AL-QUR’AN
SEBAGAI SOLUSI PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
Muhammad Taisir
a.
Pendahuluan
Sejak
dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia, sedikit demi
sedikit mulai terbongkar oknum-oknum pejabat pemerintah dan wakil-wakil rakyat
yang terjangkit penyakit korupsi ini. Tidak pandang bulu, para pejabat kelas
bawah, menengah, sampai kelas atas pun tidak luput dari penyakit ini. Tahun
demi tahun pun berlalu dan semakin banyak saja pejabat yang tersangka korupsi
ini, baik dari golongan konvensional sampai kepada orang-orang yang
‘kelihatannya’ taat beragama. Lihat saja,seperti Ahmad Fathanah, kemudian Lutfi
Hasan Ishaq, yang lagi tenar dan hebboh baru-baru ini. Sebelumnya sudah ada
yang telah mendahului dalam jeruji besi, seperti Gayus Tambunan, seorang
petugas pajak yang diperkirakan mempunyai gaji sebesar tiga jutaan, dalam kurun
waktu tiga tahun menjabat telah menjadi miliyarder kelas kakap sampai merugikan
bangsa Indonesia.
Seiring
dengan maraknya korupsi di Indonesia ini menyebabkan rating bangsa kita di
dunia semakin naik. Bahkan kita mendapatkan julukan baru, yaitu sebagai “negara
terkorup di dunia”. Melihat hal ini, hati kita terasa teriris. Mengapa
demikian? Indonesia merupakan negara dengan jumlah muslim terbayak di dunia.
Seharusnya kita bangsa Indonesia yang notabene penganut agama Islam yang taat
terhindar dari penyakit yang saat ini paling berbahaya di negeri ini.
Dari
uraian di atas, muncul sebuah pertanyaan, apakah agama Islam tidak mengatur
tentang korupsi ini sehingga menjadi semakin merajalela di negeri ini? Atau dengan
pertanyaan yang lebih sempit, apakah tidak ada dalam nash, khususnya kitab suci
al-Qur’an yang memberikan solusi agar penyakit korupsi ini lenyap dari bumi
Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan
yang muncul ini memacu penulis untuk mengungkap tabir yang menyelimuti diri
kita tentan bagaimana al-Qur’an memberikan petunjuk kepada kita untuk
memberantas korupsi yang terus merajalela di negeri kita tercinta ini,
Indonesia.
b.
Pembahasan
1. Definisi
Korupsi
Sebelum
membahas lebih jauh tentang korupsi serta pemberantasannya menurut al-Qur’an,
terlebih dahulu kami akan memberikan definisi sederhana tentang korupsi ini.
Dalam
Kamus Ilmiah Populer[1],
kata korupsi mempunyai tiga arti,
kata ini dapat diartikan sebagai:
a.
kecurangan;
b.
penyelewengan/
penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri sendiri;
c.
pemalsuan.
Jika menilik pada definisi di atas,
terlihat adanya kesinambungan dari ketiga arti korupsi ini, yaitu ia adalah
suatu tindakan curang atau pemalsuan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang yang diberikan kepercayaan oleh yang berwewenang untuk
kepentingan pribadi maupun kelompok/golongan tertentu. Jika dikatakan secara
global, korupsi ini merupakan tindakan zhalim karena telah memakan harta yang
bukan haknya secara bathil.
Dengan demikian, tindakan korupsi
itu tidak hanya bisa dilakukan oleh para kaum elit politik ataupun pejabat
kelas atas saja. Kita pun, sebagai warga negara biasa bisa melakukan tindakan
korupsi ini, meskipun boleh jadi tidak dalam skala yang besar.
2. Dalil-dalil
pelarangan korupsi
Sebelum mengungkapkan dalil-dalil dalam al-Qur’an
yang ada hubungannya dengan larangan berbuat korupsi ini, perlu kiranya penulis
membahas sedikit tentang istilah korupsi ini dalam Islam, khususnya dalam kitab
suci al-Qur’an.
Di dalam agama Islam, istilah korupsi ini biasanya istilah
yang sering digunakan adalah ghulul, yang
makna secara umumnya adalah menggelapkan harta publik, yang pada masa rasul SAW
itu merupakan suatu tindakan penyelewengan dalam pembagian harta rampasan
perang. Dalam al-Qur’an disebutkan yang artinya:
"Tidak
mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa
yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu, niscaya pada hari kiamat ia
akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, Kemudian setiap orang akan
diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya, dan mereka
tidak dizalimi." (QS. Ali Imran: 161)[2]
Abu Dawud dan
Tirmizi dari Ibnu Abbas tentang sebab turunnya ayat ini, Ia berkata bahwa ayat
ini turun disebabkan hilangnya sebuah kain merah pada peperangan Badar, maka
sebagian orang pun berprasangka dan mengatakan, “Mungkin Rasulullah SAW tela
mengambilnya”, maka Allah pun menurunkan wahyu-Nya:
Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam
urusan harta rampasan perang.... sampai akhir ayat.[3]
Dalam
ayat ini sangat jelas bahwa Allah SWT mengancam orang-orang yang berbuat ghulul
yang mana istilah ini dapat disebut sebagai suatu tindakan korupsi, sekaligus
menepis dugaan kaum muslimin waktu itu yang menuduh nabi berbuat
korupsi/ghulul.
Kita
kembali kepada definisi korupsi pada pembahasan terdahulu, bahwa tindakan
korupsi itu merupakan perbuatan atau aktivitas memakan harta dengan cara yang
tidak seharusnya. Yang demikian itu sangat dilarang dalam al-Qur’an. Allah SWT
berfirman dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 188 yang artinya:
"Dan janganlah sebahagian kamu memakan
harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu Mengetahui." (QS: Al-Baqarah: 188 yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. (QS: An-Nisa: 29)
Pada surat al-Fajr ayat 15-20 disebutkan yang artinya:
15. Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu
dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka dia akan berkata:
"Tuhanku Telah memuliakanku".
16. Adapun
bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka dia berkata:
"Tuhanku menghinakanku".
17.
Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya kamu tidak memuliakan anak
yatim,
18. Dan kamu
tidak saling mengajak memberi makan orang miskin,
19. Dan kamu
memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang
bathil),
20. Dan kamu
mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.
(QS. Al-Fajr: 15-20)
Di dalam ayat ini disebutkan, setidaknya ada empat
hal yang merupakan tindakan nyata yang menyebabkan masalah sosial, yaitu:
a. Sikap
tidak berprikemanusiaan (ahumanis) yang dalam ayat ini dicontohkan tidak
memuliakan anak yatim;
b. Sikap
tidak memiliki jiwa sosial (asosial) yaitu tidak memberi makan orang miskin;
c. Sikap
monopolistik, yaitu memakan harta pusaka ataupun kekayaan alam secara rakus
tanpa memperhatikan kehalalannya; dan
d.
Sikap hedonis,
yaitu gila akan harta kekayaan dengan mencintainya secara berlebihan.
Jika melihat
keempat sendi di atas, maka korupsi masuk kedalam setiap sendi-sendi kehidupan
tersebut.
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang
menjelaskan tentang keharaman memakan harta yang bukan haknya, termasuk dalam
hal ini adalah tindakan korupsi
3. Solusi
al-Quran dalam Memberantas Korupsi
Telah diketahui bersama bahwa al-Qur’an merupakan
wahyu Allah SWT. Karena posisinya sebagai wahyu, maka al-Qur’an mempunyai
kemampuan untuk membentuk budaya masyarakat. Jika kita menengok kepada kondisi
di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, terutama penduduk yang
tinggal di pedesaan, masih berpegang teguh terhadap ajaran Islam dengan kitab
sucinya al-Qur’an. Hal ini patut kita syukuri. Namun demikian, al-Qur’an hanya
dijadikan sebagai pedoman secara normatif saja sehingga seolah-olah al-Qur’an
itu tidak mempunyai dimensi sosial dan intelektual guna membendung
masalah-masalah sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Padahal
al-Qur’an itu tidak demikian adanya. Yang terjadi adalah pemahaman masyarakat
kita yang sempit tentang ayat-ayat suci al-Qur’an tersebut.
Jika ditelusuri lebih jauh, ternyata al-Qur’an
mempunyai dimensi sosial yang sangat tinggi, yang dengan kata lain, al-Qur’an
sangat memperhatikan dimensi sosial kemasyarakatan.
Bagaimana dengan tindakan korupsi? Tentu saja al-Qur’an
mempunyai solusi untuk itu. Al-Qur’an tidak saja mampu meningkatkan
spiritualitas umatnya untuk menjauhi apalagi memakan harta rakyat dengan cara
yang rakus dan bathil. Al-Qur’an tidak saja melarang kita untuk berbuat
demikian, tetapi juga menunjukkan dan memerintahkan kita untuk memilih penguasa
yang adil dan menjauhi penguasa yang korup dan zhalim. Lihatlah misalnya firman
Allah SWT dalam surat an-Naml ayat 34, kemudian surat al-Kahfi ayat 71, surat
Saba’ ayat 34-35, kemudian surat az-Zukhruf ayat 23, al-Isra ayat 16, Hud ayat
27, yang kesemuanya itu menjelaskan bagaimana perbuatan para penguasa yang
zhalim dan korup yang ingin menang sendiri serta menghina para penduduk negeri
yang mereka kuasai, kemudian mereka menunjukkan kekuatan mereka dengan
kesombongan yang sangat. Kemudian al-Qur’an memberikan solusi jika terlanjur
orang-orang yang zhalim itu menjadi penguasa, maka hendaklah rakyat membuat
oposisi untuk melawan penguasa yang zalim tersebut, seperti disebutkan dalam
al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 9 yang artinya:
Dan
kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu
damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap
yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut
kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya
menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Hujurat: 9)
Dengan demikian, seorang pemimpin itu haruslah bisa
merasakan penderitaan rakyat, dekat dengan rakyat serta dicintai rakyat.
Perintah untuk berbuat adil itu telah jelas
ditegaskan dalam al-Qur’an, seperti pada surat an-Nisa’ ayat 58 yang artinya:
Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
Melihat. (QS. An-Nisa’: 58)
Meskipun yang maha adil itu adalah Allah SWT, tetapi
manusia telah diberikan wewenang untuk menetapkan kebijaksanaan itu atas dasar
pelimpahan dari Allah SWT, maka sebagai manusia yang baik hendaknya
memperhatikan kehendak yangmemberikan wewenang, yaitu Allah SWT.[4]
Di sisi lain, al-Qur’an juga telah mengecam
orang-orang yang melakukan tindak korupsi sebagai orang yang celaka dan akan di
azab dengan azab yang pedih, seperti pada surat al-Hasyr ayat 7 yang artinya:
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang
diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk
kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang
diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Kemudian pada surat al-Maa’uun disebutkan secara
tegas bahwa orang yang rajin shalat pun disebut sebagai pendusta agama karena
ketidakberpihakannya kepada anak yatim serta enggan menolong dengan harta kekayaannya.
Allah juga mengatakan bahwa orang yang suka menumpuk-numpuk hartanya sebagai
orang yang celaka (QS. Al-Humazah: 1-9).
Jika melihat ayat-ayat al-Qur’an di atas, jelaslah
bahwa al-Qura’n sangat melarang tindak korupsi, memakan harta orang lain dengan
cara yang bathil.
Bahkan, jika kita kaitkan lebih jauh, tindakan
korupsi ini merupakan salah satu perbuatan nifaq, yang ia merupakan salah satu
tandanya, yaitu mengkhianati amanat yang telah dititipkan rakyat kepadanya.
Maka, amat disayangkan jika seseorang yang beragama
Islam, malah melakukan tindakan korupsi. Perbuatan ini merupakan penghinaan
terhadap al-Qur’an dan seolah-olah al-Qur’an itu hanya terucap di bibir tanpa
dimanifestasikan dalam kehidupan nyata.
Selain
ancama-ancaman yang telah diungkapkan al-Qur’an, harus ada tindakan
nyata yang harus dilakukan agar para koruptor tersebut tidak berani lagi
melakukan tindak pidana korupsi di masa-masa yang akan datang.
Di dalam al-Qur’an telah disebutkan jenis-jenis
hukuman yang diberikan kepada orang yang berbuat jarimah, misalnya pencuri
dengan dipotong tangannya, penzina bagi yang perawaan dicambuk seratus kali dan
diasingkan selama satu tahun, sedangkan yang sudah menikah (muhshan) dirajam
sampai mati. Adapun bughot, maka hukumannya adalah dibunuh.
Dari sekian jenis hukuman yang telah ditentukan
al-Qur’an, kita bisa memilih hukuman yang cocok bagi para koruptor yang
tentunya memiliki efek jera bagi pelakunya.
Jika kita qiyaskan dengan tindakan pencurian uang
rakyat, maka para koruptor itu bisa saja kita potong tangannya. Namun, jika
melihat besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi ini,
sepertinya tindakan potong tangan terlalu ringan baginya. Dengan demikian, jika
hukuman itu tidak mampu menimbulkan efek jera, maka hukuman mati pun kiranya
layak bagi koruptor kelas kakap sehingga tidak ada lagi yang berani melakukan
perbuatan korupsi.
Jenis-jenis hukuman yang disebutkan dalam al-Qur’an
ini hanya dapat dilakukan jika seluruh komponen masyarakat mendukung sepenuhnya
penerapannya. Juga harus ada payung hukum sehingga bisa diundangkan dan
memiliki kekuatan hukum yang tetap.
Mungkin sulit untuk menerapkan hukum Islam di
Indonesia, tetapi hal ini bisa disiasati dengan memasukkan hukum Islam tersebut
tanpa membawa nama Islam, sehingga jadilah ia sebagai hukum Indonesia secara
yuridis, tetapi hukum Islam secara esensi.
d.
Kesimpulan
Dari uraian di atas penulis dapat
mengambil kesimpulan tentang bagaimana solusi yang ditawarkan al-Qur’an guna
memberantas korupsi yang sedang merajalela di negeri ini. Adapun solusi yang
ditawarkan di antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Menanamkan
pemahaman terhadap al-Qur’an sejak usia dini sehingga al-Qur’an mampu menjadi
budaya serta mengkarakter pada diri generasi bangsa ini;
2.
Meluruskan
pemahaman masyarakat yang selama ini terfokus kepada dimensi normatif, bahwa
al-Qur’an juga mempunyai dimensi sosial dan intelektual, serta dimensi-dimensi
yang lain;
3.
Memberikan
keteladanan dari tokoh-tokoh agama dan masyarakat kepada masyarakat dalam
penerapan isi kandungan al-Qur’an sehingga mereka terjaga dari tindakan maksiat
kepada Allah SWT khususnya perbuatan korupsi;
4.
Menyerukan
kepada seluruh lapisan masyarakat untuk memilih pemimpin yang adil, kompeten,
yang dicintai rakyat, serta paham akan kebutuhan mereka;
5.
Jika terjadi
penguasa yang zhalim terpilih menjadi pemerintah, hendaklah melakukan
perlawanan dengan cara-cara yang ma’ruf;
6.
Menyampaikan
targhib wa tarhib, yaitu memberikan kabar gembira bagi penguasa yang adil dan
menyampaikan kepada yang lalim dan korup azab Allah telah menanti mereka;
7.
Memberikan
hukuman yang berat bagi mereka yang telah melakukan tindak pidana korupsi
sehingga tidak ada lagi yang berani melakukan tindakan tersebut.
Demikianlah beberapa solusi yang
ditawarkan al-Qur’an guna mengikis habis tindak pidana korupsi di negeri kita
tercinta ini, Indonesia. Wallahu a’lam
bissawab.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim
al-‘Ak, Khalid Abdurrahman, Shofwah al-Bayan li Ma’aniy al-Qur’an al-Karim mudzayyilan bi asbab
an-Nuzul li as-Suyuthi, Kairo, Dar as-Salam, 1994.
Departemen agama RI, Al-Hikmah, al-Qura’n dan Terjemahnya. Bandung: Penerbit Diponegoro,
2008.
Mardani, Ayat-ayat
Tematik Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.Partanto, Pius A dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola,
1994.
Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i atas
Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Penerbit Mizan, 1996.
[1] Pius A Partanto dan M. Dahlan al
Barry, Kamus Ilmiah Populer.
Surabaya: Arkola, 1994, hal.375.
[2] Departemen agama RI, Al-Hikmah, al-Qura’n dan Terjemahnya. Bandung:
Penerbit Diponegoro, 2008, hal. 71.
[3] Khalid Abdurrahman al-‘Ak, Shofwah al-Bayan li Ma’aniy al-Qur’an
al-Karim mudzayyilan bi asbab an-Nuzul li as-Suyuthi, Kairo, Dar as-Salam,
1994, hal. 71. Lihat juga, Mardani, Ayat-ayat
Tematik Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011, hal. 230.
[4] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i atas
Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Penerbit Mizan, 1996, hal. 420.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar