Kamis, 18 Mei 2017

Problem Pembelajaran Hati


Problem Pembelajaran Hati

Oleh: Dr. M. Husni Muadz




Sekarang ini pembelajaran praksis (termasuk pembelajaran hati) agaknya telah direduksi menjadi bagian dari pembelajaran kognitif. Akibatnya kita dilatih hanya menjadi pengamat (observers), bukan menjadi pelaku atau partisipan dalam kehidupan sosial. Bahkan ada anggapan umum bahwa persoalan-persoalan yang terkait dengan masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat adalah urusan dan tanggung jawab pemerintah. Pandangan yang seperti ini, sekalipun sepenuhnya tidak salah, justru akan menjauhkan kita dari pembelajaran praksis yang menjadi kewajiban semua orang. Inilah salah satu tantangan pembelajaran rekognitif. Karena kita tidak memiliki pembelajaran praksis secara terstruktur seperti intership di bidang kedokteran, misalnya, dan dibiarkan menjadi urusan pribadi masing-masing, maka kita menghadapi banyak problem sosial yang tidak bisa kita atasi sekarang ini. Semua ini disebabkan karena masing-masing kita tidak memiliki the practical competence yang memadai untuk bisa berbuat yang semestinya.



Tradisi pembelajaran praksis selama ini masih terabaikan. Pembelajaran sekarang didominasi oleh pembelajaran di ranah kognitif. Ini melahirkan cara hidup individualis yang melihat orang lain sebagai obyek. Akibat dominannya xe "kesadaran"xe "kesadaran kognitif"kesadaran kognitif ini, kita seringkali menggunakan xe "kesadaran"xe "kesadaran kognitif"kesadaran kognitif untuk urusan-urusan yang bersifat rekognitif dan trans-(re)kognitif. Kecendrungan ini dimulai sejak Ilmu pengetahuan modern, yang dimulai sejak kira-kira 400 tahun yang lalu, dengan metodologi empiriknya mendapatkan kemajuan yang pesat dan mempengaruhi hampir segala sendi kehidupan, termasuk kehidupan pembelajaran. Lalu pelan-pelan persoalan-persoalan rekognitif direduksi ke dalamnya, dan cara pembelajarannya juga sama dengan pembelajaran kognitif. Recognive xe "learning"learning telah direduksi menjadi xe "cognitive learning"cognitive xe "learning"learning. Ini tidak terjadi sebelumnya. Jadi, ada asumsi kuat bahwa untuk menjadi baik cukup mengetahui tentang kebaikan. Padahal xe "kesadaran"kesadaran yang harus dibangun berbeda, cara pembelajarannya juga berbeda. Kita tidak mungkin bisa melakukan sesuatu secara benar bila kita tidak mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak. Jadi di sini ada elemen kognitifnya juga. Tapi persoalan bagaimana membangun xe "kesadaran"kesadaran dan bagaimana pembelajaran praksis (xe "recognitive attitudes"xe "recognitive attitudes"recognitive attitudes) tentu tidak diakomodir di dalam seting pembelajaran kognitif. Apalagi tuntutan-tuntutan pembelajaran yang bersifat masif, mahasiswanya banyak, siswanya banyak, alat-alat ukur dengan ukuran-ukuran obyektif menjadi berkembang, sehingga yang umum dan mudah diukur adalah hal-hal yang bersifat kuantitatif. Sementara hampir semua yang berkaitan dengan isu rekognitif tidak bisa diukur dengan menggunakan ukuran kuantitatif. Jika jarak obyek bisa kita ukur dengan meter, kilo atau mil, misalnya, bagaimana dengan kebahagiaan dan kebencian? Lalu dibuatkan alat kuantifikasi dan skala supaya ada ancang-ancang untuk mengukurnya. Jadi, secara perlahan-lahan persoalan rekognitif dilihat sebagai persoalan kognitif.



Jadi kalau kita menggunakan kerangka berpikir bahwa manusia itu mengada dengan tiga relasi, relasi subyek-obyek yang memerlukan xe "kesadaran"xe "kesadaran kognitif"kesadaran kognitif, relasi subyek-subyek yang memerlukan xe "kesadaran rekognitif"xe "kesadaran"xe "kesadaran rekognitif"kesadaran rekognitif, dan relasi subyek-Subyek yang memerlukan xe "kesadaran"kesadaran xe "trans-(re)kognitif"trans-(re)kognitif, maka agar kita berhasil membangun tiga relasi ini, kita memerlukan institusi pembelajaran dan prinsip-prinsip pembelajaran yang sesuai dengan masing-masing relasi. Di sinilah problemnya, sebagaimana telah kita singgung di depan: Institusi pembelajaran praksis dan elemen konstitutifnya belum teridentifikasi dengan memadai. Kita berharap rumah tangga sebagai intitusi awal anak bisa belajar pembelajaran rpraksis, tapi rumah tangga sendiri datang dan belajar di mana? Kita berharap bisa belajar di masyarakat, tetapi pertanyaannya sama: masyarakat sekarang ini belajar xe "kesadaran rekognitif"xe "kesadaran"xe "kesadaran rekognitif"kesadaran praksis di mana? Kita sudah terlalu lama tidak menyadari bahwa perlu ada pembelajaran praksis; kita menganggap bahwa pembelajaran apapun bisa didapat dengan cara yang sama, yaitu pendekatan kognitif. Akibatnya kita secara kolektif kurang memiliki kecerdasan praksis sesuai nilai nilai yang diidealkan dalam teori di ranah kognitif. Berikut kita akan mengelaborasi apa perbedaan konsep praksis dan konsep kognitif. Perbandingan keduanya diperlukan untuk membantu mempertajam pemahaman.



Perlu diingat bahwa pengalaman kita tentang obyek bukanlah pengalaman langsung, tetapi pengalaman yang dimediasi melalui gambaran tentang obyek tersebut yang ada di kepala kita. Kita tidak masuk ke dalam obyek itu ketika kita berinteraksi; kita bukan bagian dari molekul-molekul, bukan juga bagian dari atom-atomnya. Kita ada di luar, menjadi pengamatnya. Jadi gambaran tentang obyek itu lah yang muncul di kepala kita dalam bentuk konsep, dalam bentuk pikiran yang disimpan dalam ingatan, sehingga dia menjadi kognitif. Waktu kita memperhatikan obyek dengan indera kita, obyek itu masuk di kepala kita, membentuk gambaran/image, konsep, xe "mental models"xe "mental models"xe "mental models"mental models di kepala kita yang kemudian kita simpan dalam ingatan kita. Ketika nanti kita melihat obyek itu lagi atau ingin menggunakannya, kita mengeceknya dengan apa yang tersimpan di memori atau ingatan kita. Jadi kita mengenali kembali obyek dengan cara seperti itu. Tanpa representasi obyek seperti ini kita tidak bisa berbicara tentang kebenaran. Ketika kita berbicara tentang kebenaran akan sesuatu, yang kita bicarakan sebenarnya adalah adanya kesesuaian antara gambaran yang ada di kepala dengan realitas obyek yang kita lihat. Jadi ada semacam korespondensi antara dunia realita dengan apa yang digambarkan di dalam kepala kita. Bila gambaran itu sesuai, kita menyebutnya benar, bila tidak kita menyebutnya salah.



Obyek terdiri atas dua jenis: xe "obyek alami"obyek alami dan obyek sosial. Obyek alami adalah obyek yang kehadiran dan keberadaannya tidak tergantung pada keberadaan kita sebagai subyek. Sebagai contoh gunung Rinjani. Keberadaan gunung ini tidak ada kaitannya dengan orang-orang yang ada di Lombok. Secara ontologis dia tetap ada, sekalipun misalnya semua orang yang di Lombok tidak pernah ada. Berbeda dengan obyek alami, obyek sosial secara ontologism bersifat subyektif. Obyek sosial, yaitu semua artefak ciptaan manusia, tidak akan pernah ada bila tidak ada subyek yang mengadakannya. Keberadaan atau kelahiran obyek sosial selalu terkait dengan kita sebagai manusia. Misalnya, pecahan uang 1000 rupiah sebagai contoh. Uang ini memiliki nilai 1000 rupiah tidak ada kaitannya dengan nilai intrinsik dari bahan material uang tersebut dibuat. Bendanya sendiri adalah benda fisik. Yang membuat dan mengakuinya ada sebagai uang adalah kita sebagai subyek. Kalau kita sama-sama tidak mengakuinya sebagai uang, maka uang 1000 rupiah tidak akan pernah berfungsi sebagai uang. Tidak ada dari faktor instrinsik/dari barang kertas dari uang itu yang membuatnya menjadi uang. Uang adalah artefak yang dibuat dan harus diakui subyek. Sekarang ada entitas yang kita sebut cek. Cek itu bentuknya lain, tapi karena semua mengakuinya ada maka cek tersebut bisa berfungsi menggantikan fungsi uang. Hal yang sama juga terjadi pada kartu kredit, travel check, dan lain lain. Semua ini adalah obyek sosial. Jadi obyek sosial sangat banyak, dan keberadaannya tergantung dari keberadaan subyek. Dengan kata lain obyek sosial ada karena kita mengadakannya, atau menganggap dan mengakuinya ada. Bila kita berhenti mengakuinya ada, maka ia menjadi tidak ada.



Kembali ke topik kita sebelumnya. Kognisi adalah bagian dari xe "kesadaran"kesadaran yang khusus berlaku ketika kita berinteraksi dengan obyek, obyek alam atau obyek sosial. Pertanyaannya adalah bisakah kita melihat subyek seperti kita melihat obyek, atau bisakah kita memahami subyek dengan cara yang sama dengan cara kita memahami xe "kesadaran"obyek? Filosof xe "Thoman Nagel"xe "Thoman Nagel"Thoman Nagel pernah bertanya: bagaimana rasanya menjadi kelelawar? Para ahli binatang bisa berbicara panjang lebar tentang perilaku kelelawar, dari waktu bangun sampai tidur, tetapi mereka tidak bisa menggambarkan bagaimana rasanya menjadi kelelawar. Terhadap manusia, kita bisa bertanya dengan pertanyaan serupa: bagaimana rasanya menjadi subyek lain? Para ahli syaraf, sebagaimana para ahli binatang, tidak mampu menjawab pertanyaan ini dengan memuaskan. Mereka dengan fakultas kognisi tidak bisa memahami apa yang dirasakan dan dialami oleh subyek lain. Yang bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi subyek adalah subyek itu sendiri yang ia alaminya secara subyektif. Pengalaman inilah yang tidak bisa diakses dan dipahami oleh pengamat bila melihat subyekxe "kesadaran" sebagai obyek. Karena setiap subyek memiliki xe "kesadaran"kesadaran, dan memiliki pengalaman interioritas yang hanya bisa diakses oleh dirinya secara subyektif, maka keunikan inilah yang yang harus diakui (xe "recognize"recognize) dalam hubungan xe "intersubyektivitas"intersubyektivitas. Karena internal properties dari subyek adalah sama, maka kesamaan inilah yang harus diakui dan dihargai oleh setiap subyek ketika mengadakan relasi dengan subyek lain. Memahami subyek dengan pendekatan kognitif sama dengan membangun xe "kesadaran"kesadaran relasi subyek-obyek dengan subyek. Dimensi interioritas subyek akan hilang bila perspektif ini yang kita gunakan.



Jadi kalau kita menggunakan xe "kesadaran"xe "kesadaran kognitif"kesadaran kognitif dalam memahami subyek, kita tidak akan pernah sampai pada pemahaman yang kita inginkan. Problem yang dihadapi oleh para filosof ketika mencoba melihat xe "kesadaran"kesadaran atau jiwa sebagai obyek kajiannya telah sampai pada jalan buntu. Tapi ini masih problemnya mereka, problem yang lebih serius akan muncul bila xe "kesadaran"xe "kesadaran kognitif"kesadaran kognitif digunakan dalam hubungan sehari-hari kita dengan orang lain. Serius karena hubungan kita dengan sesama tidak akan pernah saling berterima dan tidak akan pernah autentik, karena kita berhubungan dengan orang lain bukan sebagai subyek tetapi sebagai obyek. Bila xe "kesadaran"xe "kesadaran kognitif"kesadaran kognitif yang beroperasi waktu berhubungan dengan sesama, maka orang lain pasti akan dilihat sebagai instrumen, sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan diri. Yang terjadi adalah pertama-tama ada xe "proses obyektifikasi"xe "proses obyektifikasi subyek"proses obyektifikasi subyek dengan cara penghilangan dimensi dalam (xe "interior dimension"interior dimension) dari subyek, karena xe "kesadaran"xe "kesadaran kognitif"kesadaran kognitif hanya mampu melihat dimensi luar (xe "exterior dimension"exterior dimension) dari subyek. Akibat dari penghilangan ini, yang dapat kita lihat dari orang lain hanya atribut luarnya saja: seperti status, kekayaan, ketampanan atau tampilan fisik dan lain-lain. Semua ini adalah properties yang dimiliki oleh subyek, tapi properties tidak identik dengan subyek. Badan saya tidak sama dengan saya dan jabatan saya tidak juga sama dengan saya.



Akibat dari kesalahan ini sangat luar biasa. Tatkala kita melihat orang berdasarkan status yang dimiliki, perilaku kita akan berubah sesuai dengan asesmen kita terhadap status itu. Misalnya, bila melihat orang lain memiliki status yang lebih tinggi dari kita, maka sikap kita akan berbeda dengan, misalnya, kita melihat orang lain yang memiliki status sosial yang lebih rendah. Ini disebabkan karena tatkala kita melihat satus orang lain, sebenarnya kita membandingkannya dengan status yang kita miliki. Melihat dimensi luar dari subyek melibatkan proses pembandingan seperti ini. Karena fungsi dan status masing-masing orang tidak sama, maka hasil pembandingan itu akan melahirkan xe "kesadaran"kesadaran bahwa status kita bisa lebih tinggi, atau lebih rendah. Kesadaran yang terbangun di sini adalah kesedaran kognitif, dimana terjadi proses meninggikan orang (dan merendahkan diri) dan merendahkan orang (dan meninggikan diri. Di sini, subyek, diri maupun orang lain, dilihat sebagai seolah-olah obyek. Subyek direduksi menjadi identik dengan external properties yang dimiliki. Karena kita melihatnya seperti itu, maka perilaku kita kita sesuaikan dengan cara pandang ini. Jadi menggunakan xe "kesadaran"xe "kesadaran kognitif"kesadaran kognitif ketika berhubungan dengan orang lain akan melahirkan hasil pengelihatan bahwa orang lain adalah obyek dan diri kita adalah juga obyek.



Ketika kita melihat orang lain sebagai obyek atau melihat atribut obyektif yang melekat pada dirinya sebagai yang penting, maka kita sebenarnya sekaligus juga sedang melihat diri sebagai obyek juga. Ada xe "proses obyektifikasi"proses obyektifikasi dari diri sedang terjadi. Memberikan penilaian terhadap orang lain dengan status lebih tinggi, dalam waktu yang bersamaan kita juga sedang menilai diri relatif terhadap status yang dimiliki orang itu, yaitu status kita lebih rendah. Hasilnya, kita akan melihat orang lain sama, atau lebih rendah atau lebih tinggi. Lalu perilaku kita akan mengikuti sesuai dengan hasil penilaian, sesuai hasil obyektifikasi itu. Akibatnya, kualitas relasi subyek-subyek tidak otentik karena interaksi dibangun berdasarkan dimensi eksternal subyek saja. Di sinilah proses penghinaan kemanusiaan mulai terjadi karena kita melihat subyek menjadi sekedar instrumen dari evaluasi kita. Relasi antar subyek menjadi tidak normal, tidak sejajar karena hubungan antar subyek dibangun berdasarkan perbedaan harga (importance)xe "kesadaran rekognitif"xe "kesadaran"xe "kesadaran rekognitif". Ini adalah patologi hubungan dan merupakan problem serius yang kita hadapi sekarang ini. Kita memberi penghargaan yang berlebihan pada orang lain atau pada diri kita, kita merendahkan diri atau merendahkan orang lain secara berlebihan. Hubungan kita dengan sesama adalah hubungan status. Sekarang ini umum kita alami bahwa ketika kita menjadi penjabat, misalnya, kita memiliki banyak teman, tetapi begitu kita berhenti menjadi penjabat kita kehilangan banyak teman. Ini karena hubungan yang terbangun selama ini tidak otentik berdasarkan relasi intersubyektivitas dengan harkat dan martabat yang sama (lihat apendiks A).



Jadi program pembelajarannya adalah bagaimana mengurangi dominasi xe "kesadaran"xe "kesadaran kognitif"kesadaran kognitif dalam interaksi antar subyek. Saya kira kerangka tiga relasi subyek dengan tiga tipe xe "kesadaran"kesadaran di atas membantu kita melihat peta persoalan kemanusiaan dengan lebih jelas. Bila kita berurusan dengan sesama, xe "kesadaran"kesadaran yang dibangun pertama-tama adalah xe "kesadaran rekognitif"xe "kesadaran"xe "kesadaran rekognitif"kesadaran rekognitif, xe "kesadaran"kesadaran bahwa kita sedang berada dalam relasi antar subyek. xe "Kesadaran kognitif"Kesadaran kognitif digunakan untuk membantu xe "kesadaran rekognitif"xe "kesadaran"xe "kesadaran rekognitif"kesadaran intersubyektif, atau kesadaran rekognitif. xe "Kesadaran kognitif"Kesadaran kognitif dalam konteks xe "intersubyektivitas"intersubyektivitas harus bersifat komplementer, untuk membantu keberhasilan relasi subyek-subyek, bukan untuk mendominasi, apalagi merusaknya. Karena cara pandang seperti ini belum kita miliki sebagai kolektivitas, maka pembelajaran praksis xe "recognitive learning"xe "recognitive learning"menjadi penting. Agar bisa mengatasi persoalan isu-isu intersubyektif seperti bagaimana membangun kerjasama sosial, bagaimana meminimalisir konflik, bagaimana membangun sinergi sosial, bagaimana membangun sikap kasih sayang, tolong menolong, dan lain lain harus ada pembelajaran yang berkaitan dengan bagaimana kita melahirkan xe "kesadaran rekognitif"xe "kesadaran"xe "kesadaran rekognitif"kesadaran intersubyektif. Karena di sini fakultas kognisi tidak bisa digunakan sepenuhnya, maka fakultas lain yang kita perlukan adalah fakultas hati. Jadi fakultasnya berbeda: otak untuk berhubungan dengan obyek dan hati untuk berhubungan dengan sesama subyek. Karena dimensi xe "non-material"non-material dari subyek adalah xe "kesadaran"kesadaran atau jiwa maka subyek hanya bisa didekati dengan hati, dengan rasa. Hati mengenal dan mengakui keberadaan subyek, dan merasakan secara langsung kehadirannya. Dimensi xe "non-material"non-material setiap subyek adalah sama, yaitu sama-sama memiliki interiority, dan konstitusi yang membentuk lahirnya xe "kesadaran"kesadaran juga sama. Ini berarti di level ontologi semua subyek adalah sama, yang berbeda hanya properties, yaitu dimensi eksterior (apa yang dimiliki oleh subyek) dari subyek. Pada level dalam, esensi dari subyek semua orang adalah sama, dan sejajar. Itulah sebabnya semua orang berharap bisa diperlakukan sama atau sejajar. Esensi ini harus kita kenali, akui dan hargai ada pada orang lain, dan juga ada pada diri kita. Semua nilai sosial seperti keadilan harus diturunkan dari konsep kesamaan azali ini, sebagaimana nanti kita elaborasi dalam pembahasan tentang xe "dialog"xe "dialog"dialog pada bab yang akan datang. Tetapi semua ini hanya mungkin bila kita menggunakan pendekatan rekognitif, pendekatan hati, dan bukan dengan pendekatan kognisi.



xe "Kesadaran kognitif"Kesadaran kognitif dalam relasi subyek-subyek akan melahirkan tuntutan ketundukan dari orang lain pada kita, seperti ketundukan obyek pada kita. Kita bisa perlakukan obyek sekendak kita, dan ia tidak akan protes, seperti mobil yang kita gunakan sampai rusak tidak akan protes. Itulah obyek. Kita tidak bisa memperlakukan subyek dengan cara yang sama seperti ini, karena dimensi interioritas subyek akan bereaksi bila disentuh: ia akan merasa diperlakukan tidak adil. Di level nurani yang dalam dia akan memberontak, bahwa ada sesuatu yang tidak fair atau tidak adil yang ia rasakan. Oleh karenanya pendekatan hatilah yang bisa memahami ini, yaitu hanya dengan hati kita bisa menyadari akan adanya kesamaan dasar kemanusiaan. Kesadaran rekognitif berkaitan dengan kearifan. Kebutuhan-kebutuhan dasar di level nurani adalah sama dan bersifat interinsik.



Salah satu kebutuhan intrinsik dari subyek adalah kebutuhan untuk mengadakan relasi dengan orang lain. Subyek akan merana bila hidup sendirian. Di surgapun dulu Nabi Adam tidak sanggup melakukannya; karena tidak sanggup hidup sendiri, beliau memohon pada Tuhan agar mendapatkan pendamping. Jadi kebutuhan intrinsik subyek, sebagai kebutuhan jiwa (nurani), adalah memiliki hubungan normal terus menerus dengan subyek lain. xe "Daniel Coleman"Daniel Coleman dalam “xe "Social Intelligence"Sosial Intelligence”nya mengatakan bahwa hubungan sosial atau hubungan xe "intersubyektivitas" intersubyektivitas memiliki pengaruh terhadap kesehatan tubuh. Kalau ada hubungan kita dengan sesama yang terganggu maka akan berpengaruh terhadap imunitas. Sebaliknya bila interaksi dengan sesama normal, maka tubuh kita akan menjadi sehat. Ini sejalan dengan ajaran agama bahwa silaturahim membuat umur menjadi lebih panjang. Kajian-kajian yang berkaitan dengan xe "social brain"xe "social brain"sosial brain baru dimulai beberapa dekade terakhir. Tahun 2000 adalah konferensi internasional pertama tentang sosial brain yang melihat hubungan antara xe "intersubyektivitas"intersubyektivitas dan biologi. Semua jenis interaksi yang bukan intrinsik akan melahirkan hubungan yang sakit, tidak hanya secara sosial tapi juga secara biologis. Oleh karenanya adalah kebutuhan intrinsik setiap subyek untuk mulai membangun pembelajaran hati (pembelajaran rekognitif) dengan lebih sungguh-sungguh.



Karena masing-masing orang memiliki harga dan nilai kemanusian yang sama, maka setiap tindakan yang terkait dengan orang lain tidak bisa dikontrol secara sepihak. Setiap tindakan yang menyangkut subyek lain harus lahir berdasarkan prinsip konsensualitas, harus berdasarkan persetujuan, harus dibangun berdasarkan kesepakatan yang tulus dari masing-masing subyek. Tidak ada cara lain kita berhubungan dengan sesama kecuali melalui prinsip konsensualitas yang mengandaikan bahwa kita adalah sejajar, dan bahwa masing kita memiliki nilai intrinsik yang sama. Ini berbeda dengan interaksi antar-obyek (inter-obyektivitas). Inter-obyektivitas bekerja berdasarkan xe "hukum kausalitas"hukum kausalitas, yaitu sesuatu terjadi disebabkan sesuatu yang lain. Karena relasi subyek-subyek bukan relasi benda dengan benda, tapi relasi antar dua atau lebih entitas xe "kesadaran"kesadaran, maka relasi sosial yang sehat terbangun hanya melalui persetujuan antar semua subyek yang terlibat.



Pembelajarannya adalah bagaimana agar kita selalu sadar bahwa semua subyek, siapapun dia, memiliki kebutuhan sesuai esensi interior yang sama. Ini artinya kebutuhan dasar masing-masing adalah sama, termasuk kebutuhan untuk membangun hubungan intersubyektivitas. Kalau xe "kesadaran"kesadaran ini ada, maka hubungan akan bersifat mutual atau akan lahir proses mutual yang di dalamnya berlangsung proses dialogis, dimana masing-masing orang adalah partisipan, dan tidak ada yang berfungsi sebagai xe "observer"observer. Karena xe "intersubyektivitas" intersubyektivitas adalah intrinsik maka efek relasinya adalah menyatukan, yang akan melahirkan efek kesatuan kemanusiaan. Dalam konteks inilah nilai-nilai seperti empati, kasih sayang, respek dan lain-lain bisa kita pahami dengan lebih baik. Empati, kepedulian terhadap sesama, adalah intrinsik karena xe "intersubyektivitas"intersubyektivitas adalah intrinsik. Empati atau kasih sayang akan menjadi nilai yang asing bila hubungan xe "intersubyektivitas"intersubyektivitas bukan kebutuhan intrinsik. Ciri dari xe "intersubyektivitas"intersubyektivitas yang intrinsik adalah melihat hubungan itu sendiri sebagai tujuan, bukan sebagai sarana untuk tujuan lain. Jadi bila xe "intersubyektivitas"intersubyektivitas (silaturrahim) menjadi tujuan di dalam dirinya maka semua nilai-nilai dan tindakan-xe "tindakan sosial"tindakan sosial bertujuan untuk memenuhi kebutuhan intrinsik xe "intersubyektivitas"intersubyektivitas tersebut.



Kognisi tidak mungkin bisa berkembang secara optimal tanpa berada dalam setting intersubyektif. Sebagai contoh, pada tahun 30-an ditemukan dua orang anak yang dibesarkan oleh serigala di India, yang seorang umurnya 8 tahun, yang lainnya 7 tahun. Saat ditemukan ke dua anak tersebut tidak bisa berbicara. Mereka juga tidak bisa berdiri. Kemampuan kognitif mereka tidak berkembang. Sebabnya adalah karena mereka tidak tumbuh dan berkembang dalam konteks intersubyektivitas. Sepuluh tahun kemudian, salah satu di antara mereka yang masih hidup bahkan tidak mampu berbahasa. Ekspresi wajah anak itu tetap dingin, tidak memiliki tanda-tanda yang normal yang mengekspresikan adanya kemampuan membangun hubungan intersubyektif. Ini disebabkan karena ia dari sejak awal tidak dibesarkan dalam konteks hubungan sosial yang normal. Setting pembelajaran yang hilang adalah xe "intersubyektivitas"intersubyektivitas.



Jadi sekalipun dari awal kita berbicara tentang relasi subyek-obyek, sebenarnya sebagian besar konteksnya adalah intersubyektif. Sebagian besar relasi subyek-obyek adalah xe "second-order"xe "second-order intersubjectivity"second-order xe "intersubjectivity"intersubjectivity. Di level ini tujuan interaksi adalah dalam rangka mencari kebenaran intersubyektif. Di atas telah dikatakan bahwa salah satu tujuan dari relasi subyek-obyek adalah untuk mendapatkan pengetahuan tentang obyek dan inti dari pengetahuan adalah kebenaran. Sekarang, relasi antar-subyek di level xe "second-order"second-order akan berkaitan dengan komunikasi tentang sesuatu, tentang kebenaran sebuah obyek. Prinsip komunikasi yang konsisten dengan xe "first-order intersubjectivity"first-order xe "intersubjectivity"intersubjectivity adalah apabila masing-masing partisipan bertujuan mencari kebenaran intersubyektif, yaitu kebenaran yang lebih tinggi dari yang dimiliki secara subyektif oleh masing-masing subyek. Jadi sekalipun relasinya bersifat kognitif xe "second-order" untuk mencari kebenaran obyek, kebenaran yang dituju adalah kebenaran yang lebih tinggi yaitu kebenaran intersubyektif. Tetapi kebenaran intersubyektif bukanlah tujuan utama interaksi antar-subyek. Yang membuat hubungan bisa melahirkan rasa persatuan bukan karena adanya kesatuan dalam cara kita melihat obyek saja; yang membuat kita bersatu adalah adanya pertemuan xe "intersubyektivitas"intersubyektivitas, bukan pertemuan pikiran saja. Pemahaman bahwa semua manusia adalah bersaudara, tidak cukup untuk melahirkan praktik hidup yang saling berterima. Ia hanya bisa membantu memperkuat, tapi yang membentuk kesatuan itu adalah kalau ada hubungan interaksi antar hati. Elemen konstitutif xe "sistem sosial"sistem sosial berbeda dengan elemen konstitutif sistem pengetahuan. Tapi adanya kesamaan sudut pandang secara kognitif bisa memperkuat hubungan intersubyektif.



Pertanyaanya: Dari mana kita memulai pembelajaran hati dan apa institusi pembelajaran yang di dalamnya kita berlatih dengan memadai? Jawaban dari pertanyaan ini tidak mudah dan hingga saat ini belum ada yang memuaskan. Dalam bab berikut kita mencoba menemukan jawaban berdasarkan arahan dari dimensi normativitas dari bahasa. Karena kegiatan berbahasa adalah aktivitas menggunakan simbol untuk mengeksternal apa yang ada di dalam hati dan pikiran, maka maka usaha pencarian prinsip prinsip pembelajaran hati (termasuk kemungkinan untuk mendapatkan istitusi pembelajarannya) di institusi bahasa tidaklah berlebihan (off-base), sebagaimana akan kita lihat. Akan tetapi terlebih dahulu akan dibahas tentang nilai manusia, dibandingkan dengan makhluk lainnya di jagad raya ini. Kesadaran akan nilai manusia akan memberikan pengaruh terhadap cara kita melihat dan bersikap terhadap sesama.





     
      Baca Selengkapnya »      

Selasa, 09 Mei 2017

Pedagogi Hati: Praktek Positivitas Dalam Perjumpaan



Pedagogi Hati: Praktek Positivitas Dalam Perjumpaan

Oleh: Dr. M. Husni Muadz




Pengetahuan kehidupan (practical knowledge), seperti agama, moral, politik, ekonomi, dan lain lain, memiliki dua dimensi: teoritis dan praksis. Yang satu berkaitan dengan "apa" dan berada di ranah kognitif dan bersifat abstrak, dan yang lainnya berkaitan dengan "bagaimana", dan berada di ranah tindakan dan bersifat konkrit. Ke duanya mestinya adalah satu kesatuan yang menyatu dalam sirkulaitas kehidupan: yang satu adalah pedoman cara hidup tertentu dan yang lainnya adalah praktik hidup sesuai pedoman.

Tapi dalam realita perhatian lebih banyak diberikan pada dimensi kognitif dari practical knowledge, yaitu pada dimensi "what"nya atau pada isi pedoman (manual) dari pada dimensi "how" nya, atau dimensi praksisnya. Pembelajaran atau praktek dimensi ini, agaknya, belum terancang secara sungguh sungguh dan bahkan diserahkan menjadi tanggung jawab individu masing masing, bukannya terstruktur dan terinstitusi seperti pada pembelajaran dimensi kognitif. Akibatnya, banyak nilai nilai etika dan spiritualitas tidak hidup dan manifes dalam tindakan kolektif komunitas karena mereka hanya ada dan tersimpan dengan baik dalam memori.

Cara belajar mono dimensi seperti di atas agaknya dipengaruhi oleh cara belajar dalam ilmu ilmu murni (pure sciences) seperti astronomi, fisika, kimia dan sejenisnya. Ini juga sebagian berlaku untuk teknologi. Seorang Habibi, misalnya, terkenal ahli dalam merancang dan membuat pesawat modern super canggih. Tapi dalam hal praktik? Ia tidak kualifait bahkan tidak mampu menerbangkan pesawat! Dan untuk bidang ini memang tidak ada tuntutan untuk harus bisa melakukannya.

Tetapi untuk bidang humaniora kompetensi praksis menjadi imperatif yang tidak bisa ditawar. Ini analog dengan profesi tari atau renang. Bila ingin menjadi penari atau perenang, maka paket pembelajaran yang terkait dengan latihan tari atau renang menjadi bagian wajib dalam kurikulum, disamping tentu yang terkait dengan dimensi teoritiknya.

Untuk ilmu ilmu permainan seperti ini kita mampu melihat betapa pentingnya pembelajaran praktek sebagai syarat keberhasilan, kenapa kita abai melihat hal yang sama dalam pembelajaran hidup yang lebih serius seperti pembelajaran moralitas dan etika, misalnya? Something is missing here: pembelajaran praksis hidup tidak bisa diserahkan menjadi urusan masing masing individu, seperti yang diasumsikan selama ini.

Model pembelajaran praksis harus mampu memberikan ruang pembelajaran (praktek) terus menerus. Kenapa? Karena tindakan tindakan manusia bukan mekanis mengikuti prinsip kausalitas, melainkan bersifat intensional yang memerlukan kesadaran terus menerus untuk mempraktikkan nilai nilai yang diperlukan setelah kondisi keberlakuannya memenuhi syarat. Lalai adalah lawan dari sadar, dan melawan kelalaian memerlukan pembelajaran sadar bersama terus menerus.

Kerangka pembelajaran yang ditawarkan mengharuskan pembelajaran terjadi dan berlansung secara kolektif (tim). Pembelajaran bersama bukan saja akan lebih menjamin efektivitas pembelajaran, tetapi juga karena pembelajaran praksis bersifat relasional yang mengandaikan adanya orang lain sebagai parner pembelajaran. Pembelajaran berjamaah memberikan ruang terjadinya proses saling mengingatkan tentang kebenaran dan kebaikan tanpa banyak resistensi yang bisa melahirkan salah paham yang tidak perlu. It takes two to tanggo dan pembelajaran praksis selalu dalam konteks komunitas, sehingga transformasi bisa dilalui dan dialami bersama sebagai anggota dari the community of practice.

Tulisan ini mencoba menawarkan kerangka konseptual tekologi pendidikan hati dalam dimensi praksis untuk menstimulasi refleksi dan diskusi lebih lanjut untuk menemukan model pembelajaran yang lebih menjanjikan. Insight awal didapatkan dari deontik bahasa. Bahasa dilihat sebagai tindakan (secara teknis disebut tindakan ilokusi) memiliki dimensi normativitas, termasuk moral, yang melekat di dalamnya pada semua bahasa. Karena berbahasa tidak bisa dihindari, maka penggunaan dimensi ini juga, positip atau negatip, tidak bisa dihindari. Tergantung pembiasaan selama ini, seseorang dalam tindakan tindakan berbahasa menggunakannya sesuai prinsip prinsip deontik atau bukan, tergantung kesadaran yang bersangkutan. Yang juga tidak bisa dihindari dalam hidup adalah selalu beroperasinya emotioning atau perasaan tertentu ketika mengalami atau melakukan sesuatu, seperti perasaan suka, bosan, sedih, dan lain sebagainya. Tidak ada pengalaman yang dilalui tanpa diikuti dengan emotiong tertentu. Ini cara kita mengada.

Ke dua hal yang tidak bisa dihindari ini, yaitu emotioning dan languaging, masing masing bisa mengekspesikan dua kelompok nilai: positivitas atau negativitas. Pertanyaannya: di mana dan kapan nilai nilai ini dioperasikan? Jawabannya: ketika sedang dalam perjumpaan perjumpaan. Yang menarik adalah, dalam kehidupan keseharian kita, perjumpaan dengan sesama juga tidak bisa dihindari. Apakah ke tiga hal yang tidak bisa dihindari dalam hidup ini terjadi secara kebetulan? Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa ketiga hal ini tidak bisa dihindari dalam hidup bukan karena kebetulan, tetapi karena keharusan untuk tujuan tertentu yang sangat penting untuk kehidupan kita.

Emotioning dan languaging beroperasi dalam perjumpaan perjumpaan, yang berarti normativitas dari ke duanya juga beroperasi dalam perjumpaan perjumpaan. Apa tujuan perjumpaan? Selama ini perjumpaan dilihat memiliki tujuan sesuai yang dikehendaki oleh para pihak yang berjumpa. Perjumpaan adalah sarana agar dialog tentang tujuan bisa berlansung atau bisa dirumuskan. Jadi tujuan perjumpaan bisa berbeda beda; tujuan perjumpaan bisa tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya.

Yang ditawarkan dalam tulisan ini adalah gagasan bahwa semua jenis perjumpaan memiliki hanya satu tujuan: untuk memperjumpakan dan mempersatukan hati! Yang lainnya yang selama dianggap sebagai tujuan tujuan sebenarnya bukan tujuan tetapi salah satu indikator dari kebehasilan perjumpaan. Aktivitas yang dimiliki perjumpaan untuk mencapai tujuan intrinsiknya ada dua: sikap batin (emotioning) dan tindakan lahir, yaitu tindakan berbahasa (yang nantinya akan melahirkan tindakan tindakan lainnya yang non-bahasa). Bila perjumpaan adalah lembaga untuk mempersatukan hati, maka sarana yang digunakan adalah positivitas emotioning dan positivitas tindakan berbahasa. Memilih negativitas dari keduanya akan membuat hati saling menjauh. Antara sarana dan tujuan harus sesuai, dan sarana yang baik adalah sarana yang paling efektif untuk mencapai tujuan. Ini tuntutan rasionalitas biasa. Bila hubungan baik dengan sesama adalah tuntutan eksistensial, maka masuk akal kenapa perjumpaan, emotioning, dan tindakan ilokusi adalah fenomena yang tidak bisa dihindari dalam hidup manusia, karena ketiganya adalah syarat wajib yang harus ada untuk tujuan konektivitas hati, tetapi bukan syarat cucup. Syarat cukup adalah beroperasinya positivitas yang terkait dengan emotioning dan tindakan tindakan ilokusi.

Selama ini perjumpaan perjumpaan yang ada belum dilihat memiliki tujuan intrinsik tunggal. Yang ada adalah pluralitas tujuan dari perjumpaan perjumpaan. Artinya apa? Perjumpaan tidak dilihat memiliki tujuan intrinsik, maka perjumpaan selama ini hanya dilihat sebagai sarana dan secara transitif ini berarti para pelaku perjumpaan adalah juga sarana atau alat. Ini berarti, secara tidak sadar, kita memposisikan diri lebih rendah dari tujuan tujuan perjumpaan. Akibatnya, yang dominan dalam kehidupan sosial kita adalah persaingan persaingan, di semua level, dengan pola relasi dominan yang terbangun adalah menang atau kalah. Akibatnya, ancaman perpecahan terjadi di mana mana, nyaris menjadi trend yang tak terbendungkan.

Apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki keadaan? Yang harus dilakukan adalah redifinisi konsep perjumpaan dan memulai normalisasi praktek praktek perjumpaan dalam institusi pembelajaran yang dirancang sesuai tujuan intrinsik dari perjumpaan itu sendiri.

Institusi pembelajaran yang diperlukan tidak bisa didapatkan di dalam institusi institusi perjumpaan yang ada karena mind set tujuan perjumpaan masih bersifat instrumental. Oleh karenanya diperlukan institusi pembelajaran yang khusus dirancang untuk perbaikan praktek praktek perjumpaan. Institusi tersebut adalah semacam bengkel perjumpaan, di mana setiap bengkel memiliki komunitas pembelajar yang memiliki komitmen untuk bersama sama berlatih mempraktekkan perbaikan perbaikan dalam perjumpaan. Institusi pembelajaran perjumpaan dengan tujuan seperti ini kita namakan "sekolah perjumpaan"("olah jumpa"); sekolah ini tidak memilki ciri fisik seperti sekolah biasa, tetapi cirinya adalah komunitas yang ada di dalamnya memiliki collective consciousness untuk terus menerus bersama sama berlatih dalam setiap perjumpaan mereka mempraktekkan nilai nilai yang akan melahirkan emergence keberterimaan hati.

Tulisan ini sebagiannya merupakan abstraksi dari pengalaman pembelajaran di sebuah komunitas sejak dua tahun lalu yang sekarang ini telah berkembang secara alami menjadi lima belas komunitas lebih (permintaan terus meningkat), dan sebagiannya lagi merupakan hasil refleksi dan diskusi dalam rangka pencarian model pembelajaran praksis yang kriteria perumusannya sangat berat, yaitu, a.l., yang secara konseptual relatif sederhana, murah, bisa masif (scalable), sustained, dan tentu yang lebih optimistik. Proposal ini tentu masih sangat jauh dari kriteria ini. Tetapi sebagai proposal yang menawarjan langkah awal untuk memulai sebuah gerakan pembelajaran praksis yang berbasis kesadaran kolektif mungkin perlu mendapatkan pertimbangan, karena dalam dunia praksis, tanpa bisa dihindari, kita terpaksa harus terus berlayar sambil memperbaiki kerusakan kapal.





     
      Baca Selengkapnya »