Sabtu, 25 Februari 2017

DAKWAH TRANSFORMATIF (Persfektif Perubahan Sosial dan Budaya Masyarakat)


DAKWAH TRANSFORMATIF

(Persfektif Perubahan Sosial dan Budaya Masyarakat)



Oleh : M. Abu Arif Aini, S.Ag.,M.Pd





I





Secara dikotomis, kita terbiasa membagi model dakwah menjadi dakwah bil liasan dan dakwah bil hal. Masdar F. Mas'udi, menyebut yang pertama sebagai dakwah dengan kalam yang terlalu verbal dan mengutamakan cuap-cuap yang sering kali hanya kosong. Sedang yang kedua disebutnya dakwah dengan sikap, dengan amaliah nyata alias action1). Repotnya, dua model dakwah yang idealnya berjalan seimbang itu, cenderung timpang. Yang pertama berkembang pesat di tengah umat, sementara yang kedua tertatih-tatih. Ini jelas satu problem.

Peroblem lainnya, ada semacam kerancauan paradigma dalam konsep dakwah kita selama ini, baik dakwah bil lisan maupun dakwah bil hal. Yakni kecenderungan untuk menjadikan umat sebagai obyek dakwah yang pasif, yang harus dituntun karena kedho'ifan dan potensinya bertindak jahil, maka para da'i dan institusi dakwah, lantas bertindak sebagai penjaga garis agar umat tetap berpijak pada jalan lurus. Meminjam istilah Mansour Fakh, proses dakwah selama ini cenderung mengarah pada konsep 'komunikasi ala bank'. Masyarakat diibaratkan wadah kosong yang harus diisi dengan seperangkat keyakinan, nilai moral serta praktik kehidupan agar disimpan dan dikeluarkan sewaktu dibutuhkan2).

Akibatnya, para da'i jadi subyek aktif, dan umat sekedar obyek pasif. Wajar jika umat kemudian mengidentifikasikan da'i sebagai prototype manusia ideal. Ini kemudian diperkokoh kultur masyarakat yang cenderung paternalistik. Pola hubungan seperti ini melahirkan tolok ukur yang serba kuantitatif dan formal. Di mana keberhasilan dan kegagalan dakwah dilihat dari ukuran laris tidaknya da'i, sedikit banyaknya pengunjung dan sebagainya.

Jelas yang diuntungkan dari proses dakwah model ini adalah da'i yang secara sosial, politik dan  ekonomis menjadi elite. Sementara umat yang menjadi obyek dakwah tetap terpuruk, sulit bangkit dan tak mampu mengubah keadaan. Karena yang diberikan da'i kepada mereka, kata Soetjipto Wirosardjono3), hanyalah "obat bius".







II



Pola dakwah seperti ini akan berimplikasi kepada proses dehumanisasi, menafikan kemanusiaan dan menguntungkan sekelompok kecil elite masyarakat. Padahal secara historis dakwah justru mengakar pada humanisasi, praktek pengembangan kemanusiaan.  Itu sebabnya, isu dakwah yang mula-mula dicanangkan Rasulullah adalah tauhid dalam pengertian hubungan antara kelas masyarakat kuat dan lemah, penindas dan tertindas. Tak heran bila ayat-ayat Makkiyah tajam mengkritik segala bentuk akumulasi kekayaan dan eksploitasi ekonomi seraya mengancam pelakunya yang tidak punya kepedulian sosial. Maka yang diuntungkan dari sana, dengan beberapa pengecualiaan, adalah lapisan termiskin dan terlemah dari masyarakat Makkah4).

Jelas, bahwa gerakan dakwah yang di emban Rasulullah adalah gerakan menuju transformasi sosial. Dakwah dijabarkan sebagai gerakan pembebasan dari eksploitasi, dominasi, penindasan serta ketidak adilan dalam semua aspeknya. Dari sanalah kemudian terbentuk masyarakat yang punya kecanggihan sosial dan kapasitas politik amat modern dimasanya, yang oleh Nurcholish Madjid dengan meminjam istilah Robert N. Bellah disebut memiliki ciri-ciri terbuka, demokratis dan partisipatif5). Patut disayangkan, ciri-ciri modernitas tadi berangsur-angsur lenyap pasca Rezim Umayyah yang tertutup dan otoriter, karena belum kokohnya prasarana penopang.

Maka dalam konteks sosio-kultural proses dakwah harus mampu mengembalikan humanisasi umat yang telah lama runtuh dan terjebak suasana fatalistik. Proses dakwah sebagai gerakan pemanusiaan mesti dikembalikan pada kesadaran bahwa tak seorang pun boleh merasa berhak menjadi da'i. Sebaliknya, masyarakatlah yang harus menjadi da'i bagi mereka sendiri. Ini jauh dari pemahaman bahwa masyarakat yang lemah harus menjadi sasaran transfer pengetahuan dan nilai-nilai kelompok yang lebih kuat. Sebab itu, dakwah hendaknya diarahkan menuju proses dialog untuk menumbuhkan kesadaran akan potensi masyarakat sebagai makhluk kreatif, yang berkemampuan mengelola diri dan lingkungannya. Dengan begitu, esensi dakwah bukan mencoba merubah masyarakat, tetapi menciptakan kesempatan bagi masyarakat untuk merobah diri lewat kesadaran dan pemahaman terhadap masalah yang dihadapi mereka6). Konsep ini sejalan dengan pernyataan wahyu bahwa Allah tidak akan merubah keadaan sebuah masyarakat sampai mereka sendiri merubahnya7).

Untuk itu dalam rangka melahirkan masyarakat dakwah dimana masyarakat berperan sebagai subyek bukan obyek, dibutuhkan munculnya da'i partisipatif, yang mampu memfasilitasi masyarakat untuk memahami masalah, menyatakan pendapat, merencanakan dan mengevaluasi transformasi sosial yang mereka kehendaki dan akhirnya masyarakat pula yang menikmati hasilnya. Muhammad Jalauddin al-Qosimy menilai, da'i tipe ini memegang peranan penting dalam upaya mengentaskan masyarakat dari kejahilan dan penindasan, karena tanggungjawabnya tak terbatas pada pribadinya saja melainkan pada masyarakatnya8).

Karakteristik da'i tipe tersebut ditandai dengan adanya hubungan saling menghargai antara da'i dan masyarakat. Isu sentralnya adalah masyarakat dan pengalamannya, bukan da'i dan persepsinya. Materi dakwahpun berpijak pada pengalaman masyarakat, bukan sesuatu yang disodorkan dari luar kepada mereka untuk diinternalisasikan9). Dari situlah, masyarakat didorong untuk memiliki kesadaran kritis memandang kehidupan serta memperbaiki keadaan.





III



Jika disepakati bahwa dakwah mengarah pada proses humanisasi masyarakat secara sosio-kultural, maka strategi yang dapat  dijadikan alternatif ialah menambahkan pendekatan peran serta (partisipatif) untuk menyempurnakan konsep dakwah selama ini. Dengan begitu bisa diharapkan lahirnya dakwah yang bukan sekedar tablighul ayah (penyampaian pesan-pesan agama), melainkan bina'ul mujtama' (pembangunan masyarakat). Dalam hal ini peran da'i hanyalah sebagai fasilitator yang mengantarkan masyarakat agar mampu menciptakan kondisi yang mereka idamkan. Merekalah yang bertindak merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi dan akhirnya menindaklanjuti keseluruhan proses dakwah tersebut. Nilai-nilai yang mendasari dakwah tersebut bukan nilai orang lain atau da'i, tetapi nilai-nilai yang hidup dilingkungan mereka sendiri yang bersumber dari ajaran agama mereka sendiri. Dengan begitu, mereka berperan menjadi da'i untuk diri sendiri.

Dalam konteks melenium ketiga ini, dimana masyarakatnya sudah demikian kritis, maka yang diperlukan ialah dakwah yang berorientasi transformasi sosio-kultural dengan pendekatan partisipatif. Intinya adalah bagaimana mewujudkan tujuan dakwah, yang tak lain ialah pengembangan potensi fitrah dan fungsi khilafah kemanusiaan dalam rangka membentuk nizhamul hayat (system kehidupan sosial) yang diridhi Allah10). Tujuan tersebut tak mustahil dicapai karena seperti diungkapkan Cak Nur mengutip analisis Marshall G.S. Hudgson, kemengangan Islam di Jawa khususnya dan di Indonesia umumnya, begitu sempurna dengan adanya banyak kompromi antara ajaran-ajaran Islam dengan unsur-unsur budaya lokal11). Dengan demikian strategi dakwah masa depan perlu mengagendakan beberapa hal, antara lain :

Pertama, Mendasarkan proses dakwah pada pemihakan terhadap kepentingan masyarakat. Itu berarti penolakan segala bentuk dakwah untuk kepentingan lain.

Kedua, mengintensifkan dialog dan keterlibatan masyarakat guna membangun kesadaran kritis untuk memperbaiki keadaan.

Ketiga, memfasilitasi masyarakat agar mampu memecahkan masalahanya sendiri serta melakukan transformasi sosial yang mereka kehendaki. Jadi bukan sekedar mengurai masalah masyarakat supaya dipecahkan pihak lain.

Keempat, menjadikan dakwah sebagai media pendidikan dan pengembangan potensi masyarakat, sehingga dengan demikian masyarakat akan terbebas dari kejahilan dan kedha'ifan. Semoga !!!







CATATAN



1)        Masdar F. Mas'udi, "Dakwah, Membela Kepentingan Siapa" dalam Pesantren, No. 4/Vol.IV/1987, hal. 2.

2)        Lihat, Mansour Fakih, "Dakwah : Siapa yang diuntungkan ?" dalam Pesantren, No. 4/Vol.IV/1987, hal 9.

3)        Lihat, Soetjipto Wirosardjono, "Potensi dalam Kesenjangan" dalam Pesantren, No.4/Vol.IV/1987, hal. 3.

4)        Fakih, Op.Cit., hal. 11.

5)        Lihat, Nurcholish Madjid, "Akar Islam beberapa segi budaya Indonesia dan kemungkinan pengembangannya bagimasa depan bangsa", dalam Nurchlish MAdjid, Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan, Mizan, Bandung, 1994, hal. 63.

6)        Fakih, Op.Cit., hal. 11.

7)        Lihat, Al-Qur'an surat 13 ayat 11.

8)        Lihat, Muhammad Jalaluddin al-Qasimy, Mau'izat al-Mu'minin, Jilid I, Dar al-Fikr, Beirut, tampa tahun, hal. 4.

9)        Fakih, Loc.Cit.

10)    Lihat, M. Nasir, "Dakwah dan Tujuannya". Dalam Forum Dakwah, Kumpulan hasil seminar Dakwah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Pusat Dakwah Islam Indonesia, Jakarta, 1971, hal. 364.
11) Madjid, Op.Cit., hal : 67-68.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar