Kamis, 10 November 2016

KORELASI ISLAM DAN SAINS


KORELASI ISLAM DAN SAINS[1]:
Sebuah Kajian Awal

Mukaddimah

Islam adalah agama ilmu. Kalimat itu mungkin lebih tepat ketika ingin melihat korelasi antara Islam dengan ilmu (al-‘ilm) dan pengetahuan (al-ma’rifah). Karena memang Islam dan ilmu pengetahuan tak mungkin diceraikan. Keduanya bak dua sisi mata uang. Oleh karena itu, sejak awal Allah sudah mengajarkan kepada umat Islam konsep ilmu yang secara komprehensif.

Wahyu perdana, Iqra’ (Qs. 96: 1-5), menjadi titik awal proses Islam membuat sejarah baru dalam bidang ilmu pengetahuan. Dimana proses baca-tulis menjadi saudara kembar dalam menghasilkan dan melahirkan ilmu pengetahuan Islam. Dari wahyu Iqra’ ilmu mengalir. Dari satu komunitas kecil: Arab terbelakang menjadi komunitas peradaban yang menggemparkan dan menggegerkan dunia. Karakter “ilmiah” ini lah yang menjadikan Islam maju luar biasa.

Dalam tulisan ini, penulis hanya memaparkan beberapa kata kunci yang ada dalam konstruk ilmu (sains) dalam Islam. Dengan harapan ada satu titik penting yang dapat dipahami dan ditangkap dari bangunan ilmu pengetahuan Islam tersebut yang genuine.

A.    Sejarah Sains Dalam Islam

Istilah sains sering digunakan sebagai kata kolektif untuk menunjukkan berbagai ilmu pengetahuan yang sistematik dan obyektif serta dapat di-verifikasi kebenarannya. Konsekwensi dari penegrtian ini adalah dikotomi ilmu pengetahuan yang meniscayakan terpisahnya Obyek dan Subyek. Ilmu pengetahuan di dalam Islam tidak mengenal dikotomi Ilmu Pengetahuan dan selamanya antara Subyek dan Obyek akan terus saling mempengaruhi dan dibimbing oleh Wahyu.

Ilmu pengetahuan termasuk bagian dari sistem peradaban. Peradaban adalah sistem kehidupan yang terbentuk dari pola pikir (framework) yang berada disekitar lingkungan tertentu,, terbentuknya peradaban tersebut terjadi secara eklektik sesuai dengan prinsip-prinsip kehidupan yang telah ada. Beberapa abad sebelum munculnya Islam, di Jazirah Arab telah mengenal peradaban lembah Nil, Peradaban lembah Dajlah dan Furat, Peradaban Yaman, Peradaban Syam, Peradaban Tunis, Bahrain, Persia, Mesir, Iraq,Yunani dan Romawi.[2]

Peradaban Eropa banyak dipengaruhi oleh Peradaban Anatolia, Crete dan Yunani, namun peradaban-peradaban tersebut dapat sampai ke Eropa melalui pemikir-pemikir Islam melalui proyek penerjemahan ke bahasa Latin yang digunakan oleh masyarakat Eropa. Sebelum munculnya Islam, keruntuhan telah terjadi pada perdaban-peradaban besar yang berada disekitar Jazirah Arab.

Ketika Islam muncul sebagai agama yang membawa benih-benih peradaban besar dan secara terang-terangan mewajibkan untuk menuncari dan mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai jalan hidup, maka para pecinta ilmu mulai mempelajari peradaban yang telah ada sebelumnya. Ilmu pengetahuan Islam mengalami kemajuan yang mengesankan selama periode “abad pertengahan” melalui orang-orang kreatif seperti Al-Kindi, Ar-Razi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibn Rusyd, dll. Mereka telah melakukan investigasi dalam berbagai bidang ilmu penegtahuan tetapi semua dalam framework keagamaan dan dengan metode skolastik.

Dengan metode skolastik ini, Islam dapat menghasilkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan cepat, kreatif dan dinamis. Sementara itu beberapa orang khalifah dan Crusader (pasukan salib) membakar perpustakaan-perpustakaan dan membungkam para cendikiawan muslim, sedangkan yang lainnya menyalin dan menyalurkan buku-buku untuk dijadikan perpustakaan besar dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan bagi masyarakat umum. Hal inilah yang kemudian umat Islam sering dituduh reaksioner dan finalistik dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.[3]

Meskipun demikian, Islam selalu memandang dunia dan segala hal yang melatarbelakanginya sebagai buku yang terbuka yang dapat dibaca dan dipahami oleh semua orang dengan menghilangkan unsur-unsur fanatisme dan ortodoksi agar ilmu pengetahuan dan perkembangannya dapat memberi pengaruh yang nyata dalam segala aspek kehidupan. Hal ini tentunya karena dipengaruhi oleh “epistemologi Islam” yang sudah mapan dan kukuh.

B. Epistemologi Islam

Epistemologi sejatinya merupakan teori yang berada dalam hirarki ilmu Filsafat yang memusatkan pada pengkajian ilmu pengetahuan yang terbenam dalam pikiran manusia. Teori ini diharapkan mampu menguji kebenaran sebuah konsep atau gagasan. Konsep atau gagasan ini adalah ilmu pengetahuan yang hadir dari sebuah pandangan hidup, agama, kebudayaan, dan peradaban seorang individu. Epistemologi dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang ilmu pengetahuan diantaranya, ‘apakah manusia dapat mengetahui?’, ‘darimanakah pengetahuan itu muncul?’ Di dalam Islam, epistemologi berkaitan dengan metafisika dasar Islam. Metafisika dasar dalam hal ini, sebagaimana dikatakan Al-Attas dalam A Commentary on the Hujat al-Ssidiq of Nur al-Din al-Raniri yang dikutip oleh Hamid, mencakup di dalamnya wahyu, hadits, akal, pengalaman dan intusisi.[4]

Otentisitas wahyu sebagai perkataan Tuhan dapat dengan mudah diidentifikasi dengan menyimak dan mentadabburi kebesaran-Nya melalui penciptaan alam semesta dan segala isinya. Nabi Muhammad s.a.w. selain sebagai penyampai pesan-pesan wahyu, ia pun manifestasi akhlak Qur’ani dimana tidak ada yang dapat menafikan kesempuranaan dan kemuliaannya. Perkataan dan prilaku juga menjadi teladan yang baik (qudwah hasanah) bagi umat manusia yang mana sudah terekam dalam catatan-catatan para sahabat, tabi’in, dan ta’bi-tabi’in berupa hadith. Tidak sampai disitu saja, hadith-hadith nabi yang disampaikan perlu juga di verifikasi terlebih dahulu agar terhidar dari kepalsuan. Disinilah tokoh-tokoh perawi hadits melalui sanad akan diuji kapabilitas dan kredibilitasnya serta isi pesan yang disampaikannya. Sedikit ada cacat pada diri atau teksnya akan memengaruhi otentisitas hadith. Dari sini bisa kita tegaskan bahwa epistemologi Islam tidak lahir dari suatu yang lemah tapi terbangun dari fondasi yang kuat. 

Keterkaitan dengan metafisika dasar Islam ini ditandai dengan terbetuknya worldview Islam yang di atasnya berdiri fondasi-fondasi epistemologi Islam yang selanjutnya diikuti lahirnya disiplin-disiplin ilmu pengetahuan dalam tradisi intelektual Islam.[5] Lahirnya disiplin-disiplin ilmu dalam Islam tidaklah mudah. Ada ketentuan-ketentuan yang harus ditaati sebagai bentuk ketelitian. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah pertama, jika tidak mustahil adanya menurut akal sehat (la yastahil wujuduhu fi al-‘aql), kedua, jika tidak menyalahi secara kontradiktif keterangan nash yang jelas (an la yakunaa mukhalifan li-nass maqtu’ bihi ‘ala wajhin la yumkin al-jam’u baynahuma), dan ketiga, jika tidak menyalahi apa yang telah disepakati oleh umat Islam (an la yakuna mukhalifan li-ijma’ al-ummah).[6]

Dalam tradisi intelektual Islam, ilmu adalah hasil dari pemahaman (tafaqquh) atas pesan-pesan Allah berupa wahyu yang diterjemahkan secara langsung oleh Rasulullah kepada kaum muslimin. Di sinilah aktivitas keilmuan Islam tidak steril dari nilai-nilai ketuhanan tapi tidak juga mengenyampingkan peran rasionalitas. Kondisi ini menjadikan Islam memiliki konsep keilmuan yang holistis, menyeluruh, dan mencakup kehidupan kini (dunia) dan yang akan datang (akhirat). Konsep keilmuan inilah yang telah mendasari peradaban Islam. Lain halnya dengan tradisi keilmuan Barat, selain disebabkan sejarah konflik antar agama dan ilmu (sains), peradabannya berlandaskan pada materialisme humanistis yang anti Tuhan yang pada akhirnya Barat sepakat bahwa ilmu tidak bisa disandingkan dengan nilai.[7]

Karena wahyu menjadi starting point bagi berkembangnya ilmu pengetahuan dalam Islam, maka konsekuensinya adalah orientasi keilmuan Islam yang menitiberetkan pada penyerahan diri dan ketaatan kepada ajaran Allah SWT yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW. Wan Mohd Nor Wan Daud mengekspresikan bahwa kewajiban setiap muslim untuk mencari ilmu pengetahunan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari aqidah Islam.[8] Oleh karena itu, Islam menekankan pentingnya ilmu pengetahuan untuk memenuhi keperluan spiritual dan meraih kebahagianaan. Konsep kebahagiaan ini melampaui kehidupan duniawi, yakni kehidupan ukrawi yang disana terdapat kebahagiaan yang abadi. Hal ini  jauh berbeda dalam konsep kebahagiaan dalam peradaban Barat yang hanya sebatas pada kebahagiaan duniawi karena karakternya yang matrealistik deterministik. Akibat dari karakter tersebut, pembacaan Barat terhadap alam adalah objek eksplorasi tanpa memikirkan dampak global, seperti pemanasan global atau krisis ekosistem.

Karena ilmu di tangan peradaban Barat sudah menjadi demikian “materialistis” karena pengaruh “materalisme”, Islam mengajukan satu konsep yang luar biasa: Islamisasi ilmu pengetahuan. Dengan demikian, ilmu akan kembali mewujud sebagai satu yang inheren dengan Sang Sumber Ilmu, Allah s.w.t. Dengan begitu, ilmu tidak akan menjadi sekular.

C. Islamisasi Ilmu Pengetahuan[9]

Formulasi sistematis dari islamisasi ilmu pengetahuan dicapai oleh Al-Attas dengan hasil yang jelas pada paruh dua abad ke-20. Meskipun pada dasarnya praktek islamisasi ilmu pengetahuan telah berlangsung sejak permulaan Islam hingga zaman kita sekarang ini. Ayat pertama yang diwahyukan kepada Nabi jelas menegaskan semangat islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, yaitu ketika Tuhan menekankan bahwa Dia adalah Sumber asli Asal ilmu pengetahuan manusia.

Dalam surah Al-‘Alaq (96): 1-5, Allah memerintahkan Nabi Muhammad: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan; Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah; Bacalah! Dan Tuhamulah Yang Maha Pemurah; Yang mengajar (manusia) dengan perantaran Qalam; Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Di sini, tampak bahwa ayat-ayat itu telah mengislamkan pandangan dunia pra-Islam dari aspek ontologis dan epistemologis yang mendasar. Pertanyaan ontologis yang mendasar dan isu lain yang berkaitan, seperti apakah manusia itu sendirian di alam raya ini, dan apakah manusia harus menemukan segala sesuatu problem, secara otomatis telah terjawab. Secara epistemologis, khususnya isu-isu mengenai Tuhan sebagai Sumber segala ilmu pengetahuan dan sebagai Guru umat manusia juga sangat signifikan. Yang juga penting adalah implikasi bahwa karena Sumber ilmu pengetahuan adalah Tuhan Universal yang tidak terikat dengan batasan nasional, etnis, atau bahkan berhubungan dengan masalah gender, maka ilmu pengetahuan itu ketika datang dari Sumber Ilahi dengan sendirinya bersifat universal dan tidak dirasuki oleh ciri-ciri nasional, etnik, atau gender. Perintah untuk membaca dan tindakan membaca, yang merupakan aspek mendasar dari belajar, harus berpijak atas Nama Allah, Yang Esa, yang pada gilirannya akan menjiwai dan menyakralkan kegiatan membaca dan pendidikan secara umum. Jadi, yang ditekankan di sini adalah membaca (mencerap) dan menulis (menggunakan pena) sebagai aspek ganda komunikasi ilmu pengetahuan.[10]

Mengapa ilmu pengetahuan harus “diislamkan”, karena ilmu di tangan Barat sudah menjadi sekular (secularized). Ilmu menurut saintis Barat tidak dibangun di atas “wahyu”, melainkan spekulasi rasional, akal dan pengelaman empirik.[11] Setidaknya ada lima poin konsep ilmu Barat yang dikritik oleh Al-Attas dan harus diislamkan: (1) peradaban Barat dimulai dari worldview metafisis; (2) worldview tersebut dikonstruk oleh materialisme; (3) peradaban Barat yang menekankan rasio (reason) dan menolak spiritual; (4) peradaban Barat menolak kesatuan jasad dan ruh; dan (5) peradaban Barat menerima “misteri” sebagai kepercayaan yang absolut.[12]

Oleh karena itu, ilmu-ilmu masa kini (modern) inilah yang pertama kali harus mengalami islamisasi. Meskipun pada masa silam, ilmu-ilmu telah mengalami islamisasi di tangan para ilmuan Muslim, diantaranya para filosof, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina. Meskipun mereka disinyalir kurang berhasil mengintegrasikan aspek-aspek tertenu dalam elemen-elemen filsafat Yunani ke dalam pandangan hidup Islam. Yang kemudian orang semacam al-Ghazali, berusaha menolak ide-ide ini. Ini kemudian diikuti oleh Fakhr al-Din al-Razi. Yang paling berhasil dalam mengislamkan ilmu kontemporer pada zaman mereka, menurutt Al-Attas, adalah para teolog dan khususnya para filosof sufi atau sufi tingkat tinggi. Namun, yang paling menonjol dan prestasi yang masih belum tertandingi, jika tidak digantikan, adalah kemampuan umat Islam mengembangkan ilmu-ilmu baru yang diilhami oleh Islam, seperti ilmu tafsir Al-Qur’an dan ilmu-ilmu hukum (fiqih) oleh Malik, Abu Hanifah, dan Syafi’i; kritik hadits oleh tradisionis seperti Muslim dan Al-Bukhari; teologi (kalam) oleh Al-Asy’ari dan Al-Maturidi; psikologi spiritual-kognitif dan behavioral oleh sufi; perbandingan agama oleh Al-Biruni; Al-Syahrastani, Ibnu Hazm, dan lain-lain; dan sosiologi-antropologi integral oleh Ibnu Khaldun dan lain-lain.[13]

Untuk menegaskan bagaimana Al-Qur’an “mengislamkan” istilah dan konsep lain pandangan dunia pra-Islam, beberapa contoh konkret dapat diketengahkan di sini. Kehormatan (muruwwah) dan kemuliaan (karam) adalah dua dari sejumlah elemen penting dalam pandangan dunia dan kehidupan pra-Islam yang maknanya berhubungan erat dengan kepemilikan banyak harta, kekayaan, dan karakter tertentu yang dianggap mencerminkan kejantanan. Al-Qur’an mengubah ini semua dengan suatu cara yang fundamental, yaitu dengan cara memperkenalkan faktor kunci, yaitu takwa; dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa yang paling mulia diantara kamu di hadapan Allah adalah yang paling bertakwa.[14]

Selanjutnya, Arab pra-Islam tidak pernah mengaitkan kemuliaan dengan kitab-kitab, kata-kata, atau ucapana (qaul karim), meskipun mereka memberikan apresiasi yang tinggi terhadap kemampuan untuk mengarang dan membaca puisi (syair). Di sini, Al-Qur’an juga memengaruhi perubahan semantik dasar, yaitu kemuliaan diasosiasikan dengan Al-Qur’an: kitab karim atau ucapan kepada orangtua (qaul karim).[15] Contoh lain mungkin cukup memperkuat argumen ini. Ide persaudaraan, yang merupakan fondasi bagi kekuatan suku, kelangsungan hidup, dan kebanggaannya, pada mulanya dikaitkan dengan hubungan darah, dan tidak pernah dikaitkan dengan sesuatu yang lain. Lagi-lagi, Al-Qur’an mengubah ini dengan memperkenalkan ide persaudaraan (ikhwah) berdasarkan iman, yang tinggi dari hubungan berdasarkan pertalian darah.[16]

Dengan adanya islamisasi itu maka lahirlah konsep ilmu yang merasuk ke dalam relung hati dan jiwa. Dan pada gilirannya, ilmu itu lahir ke permukaan sebagai amal saleh, sebagai konsekuensi yang tak terpisahkan dari buah ilmu.

D. Dari Ilmu ke Amal

Islam tidak menjadikan ilmu hanya sebagai kumpulan fakta dan data. Ilmu dalam Islam integral-diametral dengan “amal”. Amal adalah buah dari ilmu. Dan ilmu harus diamalkan. Oleh karena itu, para ulama dalam Al-Qur’an adalah orang-orang yang memiliki rasa takut (khasyyah) yang luar biasa.[17] Semakin tinggi seseorang, semakin baik ibadah dan akhlaknya. Artinya, ilmunya semakin mendekatkan dirinya kepada Sang Pemilik Ilmu (‘Alim, ‘Allam).

Berbeda dengan konsep ilmu di dunia Barat. Karena ilmu sudah disekularkan, ia tak lagi memiliki hubungan yang erat dengan moralitas. Ilmu berada di satu jurang, dan amal berada di jurang lain. Maka tidak mengherankan jika Gene Robinson yang “homoseks” tetapi diangkat sebagai “bishop” (Uskup) dan dielu-elukan. Karena satu hal yang membuat mereka tak sanggung menolak praktek homoseksual karena sudah menjadi “kenyataan”.[18]

Penutup
Dari pemaparan singkat di atas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, Islam dan ilmu adalah satu kesatuan integral, inheren, dan tak terpisahkan. Karena sejak kemunculannya, Islam sudah membawa konsep ilmu. Kedua, bangunan konsep ilmu Islam sangat mapan, karena para pemikir Muslim mengetahui benar bahwa ilmu dalam adalah satu hal yang value-laden, sarat nilai. Di dalamnya ada pesan-pesan Tuhan (Rabb). Maka ilmu tak boleh lepas dari nilai-nilai ketuhanan (rabbaniyyah). Untuk itulah epistemologi Islam dalam mengembangkan ilmu tak terlepas dari wahyu. Hal ini menadikannnya berbede dari konsep ilmu yang ada dan dikembangkan oleh Barat. Ketiga, sejak awal, Al-Qur’an sudah membawa konsep “islamisasi ilmu pengetahuan”. Hal ini dimulai dengan proses “membaca” dan “menulis” yang keduanya disandarkan dari Sang Pendidik Maha Agung, Rabb. Kedua hal tersebut –tulis-baca—tidak boleh lepas dari konsep Tuhan, sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dan terakhir, Islam tidak mengharapkan ilmu hanya dipelajari. Karena ilmu tanpa amal laksana pohon tanpa buah. Bahkan dalam satu riwayat disebutkan, ‘Siapa yang ilmunya bertambah banyak, tapi menjadikannya malah jauh dari “hidayah”, maka sejatinya dalam dirinya yang ada bukan ilmu melaikan kesesatan.”[19] Artinya, ilmu adalah untuk mengabdi kepada Allah.
Wallahu a’lamu bi al-shawab. (Qosim, Irman, Jamil)


[1] Makalah ini disampaikan dalam diskusi “Kajian Jum’at Malam” di Hall Centre of Islamic and Occidental Studies (CIOS) pada hari Jum’at, tanggal 14 November 2008 yang diadakan oleh Departemen Keilmuan dan Kerohanian Mahasiswa Institut Studi Islam Darussalam (ISID).
[2] Jaudah, MG, Abaqirah ‘Ulama’ al-Hadharah wa Al-Islamiyah, terjemah: oleh Muhyiddin Mas Rida, Lc, (Pustaka: Al-Kautsar, Jakarta Timur, 2007), hlm. 6.
[3] Nakosteen, Mehdi. History of Islamic Origins of Wesstrn education A.D. 800-13250; with an Introduction to Medieval Muslim Education, terjemahan Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah, (Risalah Gusti: Surabya, 2003), hlm. xi.
[4]  Hamid Fahmy Zarkasyi, “Worldview Sebagai Asas Epitemologi Islam”, ISLAMIA, Thn II No 5, April – Juni 2005
[5] Hamid menjelaskan periodik kelahiran ilmu dalam Islam dengan, (1) Turunnya wahyu dan lahirnya pandangan hidup Islam, (2) Adanya struktur ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an dan Hadith, (3) Lahirnya tradisi keilmuan Islam, dan (4) Lahirnya disiplin Ilmu-ilmua Islam. Ibid. Hal. 15
[6] Imam as-Syawkani, Syarh al-Aqa’id an-Nasafiyyah, dalam Syamsuddin Arif, “Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam”, ISLAMIA, (Thn II No 5, April – Juni 2005), hlm. 34
[7] Anis Malik mengatakan bahwa konflik tersebut adalah konflik tentang kebenaran, kebenaran agama (religious truth) dan kebenaran ilmiah atau saintifik (scientific truth), “Problem Agama dan sains di Dunia Kristen dan Barat”, ISLAMIA, (Thn II No 5, April – Juni 2005), hlm. 21
[8] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Naquib Al-Attas, terjemah : Hamid Fahmi Zarkasyi, M. Arifin Ismail, dan Iskandar Amel, Mizan Bandung 2003: Cet. Pertama, Hal. 121 
[9] Al-Attas mememaknai Islamisasi Pengetahuan dalam Islam and Secularism, dengan: (1) “the isolation process from Western culture and civilization wich brought confusion and destroyed the thought and worldview, so knowledge free of elements and key concepts isolated are then confused with the Islamic elements and key concepts of Islam,” dan (2) “The liberation of man first from magical, mythological, animistic, national-cultural tradition (apposed to Islam), and than from secular control over his reason and his language also his modern knowledge.” (Dikutip dari Eko Nurcahyo, “Syed Muhammad Naquib Al-Attas’ Concept of Islamization of Contamporary Knowledge”, dalam Kalimah, (volume 6-nomor 1- Maret 2008), hlm. 70. Lihat juga, Rosnaini Hashim, “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah, Perkembangan, dan Arah Tujuan”, dalam ISLAMIA, (Thn II, No. 6/Juli-September 2005), hlm. 34-35. Sejatinya, konsep “islamisasi ilmu pengetahuan” tidak hanya diformulasikan oleh Al-Attas, di sana masih ada intelektual Muslim, Raja’i al-Faruqi lewat bukunya yang sistematis Islamization of Knowledge: General Principles dan Workplan”.
[10] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, terjemah: Hamid Fahmy, M. Arifin Ismail dan Iskandar Amel, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 340.
[11] Kajian luas dan mendalam tentang perjalanan sains di Barat hingga menjadi sekular dapat disimak dalam Adnin Armas, “Westernisasi dan Islamisasi Ilmu”, dalam ISLAMIA, (Thn II, No. 6/Juli-September 2005), hlm. 9-12.
[12] Eko Nurcahyo, op.cit, hlm. hlm. 66-67.
[13] Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., hlm. 343-344.
[14] Qs. Al-Hujurat [49]: 13.
[15] Qs. Al-Isra’ [17]: 23 dan al-Naml [27]: 29.
[16] Wan Daud, op.cit., hlm. 341-342. Ayat tentang ukhuwah tersebut di atas adalah: Qs. Al-Naml [27]: 29 dan Qs. Al-Hasyr [59]: 10.
[17] “Sungguh, yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” (Qs. Fathir: 28).
[18] Lihat: Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: GIP, 2005), hlm. 4-6.
[19] Lihat, al-Darimi, Bab: al-Muqaddimah, Pasal: al-Tawbikh liman Yathlub al-‘Ilm li Ghayr Allah, no. Hadits: 388.
     
      Baca Selengkapnya »