Kamis, 27 Juni 2013

AL-QUR’AN SEBAGAI SOLUSI PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA




AL-QUR’AN SEBAGAI SOLUSI PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
Muhammad Taisir

a.      Pendahuluan
Sejak dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia, sedikit demi sedikit mulai terbongkar oknum-oknum pejabat pemerintah dan wakil-wakil rakyat yang terjangkit penyakit korupsi ini. Tidak pandang bulu, para pejabat kelas bawah, menengah, sampai kelas atas pun tidak luput dari penyakit ini. Tahun demi tahun pun berlalu dan semakin banyak saja pejabat yang tersangka korupsi ini, baik dari golongan konvensional sampai kepada orang-orang yang ‘kelihatannya’ taat beragama. Lihat saja,seperti Ahmad Fathanah, kemudian Lutfi Hasan Ishaq, yang lagi tenar dan hebboh baru-baru ini. Sebelumnya sudah ada yang telah mendahului dalam jeruji besi, seperti Gayus Tambunan, seorang petugas pajak yang diperkirakan mempunyai gaji sebesar tiga jutaan, dalam kurun waktu tiga tahun menjabat telah menjadi miliyarder kelas kakap sampai merugikan bangsa Indonesia.
Seiring dengan maraknya korupsi di Indonesia ini menyebabkan rating bangsa kita di dunia semakin naik. Bahkan kita mendapatkan julukan baru, yaitu sebagai “negara terkorup di dunia”. Melihat hal ini, hati kita terasa teriris. Mengapa demikian? Indonesia merupakan negara dengan jumlah muslim terbayak di dunia. Seharusnya kita bangsa Indonesia yang notabene penganut agama Islam yang taat terhindar dari penyakit yang saat ini paling berbahaya di negeri ini.
Dari uraian di atas, muncul sebuah pertanyaan, apakah agama Islam tidak mengatur tentang korupsi ini sehingga menjadi semakin merajalela di negeri ini? Atau dengan pertanyaan yang lebih sempit, apakah tidak ada dalam nash, khususnya kitab suci al-Qur’an yang memberikan solusi agar penyakit korupsi ini lenyap dari bumi Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul ini memacu penulis untuk mengungkap tabir yang menyelimuti diri kita tentan bagaimana al-Qur’an memberikan petunjuk kepada kita untuk memberantas korupsi yang terus merajalela di negeri kita tercinta ini, Indonesia. 
     
b.      Pembahasan
1.      Definisi Korupsi
Sebelum membahas lebih jauh tentang korupsi serta pemberantasannya menurut al-Qur’an, terlebih dahulu kami akan memberikan definisi sederhana tentang korupsi ini.
Dalam Kamus Ilmiah Populer[1], kata korupsi mempunyai tiga arti, kata ini dapat diartikan sebagai:
a.       kecurangan;
b.      penyelewengan/ penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri sendiri;
c.       pemalsuan.
Jika menilik pada definisi di atas, terlihat adanya kesinambungan dari ketiga arti korupsi ini, yaitu ia adalah suatu tindakan curang atau pemalsuan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang diberikan kepercayaan oleh yang berwewenang untuk kepentingan pribadi maupun kelompok/golongan tertentu. Jika dikatakan secara global, korupsi ini merupakan tindakan zhalim karena telah memakan harta yang bukan haknya secara bathil.
Dengan demikian, tindakan korupsi itu tidak hanya bisa dilakukan oleh para kaum elit politik ataupun pejabat kelas atas saja. Kita pun, sebagai warga negara biasa bisa melakukan tindakan korupsi ini, meskipun boleh jadi tidak dalam skala yang besar.


2.      Dalil-dalil pelarangan korupsi
Sebelum mengungkapkan dalil-dalil dalam al-Qur’an yang ada hubungannya dengan larangan berbuat korupsi ini, perlu kiranya penulis membahas sedikit tentang istilah korupsi ini dalam Islam, khususnya dalam kitab suci al-Qur’an.
Di dalam agama Islam, istilah korupsi ini biasanya istilah yang sering digunakan adalah ghulul, yang makna secara umumnya adalah menggelapkan harta publik, yang pada masa rasul SAW itu merupakan suatu tindakan penyelewengan dalam pembagian harta rampasan perang. Dalam al-Qur’an disebutkan yang artinya:
"Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu, niscaya pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi." (QS. Ali Imran: 161)[2]
Abu Dawud dan Tirmizi dari Ibnu Abbas tentang sebab turunnya ayat ini, Ia berkata bahwa ayat ini turun disebabkan hilangnya sebuah kain merah pada peperangan Badar, maka sebagian orang pun berprasangka dan mengatakan, “Mungkin Rasulullah SAW tela mengambilnya”, maka Allah pun menurunkan wahyu-Nya:
  Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.... sampai akhir ayat.[3]
Dalam ayat ini sangat jelas bahwa Allah SWT mengancam orang-orang yang berbuat ghulul yang mana istilah ini dapat disebut sebagai suatu tindakan korupsi, sekaligus menepis dugaan kaum muslimin waktu itu yang menuduh nabi berbuat korupsi/ghulul.
Kita kembali kepada definisi korupsi pada pembahasan terdahulu, bahwa tindakan korupsi itu merupakan perbuatan atau aktivitas memakan harta dengan cara yang tidak seharusnya. Yang demikian itu sangat dilarang dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 188 yang artinya:
"Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui." (QS: Al-Baqarah: 188 yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS: An-Nisa: 29)

Pada surat al-Fajr ayat 15-20 disebutkan yang artinya:
15. Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka dia akan berkata: "Tuhanku Telah memuliakanku".
16.  Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku".
17.  Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim,
18.  Dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin,
19.  Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil),
20.  Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.
(QS. Al-Fajr: 15-20)

Di dalam ayat ini disebutkan, setidaknya ada empat hal yang merupakan tindakan nyata yang menyebabkan masalah sosial, yaitu:
a.       Sikap tidak berprikemanusiaan (ahumanis) yang dalam ayat ini dicontohkan tidak memuliakan anak yatim;
b.      Sikap tidak memiliki jiwa sosial (asosial) yaitu tidak memberi makan orang miskin;
c.       Sikap monopolistik, yaitu memakan harta pusaka ataupun kekayaan alam secara rakus tanpa memperhatikan kehalalannya; dan
d.      Sikap hedonis, yaitu gila akan harta kekayaan dengan mencintainya secara berlebihan.
Jika melihat keempat sendi di atas, maka korupsi masuk kedalam setiap sendi-sendi kehidupan tersebut.
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan tentang keharaman memakan harta yang bukan haknya, termasuk dalam hal ini adalah tindakan korupsi

3.      Solusi al-Quran dalam Memberantas Korupsi
Telah diketahui bersama bahwa al-Qur’an merupakan wahyu Allah SWT. Karena posisinya sebagai wahyu, maka al-Qur’an mempunyai kemampuan untuk membentuk budaya masyarakat. Jika kita menengok kepada kondisi di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, terutama penduduk yang tinggal di pedesaan, masih berpegang teguh terhadap ajaran Islam dengan kitab sucinya al-Qur’an. Hal ini patut kita syukuri. Namun demikian, al-Qur’an hanya dijadikan sebagai pedoman secara normatif saja sehingga seolah-olah al-Qur’an itu tidak mempunyai dimensi sosial dan intelektual guna membendung masalah-masalah sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Padahal al-Qur’an itu tidak demikian adanya. Yang terjadi adalah pemahaman masyarakat kita yang sempit tentang ayat-ayat suci al-Qur’an tersebut.
Jika ditelusuri lebih jauh, ternyata al-Qur’an mempunyai dimensi sosial yang sangat tinggi, yang dengan kata lain, al-Qur’an sangat memperhatikan dimensi sosial kemasyarakatan.
Bagaimana dengan tindakan korupsi? Tentu saja al-Qur’an mempunyai solusi untuk itu. Al-Qur’an tidak saja mampu meningkatkan spiritualitas umatnya untuk menjauhi apalagi memakan harta rakyat dengan cara yang rakus dan bathil. Al-Qur’an tidak saja melarang kita untuk berbuat demikian, tetapi juga menunjukkan dan memerintahkan kita untuk memilih penguasa yang adil dan menjauhi penguasa yang korup dan zhalim. Lihatlah misalnya firman Allah SWT dalam surat an-Naml ayat 34, kemudian surat al-Kahfi ayat 71, surat Saba’ ayat 34-35, kemudian surat az-Zukhruf ayat 23, al-Isra ayat 16, Hud ayat 27, yang kesemuanya itu menjelaskan bagaimana perbuatan para penguasa yang zhalim dan korup yang ingin menang sendiri serta menghina para penduduk negeri yang mereka kuasai, kemudian mereka menunjukkan kekuatan mereka dengan kesombongan yang sangat. Kemudian al-Qur’an memberikan solusi jika terlanjur orang-orang yang zhalim itu menjadi penguasa, maka hendaklah rakyat membuat oposisi untuk melawan penguasa yang zalim tersebut, seperti disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 9 yang artinya:
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Hujurat: 9)
Dengan demikian, seorang pemimpin itu haruslah bisa merasakan penderitaan rakyat, dekat dengan rakyat serta dicintai rakyat.
Perintah untuk berbuat adil itu telah jelas ditegaskan dalam al-Qur’an, seperti pada surat an-Nisa’ ayat 58 yang artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisa’: 58)
Meskipun yang maha adil itu adalah Allah SWT, tetapi manusia telah diberikan wewenang untuk menetapkan kebijaksanaan itu atas dasar pelimpahan dari Allah SWT, maka sebagai manusia yang baik hendaknya memperhatikan kehendak yangmemberikan wewenang, yaitu Allah SWT.[4]

Di sisi lain, al-Qur’an juga telah mengecam orang-orang yang melakukan tindak korupsi sebagai orang yang celaka dan akan di azab dengan azab yang pedih, seperti pada surat al-Hasyr ayat 7 yang artinya:
 “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Kemudian pada surat al-Maa’uun disebutkan secara tegas bahwa orang yang rajin shalat pun disebut sebagai pendusta agama karena ketidakberpihakannya kepada anak yatim serta enggan menolong dengan harta kekayaannya. Allah juga mengatakan bahwa orang yang suka menumpuk-numpuk hartanya sebagai orang yang celaka (QS. Al-Humazah: 1-9).
Jika melihat ayat-ayat al-Qur’an di atas, jelaslah bahwa al-Qura’n sangat melarang tindak korupsi, memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.
Bahkan, jika kita kaitkan lebih jauh, tindakan korupsi ini merupakan salah satu perbuatan nifaq, yang ia merupakan salah satu tandanya, yaitu mengkhianati amanat yang telah dititipkan rakyat kepadanya.
Maka, amat disayangkan jika seseorang yang beragama Islam, malah melakukan tindakan korupsi. Perbuatan ini merupakan penghinaan terhadap al-Qur’an dan seolah-olah al-Qur’an itu hanya terucap di bibir tanpa dimanifestasikan dalam kehidupan nyata.
Selain  ancama-ancaman yang telah diungkapkan al-Qur’an, harus ada tindakan nyata yang harus dilakukan agar para koruptor tersebut tidak berani lagi melakukan tindak pidana korupsi di masa-masa yang akan datang.
Di dalam al-Qur’an telah disebutkan jenis-jenis hukuman yang diberikan kepada orang yang berbuat jarimah, misalnya pencuri dengan dipotong tangannya, penzina bagi yang perawaan dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun, sedangkan yang sudah menikah (muhshan) dirajam sampai mati. Adapun bughot, maka hukumannya adalah dibunuh.
Dari sekian jenis hukuman yang telah ditentukan al-Qur’an, kita bisa memilih hukuman yang cocok bagi para koruptor yang tentunya memiliki efek jera bagi pelakunya.
Jika kita qiyaskan dengan tindakan pencurian uang rakyat, maka para koruptor itu bisa saja kita potong tangannya. Namun, jika melihat besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi ini, sepertinya tindakan potong tangan terlalu ringan baginya. Dengan demikian, jika hukuman itu tidak mampu menimbulkan efek jera, maka hukuman mati pun kiranya layak bagi koruptor kelas kakap sehingga tidak ada lagi yang berani melakukan perbuatan korupsi.
Jenis-jenis hukuman yang disebutkan dalam al-Qur’an ini hanya dapat dilakukan jika seluruh komponen masyarakat mendukung sepenuhnya penerapannya. Juga harus ada payung hukum sehingga bisa diundangkan dan memiliki kekuatan hukum yang tetap.
Mungkin sulit untuk menerapkan hukum Islam di Indonesia, tetapi hal ini bisa disiasati dengan memasukkan hukum Islam tersebut tanpa membawa nama Islam, sehingga jadilah ia sebagai hukum Indonesia secara yuridis, tetapi hukum Islam secara esensi.   

d.      Kesimpulan
Dari uraian di atas penulis dapat mengambil kesimpulan tentang bagaimana solusi yang ditawarkan al-Qur’an guna memberantas korupsi yang sedang merajalela di negeri ini. Adapun solusi yang ditawarkan di antaranya adalah sebagai berikut:
1.        Menanamkan pemahaman terhadap al-Qur’an sejak usia dini sehingga al-Qur’an mampu menjadi budaya serta mengkarakter pada diri generasi bangsa ini;
2.        Meluruskan pemahaman masyarakat yang selama ini terfokus kepada dimensi normatif, bahwa al-Qur’an juga mempunyai dimensi sosial dan intelektual, serta dimensi-dimensi yang lain;
3.        Memberikan keteladanan dari tokoh-tokoh agama dan masyarakat kepada masyarakat dalam penerapan isi kandungan al-Qur’an sehingga mereka terjaga dari tindakan maksiat kepada Allah SWT khususnya perbuatan korupsi;
4.        Menyerukan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk memilih pemimpin yang adil, kompeten, yang dicintai rakyat, serta paham akan kebutuhan mereka;
5.        Jika terjadi penguasa yang zhalim terpilih menjadi pemerintah, hendaklah melakukan perlawanan dengan cara-cara yang ma’ruf;
6.        Menyampaikan targhib wa tarhib, yaitu memberikan kabar gembira bagi penguasa yang adil dan menyampaikan kepada yang lalim dan korup azab Allah telah menanti mereka;
7.        Memberikan hukuman yang berat bagi mereka yang telah melakukan tindak pidana korupsi sehingga tidak ada lagi yang berani melakukan tindakan tersebut.
Demikianlah beberapa solusi yang ditawarkan al-Qur’an guna mengikis habis tindak pidana korupsi di negeri kita tercinta ini, Indonesia. Wallahu a’lam bissawab.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim
al-‘Ak, Khalid Abdurrahman, Shofwah al-Bayan li Ma’aniy al-Qur’an al-Karim mudzayyilan bi asbab an-Nuzul li as-Suyuthi, Kairo, Dar as-Salam, 1994.
Departemen agama RI, Al-Hikmah, al-Qura’n dan Terjemahnya. Bandung: Penerbit Diponegoro, 2008.
Mardani, Ayat-ayat Tematik Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.Partanto, Pius A dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 1994.
Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Penerbit Mizan, 1996.


[1] Pius A Partanto dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 1994, hal.375.
[2] Departemen agama RI, Al-Hikmah, al-Qura’n dan Terjemahnya. Bandung: Penerbit Diponegoro, 2008, hal. 71.
[3] Khalid Abdurrahman al-‘Ak, Shofwah al-Bayan li Ma’aniy al-Qur’an al-Karim mudzayyilan bi asbab an-Nuzul li as-Suyuthi, Kairo, Dar as-Salam, 1994, hal. 71. Lihat juga, Mardani, Ayat-ayat Tematik Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011, hal. 230.
[4] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Penerbit Mizan, 1996, hal. 420.
     
      Baca Selengkapnya »