Jumat, 27 September 2013

KARAKTERISTIK PERADABAN YUNANI









Karakteristik Peradaban Yunani

Yunani adalah bangsa yang mendapat banyak karunia, bangsa yang paling cerdas, cerdik, bakat dan hasrat intelektual dan cultural yang tinggi. Bangsa Yunani telah memainkan peranan penting diatas panggung sejarah dunia dengan hasil filsafat dan kebudayaannya, serta tokoh tokoh terkemuka di bidang ilmu dan kebudayaan yang menyemarakkan perpustakaan-perpustakaan dunia.

Jika kita membuat kritik dan analisis tentang ciri-ciri peradaban Yunani dengan mengesampingkan segala unsur peradaban lain yang turut berperan serta di dalamnya, maka peradaban itu mempunyai beberapa keistimewaan dibanding dengan peradaban-peradaban lainnya terutama peradaban-peradaban timur sebagai berikut:
Kepercayaan yang berlebih-lebihan terhadap kemampuan panca indera dengan meremehkan hal-hal di luar jangkauan panca indra.
Kelangkaan rasa keagamaan dan kerohanian.
Sangat menjunjung tinggi kehidupan duniawi dan menaruh perhatian yang berlebihan terhadap manfaat dan kenikmatan hidup.
Memiliki rasa patriotisme.

Semua itu dapat diringkas dengan satu kata: materialisme. Materialisme Yunani ini telah menjadi lambang peradabannya sehingga mewarnai segala yang bertalian dengan Yunani, mereka tidak mampu menggambarkan sifat-sifat Allah dan kekuasaanya kecuali dalam bentuk bermacam-macam dewa yang dipahatkan dalam bentuk patung-patung lalu membangun tempat tempat peribadatan dan kuil-kuil sebagai tempat dewa-dewa itu. Demikianlah untuk urusan rezeki ada dewanya sendiri untuk cinta dewa sendiri dan ada pula dewa kemenangan. Segala atribut untuk tubuh manusia dikenakan juga padanya lalu disusunlah mitos-mitos dan legenda-legenda sekitar dewa-dewa itu. Mereka melukiskan pengertian pengertian abstrak dalam bentuk fisik maka terciptalah dewa cinta dewa kecantikan dan seterusnya. Dasar/pola sepuluh landasan berpikir dan sembilan cakrawala dari filsafat Aristoteles dalam bukunya catagoris tidak lain adalah percikan pemikiran materialistik yang sangat berpengaruh dalam peradaban Yunani.

Dr. Hass telah menyampaikan tiga makalah, dan ada beberapa yang dapat dikutip dari tiga makalah itu:

“Peradaban Yunani adalah inti dari peradaban barat sekarang ini, yang terpenting dalam peradaban itu menurut para tokohnya ialah tumbuhnya berbagai potensi manusia dengan pertumbuhan yang berkesinambungan. Ukuran ideal menurut mereka adalah tubuh yang indah dan serasi. Pikiran demikian tiada lain ialah karena penelitian besar terhadap hal-hal yang dapat dijangkau oleh panca indera. Perhatian mereka yang terbesar ditumpahkan pada latihan fisik, permainan olahraga, tari, dll. Sedangkan pendidikan mental meliputi puisi, nyanyi, teater, filsafat dan ilmu-ilmu fisika dijaga sedemikian rupa supaya tidak mencapai taraf yang mengutamakan jiwa melebihi keutamaan badan. Agama mereka kosong dari nilai-nilai spiritual tanpa teologi, tanpa lapisan elit keagamaan. Adapun warna spiritual dalam tradisi azves dan lain-lainnya sesungguhnya adaptasi dari peradaban timur dan tidak valid untuk dikaitkan dengan peradaban Yunani." [1]

Kaum intelektual Barat mengakui langkanya rasa keagamaan dan tipisnya kesadaran spiritual serta kesungguhan bangsa Yunani dalam menjalankan agama, ditambah kecenderungan hidup mewah dan santai. W. E. H. Lecky, misalnya menulis dalam bukunya History of European Morals sebagai berikut:

"Yunani menggerakkan semangat rasionalistik intelektual, sementara Mesir menggerakkan semangat spiritual mistis." Selanjutnya Lecky mengutip pengarang Romawi, Apuleuis yang berkata) orang-orang Mesir mengagungkan dewa-dewa mereka dengan merendahkan diri dan meratap sementara orang Yunani memuliakan dewa-dewa mereka dengan menari dan menyanyi lalu mengomentari hal itu) tak dapat disangsikan lagi bahwa sejarah membenarkan dan menguatkan keterangan itu. Tak ada satu agamapun yang dapat menyamai agama dan tradisi tradisi Yunani dalam banyak hal seperti kesenangan-kesenangan, hari raya dan permainan-permainan dan tipisnya rasa takut dan tunduk kepada Tuhan. Orang orang Yunani tidak memuliakan Tuhan mereka kecuali hanya seperti mengagungkan tokoh-tokoh dan para pemimpin mereka. Mereka cukup memuliakan Tuhan dengan upacara-upacara biasa dan perayaan perayaan tradisional yang berlaku."[2]

Di Yunani terdapat filsafat ketuhanan dan berbagai akidah yang jauh dari rasa hormat kepada Tuhan, beribadah, merendah diri, merasa takut dan meminta perlindungan kepada-Nya, karena filosof yang meniadakan ikhtiar Tuhan, perbuatan, penciptaan, dan penguasaan-Nya atas alam semesta serta yang mengaitkan alam ini dengan apa yang disebutnya dan gerak semesta, tidak menghendaki Allah dalam kehidupan praktis melainkan hanya sebagai tradisi. Maka kalau kita mendengar bahwa bangsa Yunani tidak tunduk kepada Tuhan Allah dan bahwa ibadah-ibadah serta amalan perbuatan keagamaan mereka hanya bersifat fisik tanpa jiwa, dan bahwa mereka mengagungkan Tuhan hanya seperti mengagungkan tokoh-tokoh dan pemimpin mereka, kitapun sama sekali tak merasa heran, justru kita akan merasa heran jika mendengar yang sebaliknya.

Orang Yunani mengagung-agungkan kehidupan duniawi hingga melampui batas, demikian pula kesenangan terhadap patung-patung, gambar-gambar, nyanyian, musik, yang mereka sebut sebagai seni yang indah. Para pengarang dan pujangga melampiaskan kebabasan individu sedemikian rupa hingga tak kenal lagi batas dan tak peduli terhadap dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap moral bangsa. Moto seorang laki-laki merdeka adalah mereguk kepuasan nafsu sepuas-puasnya, memburu kesenangan hidup dan menikmati kehidupan dunia tanpa mengenal batas. Sebagaimana dikutip oleh Plato dalam bukunya melukiskan laki-laki Yunani yang merdeka seperti kritikus masa kini menyerang dunia abad ke 20 yang hidup di salah satu ibu kota negara barat. Jika dikatakan padanya bahwa kesenangannya itu ada yang baik dan yang buruk dan yang baik itu harus pantas dikerjakan dan dihormati, sedang yang buruk harus dihindari dan pantas mendapat hukuman, iapun tidak akan menerima dan tak akan mendengar aturan benar ini. Demikianlah dia menjalani hari-hari dalam kehidupannya, melampiaskan hawa nafsu yang sering merongrongnya. Sekali ia bermabuk-mabukan sambil menikmati nyanyian di lain kali ia hanya menenggak air dan kadang-kadang tenggelam dalam pendidikan dan latihan, dan di lain kali lagi bersantai-santai dan bermalas-malasan, kadang masuk dunia politik dan berpidato sesuai dengan tema masanya, hidupnya tak menentu namun ia tetap mengangap hidup ini menyenangkan dan penuh kenikmatan, dan akan dijalani kehidupan sedemikian itu sampai akhir hayatnya .

Adapun patriotisme memang sudah menjadi tabiat yang melekat pada orang Eropa lebih kuat dibandingkan Asia. Patriotisme lebih kuat dan nyata karena didorong oleh kondisi geografisnya. Kawasan Asia amat luas dan meliputi berbagai iklim dan berbagai ras dan penduduk yang amat banyak tanahnya subur menjamin berbagai macam macam penghidupan. Sedangkan Eropa dipenuhi oleh pergulatan hidup yang tak kunjung selesai untuk menentukan kelangsungan hidup karena padatnya penduduk dan sempitnya wilayah yang sukar diubah alamnya, terutama bagian barat Eropa tengah dan selatan, karena itu gambaran politis Eropa kuno tidak lebih dari kumpulan negara negara kecil dengan wilayah beberapa mil saja. Dan contoh yang paling realistis dari gambaran ini ialah tanah Yunani yang diawali sejarahnya merupakan tempat berdirinya berpuluh-puluh kota kecil yang berdiri sendiri sendiri.

Maka tidak mengherankan jika Yunani menjunjung tinggi patriotisme. Patriotisme disepakati sebagai lebih utama daripada sekedar kebaikan budi, bahkan Aristoteles tidak cukup hanya mengajarkan patriotisme belaka melainkan juga mengajarkan bahwa orang Yunani harus memperlakukan bangsa-bangsa barbar (orang asing) sebagai memperlakukan binatang ternak sehingga jika seorang filosof berkata bahwa ia tidak hanya membela oraang orang senegaranya saja melainkan berbuat baik kepada seluruh orang-orang Yunani maka filosof itu pasti menimbulkan keheranan orang-orang dan akan memperoleh pandangan yang sinis dari orang orang senegaranya.

Footnote:

[1] Abul Hasan Ali Aml-Nadwi, Islam Membangun Peradaban Dunia, Pustaka Raya, hal. 230. (lihat juga Halide Edib, hal. 226-227).

[2] Abul Hasan Ali Aml-Nadwi, Islam Membangun Peradaban Dunia, Pustaka Raya, hal. 230. (lihat juga W. E. H. Lecky, History of European Morals, London, 1869, J. I, hal. 334-335).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar