Selasa, 07 Februari 2017

KESALEHAN PEREMPUAN: Respon terhadap Gerakan Feminisme

PENDAHULUAN

Feminisme memandang peran perempuan tidak lagi produktif. Ketidakprodutifannya karena perempuan masih saja beraktivitas di ranah  domestik (keluarga). Indikasinya, keluarga masih dianggap terlalu dominan mengungkung kebebasan perempuan. Lain dari itu, feminism memandang kewajiban perempuan untuk melahirkan secara alamiah, membatasi ruang gerak bagi  perempuan. Solusi untuk mengentaskan problem kemandulan produk, feminism mgusulkan agar para perempuan sudah harus tidak reproduksi (melahirkaan anak) dan memindahkan kegiatan domestic ke dalam pekerjaan sosial, supaya diperoleh upah.
Pandangan ini sangat menjadi masalah ketika masuk ke dalam ummat Islam dan bekerja di luar rumah sebagai feminisme akan mengganggu kebebasan perempuan dan produktifitas kerja. juga terus saja mengkampanyekan ide reproduksi artifesial perempuan masih itu adalah jika dapat menuai pkerjaan dan uang serta perempuan tidak lagi perlu hamil, melahirkan dan seterusnya dari fungsi natur maupaun nurture (alamiah dan kepengasuhan). Firestone juga me  benar-benar telah mendikonstruksi kesalehan perempuan muslimah yang sekian abad telah dibangun oleh Nilai-nilai Islam. Semenjak
Krisis global saat ini telah melanda di berbagai belahan dunia dan hampir tak bisa dihindari oleh siapapun, terutama tekanan hidup. Tekanan hidup yang dibangun  oleh produk sekularisme-liberalisme dan kapitalisme sudah merambah di wilayah domesik (keluarga)  kita, hingga membuat kaum perempuan sebagai ibu sangat berat. Ibu-ibu berfikir kualitas pendidikan anak, pada saat yang sama berfikir tentang anggaran dapur tak tercukupi. Realitas  kehidupan ini demikian melesat memasuki  seluruh kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya dalam keluarga ummat Islam. Beban seorang perempuan sekaligus Ibu rumahtangga ini tentu tidak lepas dari system perekonomian, ketenagakerjaan,  politik will pemerintah. Namun yang lebih dominan berpengaruh dan berbahaya adalah hegemoni system sekularisme itu sendiri. Karena himpitan itulah, kaum perempuan beramai-ramai mencari solusi untuk mengatasi keterpurukan tersebut, anehnya yang dipopulerkan hanyalah  ide-ide yang menutupi gejala, bukan solusi yang menyentuh akar persoalan, dan gagasan ini sudah lama kita dengar dengan sebutan emansipasi perempuan (tahrîrul mar’ati) atau kebebasan perempuan.
  Ruang kebebasan  yang dibawa melalui isu feminisme sangat halus sekali, Misalkan saja, agar  perempuan  tidak nampak dinistakan, maka diberilah gelar professor atau supaya bisa bargaining position dengan laki-laki, dan contoh lain seperti wanita boleh jadi imam sholat bagi laki-laki,[1] dan lain sebagainya. Jadi yang dipopulerkan hanya menutupi gejala saja, tidak menutupi akar masalah yang dihadapi. Seperti isu kesetaraan gender yang selama ini mereka jadikan  sebagai pisau analis Feminisme,[2] justru disambut baik oleh aktivis muslimah, maka dengan  sangat mudah bahkan terbantu,  gerakan ini memasuki masyarakat muslim, dan perempuan muslimah. Mereka menuntut persamaan kebebasan dalam setiap sisi aturan agama Islam. Ibu-ibu beranggapan bahwa tugas domestik merupakan kungkungan Islam, akhrinya tanpa memahami sejarah, ikut-ikutan membuat terminologi seolah-olah islami. Sejatinya,  tindakannya memperangkap diri sendiri  yang kemudian mereka tidak lagi ingin menunaikan kewajiban menentramkan suami, tidak mengamankan tauhid anak-anak dan keluarganya, mereka juga  merasa terhina ketika melakukan tugas-tugas domestik karena tidak dianggap berkontribusi untuk ekonomi bangsa, karena tidak menghasilkan income.[3] Inilah yang membuat perempuan-perempuan meninggalkan tugas domestiknya dan berakibat pada kehancuran institusi rumah tangga , generasi dan keturunannya. Tanpa disadari oleh perempuan kita,  telah termakan oleh racun-racun feminisme dan gender sebagai alat liberalisme. Sebuah strategi penghancuran ummat yang efektif, jika perempuan muslimah sudah rusak, maka dapat dipastikan sepuluh tahun, seratus tahun generasi akan mengalami kehancuran.[4]
            Feminisme sejak kelahirannya hingga sekarang tidak memproduk nilai apapun kecuali kehancuran kaum perempuan untuk masa depan. Fakta ini dapat dilihat kasus akibat gerakan emansipasi perempuan di Amerika, Jepang dan bekas Negara Uni Soviet. Perempuan yang melakukan aborsi illegal dan legal sangat banyak. Bahwa jumlah angka perempuan bekerja di Amerika serikat telah menjadi 2 kali lipat, di tahun 1950 sebanyak 33% dan meningkat di tahun 1990 menjadi 60% dan di tahun 2005 menjadi 77 %. Kemudian, di Inggris terjadi sejumlah 380.000 aborsi, terdaftar yang dilakukan tahun 2006, 210.000 diantaranya dilakukan oleh wanita yang tidak menikah. Di AS , 2 juta lebih aborsi legal yang dilakukan selama tahun 2006. Di Jepang angka aborsi 2 kali yang ada di Amerika Serikat. Di Negara bekas Uni Soviet, hampir ¾ kehamilan berakhir dengan aborsi.[5] Di Indonesia, menurut data tahun 2008 sebanyak 2.5 juta  dengan berbagai latarbelakang sebab.[6] Itulah sekedar bukti kelicikan fikiran produk liberalisme.

Jika kita memahami fenomena perempuan muslimah diatas, maka potret konspirasi global sesungguhnya sedang berlangsung tiada henti. Dengan melihat realita di lapangan, pertanyaan yang muncul, masihkah ada keprihatinan dalam menyaksikan kehancuran mental anak bangsa ini? Realitanya,  sikap mereka  senantiasa lebih mengidolakan icon-icon Barat sebagai atribut jahiliyah moderen daripada berbangga terhadap Islam. Seperti cara berpakaian, cara bergaul, bertoleransi dengan pemeluk agama-agama dan lain sebagainya. Sepertinya, segala budaya yang apresiasif dari Barat, dijadikan oleh mereka  pagan kehidupan yang membanggakan diri atau prestisius.  Inilah potret kebingungan  generasi ummat karena kolonialisasi berselimut emansipasi.
Kebingungan yang tiada henti di generasi muslimah kita, sayangnya  tak pernah disadari, untuk ini penulis  mencoba memaparkan konsep peran muslimah dalam koredor kesolehan, yang tujuan utamanya mengembalikan kembali pemahaman kita terhadap wacana Mar’ah Sholehah. Indikasinya, memiliki kesanggupan menghadapi arus global, tanpa harus menjadikan peradaban barat sebagai ‘kiblat’ dalam membangun pola dan gaya hidup. Arus feminisme yang dibawa oleh media komunikasi global perlu difahami dengan benar, sehingga bisa menyiapkan benteng yang kuat dan menamkan pandangan hidup (Worldviwe) yang islami


 SejarahEmansipasi dan Feminisme
            Kata emansipasi bukan lagi menjadi kata yang asing di telinga masyarakat. Kata ini menjadi lekat seiring era keterbukaan di setiap lini kehidupan. Slogan emansipasi seakan menjadi taji bagi setiap perempuan. Ketertindasan, keterkungkungan, keterbelakangan dan ketiadaan harkat menjadi belenggu kaum perempuan.[7] Kehidupan perempuan  seakan terpasung di tengah eksploitasi kaum Adam terhadapnya. Sebagian perempuan pun menjadi gamang menatap rona kehidupan. Hilang keyakinan diri untuk menapaki laju zaman. Yang demikian ini terjadi di Barat.
            Di tengah kepungan kemelut, perempuan Barat pun tersulut bangkit. Mendobrak tatanan yang ada, meneriakkan slogan-slogan persamaan. Mencoba memberangus keterpurukan. Tercatat dalam sejarah, bahwa menjelang tahun 1785 dari kelompok masyarakat ilmiah Eropa mengadakan perkumpulan pertama kali di Meddelburg, sebuah kota di bagian selatan Belanda untuk memperjuangkan apa yang disebut sebagai universal sisterhood. Semangat ini kelak dikenal dengan perjuangan kaum femina (perempuan) dan akhirnya menjelma menjadi ideology feminisme. Kata Feminisme sendiri dikreasikan pertama kali oleh aktifis sosialis utopis, Chales Fourier pada tahun 1837. Kemudian center Eropa ini pindah ke Amerika dan berkembang pesat semenjak hadirnya buku the Subject of Women karangan John Start Mill (1869). Pada tahun inilah ditandainya awal kelahiran feminisme. Selanjutnya merambah ke daratan Amerika Serikat setelah terjadi revolusi social dan politik. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman, isi buku ini tentang dasar prinsip-prinsip feminisme di kemudian hari. Kemudian setelah berakhirnya perang dunia ke dua, dan ditandainya Negara-negara  baru yang merdeka dari jajahan Negara-negara Eropa, mulai muncul Feminisme gelombang ke dua pada tahun 1960. Perempuan mulai mendapatkan hak politik di Parlemen di Perancis. Pelopornya adalah Helene Cixous,Julia Kristeva yang mengkritik faham esensialisme. Namun di Negara-negara dunia ke tiga, pada pasca perang dunia ke dua  (1960-1970) menjadi “mangsa” Negara-negara Barat untuk dijadikan obyek analisa yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi social.
Di Amerika, juga rame-rame mengusung feminisme ini dengan lahirnya buku The Feminie Mystque yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963, sehingga mengilhami lahirnya organisasi Perempuan yang bernama National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966, dari gerakan ini terus menerus melahirkan Equal Right Act (1964). Mereka menyodorkan fakta sejarah, bahwa pada periode ini terjadi marjinalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik. Meskipun kampanye gerakan Feminisme ini didukung oleh banyak kelompok perempuan, namun di Amerika sendiri juga terjadi perlawanan terhadap Feminisme ini oleh kelompok yang menamakan dirinya Woman’s Lib” pada tahun 1968. Kelompok ini protes sangat keras adanya Miss America Pegeant yang pernah diselenggarakan di Atlantic City, karena hal itu dianggapnya sebagai pelecehan terhadap kaum perempuan dan komersialisasi tubuh perempuan.  
Seiring dengan perkembangan zaman, Feminisme mulai direspon oleh banyak Negara setelah diselenggarkan Konfrensi Perempuan Sedunia di Mexico City pada tahun 1975 yang merekomendasikan Gender, development dan equality.  Setelah berjalan beberpa waktu, bermunculan organisasi-organisasi kewanitaan tak semata di Perancis, tapi menyebar ke Inggris, Jerman, dan belahan Eropa lainnya. Gaung slogan emansipasi yang dibawa oleh kaum feminispun makin membahana.[8]
Potret Perempuan Kuno
Realita sejarah ini memberikan inspirasi, bahwa perempuan pada zaman Yunani  tidak dianggap bagian dari komunitas manusia, akan tetapi tidak berbeda dengan barang komoditas. Gambaran perempuan ini oleh para ahli sejarah mencatat sebagai berikut:
Perempuan di dalam agama Yunani kuno,
            Buku ”Erotisme Yunani” (terjemahan dari ”Love, Sex and Marriage in Ancient Greece”) yang ditulis Nikolaos A. Vrissimtzs,[9]   mencatat dalam buku ini,  bahwa masyarakat Yunani telah  mengkontruksi perempuan dalam 2 kategori: Perempuan baik-baik/terhormat dan Perempuan pekerja seks. Perempuan terhormat adalah perempuan yang tidak menampakan dirinya di publik. Bahkan jika seseorang kenal dan dapat menceritakan tentang perempuan tersebut di publik, itu mengancam kehormatannya. Perempuan baik-baik ini dikontruksi hanya untuk melahirkan dan ratu rumah tangga. Tidak ada seks untuk kesenangan bagi perempuan baik-baik kecuali untuk bereproduksi. Cinta juga tidak cukup dibutuhkan. Karena pernikahan hanya urusan menjaga derajat keluarga dan bereproduksi.
Dari potret sosial di atas, perermpuan dianggap bagian dari perbuatan buruk setan. Atas dasar pandangan ini, masyarakat Yunani menganggap kaum perempuan mereka tidak memiliki hak-hak manusia. Keyakinan nenek moyang mereka, mengatakan bahwa berbagai bencana dalam keberhasilan dan kegagalan hanyalah datang dari kemarahan pagan (berhala) yang disembah. Maka, ketika mereka ingin menyelesaikan persoalan yang terjadi di masyarakat, selalu menjadikan  perempuan bahan sesajen (tumbal) yang dijadikan korban dan dihadiahkan kepada tuhan mereka, dan selalu bergantung pada cara berfikir yang konservatif ini setiap kali mencari solusi bencana. Sementara orang-orang Latin Yunani Athena mengijinkan bagi seorang laki-laki untuk menikahi berapa perempuanpun tanpa batas. Berbeda dengan kelompok Sparta, mereka melarang laki-laki berpoligami, tetapi mengijinkan perempuan untuk berpoliandri (kawin dengan banyak laki-laki) sesukanya. Mereka sesungguhnya mengabaikan prinsip-prinsip pernikahan dan tujuannya. Karena itu, budaya di kedua kelompok ini menjadi penyebab kehancuran masyarakat.[10]
Berbeda lagi dengan perempuan Romawi. Mereka diperlakukan sebagai instrument penggoda, perangkat menipu, penghancur hati kaum laki-laki. Perempuan dipaksa dan  ditindas oleh system kekerasan yang tidak bisa diterima oleh akal dan  oleh perasaan manusia. Dalam sejarah Romawi, juga pernah direkomendasikan hasil konvensi Perempuan yang berisikan empat hal; Pertama, Bahwa perempuan itu ada bukan karena kepribadian manusia, maka ia tidak bisa untuk memperoleh hak kehidupan di akhirat. Kedua, diharuskan bagi perempuan agar tidak makan daging, tidak ketawa dan tidak boleh berbicara. Ketiga , karena perempuan adalah dosa menurut keyakinan Romawi, akibat perbuatan  setan, maka ia memiliki cacat dan hina di masyarakat. Dan yang keempat mewajibkan kepada perempuan agar hidupnya dipersembahkan dan diabdikan kepada Pagan (patung). Keempat keputusan ini intinya membatasi peran perempuan baik di dalam rumah hingga di ranah publik, berbicarapun tidak diperbolehkan.. Para raj-raja Romawi dan Pendeta gereja membuat undang-undang pelarangan berpoligami bagi laki-laki Romawi, akan tetapi mereka sendiri beramai-ramai melakukan poligami tiada batas.
            Lain lagi pandangan agama-agama tentang perempuan. Perempuan menurut agama Persi,  merupakan makhluk yang hina, tak berharga dan terhormat. Bagi orang-orang yang telah dibabtis dan fanatik kepada Zorodaste berkeyakinan bahwa perempuan biang berkobarnya kejahatan yang harus disiksa, maka perempuan bagi tradisi Persi Kuno, hanya sebagai kepuasan sex dan suami memiliki hak berpoligami tanpa batas dan mempunyai hak penuh hingga diperbolehkan membunuhnya bila tidak mentaati suami[11].
            Agama orang Israil, yaitu Yahudi. Mereka memandang perempuan sebagai pembantu rumahtangga, budak yang kapan saja bisa perjualbelikan, perannya tidak lebih dari pelayan laki-laki. Sedangkan dalam masyarakat arab sebelum Islam, perempuan tidak berbeda dengan harta benda dan kekayaan, maka perempuan tidak memiliki hak waris. Kehidupan ini banyak terjadi di Negeri Yaman kuno yang terbiasa dengan kehidupan dengan orang-orang Israil dan Shobii. Perempuan pada saat itu sebagaimana dikatakan Umar Bin Khotob: “ Kita pernah menganggap perempuan tidak ada di masyarakat arab sebelum kedatangan Islam” hingga diturunkan Allah SWT  tuntunan yang merobah kedudukan mereka.[12] . Masih dalam catatan sejarah Arab kuno (sebelum Islam), bahwa ada prilaku buruk masyarakat Arab terhadap  anak perempuan, yaitu  bilamana meiliki anak perempuan, maka dipandang cela dan hina. Prilaku ini mewabah diberbagai suku yang ada di Arab pada saat sebelum datang Islam. Bila seorang Istri melahirkan anak perempuan, maka suami harus melakukan dua hal: pertama  membiarkan anak bayi perempuan  di dalam rumah hingga dewasa, kemudian diharuskan memakai jubah dari bulu domba, selanjutnya suka atau tidak harus mau dijadikan pengembala unta dan kambing di padang pasir kaum Badui, Ini pilihan suami yang menghendaki anaknya masih hidup hingga dewasa. Adapun pilihan kedua adalah, mengubur hidup-hidup pada usia enam tahun[13]
            Jika boleh disebut, masa-masa tersebut adalah masa kegelapan yang tidak ada cahaya penerang masyarkat. Kitab-kitab agama tidak lagi menjadi pedoman, bahkan sudah didikonstruksi. Ketimpangan pandangan terhadap perempuan berlarut-larut tidak pernah kunjung henti hingga sekarang. Hegemoni peradaban Barat jelas-jelas menguasai kita, kaum perempuan menjadi obyek dan hamzatu wasl (sarana Bantu) untuk menghancurkan Islam dan syariatnya. Maka Islam dihadirkan di muka bumi ini untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang ada dalam sendi-sendi kehidupan. Adapun upaya memperbaiki pilar-pilar Islam yang semakin rapuh karena dimakan oleh gelombang isu emansipasi dan feminisme, tidak ada lain kecuali kembali kepada pandanagan hidup Islam dalam membangun kaum perempuan khususnya, sehingga konsep mar’ah sholehah senanytiasa menjadi spirit atau ruh ummat Islam.

Beberapa Pemikiran kaum Feminis tentang peran perempuan
Ide-ide Fiminis belakangan ini telah menjadi kenyataan, menelusup di ruang-ruang kehidupan kita. Seperti yang digagas oleh Feminis-radikal-Libertarian tentang Pornografi sebagaimana yang ditulis oleh Deirdre English (1980).[14] Bahwa perempuan katanya, dapat dan harus mempergunakan pornografi untuk membangun nafsu seksual,. Pandangan lain yang belakangan terus digelorakan adalah Lesbianisme separatis yang muncul sejak tahun 1970, bahwa kepuasan seksual dapat juga diperoleh dari sesama perempuan.[15] karena menurut mereka ‘berhubungan dengan laki-laki’ sebagai patner sekual hanya untuk sebatas alasan psikologis.[16] Lebih daripada itu, perempuan yang ingin melestarikan keturunan, dengan selalu melahirkan, maka pekerjaan reproduksi merupakan penghambat produksi kapital masyarakat.[17]
Berbeda lagi dengan pandangan Feminis Marxis. Aliran ini  menginginkan bahwa  mengakhiri ketidaksejajaran laki-laki perempuan dalam peran domestik, Sebagaimana dikatakan oleh Margaret Benston ; “ kunci pembebasan perempuan adalah sosialisasi pekerjaan rumahtangga” artinya memberikan peluang kepada perempuan untuk memasuki industri publik  secara bersamaan mensosialisasikan pekerjaan memasak, membersihkan rumah, dan mengasuh anak. Menurut Benston, sosialisasi pekerjaan rumahtangga dapat menggiring perempuan untuk mengerjakan pekerjaan yang sama di luar rumah esok, sebagaimana dilakukan nya di rumah kini. Sementara itu, tokoh feminis Marxis Mariarosa Dalla costa dan Selma James (1969)[18] punya pandangan lain, agar perempuan merasa tidak teropresi dalam ranah domestic, harus menuntut upah atas pekerjaan rumahtangga (domestik), dan Negara supaya membayar upah kepada ibu rumahtangga, karena capital pada akhirnya mengambil keuntungan dari ekploitasi terhadap perempuan. Perempuan harus beramai-ramai meninggalkan rumahtangga untuk urusan public.

Seiring dengan perkembangan zaman, feminisme mengalir bagaikan Lumpur dari arah gunung, mengisi rongga-rongga bumi yang kosong. Gerakan Feminisme juga seperti itu, dengan didukung oleh lembaga dunia semacam PBB mengharuskan Negara-negara di dunia untuk ‘bergembira ria’ melaksanakan pemikiran Barat yang Liberal dan skuler-kapitalis termasuk di pelataran mayarakat perempuan Indonesia. Kerancuan hidup kaum perempuan yang dispiriti oleh sumber informasi (literature) dari peradaban Barat (bukan Islam) dan hingga kini mewabah menjadi bencana sosial di negara-negara muslim, justru  dicarikan solusi dari produk experiment kaum feminis Barat Anehnya, untuk membangun peran perempuan yang ideal,  feminis muslim beramai-ramai membantu dengan cara merekonstruksi literatur-literatur Islam, yang tanpa disadri bahwa fremwork mereka  itu adalah kepanjangan tangan dari peradaban Barat Global.[19]  Sesungguhnya gaya hidup dan cara berfikir masyarakat barat tidak lepas dari konstruksi social dari bangunan budaya masyarakat Eropa kuno maupun sebelum kedatangan Islam, maka mengenali sejarah perempuan Barat kuno akan dapat menjadi salah satu pisau analisa peradaban Barat modern dalam memperlakukan perempuan.

Gerakan Feminisme di kalangan Muslim
Gerakan feminis radikal rupanya berpengaruh juga di kalangan Muslim. Kita mengenal nama-nama Fatima Mernissi dari Marokko (penulis buku Beyond the Veil), Nawal al-Saadawi dari Mesir (penulis buku The Hidden Face of Eve), Riffat Hasan (pendiri yayasan perlindungan perempuan The International Network for the Rights of Female Victims of Violence di Pakistan), Taslima Nasreen dari Bangladesh (penulis buku Amar Meyebela), Amina Wadud dari Amerika Serikat yang sempat membuat heboh beberapa waktu lalu, Zainah Anwar dari Sisters In Islam Malaysia, Siti Musdah Mulia dari Indonesia dan masih banyak lagi.[20]
Sedikitnya ada tiga faktor yang melatarbelakangi munculnya gerakan feminisme radikal ini. Pertama, imbas dari apa yang telah terjadi di negara-negara Barat. Kedua, kondisi masyarakat di negara-negara Islam saat ini yang masih terbelakang dan memprihatinkan, terutama nasib kaum wanitanya. Ketiga, dangkalnya pemahaman kaum feminis radikal tersebut terhadap sumber-sumber Islam. Semua ini tentu sangat kita sesalkan.
Kalau tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan Yusuf al-Qaradhawi menyeru orang untuk kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah dalam soal gender, maka kaum feminis radikal malah mengajak orang untuk mengabaikannya.
Bagi para ulama, ketimpangan dan penindasan yang masih sering terjadi di kalangan Umat Islam lebih disebabkan oleh praktek dan tradisi masyarakat setempat, ketimbang oleh ajaran Islam. Namun bagi feminis radikal, yang salah dan harus dikoreksi itu adalah ajaran Islam itu sendiri, yang dikatakan mencerminkan budaya patriarkis.[21] Di sinilah nampak kedangkalan pemahaman mereka.
Seperti kita ketahui, tidak satu ayat pun dalam al-Qur’an yang menampakkan misogyny[22] atau bias gender. Semua ayat yang membicarakan tentang Adam dan pasangannya, sejak di surga hingga turun ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (humâ ataupun kumâ).
Disamping itu, bukan pasangan Adam yang disalahkan, melainkan syetan yang dikatakan menggoda keduanya hingga memakan buah dari pohon keabadian. Di muka bumi, baik laki-laki maupun perempuan diposisikan setara. Derajat mereka ditentukan bukan oleh jenis kelamin, tetapi oleh iman dan amal shaleh masing-masing. Sebagai pasangan hidup, laki-laki diibaratkan seperti pakaian bagi perempuan, dan begitu pula sebaliknya. Namun dalam kehidupan rumah-tangga, masing-masing mempunyai peran tersendiri dan tanggung-jawab berbeda, seperti lazimnya hubungan antar manusia. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, laki-laki dan perempuan dituntut untuk berperan dan berpartisipasi secara aktif, melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar serta berlomba-lomba dalam kebaikan.
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah…Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” Demikian firman Allah dalam al-Qur’an (al-Ahzab: 35).
Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan, bahwa sesungguhnya perempuan itu saudara laki-laki (an-nisâ’ syaqâ’iqu r-rijâl) (HR Abu Dâwud dan a n-Nasâ’i).

Kesalehan Perempuan:Pembendung Emansipasi Barat
Di dunia Islam, wacana emansipasi pertama kali digulirkan oleh Syekh Muhammad Abduh (1849-1905 M). Tokoh reformis Mesir ini menekankan pentingnya anak-anak perempuan dan kaum wanita mendapatkan pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi, supaya mereka mengerti hak-hak dan tanggung-jawabnya sebagai seorang Muslimah dalam pembangunan Umat.[23]
Pandangan yang sama dinyatakan juga Hasan at-Turabi dari Sudan. Menurutnya, Islam mengakui hak-hak perempuan di ranah publik, seperti kebebasan mengemukakan pendapat dan memilih, berdagang, menghadiri shalat berjama‘ah, ikut ke medan perang dan lain-lain.
Ulama lain yang berpandangan kurang lebih sama adalah Syekh Mahmud Syaltut, Sayyid Qutb, Syekh Yusuf al-Qaradhawi dan Jamal A. Badawi. Sudah barang tentu para tokoh ini mendasari pendapatnya pada ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits.[24]
Namun ada juga yang menggunakan pendekatan sekular, yaitu Qasim Amin. Intelektual satu ini disebut-sebut sebagai ‘bapak feminis Arab’. Dalam bukunya yang kontroversial, Tahriru l-Mar’ah (Kairo, 1899) dan al-Mar’ah al-Jadidah (Kairo, 1900), ia menyeru emansipasi wanita ala Barat. Untuk itu, kalau perlu, buanglah jauh-jauh doktrin-doktrin agama yang konon menindas dan membelenggu perempuan, seperti perintah berjilbab, poligami, dan lain sebagainya.
Gagasan-gagasan Qasim Amin telah banyak disanggah dan ditolak. Syekh Mahmud Abu Syuqqah dalam karya monumentalnya, Tahriru l-Mar’ah fi ‘Ashri r-Risalah (Kuwait, 1991), membuktikan bahwa tidak seperti yang sering dituduhkan, agama Islam ternyata sangat emansipatoris. Setelah melakukan studi intensif atas literatur Islam klasik, beliau mendapati bahwa ternyata kedatangan Islam telah menyebabkan terjadinya revolusi gender pada abad ke-7 masehi.
Padahal,  kehidupan perempuan sejak Yunani kuno hingga menjelang kedatangan Islam, jelas-jelas sangat tidak mendapatkan tempat, kurang dihargai, dan tidak mendapatkan peran sebagaimana fitrahnya. Maka Islam datang meberikan pencerahan, membuka kegelapan menuju ke kondisi yang mengembirakan dan terang benderang (QS.65:11).
 “(dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya. dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya”.

Hanya saja, di era global sekarang ini kondisi sosial budaya kita tanpa disadari adalah bangunan dari sosial Barat, termasuk ritme kehidupan perempuan muslimah. Kultur Barat ( sekuler) membawa pandangan hidupnya untuk merubah pandangan dan keyakinan masyarakat muslimah menjadi ragu-ragu dan samar-samar berpedoman pada pandangan hidup Islam. Gerakan emansipasi dengan fiminismenya meyakinkan masyarakat muslimah bahwa perbedaan prilaku laki-laki perempuan ditentukan oleh kondisi social budaya.[25] Maka untuk membendung derasnya pemikiran emansipasi perempuan yang dibawa oleh Barat sebagai arus global dan wajah kolonialisme gaya baru yang tidak dapat ditolak tapi juga tidak harus ditrima, Peran perempuan perlu diluruskan secara proporsional berdasarkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai Islam  
Dalam perspektif Islam, konsep peran perempuan Muslimah sudah diletakkan oleh Rasulullah saw semenjak 14 abad yang lalu.  sehingga tidak ada keraguan lagi untuk bermain peran ditengah-tengah arus global dengan membawa pandangan hidup Islam. Bahkan, Islam cukup tinggi memberikan penghargaan kepada seorang perempuan dengan sebutan “Mar’ah Shôlihah”, tidak ada pahala kecuali surga. Tugas apapun tidak dilarang oleh Islam,  namun islam memberikan tuntunan agar seorang perempuan tetap terhormat, dan berharga. Kunci tugasnya adalah “beramal masih tetap dalam koridor Kesalehan”.[26] Oleh karenanya Islam membekali kunci-kunci berperan yang tidak saja dapat diukur oleh parameter kapital dan hedonic tetapi lebih jauh dan lebih bermakna baik secara horizontal maupun Vertikal, tidak saja dapat diukur secara manusiawi, tetapi Allah SWT meridloi karena ketaatan menjalankan perintahNya.  Dalam perspektif  ibadah (dedicative) Islam meberikan tuntunan kepada perempuan dewasa (dalam berkeluarga) ada tiga konsep peran .[27] Pertama, adalah konsep Peran seorang Ibu (Wadzîfah Umumah), kedua, konsep peran ibu rumahtangga (Wadzîfah Manzîliyyah), ketiga adalah konsep peran perempuan dalam ranah Publik (Wadzîfah Ijtima’iyyah). Bagaimana implementasi ketiga konsep tersebut, berikut ini penulis perbedaan konsep Barat dan Islam dalam mengimplementasikan  peran.
1) Peran Umumah/Natural Seorang Istri
Peran perempuan dalam ranah ini mencakup empat tugas, yaitu hamil, melahirkan, menyusui dan mengasuh. Untuk ini akan kita bahas satu persatu.  Pertama, adalah Peran perempuan untuk hamil.  Jika peran perempuan Barat yang diperjoangkan oleh kaum feminis dalam kesataran sek sangat tidak menghormati perempuan. Sebagaimana pendapat seorang feminis Liberal-radikal-Libertarian, bahwa ‘hubungan suami Istri’ hanya sebatas kebutuhan psikologis, mereka tidak menyukai hamil. Pandangan ini sangat terbatas pada nilai materi yang tidak membuahkan suatu prilaku ideal kecuali hanya pada sex itu sendiri. Bahkan Pornografi dipropagandakan untuk membangun fantasi.
Berbeda dengan Islam,  Islam memberikan tuntunan kepada seorang perempuan yang berperan sebagai Istri, bahwa hubungan suami-Istri adalah terhormat, mulia. Yang semula diharamkan berubah menjadi halal dan bepahala. Sebab jika hal ini dilakukan tanpa pernikahan, maka hukumnya dosa. Maka seksualitas dalam Islam tidak sekedar memenuhi kebutuhan psikologis, akan tetapi  sebagaimana yang ditulis oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al-amru bi-ittiba’wan-Nahyu ‘anil ‘ibtida, menukil dari sabda Rasulullah saw, HR. bahwa ‘jima’ (sex) adalah bernilai ibadah  dan sodaqoh. Ibadah adalah sikap ketaatan jiwa, berbuat apapun termasuk bergaul suami-istri tetap dalam upaya menuju ketaatan kepada Allah SWT, dan nilai sedekah adalah ajaran memberi. Artinya tidak perlu ada kesataraan dalam memperoleh hak seksualitas dari antara kedua belahfihak, justru di sini Islam memberikan ruang untuk berlomba dalam menuai kebaikan dan pahala keridloaan  dari Allah. Lalu motivasinya adalah ingin diperoleh keturunan yang sholeh. Sebagaimana perintah Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad[28] : “ Nikahlah maka akan berjumlah banyak populasimu, sesungguhnya aku akan bangga dihadapaN                                                                               ummat lain besuk pada hari kiamat. HR. Imam Ahmad. Oleh sebab itu,                  kebebasan perempuan muslimah dalam ranah mengembangkan potensi ‘umumah’ (natural) yang benar,  tidak harus bertentangan dengan konsep Islam.[29] Barangkali bisi mencontoh perempuan Gaza Palestina, mereka ingin memiliki anak banyak untuk calon syuhada (pejoang).
Dalam kajian kependudukan, selalu kita jumpai istilah fertility control (pengendalian kemuangkinan untuk mempunyai anak), dan memang tidak digunakan istilah birth control (pengendalian kelahiran). Pandangan Keluarga Berencana (KB) ini dimaksudkan agar hak perempuan dan laki-laki untuk mengambil keputusan kapasitas reproduksi mereka.[30] Maka karena motivasi pandangan Barat semacam ini, tidak sedikit kasus aborsi perempuan di berbagai Negara karena  takut hamil, baik yang sudah nikah, atau yang tidak nikah(lihat data di atas), lagi-lagi pihak perempuan yang hancur, termasuk muslimah kita.
Pandangan KB semacam ini menurut Islam sangat tidak dihalalkan dalam mencari solusi kependudukan. Dr.Abdullah Faqih, ketua dewan Fatwa Mesir tidak menyetujui pemikiran fertility control ini, sebab Islam telah memberikan rambu-rambu dalam  al-Qur’an S.Al-Isra :31
“  Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”.

Sedangkan konsep Islam diperintahkannya laki-laki perempuan menikah untuk melanjutkan generasi  dengan keturunan sebanyak-banyaknya, sebagaimana perintah Rasulullah saw, bukan sekedar mengandung janin dan menambah populasi semata. Allah SWT berfirman dalam al-qur’an S.Al_A’raf: 189:
“ Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur".

       Kedua, Peran muslimah untuk melahirkan. Bahwa Barat dengan gerakan Feminismenya seakan-akan memperhatikan nasib perempuan. Namun justru sebaliknya. Coba kita perhatikan pandangan kaum Feminis Radikal-Libertarian  dalam masalah peran Reproduksi (melahirkan anak). Mereka berpendapat; “ Perempuan ingin setara dengan laki-laki, harus mau menggantikan modus alamiah reproduksi dengan modus artificial (buatan) , sebab semakin perempuan terlibat di dalam proses reproduksi, semakin banyak waktu dan tenaga yang dapat di digunakan untuk terlibat di dalam proses produktif masyarakat (ekonomi)”. Maka pilihan peran perempuan Barat menurut Marge Piercy yang ditulis dalam novel fiksi ilmiahnya Woman on the Edge of Time, mengungkapkan; Perempuan tidak perlu reproduksi secara alamiah, namun cukup reproduksi dengan cara buatan (tabung),  yang diprosesnya melalui digestasi (dikandung) di dalam plasenta buatan.[31] Pemeliharaan janin dan pengasuhan anak ditanggung oleh co-mother (terdiri dari satu laki-laki dan dua perempuan atau dua laki-laki dan satu perempuan yang dibantu oleh ‘kidbinders’( yaitu sekelompok individu yang mempunyai kemampuan sangat tinggi, didalam fungsinya sebagai ibu bagi anak-anak buatan artificial). Hal ini meskipun sudah mengejala di Negara-negara Barat, ternyata juga melahirkan kritik  diantara mereka. maka Azizah al-Hibri (1984) tidak sependapat,  karena dengan hal itu akan membuat perempuan kehilangan pengalaman yang berharga, namun justru lebih menyakitkan  karena tanpa disadari semakin menyuburkan perbudakan bagi kaum perempuan.[32]

Sangat berbeda dengan prinsip Islam, bahwa pernikahan dalam Islam dimaksudkan diantarnta untuk menambah populasi ummat Muhammad saw. sebagamana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dan Nasai: “ Nikahilah olehmu perempuan yang penyayang dan banyak anak (subur), sebab aku akan membangga-banggakan jumlahmu yang banyak pada hari kiamat”[33]Banyak melahirkan anak artinya, menjadi kan anak-anak calon-calon generasi yang pernah diproses dalam kehamilan yang suci, fithri. Selama kehamilan sembilan bulan, seorang ibu menanti kelahiran dengan menjaga kesehatan, memberi nutrisi spiritual kepada janin, membacakan al-quran dan doa-doa. Tentu, generasi yang akan lahir berbeda produk, baik jiwanya, intelektualnya maupun fisiknya. Sedangkan pandangan Barat adalah mengurangi spiesis sebanyak-banyaknya dengan dalih demi kesejahteraan anak dan orang tua. Strateginya dengan menebarkan berbagai isu dan propaganda dalam rangka kesejahteraan, salah satunya sosialisasi program keluarga berencana. Lalu, bagaimana nasib Negara yang berhasil mengurangi kepadatan penduduk dengan program KB-nya. Jerman, singapur, dan Negara-negara maju lainnya mengalami kehabisan generasi, kalau tidak dibilang punah. Oleh karena itu, pembatasan kelahiran yang tidak karena ada masalah kesehatan, Islam menganjurkan untuk melahirkan banyak anak. Jika jumlah anak ummat Islam dipersoalkan karena kekhwatiran akan kemiskinan, maka sesungguhnya yang harus diperbaiki adalah pemerintahan , system perekonomian, dan pendidikannya.  Jadi Islam menghendaki pengaturan kelahiran, bukan pembatasan kelahiran.
Maka suatu kebahagian seharusnya bagi  perempuan muslimah dapat melahirkan seorang bayi dari hasil pernikahan yang baik. Simbul siklus reproduksi yang dialami seorang perempuan calon ibu, dengan perjoangan untuk melahirkan seorang bayi secara normal, bilamana anak lahir dan ibu mendengarkan tangisan bayi,maka segala rasa sakit hilang, untuk itu kelahiran adalah kebanggaan fitrah yang dimiliki perempuan.
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu"  ( Luqman: 14 )


 Ketiga, Peran seorang ibu menyusui anak Kegiatan menyusui merupakan tanda awal sebagai seorang Ibu. Pandangan kaum feminis Radikal-libertarian, yang dipelopori oleh Alison M Jaggar (1983)[34] mengatakan; “tidak seorang yang mengandung seorang anak adalah orang yang paling tepat untuk menyusui (membesarkan), maka seorang perempuan tidak perlu menjadi ibu Biologis, karena menyusui anak adalah beban bagi perempuan, dan sering menuntut banyak hal dari tubuh dan energi perempuan. Bahkan ia menambahkan, bahwa insting menjadi ibu adalah dipelajar, An Oakley aktivis feminis Radikal menunjukan menunjukkan studi yang mempelajar 150 orang perempuan yang baru pertama kali menjadi ibu, ternyata hanya sedikit dari perempuan-perempuan itu yang  mengetahui cara menyusui, dan mereka yang mengetahui cara menyusui adalah mereka yang yang telah melihat ibunya atau anggota keluarga perempuan yang yang lain ketika mereka menyusui.
            Konsep Islam tentang ibu menyusui anak, Para fuqohak sepakat bahwa menyusui bayi adalah memberikan hak makan kepada seorang anak sebagaimana memberi hak makan kepada orang dewasa.Dr, Muhammad Sholeh al-Munjid membedakan peran perempuan dengan kaum feminis di atas. Seorang ibu setelah melahirkan anak, secara fitrah diperintahkan menyusui anaknya selama dua tahun. Rentang waktu ini adalah waktu yang sangat efektif untuk membangun jiwa anak melalui proses menyusui, bahkan fitrah ini sudah ditegaskan dalam al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 233
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.

Dan Abu Yusuf Al-Qohtoni memberikan catatan keistimewaan dan manfaat  menyusui bagi anak Pertama,Air Susu Ibu (ASI) sangat steril dari virus apaun. Kedua,ASI tidak bisa distandarkan kwalitasnya dengan susu Sapi atau sejenisnya, Ketiga, ASI sangat lengkap dengan kandungan vitamin, Keempat, ASI dapat membantu pertumbuhan anak lebih cepat daripada susu botol, Kelima, Selama proses menyusui terjadi hubungan jiwa antara Ibu dan anak. Dari kelima itu menurut beliau yang lebih penting ada nilai berkahnya. Yang terakhir inilah yang tidak dimiliki oleh Barat.[35]
.
            Keempat, adalah peran Ibu mengasuh anak. Pendapat sebagian kaum Feminis radikal Ann Oakley mengatakan, bahwa ibu social sama efektifnya dengan ibu biologis. Menurutnya banyak anak-anak yang diadopsi dapat menyesuaikan diri seperti anak-anak yang tidak diadopsi kata dia; dan anak-anak itu tidak membutuhkan ibu biologis atau perempuan, tetapi memerlukan orang dewasa yang dapat menjalin hubungan dekat dengan mereka. Keyakinan feminis ini menghendaki tercapainya kesetaraan perempuan agar dapat leluasa bekerja di luar rumah. Jadi dalam membuat seorang perempuan disebut Ibu cukup dengan ibu pinjaman atau ibu kontrak.[36] Alih-alih di masa depan tidak seorang perempuan pun yang harus menghasilkan, mengandung,  atau mengasuh anak. Pandangan Genea Corea, di masa depan yang akan terjadi, perempuan yang secara genetik lebih baik akan menghasilkan embrio secara invitro. Maksudnya, perempuan bertubuh kuat akan mengandung bayi tabung ini hingga waktunya dilahirkan, dan seorang perempuan yang bertemperamen baik akan membesarkan anak-anak yang baru lahir hingga dewasa.[37]
            Tapi ideology fiminesme bagaikan virus, yang bisa menempel di mana saja dan kapanpun. Islam memberikan jawaban atas ketimpangan Barat dengan konsep peran kepengasuhan bagi seorang ibu. Seorang ibu diberikan pedoman mengasuh sebagaimana ditulis dalam QS. Luqman:17. 
Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).

Pada fase ini, peran perempuan dan ibu beologis sangat vital. Potensi dan energi seorang ibu diperlukan untuk mengajari anak mendirikan sholat, mengerjakan perbuatan yang baik, mendidik mereka untuk mencegah yang mungkar. Ibupun memberi contoh kesabaran saat ditimpa bencan. Sikap kesabaran dilukiskan oleh Shauqi Bik penyair Mesir, bahwa kata dia;
‘Ibu bagaikan sekolah, apabila kamu persiapkan dengan baik, maka kamu telah menyiapkan bangsa yang baik akarnya. Ibu adalah guru dari segala guru yang paling pertama, pengaruhnya menjangkau ke seluruh penjuru dunia”

Mengingat periode pertama anak-anak berada di rumah, dan dipelukan seorang ibu, maka seorang ibu harus memiliki akhlak yang mulia dan kebiasaan-kebiasaan yang baik menurut tuntunan Islam,. Hanya tuntunan Islam yang dapat menamkan rasa cinta kepada keutamaan dan menjauhkan diri dari tempat-tempat menyesatkan dan berpakaian yang sopan dan berwibawa.[38]

2) Peran Manzily (Domestik)seorang perempuan/Istri
            Pandangan Feminis Barat, tentang peran domestik seorang perempuan tidak lagi mengatur rumah, memasak mendidik anak-anak serta melayani suami. Akan tetapi diemansipasikan dari laki-laki, maka mereka (perempuan) harus menjadi mandiri dan tidak bergantung kepada laki-laki, yang menjadi syarat pertama bagi emansipasi perempuan adalah masuknya kembali seluruh perempuan ke dalam industri publik dan kedua adalah sosialisasi pengurusan rumah tangga dan pengasuhan anak.[39] Menurut Engels, pengurusan rumahtangga tidak lagi tugas perempuan dalam rumah demikian juga masalah kepengasuhan anak, karena seorang ibu dituntut ekonomi dan mengharuskan keluar rumah, sementara anak (bila mempunyai) diasuhkan kepada ibu asuh. Potret semacam ini, di Indonesia khususnya di kota-kota besar sudah banyak menjamur sekolah-sekolah bagi anak-anak pra dua tahun. Syeh Ali Bin Nayif As-Syuhud dalam Mausû’ahtul khitab wa ad-Dars bahwa peran perempuan dalam ranah keluarga (usrah) sebagai institusi cinta-kasih, beliau berargumentasi dengan mengambil ayat alqur’an Surat Ar-Rum ayat 21.Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. Dari ayat ini beliau memberikan tafsiran bahwa usroh, keluarga dan domestic dibangun dengan empat pilar. Pertama, Adanya saling terikat antara suami dan Istri, dengan ini tentu keduanya saling membantu dan tolong menolong, adanya keserasian hidup, dan tidak ada yang saling merasa dirugikan.Kedua,adanya perasaan yang saling mencintai (mawaddah). Artinya dari keduanya melahirkan perasaan saling mengenali, memahami kekurangan dan kelebihannya, sehingga tidak ada saling mencacati. Ketiga, adanya tempat tinggal (rumah), hal ini mencerminkan ketenteraman hati dan fikiran. Tempat suami istri beribadah, mengasuh anak-anak dan tempat menjaga diri.Keempat, adanya kasih sayang antara suami-istri. Istri selalu sayang dan taat memenuhi kewajiban sebagai seorang istri, dan demikian juga seorang suami senantiasa memenuhi kewajibannya.  Keempat itulah sebagai pilar konsep bangunan peran perempuan diwilayan domestik. Akan tetapi yang sering diabaikan adalah hadist tentang ketaatan seorang Istri kepada suami, Rasulullah saw melukiskan didalam hadisny yanf diriwayatkan oleh Tirmidzi:[40]Seandainya aku dapat memerintah manusia untuk bersujud kepada seseorang, tentu akan kuperintahkan istri untuk bersujud kepada suami.
Hadist yang diriwayatkan  oleh Tirmidzi dlam Sunan  Tirmidzi digambarkan bahwa para perawi sangat tsiqqoh seperti ahmad ibnu hambal, Abu hatim dan termasuk termasuk kelompok hadis marfu’ yang sampai sanadnya sampai kepada Rasulullah.

3) Peran Ijtima’iyyah ( peran Publik) Seorang Perempuan/Istri
            Sebagaimana yang ditulis pada sejarah emansipasi dan feminisme, penyebab utama perempuan ingin bebas dan meninggalkan tugas-tugas utama rumah tangga adalah karena sejarah konstrusi budaya Barat yang tidak menghargai perempuan termasuk gereja. Kemudian, kreasi bermunculan untuk mencari pembebasan yang didesain oleh manusia, sampaipun direkayasa hingga muncul deklarasi  PBB tahun 1975 awal dilembagakannya isu feminisme. Kemudian  tahun 1985 ide ini mulai disosialisasikan ke Negara-negara berkembang (dunia ketiga) termasuk Indonesia. Dalam wacana peran perempuan yang ditulis oleh beberpa orang penulis gender dalam buku Woman in public sector  kesemuanya memberikan kesan bahwa eksistensi perempuan dipersoalkan dalam kontek peran publik, barangkali melihat dua kenyataan dialektis. Kenyataan pertama adalah persepsi masih adanya dominan pandangan dikotomis atas peran perempuan, yakni atas peran privat dan public. [41]
            Dalam kontek peran perempuan muslimah, Islam juga berbicara tentang emansipasi perempuan dalam pesrpektif Islam. Kebebasan perempuan memang menjadi hak asasi, fitrah dari Allah SWT, maka ajaran islam tidak pernah melarang perempuan berperan di dunia publik, yang menjadi persoalan adalah sebagaimana ketika perempuan berperan di sector privasi , natural, rumah tangga (domestic), dan publik tidak membawa pandangan Islam. Jika dicontokan dari kesejarahan awal lahirnya Islam era Rasulullah saw sangat banyak bagaimana istri-istri Rasulullah ikut membantu dakwah Islam. Menurut Dr. ‘Athiah Shoqar (1997) seorang mufti menulis dalam bukunya yang berjudul ‘al-Usrah tahta ri’âyatil-Islam bahwa bekerja itu merepakan kewajiban baik laki-laki maupun perempuan, sebab hal itu menjadi sarana dan kelangsungan hidup di dunia. Jenis pekerjaan cukup banyak yang sesuai bagi laki-laki maupun perempuan. Menurut beliau , pekerjaan perempuan di rumah tidak kalah pentingnya dengan pekerjaan laki-laki di luar. Bila pekerjaan itu diniati dengan benar-untuk ibadah maka hasilnya akan diperoleh oleh masing-masing sesuai dengan dikerjakan baik laki-laki maupun perempuan. QS.Ali Imra:195 dan An-Nahl 97 memberikan pedoman kepada kita bagaimana bekerja. Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain (Ali Imran:195)
 Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.(An-Nahl:97)
Menurut beliau, tugas perempuan (istri)di ranah domestic, tidak kalah berat dan pentingnya dengan tugas suami. Bagaimana seorang istri mengatur rumah sehingga mencerminkan kedamaian, ketentraman. Bila ada anak-anak, seorang ibu menjadi guru bagi anak-anaknya. Jika suami datang pemandangan yang paling indah hanyalah seorang istri. Sebagai istri, selalu melakukan tugas-tugas dan kewajiban seorang Istri.
            Banyak kegiatan –kegiatan perempuan menurut para ulama fiqih dan tafsir[42] sepakat bahwa perempuan berperan keluar rumah termasuk dibolehkan dengan syarat-syarat tertentu dan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan fitrah.   perempuan. Hal ini pernah ditulis oleh Dr. Ahmad Bin Abdul Qodir pakar Hukum Islam dari Emerat, dalam judul Hak-hak perempuan Menurut Alqur’an dan As-Sunnah. Bahwa, jika perempuan (seorang Istri) ingin bekerja di luar rumah hendaknya.[43]

Perempuan karier dalam perpektif Islam
            Peran perempuan Muslimah melebihi kewajiban tugas-tugas domestik (rumah tangga) adalah beraktivitas di luar rumah untuk mendapatkan tambahan penghasilan atau pengaruh.Islam tidak melarang untuk keperluan tersebut namun para ulam Fiqh membatasinya, antara lain :
1)      Jika rumahtangga memerlukan biaya untuk pengeluaran kebutuhan primer dan sekunder. Jika suami telah meninggal atau sedang sakit dan rumah tangga tidak memiliki pendapatan lain selain dari suami, serta pemerintah tidak dapat membantu rumah tangga yang kondisinya seperti itu, seorang istri dibolehkan bekerja di luar rumah dengan pekerjaan-pekerjaan yang dibolehkan syara’.
2)      Masyarakat memerlukan tenaga perempuan untuk bidang-bidang yang sesuai dengan karakter perempuan. Tidak diragukan lagi bahwa masyarakat membutuhkan tenaga wanita untuk difungsikan sebagai dokter, guru dan dosen, serta pembimbing social. Msyarakat Islam membutuhkan guru perempuan untuk memberi kuliah, membutuhkan dokter dan perawat untuk melayani pasien perempuan, dan membutuhkan pembimbing social perempuan untuk memelihara aspek-aspek social keperempuanan. Selain itu, masyarakat Islampun membutuhkan akuntan-akuntan perempuan untuk bank-bank Islam.

Syarat-syarat perempuan bekerja di luar rumah(sosial)

            Seorang perempuan dibolehkan beraktivitas diluar rumah, jika asa salah satu dari sejumlah keadaan yang membolehkan perempuan bekerja di luar rumah, sehingga dikatakan bahwa perempuan karier itu harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Dengan demikian, keluarnya perempuan dari rumahnya untuk bekerja, bersosial tidak berakibat buruk bagi dirinya, suaminya, anak-anaknya, dan masyarakatnya. Diantara persyaratan yang telah ditetapkan oleh ulama fiqh bagi perempuan aktifis social dan karier adalah:[44]

1)      Adalah hak suami untuk menerima atau menolak keinginan istri untuk bekerja di luar rumah, sehingga dapat dikatakan bahwa persetujuan suami bagi perempuan karier merupakan syarat pokok yang harus dipenuhinya karena laki-laki adalah pengayom dan pemimpin bagi perempuan. Allah SWT berfirman, QS.An-Nisa’: 34. “Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan…” Dan Rasulullah saw bersabda: “apabila istri salah seorang diantara kamu minta ijin (untuk pergi ke Masjid), maka janganlah dicegah.( HR. Bukhori)
2)      Menyeimbangkan tuntutan rumah tangga dan tuntutan kerja.
Sebagian besar perempuan muslimah yang dibolehkan bekerja di  luar rumah karena tuntutan kebutuhan primer rumah tangganya, tidak mampu menyamakan dan menyeimbangkan antara tuntutan rumah tangga dan kerja. Adanya aturanaturan pekerjaan, baik dari segi waktu maupun dari sehi kesanggupan, menyebabkan seorang istri mengurangi kualitas pemenuhan kewajiban rumah tangganya atau bahkan mempengaruhi kesehatannya. Dalam hal ini, Istri muslimah hendaknya selalu berkeyakinan bahwa sifat bekerjanya itu hanyalah sementara, yang padasaatnya nanti akan dilepas bila telah terpenuhinya kebutuhan. Istri tidak boleh beranggapan bahwa keluarnya dari rumah itu merupakan hiburan atau pengisi waktu luang, atau lebih jauh lagi karena motivasi emansipasi atau untuk dapat meraih kebebasan dalam bidang perekonomian. Semua anggapan itu datangnya dari pemikiran-pemikiran orang Barat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Jika keluarnya istri itu merupakan kewajiban syara, maka pemerintah harus dapat menciptakan dan mengatur kondisi-kondisi tertentu agar pekerjaan seorang perempuan berbeda dengan pekerjaan laki-laki, misalnya: Bekerja setengah waktu dari waktu yang telah dijadwalkan bagi laki-laki, sebab setengah waktu lainnya bagi seorang istri adalah untuk melaksanakan kewajibannya di dalam rumah tangga. Bisa juga, mendirikan rumah-rumah pembinaan anak sesuai dengan ajaran islam untuk dijadikan lapangan kerja oleh para perempuan muslimah. Dan mempermudah sarana transportasi bagi para perempuan muslimah
       3) Pekerjaan itu tidak menimbulkan khalwat
Yang dimaksud dengan khalwat adalah berduaannya laki-laki dan wanita yang bukan mahram. Pekerjaan yang di dalamnya besar kemungkinan terjadi khalwat, akan menjerumuskan seorang istri ke dalam kerusakan, seperti seorang istri menjadi skretaris pribadi seorang direktur. Di antara alasan yang melarang hal ini adalah sabda Rasulullah saw :
 “Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan (khalwat) kecuali setan menjadi yang nomor tiga.” (HR.Thabrani)

Di dalam sabdanya yang lain, Rasulullah saw memperingatkan,
“ Takutlah kamu memasuki para wanita. “ salah seorang sahabat Anshar bertanya, “ Wahai Rasulullah, apakah itu termasuk hamwa (ipar laki-laki)? Jawab Rasulullah, “ Ya, Hamwa adalah kematian. (HR.Tirmidzi)

Selain itu, istri harus dapat menjauhi pekerjaan yang di dalamnya terdapat campur baur dengan laki-laki, sebab akan menimbulkan fitnah. Campur baurnya perempuan dengan laki-laki dalam kantor atau tempat kerja lainnya akan menghilangkan rasa malu dan kehormatan perempuan tersebut. Tidak sedikit seorang perempuan harus melaksanakan tugas luar daerah, semacam ini hendaklah bias dicegah kecuali bilamana disertai dengan mahramnya. Rasulullah bersabda dalam hadisnya:
“ Perempuan tidak boleh bepergian kecuali disertai dengan muhrimnya.”
(HR> Bukhori dan Muslim)

Contoh nyata akibat dari perjalanan perempuan ke luar seperti khalwat yang dilakukan oleh Barkinson, menteri Perindustrian Inggris, yang terjerat skandal dengan sekretarisnya hingga hamil, padahal Barkinson sudah menikah.

3)      Menghindari pekerjaan yang tidak sesuai dengan jiwa Perempuan
Istri dan kebanyakan perempuan, hendaknya bias menghindari pekerjaan yang tidak sesuai dengan karakter jiwa perempuan, dan tidak selaras dengan fitrah perempua. Seperti bekerja di lokasi diskotik, menjadi model produk tertentu sehingga mampu memikat para pembeli. Sesungguhnya, pekerjaan ini menipu perempuan, seakan terhormat dan membanggakan prestise, tetapi sesungguhnya dibalik itu hakekatnya adalah menjadikan perempuan sejajar dengan barang komuditi, nilai kemanusiaannya digadaikan dengan nilai mata uang.[45]

4)      Menjauhi segala sumber Fitnah
Islama tidak melarang perempuan melakukan aktivitas di luar rumah, asalkan tetap memegang rambu-rambu berikut ini :
a)      Etika perempuan ketika bekerja di luar rumah, dianjurkan untuk mengenakan pakaian yang sesuai dengan yang disyariatkan Islam. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab: 59.

 “  Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Dalam hal ini Rasulullah pun menegaskan, dalam sabdanya:
 “ Takutlah kamu memasuki para wanita. “ salah seorang sahabat Anshar bertanya, “ Wahai Rasulullah, apakah itu termasuk hamwa (ipar laki-laki)? Jawab Rasulullah, “ Ya, Hamwa adalah kematian. (HR.Tirmidzi)

b)      Perempuan yang bekrja di luar rumah hendaknya merendahkan volume suaranya, dan mebiasakan perkataan yang baik, karena suara wanita adalah aurat. Aurat itu artinya aib. Sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT dalam QS.Al-Ahzab: 32

" Hai isteri-isteri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik”
Ayat di atas mengandung maksud bahwa makna  tunduk di sini ialah berbicara dengan sikap yang menimbulkan keberanian orang bertindak yang tidak baik terhadap mereka. Sedangkan yang dimaksud dengan dalam hati mereka ada penyakit. Yaitu : orang yang mempunyai niat berbuat serong dengan wanita, seperti melakukan zina.
c)      Perempuan dibolehkan bekerja diluar rumah, asalkan tidak memakai perfume atau wewangian, sebab diantara yang membuat sumber fitnah adalah aroma perfume yang memikat laki-laki. Perbuatan Perempuan ini diperumpamakan oleh Rasulullah saw seperti orang yang berbuat zina. Sabda Rasulullha saw:
                Apabila seorang perempuan memakai wewangian, kemudian lewat pada suatu tempat, maka dia seperti perempuan yang berbuat zina.” (HR. Tirmidzi)
                    
d)     Perempuan karier, dalam bekerja harus menundukkan pandangan agar terhindar dari kemaksiatan dan godaan setan. Allah telah memerintahkan perempuan dan laki-laki untuk menundukkan pandangan. Dalam Firman Allah SWT QS. an-Nûr: 30-31
 “ Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".
 Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

Berdasarkan ayat di atas, ulama tafsir seperti : Rasyid Ridlo,               menyimpulkan bahwa menundukkan pandangan merupakan dasar kesucian diri dan masyarakat dari kerusakan[46]. Banyak hadits yang mendidik seorang muslim untuk menundukkan pandangan, diantaranya,


“Sesungguhnya pandangan itu merupakan panah dari panah-panah setan. Barang siapa yang dapat meninggalkannya karena takut kepada-Ku, berarti dia menemukan manisnya di dalam hati.” (HR. Tobroni)
Hadis lain menuturkan:
“Wahai Ali, janganlah engkau mengikuti pandangan pertama dengan pandangan yang kedua, sebab pandangan pertama itu boleh bagimu dan pandangan yang selanjutnya adalah dosa bagimu.” (HR.Tirmidzi)[47]

KESIMPULAN
Gerakan Emansipasi yang kampanyekan oleh kaum feminis dan Gender dan tidak menyadari dalam mengutarakan gagasannya, akan membuahkan produk pemikiran, dan pemikiran ternyata berperan penting yang akan mewarnai prilaku kehidupan seseorang (perempuan). Maka Gerakan pemikiran Barat ini jika merasuk dalam tubuh ummat muslimah, akan menghasilkan produk prilaku bebas tiada batas tidak juga  mengenali rambu-rambu Islam. Dari sini, akan manjadikan perempuan-permpuan berperan diberbagai kehidupan masyrakat, namun jiwa, pikiran dan prilakunya adalah Tholehah’
Gerakan emansipasi feminis di lingkungan Muslim hanya akan berhasil dan sekaligus mampu membendung emansipasi Barat, dan bila tetap mengacu pada ajaran Islam (al-Qur’an dan Sunnah), bukan sekedar menjajakan gagasan-gagasan asing yang diimpor dari luar, yang belum tentu cocok untuk diterapkan atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Maka janji Allha SWT akan berpihat pada kita. “Allah tidak akan merobah suatu kaum, jikalau kaum itu sendiri tidak berusaha untuk mengubahnya” . akhirnya, perempuan akan menjadi sholehah yang pernah dilukiskan oleh Rasululla saw dalam Hadisnya:”Dinia secara keseluruhan adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah perempuan/istri yang Sholehah(HR.Muslim dan Ahmad) Disamping itu, gerakan membangun perempuan di kalangan Muslim juga seyogyanya diletakkan dalam bingkai pembangunan umat secara keseluruhan, tidak chauvinistik dan hanya memikirkan kepentingan kaum wanita saja.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas Muhammad Aqqad, Al-Mar’atu fil-Qur’ân, (Beirut: Mansyrat al-Maktabah al-‘Ashriyyah, tt), hal.107
Abu Nasr alhusaini, Almar’ah wa Huqûquhâ fi-l-Islam, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1984), hal., 9
Abu Nasr, Al-Mar’atu wa huqûquha fi-l-Islam,(Beirut: Darul Kutub al-ilmiyyah, 1984), hal 8-9)
Ahmad Bin Abdul Qodir Ghozi, Haqqul Mar’ati fî Dhouil kitab was-Sunnah, (ed.), (Kairo: Rabitah Jamiah Islamiyyah,2006), hal.109
Ahmad Fudholi, Perempuan dilembaran Suci:Kritik atas Hadis-hadis Shahih, (Yogyakarta, Pilar Relegia, 2005), hal. 196
Alison M Jaggar, Feminist Politic and Human Nature, (Totawa, NJ: Rowman &Allanheld, 1983), hal.256
Ann Brooks, Posfeminisme &Cultural studies,trerj. S.Kunto Adiwibowo, (Yogyakarta, Jalasutra, 2004), hal. 385
Ann Koedt, The Myth of the Vaginal Orgasm,Notes from the Scond Year: Women’s Liberation-Mayor Writing of the Radical Feminists, (      1970  ), hal. 41
Deirdre English, The Politics of Porn: “Can Feminists walk the Line?”Mother Jones, (  ), hal. 20-23
Dikeluarkan oleh Iman Ahmad 3/158&245, Abu Daud (2050), an-Nasai di dalam bab an-Nikah, ibnu majah (1846) dan al-Hakim 2/162 dalam al-Majma, 4/252 &258
Engels, The Origin of the Family, Private Property and the state, hal. 137
Friedrich Wilhelm Nietzsche, On the Genealogy of Moras, terj. ( New York: Vintage Books, 1969), hal. 44
 Genea Corea, The mother Machine: Reproduction technologies from Artificial Insemination to artificial Wombs, (New York: Harper & Row, 1983), hal. 107
Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam,(Ponorogo:  CIOS, 2008), hal. 108
http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=83&Itemid=50
Husein Syahatah, Ekonomi Rumah Tangga Muslim, terj.(Jakarta: Gema Insani, 1998), hal. 187
Imam Ahmad, Al-hastu ‘ala –an-nikah, juz 13, no. 6310
Imam As-Shodiq al-Mahdy,al-Huqûq al-Islâmiyyah wa-al-Insâniyyah li-al-Mar’ati,(Kairo: Maktabah as-Syurûq ad-Dauliyyah, 2006), hal. 106
Imam Mahdi, Huqûqul Islam wal Insaniyyah lil-Mar’ati, (Kairo: maktabah Suruq addaulah,2005), hal. 172
Kutipan dari wawancara wartawan Era Muslim dengan Ir. Rida Salamah, Wawancara dengan Era Muslim
Manshour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal.xii
Muhammad Al-Bahiy, Al-fikrul Islam Al Hadits Wa shirâtuhu bil-isti’mâril- Gharbiyy, terj. Sa’adi Sa’ad, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), hal. 107
Muhammad Sholeh al-Munjid, Fatawa al-Islam, (www.islam-qa.com: Maktaba Syamila,
Nurun Najwah, Dilema Perempuan dalam Lintas Agama dan Budaya,(Yogyakarta, UIN-Sunan Kalijaga & IISEP-CIDA, 2005), hal. 17
Rasyid Ridlo, Tafsir Almannar, (Beirut: Darul Fikri, tth), hal.
Ratna Saptari, dkk, Perempuan kerja dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Grafitri, 1997), hal.162
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought:Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, (Yogyakarta:Jalasutra,2004), hal.106
Simon De Beauvoir, The Second Sex, transl.,  (New York: Vintage Books, 1989), hal. 512
Siti Hariti Sastriyani,(editor), Woman in Public sector, (Yogyakarta: PSW-UGM & Tiara Wacana, 2008), hal.ix)
Syamsuddin Arif, Emansipasi Wanita, (http://www.Hidayatullah.com)
Tirmidzi, Kitab Radha’: Fi Khalqi az-Zauj wal-Mar’ah, (Kutubut-tis’ah), no. 1079
Ukasyah Athibi, Wanita: Tadhûru akhlakun-Nisa, (Cairo: Maktabah Turâst al-Islami,1993), hal.52
Yusuf Al-Qaradhawy, Malamih al-Mujtama al-Muslim alladzi Nansyuduhu, (Kairo, Maktabah Wahbah, 1993 ), hal.31



[2] Manshour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal.xii
[3] Kutipan dari wawancara wartawan Era Muslim dengan Ir. Rida Salamah, Wawancara dengan Era Muslim,
[4] Ibid.
[5]http://www.vhrmedia.com/vhr-news/berita,25-Juta-Perempuan-Aborsi-di-Tahun-2008--2319.html
[6] Ibid.
[7] http://www. Feminismeislamic.org.

[8]http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=83&Itemid=50
[9]
[10] Abu Nasr alhusaini, Almar’ah wa Huqûquhâ fi-l-Islam, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1984), hal., 9
[11] Abu Nasr, ibid, hal.4
[12] Ibid.
[13] Abbas Muhammad Aqqad, Al-Mar’atu fil-Qur’ân, (Beirut: Mansyrat al-Maktabah al-‘Ashriyyah, tt), hal.107
[14] Deirdre English, The Politics of Porn: “Can Feminists walk the Line?”Mother Jones, (  ), hal. 20-23
[15] Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam,(Ponorogo:  CIOS, 2008), hal. 108
[16] Ann Koedt, The Myth of the Vaginal Orgasm,Notes from the Scond Year: Women’s Liberation-Mayor Writing of the Radical Feminists, (      1970  ), hal. 41
[17] Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought:Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, (Yogyakarta:Jalasutra,2004), hal.106
[18] Friedrich Wilhelm Nietzsche, On the Genealogy of Moras, terj. ( New York: Vintage Books, 1969), hal. 44
[19] Yusuf Al-Qaradhawy, Malamih al-Mujtama al-Muslim alladzi Nansyuduhu, (Kairo, Maktabah Wahbah, 1993 ), hal.31
[20] Syamsuddin Arif, Emansipasi Wanita, (http://www.Hidayatullah.com)
[21] Nurun Najwah, Dilema Perempuan dalam Lintas Agama dan Budaya,(Yogyakarta, UIN-Sunan Kalijaga & IISEP-CIDA, 2005), hal. 17
[22] Ahmad Fudholi, Perempuan dilembaran Suci:Kritik atas Hadis-hadis Shahih, (Yogyakarta, Pilar Relegia, 2005), hal. 196
[23] Muhammad Al-Bahiy, Al-fikrul Islam Al Hadits Wa shirâtuhu bil-isti’mâril- Gharbiyy, terj. Sa’adi Sa’ad, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), hal. 107
[24] Syamsuddin Arif, Ibid.
[25] Hamid Fahmi Zarkasyi, Ibid, hal. 107
[26] Abu Nashr, Ibid, hal.45
[27] Abu Nashr, Ibid, hal.45

[28] Imam Ahmad, Al-hastu ‘ala –an-nikah, juz 13, no. 6310
[29] Imam As-Shodiq al-Mahdy,al-Huqûq al-Islâmiyyah wa-al-Insâniyyah li-al-Mar’ati,(Kairo: Maktabah as-Syurûq ad-Dauliyyah, 2006), hal. 106
[30] Ratna Saptari, dkk, Perempuan kerja dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Grafitri, 1997), hal.162
[31] Rosemarie Putnam Tong,  Ibid, hal.110
[32] Ibid,
[33] Dikeluarkan oleh Iman Ahmad 3/158&245, Abu Daud (2050), an-Nasai di dalam bab an-Nikah, ibnu majah (1846) dan al-Hakim 2/162 dalam al-Majma, 4/252 &258
[34] Alison M Jaggar, Feminist Politic and Human Nature, (Totawa, NJ: Rowman &Allanheld, 1983), hal.256
[35] Muhammad Sholeh al-Munjid, Fatawa al-Islam, (www.islam-qa.com: Maktaba Syamila,
[36] Simon De Beauvoir, The Second Sex, transl.,  (New York: Vintage Books, 1989), hal. 512
[37] Genea Corea, The mother Machine: Reproduction technologies from Artificial Insemination to artificial Wombs, (New York: Harper & Row, 1983), hal. 107
[38] Ukasyah Athibi, Wanita: Tadhûru akhlakun-Nisa, (Cairo: Maktabah Turâst al-Islami,1993), hal.52
[39] Engels, The Origin of the Family, Private Property and the state, hal. 137
[40] Tirmidzi, Kitab Radha’: Fi Khalqi az-Zauj wal-Mar’ah, (Kutubut-tis’ah), no. 1079
[41] Siti Hariti Sastriyani,(editor), Woman in Public sector, (Yogyakarta: PSW-UGM & Tiara Wacana, 2008), hal.ix)
[42] Imam Mahdi, Huqûqul Islam wal Insaniyyah lil-Mar’ati, (Kairo: maktabah Suruq addaulah,2005), hal. 172
[43] Ahmad Bin Abdul Qodir Ghozi, Haqqul Mar’ati fî Dhouil kitab was-Sunnah, (ed.), (Kairo: Rabitah Jamiah Islamiyyah,2006), hal.109
[44] Ibid
[45] Husein Syahatah, Ekonomi Rumah Tangga Muslim, terj.(Jakarta: Gema Insani, 1998), hal. 187
[46] Rasyid Ridlo, Tafsir Almannar, (Beirut: Darul Fikri, tth), hal.
[47] Tirmidzi, bab An-Nadhrah ilâ-l-mar’ah, no. 2701

Tidak ada komentar:

Posting Komentar