sekitar 1300 tahun para ulama tidak pernah berbeda pendapat dalam hukum poligami (ta’addud al-zawjat). Hingga abad ke–18 M (ke-13 H) tidak ada pro kontra mengenai bolehnya poligami, dan semuanya sepakat bahwa poligami itu mubah (boleh). Sebab kebolehannya telah didasarkan pada dalil yang qath’i (pasti).[70]

Para imam yang empat, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, rahimahumullah, sepakat bahwa poligami itu mubah. Hal ini dapat kita lihat pendapat mereka dalam kitab "al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah", pada pembahasan pembagian nafkah dan bermalam kepada para istri.[71]

Demikian juga bisa kita lihat, dalam pembahasan sebelumnya pendapat ulama terutama para (mufassir), baik Thabari ataupun Ar-Razi, bahwa poligami adalah dibolehkan selama bisa berlaku adil. Sedangkan ulama yang lain yaitu Al-Jashshash yang juga intensif mengupas poligami, menurut Jashshash bahwa poligami bersifat boleh (mubah). Kebolehan ini juga disertai dengan syarat kemampuan berbuat adil diantara para istri, termasuk material, seperti tempat tinggal, pemberian nafkah, pakaian dan sejenisnya. Kedua kebutuhan non material, seperti rasa kasih sayang, kecendrungan hati dan semacamnya. Namun dia memberikan catatan, bahwa kemampuan berbuat adil di bidang non material ini amat berat.[72]Demikian juga Zamahsyari berpandangan bahwa poligami adalah dibolehkan, bahkan pandangan jumlah wanita yang boleh dinikahi bagi laki-laki yang bisa berbuat adil, bukan empat, sebagaimana pendapat ulama pada umumnya, tetapi sembilan. Dengan menjumlahkan dua tambah tiga tambah empat sama dengan sembilan.[73]

Para ilmuan klasik (fuqaha) berpendapat, bahwa Allah mengizinkan menikahi empat wanita. Menurut mereka, walaupun kebolehan di sini ditambah dengan kondisi yang tidak mungkin ditunaikan, keadilan dalam kasih sayang, perasaan, cinta dan semacamnya, namun, selama kemampuan berbuat adil di bidang nafkah dan akomodasi bisa ditunaikan, izin untuk berpoligami menjadi sesuatu yang bisa diperoleh. Alasan yang mereka kemukakan untuk mendudung ide ini adalah, bahwa nabi sendiri pernah berkata hubungannya dengan ketidakmampuannya berbuat adil dalam hal kebutuhan batin.[74]

2. Pendapat Ulama Kontenporer.

Sebagaimana telah kita paparkan diatas pendapat ulama klasik dalam poligami, dan perlu juga kita membaca bagaimana pandangan pemikir kontemporer dalam menyikapi poligami.

Sayyid Qutub mengatakan bahwa poligami merupakan suatu perbuatan rukhsah. Karena merupakan rukhsah, maka bisa dilakukan hanya dalam keadaan darurat, yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini pun masih disyaratkan bisa berbuat adil terhadap istri-istri. Keadilan yang dituntut disini termasuk dalam bidang nafkah, mu'amalat, pergaulan, serta pembagian malam. Sedang bagi calon suami yang tidak bisa berbuat adil, maka diharuskan cukup satu saja.[75]

Berbeda dengan Sayyid Qutub bahwa Muhamammad Abduh dengan sengit menentang poligami karena dianggap menjadi sumber kerusakan di Mesir, dan dengan tegas menyatakan bahwa, adalah tidak mungkin mendidik bangsa Mesir dengan pendidikan yang baik sepanjang poligami yang bobrok ini masih dipraktekkan secara luas.[76] Dan bahkan beliau pernah mengeluarkan fatwa tidak resmi yang menyarankan agar pemerintah mesir melarang poligami diluar kondisi darurat yang membenarkannya dan tidak membuat kerusakan.[77] Muhammad Abduh juga berpendapat. Intinya, asas pernikahan dalam Islam adalah monogami, bukan poligami. Poligami diharamkan karena menimbulkan dharar (bahaya) seperti konflik antar isteri dan anggota keluarga, dan hanya dibolehkan dalam kondisi darurat saja.[78]

Sedangkan M. Syahrul berpendapat, bahwa menikah (poligami) adalah boleh dengan keyakinan bisa berbuat adil pada anak-anak yatim. Ini artinya istri kedua, ketiga, dan keempat yang boleh dinikahi harus janda yang memiliki anak-anak yatim yang kemudian menjadi tanggung jawabnya.[79]



H. Kesimpulan dan Penutup

Dari uraian di atas, bertolak pada  pemahamn surat an-Nisa' ayat 3 dan 129, tentang poligami terjadi perbedaan pandangan dalam memahami dan menafsirinya. Kalangan feminis, kaum liberal dan para ulama klasik serta ulama kontemporer-pun terjadi perbedaan dalam memahaminya. Para Ulama klasik yaitu imam madzhab al-arba' sepakat bahwa poligami adalah diperbolehkan demikian juga para mufassir klasik  seperti Imam al-Thabari, al-Razi, dan zamahsyari, bahwa poligami adalah diperbolehkan karena mereka memandang bahwa faktor keadilan ditekankan dan dianjurkan serta berpandangan bahwa manusia mampu untuk berlaku adil akan tetapi menurut pemikir kontemporer, Muhammad Abduh dan juga para feminis Amina Wadud, Asghar Ali Enggineer bahwa keadailan adalah suatu yang muthlak maka tanpa keadilan pada dasarnya poligami dilarang, dan tidak mungkin manusia mampu berbuat adil.

   Dalam Islam, poligami telah jelas termaktub dalam Al-Qur'an. Ulama, para mufassir, kaum feminis, kaum liberal serta pemikir kontemporer, mereka berbeda dalam memandang poligami ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan, karena adanya perbedaan dalam memahami dan menafsirkan makna keadilan yang ada. Pada dasarnya ketika melihat orang yang melakukan poligami dimasyarakat karena mereka memandang dan berpedoman dengan pandangan ulama yang membolehkan, ketika  terjadi penyimpangan dalam praktek di masyarakat, maka bukan sistem ajaran Islamnya  yang salah tetapi faktor individu. Demikian juga orang yang tidak berpoligami tetapi melakukan bentuk pernikahan monogami ketika terjadi penyimpangan dalam peraktik dimasyarakat, maka bukanlah sistem ajaran Islam yang salah tetapi karena faktor individu itu sendiri. Semoga Allah selalu menunjukkan dan membimbing kita kepada jalan yang benar, amin.


DAFTAR PUSTAKA

A.          BUKU

Al-Qur'an al-Kariem dan Terjemahanya, Al-Jumanatul Ali-Art.

Abdul Halim, Abu Syuqqah, Pembebasan Wanita, Gema Insani press, Jakarta, 1998.

An-Naim, Abdullah Ahmed, Dekonstruksi Syare'ah, (LkiS, Jogjakarta 1997)

Al-Sibai, Musthafa, Wanita diantara Hukum dan Perundang-undangan, terj. Chadidjah Nasution, (Bulan Bintang, Jakarta,  1977).

Abu Lu'bah, Abdurrahim Faris, Syawa`ib al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ ‘Asyara al-Hijri, (Disertasi Doktor), (Beirut : Jamiah Beirut al-Islamiyah Kulliyah Asy-Syariah li Dar al-Fatwa Lubnan Idarat al-Dirasat al-Ulya, 2005).

Al-Jaziry, Abdurrhaman, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, (Beirut : Darul Fikr, Juz IV, 1996,)

Al-Jashshash, Ahkam Al-Qur'an, (Dar Al-Kitab Al-Islamiya, Beirut,tt, II).

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, Jakarta).

Engineer, Asghar Ali, Hak-hak Perempuan Dalam Islam, (Yayasan bentang Budaya Yogyakarta, 1994).

Ensiklopedi Indonesia, Jilid 5, (Ikhtiar Baru  Van Hoeve, Jakarta1988).

Haeem, Ali Hosein, Membela Perempuan: Menakar Feminisme dengan Nalar Agama, (Penerbit Al Huda, Jakarta, 2005).

Harder, Nelly Van Doorn, Menimbang Tafsir Perempuan Terhadap Al-Qur’an, (Pustaka Percik, hlm. 43, Salatiga, 2008).

Husen, Abdurrahman, Hitam Putih poligami, (Lembaga Penerbit Fakultas Ekonnomi UI, 2007).

Ismail, Dr. Nurjannah, Perempuan Dalam Pasungan Bias Laki-laki Dalam Penafsiran, (Penerbit LKiS, Yogyakarta, 2003).

Muhsin, Amina Wadud, Wanita di dalam Al-Qur'an, (Penerbit Pustaka, Bandung 1994).

Mulia, Prof. DR. Siti Musda, Poligami Siapa Takut, (Perdebatan seputar Poligami), (PT.Surya Citra Televisi.

Muthahhari, Murtada, Duduk Perkara Poligami, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta 2007).

 Mulia, Siti Musdah, Islam Menggugat Poligami, (Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,hlm. 47- 48, Jakarta, 2004).

Mursalin, Supardi, Menolak Poligami Studi Tentang Undang-undang Perkawinan dan Hukum Islam, (Pustaka Pelajar, hlm. 17, Yogyakarta,2007).

M. Nashirudin, M.Ag-Sidik Hasan, M.Ag, Poros-poros Ilahiyah Perempuan Dalam Lipatan Pemikiran Muslim, (Jaring Pena, Surabaya, 2009).

Nasution, Khoiruddin., Riba dan Poligami sebuah studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, pustaka Pelajar, yogyakarta, 1996.

Ridha, Muhammad Roasyid, Panggilan Islam Terhadap Wanita, (Penerbit Pustaka, , Bandung, 1994).

Sabiq, Sayyid, Figh al-Sunnah jilid 2, (Dar al-Fikr, Beirut, 1977).

Thaha, Mahmud Muhammad, Arus Balik Syari'ah, (Lkis, Jogjakarta 2003).

B.           KITAB HADITS

Ad-Darimi, Muhamma, Sunan Ad-darimi, (Daarul Kitab, Beirut, II, 193, cet. Pertama, 1407).

Ali Baihaqi,  sunan al Kubra, juz II, (Majlis Dairotu al-Ma'arif al-Nidhomiyah al-Kainah, Hindia,  cet. Pertama.1344).

Imam Muslim, Shohih Muslim, Daru Ihya'u al-Thurats Al-Arobi, tt. Beirut.

Ibnu Hibban, Shohih Ibnu Hibban

Ali Al- Baihaki, Sunan Baihaqi, Majlis Daairoh al-Ma'arif al-Nidhomiyah al-Kaainah, Hindia, 1344 H. Sunan Ibnu Majah

C.    KITAB TAFSIR

Ath-Thabari, Jami' al-Bayan Fi Ta'wili Al-Qur'an, (Muassasah Al-Risalah, V:532, Cetakan pertama, 2000)

Ar-Razi, Imam Fahruddin, Mafaatihu al-Ghoib, (Darul Kutub, IX : 139, Beirut, 2000).

Zamahsyari, Al-Kasyaaf, http://www.altafsir.com.I

Qutub, Sayyid, Tafsir fi dhilali al-Qur'an, Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, 1961, IV.

Ridha, Rasyid, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Fikr,tt.IV .

D. WEBSITE

Sa1ma, Abu, Artikel Poligami dihujat (jawaban rasional bagi para penghujat syare'at dan sunnah poligami), lihat http://dear.to/abusalma, Robi’ ats-Tsani 13 / 2007, Mei 1


[1]Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) angkatan III ISID Gontor bekerjasama dengan Majlis Ulama' Indonesia.
[2]Poligami : menikahi wanita lebih dari satu  baik dilakukan  bersamaan maupun tidak. Akan tetapi, dalam  Kamus Besar Indonesia dikatakan bahwa poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu bersamaan. Definisi poligami dalam Kamus besar Indonesia ini perlu dicermati. Kalimat salah satu pihak bisa diartikan pihak laki-laki maupun pihak perempuan.  Pada kenyataanya pihak laki-laki yang melakukan hal tersebut. Yang kedua kalimat lawan jenisnya dan dalam waktu bersamaan ini juga perlu kita cermati.  
[3] Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syare'ah, LkiS, Jogjakarta 1997, hlm. 338.
[4]Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam Al-Qur'an, Penerbit Pustaka, Bandung 1994, hlm. 114,
[5]Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syari'ah, LkiS, Jogjakarta 2003, hlm. 167.
[6]Prof. DR. Siti Musda Mulia, Poligami Siapa Takut, (Perdebatan seputar Poligami), PT.Surya Citra Televisi. hlm. 25.
[7]Murtada Muthahhari, Duduk Perkara Poligami, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta 2007, Hlm 35-36.
[8]Lihat Al-Qur'an Surat An-Nisa' ayat : 3
[9]Liahat Al-Qur'an Surat Al-Isro' ayat : 32
[10]Lihat Al-Qur'an Surat An-Nisa ayat : 3
[11]Lihat kitab Shohih Muslim, bab fadhoilu Fathimah binti Nabi, no. Hadits . 2449, 6463. Lihat Shohih Ibnu Hibban, Juz 15. halaman. 394. no. Hadits. 408, halaman . 455, juz. 28, no. Hadits.7083.
[12] Ensiklopedi Indonesia, Jilid 5, Ikhtiar Baru  Van Hoeve, Jakarta1988.
[13] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm.693.
[14] Yunus Hanis Syam, Ku Selamatkan Perempuan Dengan Poligami, hlm 14.    
[15] Lihat al-Qur'an surat An-Nisa' ayat :3
[16] Seorang perempuan yang memiliki suami lebih dari satu.
[17] Komunisme seksual bermakna tak ada eksklusivitas. Berdasarkan teori ini, tidak ada pria mempunyai hubungan eksklusif dengan seorang perempuan tertentu dan tidak ada perempuan yang terpaut secara eksklusif kepada seorang pria tertentu. Ia berpuncak pada penolakan total terhadap kehidupan keluarga.
[18] adalah kekaisaran Persia terakhir sebelum kedatangan Islam.
[19] Ali Hosein Haeem, Membela Perempuan: Menakar Feminisme dengan Nalar Agama, Penerbit Al Huda, Jakarta, 2005.hlm 176.
[20] Nelly Van Doorn-Harder, Menimbang Tafsir Perempuan Terhadap Al-Qur’an, Pustaka Percik, Salatiga, 2008, hlm. 43.
[21] Muhammad Roasyid Ridha, Panggilan Islam Terhadap Wanita, Penerbit Pustaka, Bandung, 1994, hlm.55.
[22] Ibid. halaman 56.
[23] Ibid halaman 56.
[24] Drs. Supardi Mursalin, M.Ag, Menolak Poligami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2007, hlm. 17.
[25] Musthafa al-Sibai, Wanita diantara Hukum dan Perundang-undangan, terj. Chadidjah Nasution, Jakarta, Bulan Bintang, 1977, hlm. 100.
[26] Abdurrahman Husen, Hitam Putih poligami, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonnomi UI, 2007, hlm.2
[27]Drs. Supardi Mursalin, M.Ag. Menolak Poligami, hlm.18.
[28]Ibid, hlm. 19.
[29] Anabaptis adalah orang Kristen yang dimasukkan ke dalam kategori Reformasi Radikal. Mereka tidak memiliki suatu organisasi yang resmi dan memiliki berbagai-bagai variasi. Sepanjang sejarah ada banyak kelompok Kristen yang disebut sebagai Anabaptis, namun istilah Anabaptis khususnya menunjuk kepada kelompok Anabaptis pada abad ke-16 di Eropa.Saat ini dari kelompok abad ke-16 tersebut yang masih tertinggal adalah kaum Amish, Hutterit, Mennonit, Gereja Persaudaraan, Persaudaraan Kristen, dan beberapa variasi Gereja Baptis Jerman lainnya.
Baptisan orang percaya merupakan salah satu ciri utama kepercayaan kaum Anabaptis, dan mereka menolak baptisan untuk anak bayi oleh orang tua mereka. Kepercayaan ini ditentang keras oleh kelompok Kristen Protestan lainnya pada periode itu, oleh sebab itu anggota kelompok ini dianiaya dan banyak yang dihukum mati selama abad ke-16 hingga abad ke-17.
[30] Yunus Hanis Syam, Ku Selamatkan Perempuan dengan pligami, hlm. 18-19.
[31] Ali Hosein Hakeem, Membela Perempuan, Menakar Feminisme dengan Nalar Agama, hlm. 179
[32] Lihat Al-Qur'an Surat an-Nahl ayat : 125.
[33] Ibid. Hlm. 179.
[34]Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami,Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,hlm. 47- 48, Jakarta, 2004. Juga lihat ,  Drs. Supardi mursalin M.Ag., Menolak Poligami Studi Tentang Undang-undang Perkawinan dan Hukum Islam, Hlm.21
[35] Ibid halaman. 39.

[36] Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Gema Insani Press, Jakarta, 1998, Jilid V, Hlm.390.
[37] Lihat al-Qur'an Surat An-Nisa' :3.
[38] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum ayat ini turun, poligami sudah ada dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Ayat ini membatasi poligami  sampai empat orang saja. Lihat al-Qur'an dan tarjamahanya, Penerbit Al-Jumanatul Ali-Art, hlm.78.
[39] Perlakuan yang adil dalam meladeni istri, seperti pakaian, tempat, giliran, dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Lihat al-Qur'an dan tarjamahanya, Penerbit Al-Jumanatul Ali-Art, hlm.78-79.
[40]Ath-Thabari, Jami' al-Bayan Fi Ta'wili Al-Qur'an, Muassasah Al-Risalah, , Cetakan pertama, 2000, V, hlm. 532.
[41] Ibid, V:540-541.
[42] Dr. Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan Bias Laki-laki Dalam Penafsiran, Penerbit LKiS, Yogyakarta, 2003, hlm. 214.
[43] Abdul Halim Abu Syuqqah, Pembebasan Wanita, hlm. 388-389.
[44]Imam Fahruddin ar-Razi, Mafaatihu al-Ghoib, Darul Kutub,  Beirut, 2000, IX , hlm. 139
[45]Ibid, IX:139.
[46] Ibid, IX : 140.
[47] Ibid, IX : 140.
[48] Ibid, IX : 140.
[49] Dr. Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan Bias Laki-laki Dalam Penafsiran, hlm.218-219.
[50] Amina Wadud Muhsin, Wanita di Dalam Al-Qur'an, hlm. 111-112.
[51] Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan Dalam Islam, Yayasan bintang Budaya, Yogyakarta, 1994, hlm. 142.
[52]Abdullahi Ahmed An-Na'im (dari Sudan) adalah Seorang ulama Islam yang diakui secara internasional dan hak asasi manusia dan hak asasi manusia dalam perspektif lintas budaya, Profesor An-Na'im mengajar program dalam hukum internasional, hak asasi manusia dan hukum Islam. Minat penelitiannya meliputi konstitusionalisme di negara-negara Islam dan Afrika, dan Islam dan politik. Profesor An-Na'im memimpin proyek penelitian berikut yang fokus pada strategi advokasi untuk reformasi melalui transformasi budaya internal:
[53] Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syare'ah, hlm. 338.
[54]Murtadha Muthahhari, duduk perkara poligami, hlm 37.
[55] Ibid hlm. 35-36.
[56]Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syari'ah, hlm. 167.
[57] Ibid, hlm. 167.
[58] Lihat al-Qur'an surat An-Nisa' ayat; 25.
[59] Sayyid Sabiq, Figh al-Sunnah jilid 2, Dar al-Fikr, Beirut, 1977, hlm. 98.
[60] Lihat al-Qur'an surat an-Nisa' ayat: 129.
[61] Lihat di http://www.poligamiindonesia.com/index.php?page=BeritaDet&id=000053
[62] Siti Musda Mulia, Poligami Siapa Takut (Perdebatan Seputar Poligami), hlm. 25.
[63] Siti Musda Mulia, Islam menggugat Poligami, hlm. 59- 60.
[64] Ibid, hlm. 61
[65] Siti Musda Mulia, Poligami Siapa Takut (Perdebatan Seputar Poligami), hlm. 33.
[66] Lihat Sunan Baihaqi, juz .2, no hadits. 15197, Muslim, juz. 4. no. hadits. 2449, 6463, Ibnu Majah, bab al-Ghiroh, juz . 6, no hadits 2077, Ibnu Hibban, jus. 15, no hadits. 536 dan juz 29, no hadits. 7185. Jaami' al-Ushul, No Hadts, 9066.
[67] Ali Baihaqi,  sunan al Kubra, juz II, Majlis Dairotu al-Ma'arif al-Nidhomiyah al-Kainah, Hindia,  cet. Pertama.1344, hlm. 291,
[68]Ibnu Atsir, Jami' Al-Ushul Min Ahaadits al-Rosul, Multaqo Ahlul Hadits, www.ahlalhdeeth.com, Juz I, No. Hadits 9066, hlm. 9180
[69]Abu Sa1ma, Artikel Poligami dihujat (jawaban rasional bagi para penghujat syare'at dan sunnah poligami), lihat http://dear.to/abusalma, Robi’ ats-Tsani 13 / 2007, Mei 1
Abdurrahim Faris Abu Lu'bah, Syawa`ib al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ ‘Asyara al-Hijri, (Disertasi Doktor), Beirut : Jamiah Beirut al-Islamiyah Kulliyah Asy-Syariah li Dar al-Fatwa Lubnan Idarat al-Dirasat al-Ulya, 2005, hlm. 360
[71]Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Beirut : Darul Fikr, 1996, Juz IV hlm. 206-217.
[72] Al-Jashshash, Ahkam Al-Qur'an, Dar Al-Kitab Al-Islamiya, Beirut,tt, II.50.
[73] Zamahsyari, Al-Kasyaaf, http://www.altafsir.com.I. Hlm. 373
[74] Drs. Khoiruddin Nasution, MA., Riba dan Poligami sebuah studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, pustaka Pelajar, yogyakarta, 1996, hlm. 99.
[75] Sayyid Qutub, Tafsir fi dhilali al-Qur'an, Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, 1961, IV. Hlm. 236.
[76] Muhammad Rasyid Ridha, Panggilan Islam Terhadap Wanita, hlm.56.
[77] Ibid, hlm. 57.
[78] Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Fikr,tt.IV hal. 350.
[79]M. Nashirudin, M.Ag-Sidik Hasan, M.Ag, Poros-poros Ilahiyah Perempuan Dalam Lipatan Pemikiran Muslim, Jaring Pena, Surabaya, 2009, hlm. 249.
     
      Baca Selengkapnya »