Rabu, 22 Februari 2017

Diskursus Seputar Makna Ittiba’ al-Sunnah


Diskursus Seputar Makna
Ittiba’ al-Sunnah



Oleh: Miftahul Huda[1]



 


A. Hadits dan Sunnah


Sebagai narasi mengenai sejumlah sisi kehidupan Rasulullah SAW keberadaan Hadits amat penting dalam kehidupan umat Islam. Hal itu antara lain terlihat pada deskripsi al-Quran sebagai berikut:

a.       Rasulullah SAW bertugas menjelaskan tentang isi kitabullah[2]

b.      Rasulullah SAW adalah figur yang harus diteladani dan diikuti [3]

c.       Rasulullah SAW adalah figur yang harus ditaati [4]

d.      Rasulullah SAW diberi wewenang oleh Allah SWT untuk menetapkan peraturan dan menjelaskan makna ayat-ayat al-Quran  [5]

Berdasarkan ayat-ayat al-Quran tersebut, para ulama menyimpulkan bahwa mengamalkan ajaran Islam hanya berdasarkan al-Quran saja (tanpa Sunnah rasul sama sekali) adalah tidak mungkin dan tidak dibenarkan. Oleh karena itu menurut Imam Syafii orang yang menerima hukum yang ditetapkan Allah harus pula menerima sunnah rasul-Nya dan menerima ketetapan hukum yang ada di dalamnya. Dan sebaliknya menerima sunnah rasul berarti juga menerima perintah Allah[6]. Dengan kata lain mengikuti perintah dan jejak rasulullah SAW  merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kepatuhan kepada Allah SWT.

Setelah rasulullah SAW wafat, kepatuhan kepadanya diwujudkan dengan cara mengikuti keteladanan hidupnya (uswah/sunnah) yang dapat diketahui melalui ayat-ayat al-Quran dan informasi mengenai kehidupan nabi..  Oleh karena itu umat Islam sejak awal telah sepakat untuk menerima dan mengamalkan sunnah-sunnah rasul itu. Hukum-hukum yang mereka amalkan di samping disimpulkan dari ayat-ayat al-Quran juga didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam sunnah.[7] 

Menurut para ulama hadits (muhadditsin), pengertian Hadits adalah semua  informasi tentang sabda, perbuatan, ketetapan atau sifat (watak budi atau jasmani) Nabi Muhammad SAW, baik sebelum diutus Allah menjadi rasul-Nya (bi’tsah) maupun sesudahnya. Berdasarkan pengertian ini sejumlah ulama berpandangan bahwa dari segi makna, istilah Sunnah adalah sinonim dengan Hadits[8]  

Namun demikian, untuk keperluan penajaman analisis dan sistematisasi pembahasan, seharusnya dibedakan dengan jelas antara keduanya. Hadits adalah narasi literal para sahabat mengenai kehidupan nabi yang berisi reportase mengenai sabda (hadits qauly), perbuatan (hadits fi’ly), ketetapan (hadits taqriry) atau sifat-sifat nabi baik watak budi maupun jasmani (hadits shifaty) Narasi tersebut ditransmisikan (riwayah) secara berantai dari generasi ke generasi, secara lisan, tulisan atau keduanya,  Sedangkan Sunnah adalah pandangan, teladan hidup dan inti pesan moral yang diajarkan oleh nabi, yang isinya disimpulkan dari ayat-ayat al-Quran dan informasi mengenai kehidupan nabi, termasuk hadits.  

Dengan demikian sunnah memiliki cakupan makna yang lebih luas dari sekedar kegiatan lahiriah harian sebagaimana yang tercatat dalam teks hadits, karena sunnah juga mencakup keyakinan/akidah, pandangan dunia, peinsip-prinsip moral/akhlaq, perbuatan konkret: (ritual dan sosial), perjuangan dan cita-cita sosio-moral nabi. Sumber-sumber untuk memahami Sunnah meliputi al-Quran, Hadits  (Qauli, Fi’li, Taqririe, sifati), Sirah Nabawiyah, Sejarah, dan Ilmu Pengetahuan.

Sekalipun secara prinsip umat Islam sepakat untuk menggunakan hadits rasulullah SAW sebagai bagian dari sumber hukum Islam yang utama, namun dalam memahami pesan sunnah dan uswah yang terkandung dalam suatu teks hadits terdapat perbedaan pandangan di antara para ulama, yang sekurang-kurangnya dalam dua aspek:

a.       Aspek kriteria  penilaian atas validitas suatu teks hadits, dan penerimaannya sebagai dasar hukum (hujjah).

b.      Aspek pola apresiasi dan metode pemahaman terhadap pesan moral dan hukum (istinbath al-ahkam) yang terjandung dalam suatu teks hadits yang telah dianggap valid/sahih.

Perbedaan pandangan tersebut menyebabkan banyak perbedaan kesimpulan hukum di berbagai cabang kajian Fikih, dan acap kali mendorong munculnya persaingan dan klaim-klaim kebenaran eksklusif oleh kelompok-kelompok kaum muslimin, sekalipun masing-masing sama-sama mengklaim berpegang kepada sunnah. 

B.  Validitas dan Akseptabilitas Teks Hadits


Masalah cara pendekatan dan metode untuk menilai apakah sebuah teks hadits valid (sahih) atau tidak, telah melahirkan perpektif dan cara pandang yang berbeda-beda di antara para ulama, yang secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam dua pola yaitu metode kritik sanad dan metode kritik matan.

Metode krtik sanad adalah metode yang digunakan untuk menilai kesahihan teks hadits berdasarkan kuantitas dan kualitas orang-orang yang meriwayatkannya (rawi)  dan kebersambungan (iitishal) rangkaian rawi tersebut dari generasi ke generasi secara berantai sejak masa sahabat nabi.

Berdasarkan kuantitas rawi-nya di semua tingkatan (thabaqat) dalam rangkaian sanad-nya, hadits dapat dibedakan menjadi hadits mutawatir yang memiliki nilai validitas paling tinggi dan hadits ahad.  Kemudian hadits ahad dibagi lagi secara berurutan berdasarkan kuantitas rawi-nya rmenjadi hadits-hadits masyhur, ‘aziz dan gharib.  Sedangkan kualitas para rawi tersebut ditentukan oleh keberadaan sifat tsiqah (terpercaya) yang mengandung dua elemen sifat yakni integritas pribadi (al-‘adl)  dan kekuatan daya ingat  (al-dhabth).  Di samping kuantitas para rawi-nya kualifikasi suatu teks hadits juga ditentukan oleh kebersambungan (ittishal) semua mata rantai rawi tersebut dari generasi ke generasi dan sejumlah kriteria lainnya.

Kemudian berdasarkan “nilai kumulatif” menurut semua kriteria tersebut hadits ahad dikelompokkan berdasarkan tingkatan kualitasnya menjadi  shahih, hasan atau dha’if,  sementara hadits mutawatir berada pada tingkatan yang tertinggi. Para ahli hadits (muhadditsin) amat berjasa dalam melakukan inventarisasi, seleksi dan kodifikasi (pembukuan) teks-teks hadits melalui pendekatan ini, namun demikian para ulama ahli hadits tersebut juga tidak sepenuhnya sepakat mengenai kriteria yang lebih detail dalam penilaian melalui kritik sanad ini.[9] 

Sedangkan  metode kritik matan.adalah cara menilai kesahihan suatu teks hadits tidak berdasarkan kualifikasi orang-orang yang meriwayatkannya tetapi berdasarkan susunan kalimat dan isi pesan yang terkandung di dalamnya. Dengan membandingkan susunan redaksional dan isi pesan suatu hadits dengan makna ayat-ayat al-Quran, teks-teks hadits yang lain dan prinsip-prinsip syariah secara umum kemudian disimpulkan apakah suatu teks hadits dianggap sahih atau  tidak. Jika makna hadits tersebur sejalan dengan ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits lainnya maka secara substansial hadits tersebut dianggap sahih dan dapat diterima sebagai hujjah hukum namun jika bertentangan maka hadits tersebut dutolak. 

Perbedaan pola pendekatan dan kriteria penilaian pada masing-masing metode tersebut pada gilirannya akan membuka banyak peluang munculnya perbedaan kesimpulan di antara para ulama mengenai status dan kualitas suatu hadits. Misalnya suatu teks hadits yang menurut ulama tertentu dinilai sahih boleh jadi dinilai hasan oleh ulama lainnya, karena pengkajian dan penilaian tersebut juga merupakan bagian dari  ranah ijtihad

Di samping itu para ulama juga berbeda pendapat mengenai kualifikasi minimal dari hadits yang dapat digunakan sebagai dasar (hujjah) dalam penetapan hukum syariat. Para ulama pada umumnya sepakat dalam penggunaan hadits mutawatir dan hadits shahih sebagai dasar (hujjah) bagi ketentuan hukum syariat. Namun mereka berbeda pandangan dalam hal penggunaan hadits hasan dan dha’if antara yang menolak sepenuhnya, menerima dengan persyaratan dan batasan yang ketat hingga yang menerima dengan persyaratan yang cenderung agak longgar..[10]

Ada juga perbedaan pendapat mengenai status hadits qauly dan lainnya. Tokoh ulama mazhab zahiriyah, Ibnu Hazm dalam karyanya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, misalnya  berpendapat bahwa yang dapat dianggap sebagai hujjah yang nyata hanyalah ucapan-ucapan nabi. (hadits qauly). Karena nabi diperintahkan menyampaikan perintah-perintah Allah maka tabligh itu pada dasarnya dilakukan melalui ucapan. Tindakan-tindakan nabi (hadits fi’ly) pada dasarnya sebatas  uswah hasanah , sedangkan sikap dan ketetapan nabi (hadits taqriry)  nabi sebatas isyarat pembolehan (ibahah). [11] 

Ada kalanya juga suatu hadits yang telah dinilai sahih dari sisi sanad tidak bisa diterima (ghair maqbul) sebagai dasar hukum (hujjah) atas suatu masalah.  Misalnya hadits sahih yang isinya sudah dihapuskan (mansukh), dikalahkan (marjuh) oleh teks hadits lain atau dalil lain yang lebih kuat (al-rajih) atau yang isinya tidak relevan dengan masalah yang tengah ditangani. Masalah ini juga menjadi faktor yang lain lagi bagi kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat karena masalah nasakh, keharusan tarjih, metode dan kriteria yang digunakan untuk menilainya juga menjadi topik perbedaan pendapat di antara para ulama..

C. Pola Apresiasi Terhadap Teks Hadits Sahih


Suatu hadits yang teksnya telah disepakati validitasnya (shahih) tidak dengan sendirinya disepakati pula oleh semua ulama mengenai isi ajaran, pesan moral dan kesimpulan hukum dan kandungan sunnah yang terkandung di dalamnya. Hal itu karena adanya perbedaan perspektif mengenai hal-hal berikut:


1.  Lingkup aspek yang harus diikuti


Aspek ini terkait dengan pertanyaan apakah isi suatu teks hadits merupakan bagian dari esensi ajaran/pesan utama syariat atau hanya merupakan deskripsi atas fakta sosial, kultural atau kecenderungan/selera pribadi yang secara substansial tidak mengandung pesan syariat (konsep al-Sunnah al-Muttaba’ah). Misalnya perbedaan pandangan mengenai teks-teks Hadits tentang mencukur kumis,[12] memanjangkan jenggot, kepemimpinan orang Quraisy[13], kepemimpinan wanita[14], mengenakan cincin perak di jari manis,[15] warna pakaian, selera makanan, pola menyisir rambut, [16] dan sebagainya. yang ditemukan dalam kitab-kitab sahih. 

Sekalipun dari sisi sanad banyak teks hadits sahih mengenai hal-hal tersebut, namun para ulama berbeda pendapat apakah kandungan makna hadits-hadits seperti itu termasuk dalam kategori sunnah yang wajib selalu dipatuhi dan dilaksanakan oleh segenap kaum muslimin atau tidak. Jika isi semua teks hadits yang sahih dianggap sebagai bagian dari sunnah maka makna yang terkandung  dalam teks-teks hadits tersebut juga termasuk di dalamnya dan harus diamalkan oleh segenap kaum muslimin karena menjadi bagian dari syariat dan uswah yang wajib diteladani.

Sebaliknya jika lingkup hadits yang diambil hanya yang berkaitan secara langsung dengan masalah keagamaan (al-masa’il al-diniyyah) maka hadits-hadits sebagaimana yang dicotohkan tersebut tidak harus diamalkan secara ketat. Hanya saja, dalam konteks ini  diperlukan pembedaan yang jelas dan sistematis antara aspek-aspek kehidupan mana yang termasuk dalam urusan keagamaan dan urusan dunia, serta konsep penerapan hadits di kedua bidang tersebut. Tanpa konsep pembedaan tersebut lagi-lagi akan banyak terjadi perbedaan pandangan dalam penerapan teks hadits di dalam kehidupan sosial.

2. Penempatan hadits dalam kehidupan

Masalah ini berkaitan dengan perspektif tentang bidang kehidupan yang menjadi fokus perhatian suatu hadits.  Hal itu karena banyak teks hadits yang ternyata dapat digunakan sebagai dalil untuk menangani masalah yang berbeda-beda. Para ulama muhadditsin membukukan hadits dengan menempatkan teks-teks hadits pada bab-bab pembahasan tertentu berdasarkan pilihan tema dan sistematika hasil ijtihad mereka masing-masing.

 Oleh karena itu tidak mengherankan jika ada teks hadits yang dibukukan dalam kitab yang satu tetapi    tidak dibukukan dalam kitab yang lain atau teks hadits sama ternyata ditempatkan pada bab pembahasan yang berbeda antara literatur hadits yang satu dengan lainnya. 

Sebagai contoh, misalnya dalam Shahih Muslim  terdapat sebuah teks hadits yang diriwayatkan oleh  ‘Aisyah (ummul mu’minin) RA. sbb.:

Sungguh, suatu ketika, di hadapan Rasulullah SAW. pernah dihadirkan sejumlah bocah (bayi), lalu beliau mendoakan dan melakukan tahniek atas mereka (mengunyah kurma lalu menyuapkan ke mulut bayi sambil mendoakan). Kemudian salah satu di antara mereka diberikan (untuk beliau pangku). Lalu bocah tersebut buang air kecil di pakaian beliau. Rasulullah SAW minta diambilkan air untuk dicipratkan (disemprotkan) ke pakaian beliau tanpa (melepas dan) mencucinya.”



Dalam Shahih Muslim, teks hadits tersebut diletakkan di bawah judul bab   Ketentuan hukum air seni bayi dan tata cara membersihkanya”,[17] yang kemudian    menghasilkan konsep mengenai najis mukhaffafah yang diterima oleh sejumlah besar ulama Fikih, yakni najis yang paling ringan di mana cara mensucikannya tidak perlu disiram atau dicuci melainkan cukup diciprati air bersih sekalipun tidak sampai mengalir. Dari hadits tersebut muncul pemikiran dari sejumlah ulama bahwa yang termasuk di antara najis jenis ini adalah air seni bayi laki-laki yang usianya belum genap dua tahun dan belum mengkonsumsi apapun selain air susu ibunya.

Namun jika dikaji dari perspektif lain, sebenarnya teks hadits tersebut bisa saja “diabaikan” khusus dalam konteks kajian mengenai kebersihan (thaharah) dengan memilih teks-teks lain (baik al-Quran maupun teks hadits) yang lebih menekankan perintah menjaga kebersihan. Dalam riwayah tersebut bisa saja dikatakan bahwa dalam hadits tersebut sebenarnya rasulullah SAW tidak sedang menyampaikan ajaran tentang thaharah karena beliau tidak menyatakannya secara eksplisit, melainkan tema yang lain.  Dengan kata lain hadits tersebut tetap dipergunakan tetapi bukan dalam masalah thaharah melainkan ditempatkan pada bidang lain.

Apalagi jika dilihat konsep kriteria najis mukhaffafah yang dikembangkan para Fuqaha, mengapa harus bayi dengan jender laki-laki, dari mana munculnya batas usia dua tahun atau persyaratan hanya mengonsumsi air susu ibu ?. Rumusan kriteria seperti itu tentu saja merupakan hasil rasionalisasi dan konstruksi historis yang muncul sesudahnya karena teks haditsnya tidak menyebutkan hal itu secara tegas.

Dengan perspektif yang berbeda teks hadits tersebut sebenarnya bisa saja tetap digunakan namun diletakkan di bawah judul bab yang berbeda, misalnya bab mengenai “politik” sehingga menghasilkan pesan bahwa pemimpin umat harus senantiasa menjaga kedekatan dan memberikan perhatian serius terhadap nasib seluruh rakyatnya termasuk para fakir miskin, wanita dan anak-anak balita. Sedangkan dalam konteks thaharah dipilih teks hadits lain yang lebih sesuai dengan perintah menjaga lebersihan dan kesehatan.

 Ilustrasi diatas menggambarkan bahwa dalam bentuknya yang ada  sekarang ini, literatur yang berisi teks-teks hadits yang menjadi salah satu sumber utama ajaran syariat sesungguhnya telah mengalami proses metamorfosis historis yang panjang dan berliku-liku. Fakta tersebut juga menegaskan kembali pengertian bahwa makna-makna yang secara harfiah termuat dalam teks-teks hadits tidak bisa dianggap sebagai representasi sepenuhnya dari ajaran dan misi risalah Muhammad SAW.

3.Sunnah: Makna Literal Hadits sepenuhnya atau tidak


Masalah berikutnya adalah bagaimana caranya memahami pesan-pesan sunnah yang terdapat dalam teks-teks hadits. Sebagian ulama membatasi makna sunnah pada makna literal teks-teks hadits  Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali menyatakan: “Sunnah adalah jalan yang dilalui, termasuk di dalamnya adalah berpengaruh pada apa yang diajarkan oleh rasulullah SAW dan para al-khulafa al-rasyidun berupa keyakinan, amalan dan ucapan itulah bentuk sunnah yang sempurna”. [18]

Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah juga menyatakan Sunnah adalah yang ditegaskan di atas dalil syariat yakni ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya baik itu perbuatan beliau atau perbuatan yang belum pernah beliau lakukan dan tidak pula pernah dilakukan di masa di masa hidup beliau karena pada masa itu tidak ada hal yang mengharuskan itu dilakukan atau karena ada hal yang menghalanginya.  Dengan pengertian itu,  (sunnah) berarti mengikuti jejak rasulullah SAW lahir dan batin dan mengikuti jalan hidup orang-orang yang mendahului dari generasi awal umat ini dari kalangan muhajirin dan anshar.[19]

Berdasarkan penjelasan tersebut pengertian sunnah dibatasi pada makna  literal teks-teks hadits; yakni hal-hal yang disebutkan secara eksplisit dalam kalimat-kalimat redaksi (matan) hadits baik melalui perkataan maupun perbuatan nabi. Mengamalkan sunnah artinya melakukan apa saja yang secara eskplisit disebutkan dalam suatu teks Hadits, baik yang menyangkut masalah akidah, prinsip moral maupun perbuatan-perbuatan konkret. Dengan demikian hal-hal yang tidak tercakup dalam pengertian tersebut (baik berupa kepercayaan, perkataan, perbuatan dan sikap), semuanya tidak dapat dimasukkan dalam pengertian sunnah, atau  biasanya disebut dengan istilah bid’ah.

Pola pemikiran tersebut bertolak dari paradigma bahwa semua ketentuan hukum harus bersumber dari apa yang diturunkan oleh Allah dan melalui firman-firman dan keteladanan rasul-Nya, Allah telah memberikan penjelasan secara sempurna atas semua sisi ajaran syariat, baik yang terkait dengan prinsip-prinsip akidah dan etika fundamentalnya maupun konsep implementasinya dalam kehidupan sosial sehingga tidak lagi memerlukan pengembangan konsep dan akomodasi elemen apapun dari luar. [20]

Sedangkan para ahli hukum lainnya cenderung memahami teks-teks hadits (dan juga ayat-ayat al-Quran) lebih luas dari makna literalnya dengan melakukan pengembangan konsep, baik pada tataran konsep teortik intelektual maupun implementasinya dalam kehidupan sosial.  Metode-metode Qiyas, Istihsan, Mashlahah al-Mursalah, dll. merupakan contoh-contoh metode yang digunakan oleh para ulama untuk “memperluas” cakupan pengertian sunnah terhadap masalah-masalah yang t secara eksplisit-literal idak disebutkan dalam ayat-ayat al-Quran dan teks-teks hadits.  Misalnya para ulama menyimpulkan ketentuan hukum wajib zakat bagi pemilik peternakan kerbau, sekalipun hal itu tidak disebutkan secara eksplisit dalam al-Quran dan hadits. Ketentuan tersebut mereka simpulkan dari spirit syariat secara umum (maqashid al-syariah) untuk mendorong terciptanya keadilan sosial, sedangkan dalam aturan implementasinya secara teknis mereka samakan dengan ketentuan zakat bagi pemilik sapi dengan menggunakan metode Qiyas.

Pola pemikiran seperti ini bertolak dari pandangan fundamental bahwa sekalipun sang Penentu syariat (al-Syari’) telah menjelaskan semua ajaran syariat, namun untuk memahaminya secara komprehensif, meraih tujuan-tujuan moralnya yang utama dan menerapkannya secara efektif dalam kehidupan sosial di masa sekarang dan di masa depan diperlukan ikhtiar-ikhtiar untuk pengembangan konsep, sistematisasi pemikiran dan penyesuaian-penyesuaian pada batas-batas  tertentu sesuai dengan konteks kebutuhan, tantangan dan tahapan perkembangan sosial di masing-masing lingkungan masyarakat.

Di samping itu jika tidak dilakukan pengembangan konsep dan penyesuaian tertentu dalam implementasinya, teks syariat yang jumlahnya terbatas tidak akan dapat menjawab semua permasalahan hidup umat manusia yang jumlahnya sangat banyak dan terus berkembang. Melalui pola pemahaman ini juga, berbagai kekayaan kultural dan modal sosial (social capital) yang sudah ada di setiap lingkungan sosial tetap dapat dipertahankan dan dimanfaatkan dalam setiap ikhtiar pengembangan sosial sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental syariat.

Perbedaan pola berpikir tersebut menyebabkan perbedaan cara pandang pada kebermaknaan pernyataan-pernyataan literal dalam banyak teks hadits.  Misalnya mengenai keharusan membuat barisan shalat yang rapat hingga bahu dan telapak kaki para jamaah saling bersentuhan satu sama lain seperti yang disebutkan dalam suatu hadits.[21] Jika pendekatan literal diterapkan secara konsisten maka ketentuannya memang harus demikian (hingga bahu dan telapak kaki mereka saling bersentuhan satu sama lain), Namun jika pendekatan yang dipilih tidak terlalu literal, maka yang penting adalah barisan (shaf) dibuat cukup rapat sehingga antara orang satu dengan yang berada di sebelahnya tidak cukup untuk ditempati seorang jamaah lagi di tengahnya, hal itu sudah bisa dianggap cukup sekalipun kaki mereka tidak saling menginjak dan bahu mereka pun tidak saling bersentuhan. Apalagi dalam hadits tersebut tidak memuat pernyataan rasulullah SAW secara langsung.

 4.  Masalah pilihan dan korelasi antar teks syariat


Pengkajian atas makna suatu teks syariat seringkali berhadapan dengan masalah keragaman (ta’addud) dan pertentangan (ta’arudl) teks syariat yang sama-sama dianggap valid dan akseptabel tetapi berbeda-beda arah pengertiannya, baik karena memang ditemukan teks yang makna literalnya berbeda atau karena perbedaan sudut pandang. Perbedaan itu bisa terjadi antar ayat al-Quran, antara teks hadits dengan ayat al-Quran atau antar sesama teks hadits yang sama-sama dianggap sahih.  Apalagi jika teks-teks tersebut sama-sama tidak menjelaskan masalah yang dikaji secara eksplisit.

Menghadapi keragaman teks syariat tersebut para ulama memiliki sikap yang berbeda-beda.  Menurut sejumlah besar ulama (jumhur) masalah tersebut harus ditangani melalui tiga pilihan pendekatan secara berurutan; yaitu mengamalkan semua dalil tersebut dan mengkompromikannya dengan cara mencari pengertian/makna yang dapat mengakomodasi semuanya (al-jam’u wa al-taufiq), memilih salah satu dalil yang menurut kriteria tertentu lebih unggul (al-tarjih), dan mengambil dalil yang dari sisi kronologi kesejarahan (al-tartib al-tarikhy)  datang lebih belakangan dengan asumsi dalil tersebut menghapuskan dalil-dalil yang datang lebih dahulu (al-nasakh). Para ulama Hanafiyah menawarkan pola yang mirip tetapi berbeda dalam urutannya. Menurut meneka masalah ini ditangani dengan urutan  nasaklh, tarjih, al-jau wa al-taufiq. Jika tidak dapat dilakukan maka yang ditempuh adalah mengabaikan semua dalil tersebut (tasaquth al-dalilain) dengan mencari dalil lainnya.

Misalnya pandangan para ulama mengenai status hukum melakukan langkah-langkah medis untuk mencegah kehamilan dalam program keluarga berencana (KB / family planning) khususnya penggunaan IUD (Intra Uterine Device) sebagai alat kontrasepsi. Sebagian ulama menfatwakan hukum haram berdasarkan ayat al-Quram[22]. dan sejumlah hadits.  Namun para ulama lainnya yang justru menganjurkan atau minimal membolehkan juga menggunakan dasar ayat al-Quran[23] dan teks hadits pilihan mereka sendiri.

Demikian pula hadits mengenai doa qunut apakah dilakukan sebelum ruku’atau sesudahnya. Imam Bukhari membukukan hadits-hadits mengenai hal ini di bawah judul bab “qunut sebelum ruku’ dan sesudahnya” (bab al-qunut qabl al-euku’ wa ba’dahu) dengan mengkodifikasikan hadits-hadits yang menguatkan kedua-duanya [24].  Masih banyak lagi hadits mengenai bacaan-bacaan doa dan zikir tertentu  dan mengenai berbagai masalah keagamaan dan  masalah sosial lainnya yang sama-sama memiliki dasar teks syariat, sehingga penyelesaiannya lebih merupakan masalah pilihan dari pada penilaiaan sistematis yang diterapkan secara konsisten.[25]

5  Perspektif Mengenai Intensitas Perintah dan Larangan dalam Hadits


Masalah ini berkaitan dengan intensitas dari suatu perintah (apakah menghasilkan kesimpulan hukum wājib atau sunnah) dan larangan (apakah mengarah pada hukum harām atau makrūh) yang terdapat dalam teks hadits dan signifikasinya terhadap suatu masalah hukum. Misalnya hadits tentang “keharusan” adanya wali dalam pernikahan terdapat di semua kitab hadits sahih sehingga para ulama tidak meragukan kesahihannya. Namun mereka berbeda pendapat apakah keberadaan wali nikah itu merupakan keharusan yang menjadi bagian dari rukun (yang menentukan sahnya nikah) atau sebatas elemen penyempurnaan saja (sehingga tanpa keberadaan wali pun nikah tetap sah sekalipun kurang sempurna). 

Demikian pula ketentuan hukum mengenai shalat berjamaah dan mandi pada hari Jumat. Imam Bukhari menempatkan hadits mengenai shalat berjamaah di bawah judul “bab kewajiban shalat berjamaah” (bab wujub shalat al-jama’ah)[26] dan Imam Muslim dalam shahih-nya meletakkan hadits mengenai mandi di bawah judul “bab kewajiban mandi Jumat” (bāb wujūb ghusl al-Jum’ah)[27]   Sekalipun para ulama sepakat bahwa shalat berjamaah dan mandi pada hari Jumat diperintahkan oleh rasulullah SAW berdasarkan kandungan hadits tersebut, namun ternyata sebagian besar mereka tidak menyatakan hukum wajib pada kedua hal tersebut (sebagaimana judul bab pada Shahih Bukhari dan Shahih Muslim), melainkan sebatas hukum sunnah yang amat dikuatkan (sunnah mu’akkadah). [28]

D.  Implementasi Sunnah dalam Kehidupan Sosial


Perbedaan perspektif mengenai berbagai aspek tersebut di atas dengan sendirinya berpotensi menimbulkan perbedaan-perbedaan kesimpulan hukum di antara para ulama mengenai berbagai masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Banyak sekali ragam aktivitas keagamaan dan kemasyarakatan yang oleh ulama tertentu dipandang sebagai bagian dari sunnah yang seharusnya dilaksanakan dan dikembangkan namun justru dipandang menyimpang atau bid’ah oleh kelompok lainnya, karena masing-masing menggunakan pilihan dalil teks atau sudut pandang yang berbeda. Kurangnya sikap toleransi pada sebagian kaum muslimin, menyebabkan keragaman pemikiran seperti itu masih sering menimbulkan klaim kebenaran eksklusif, persaingan, serta menyimpan potensi ketegangan di antara kaum muslimin sendiri dan antara sejumlah kelompok kaum muslmin dengan komunitas di luar mereka.

Jika kajian kemudian diarahkan pada fakta implementasinya dalam kehidupan umat Islam maka pengamalan sunnah akan tampak semakin variatif lagi. Dalam realitas sosial yang sesungguhnya, fenomena saling pinjam dan terjadinya kombinasi secara tidak sistematis diantara berbagai pendapat yang berbeda sebenarnya telah menjadi hal yang biasa. Seseorang yang secara teoretik,  pada ranah wacana, berpegang teguh pada pola pemikiran tertentu pada umumnya tidak mengamalkan pola pemahamannya itu secara konsisten dalam semua aspek kehidupan mereka dan dalam kehidupan keluarga mereka, baik karena kemauan sendiri ataupun karena adanya hambatan-hambatan sosiokultur di sekitarnya. 

Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini seperti lingkungan alamiah, lingkungan sosial, latar belakang keilmuan, perkembangan IPTEK, tekanan ekonomi, format tatanan politik, dan perkembangan kebudayaan. Di samping itu dinamika perjalanan hidup masing-masing individu dan situasi kehidupan keluarganya juga amat berpengaruh.

Berbagai faktor tersebut secara kumulatif menjadikan pengamalan sunnah dalam kehidupan kaum muslimin berjalan secara relatif otonom menurut alur  logikanya sendiri dan tidak sepenuhnya berjalan paralel dengan wawasan dan pandangan teoretik dari masing-masing individu.  Hal itu karena penerapan suatu konsep pemikiran dalam kehidupan sosial selalu memerlukan waktu, ruang,  kesempatan, momentum dan dukungan yang memadai dari faktor-faktor eksternal.

Dari kajian ini juga dapat diketahui bahwa ternyata pendapat-pendapat yang saling berbeda tidak selalu dapat dilihat secara jelas dengan kaca mata hitam-putih, benar-salah, atau sunnah- bid’ah sepenuhnya, karena banyak perbedaan pendapat yang sesungguhnya lebih merupakan masalah ijtihadiyyah yang disebabkan oleh perbedaan pilihan teks, perspektif dan metodologi dalam berijtihad.

Terdapat kecenderungan kuat pada setiap individu dan komunitas untuk memilih pendapat-pendapar yang dari sudut pandangnya masing-masing lebih menguntungkan, menenangkan batin atau membenarkan dirinya. Oleh karena itu sebanarnya tidak ada dalam kehidupan masa kini, satu pun pribadi, gerakan, kelompok, lingkungan sosial dan bahkan suatu negara, yang secara khusus dapat mengklaim dirinya sebagai representasi sepenuhnya dari pemahaman dan implementasi nilai-nilai moral sunnah yang benar-benar ideal. Suatu telaah yang mendalam akan selalu memperlihatkan adanya sisi-sisi yang dapat dianggap sebagai kelebihan dan sisi kekurangannya sebagai manusia pada masing-masing kelompok umat tersebut.

Dalam suasana kehidupan yang semakin majemuk  seperti sekarang ini, terdapat pula keperluan yang kian mendesak untuk mengembangkan konsep-konsep pemiaknaan dan pengamalan sunnah di berbagai aspek kehidupan yang tidak hanya dapat dijelaskan secara teoretik dari sisi sumber-sumbernya dan logika istinbath-nya, tetapi secara praktis sedapat mungkin juga dapat diterapkan dalam kehidupa nyata, berdampingan dengan tatanan sosial yang sudah ada demi mempertahankan suasana damai dan harmoni dalam kehidupan sosial yang dibutuhkan oleh segenap warga masyarakat.

E. Penutup


Deskripsi di atas menggambarkan secara garis besar bahwa faktor penyebab perbedaan pemahaman atas sunnah dapat diklasifikasi dalam dua aspek. Pertama, aspek penilaian atas validitas (shihhah) teks hadits dan akseptabilitasnya (qabul) sebagai dasar hukum (hujjah). Kedua, aspek pola pendekatan dan metode pemahaman terhadap pesan moral dan hukum (istinbath al-ahkam) yang terkandung dalam teks hadits yang dianggap valid/shahih.

Pada ranah implementasinya dalam kehidupan sosial, faktor lain yang amat menentukan adalah konteks sosiologis dengan semua elemennya (ekonomi, politik, kebudayaan, pendidikan, ekologi dll) yang melatari proses penerapannya di setiap lingkungan sosial. Hal ini menyebabkan peta sosial dalam implementasi sunnah tidak sepenuhnya paralel dengan peta sosial dalam ranah wacana dan diskursus keilmuan.

Dalam menyikapi perbedaan pendapat semacam itu, dua hal yang perlu digarisbawahi adalah. Pertama urgensi mengembangkan sikap saling toleransi diantara kaum muslimin yang pendapatnya berbeda. Kedua, dalam memahami dan mengamlkan sunnah di samping aspek legal-formalnya, amat penting pula memperhatikan aspek sosio-moral serta tujuan-tujuan syariat yang lebih substansial.  Dengan demikian keragaman pendapat tidak menjadi gangguan dalam hubungan dan ukhuwwah melainkan menjadi motivasi untuk membangun harmoni sosial dan kemajuan bersama.

 


Daftar Pustaka






Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari,  Matn al-Bukharii (Jeddah: Ak-Haramain, tt)  juz III,

 Abu Husain Muslim bbin Hajjaj, Sahih Muslim,(Mesir: Dar al-Fikr, tt)  juz I

 Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid,  (tt: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah Indonesia)

 Mahmud al-Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits  Beiriut, tt).

 MM Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Musthafa Ya’qub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994).

 Muhammad ‘Awwamah, Atsar al-Hadits al-Syarif fi Ikhtilaf al-Aimmah al-Fuqaha Radliyya Allah anhum, (tt: Dar al-Salam);

 Muhammad Abu Zaheah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, (Beirut: dar al-Fikr al-‘Araby, tt)

 Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim ( tt. Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah)  juz  II

 Musthafa Muhammad Imarah, Jawahir al-Bukhari (tt: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah Indonesia, 1371 H)

 Rahman Alwi dalam Metode Ijtihad Mazhab Zahiri Alternatif Meyongsong Modernitas, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2005)

 Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, cetakan ke-37, 2006) jilid I, II, III dan IV.  

 Syaikh bin Wahf al-Qahthani,  dalam Putihnya Sunnah Hitamnya Bid’ah, terj. Abu Umar Bsyir, (Klaten: Wafa, 2009)


[1]Penulis adalah staf pengajar pada Fakultas Syariah IAIN Mataram-NTB.
[2]Qs al-Nahl  44.
[3]Qs al-Ahzab  21
[4]Qs al-Anfal 20, al-Nisa’  59, 60 dan 80
[5]Qs.al-A’raf : 157-8
[6]MM Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Musthafa Ya’qub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994)  ,  27-33
[7]Ibid: 32-3
[8]bid 14. Dalam kajian Musthalah al-Hadits  yang lebih rinci terdapat versi pendapat yang membedakan definisi  Hadits dan Sunnah  namun dalam konteks kepentingan memahami substansi tema tulisan ini, konsep-konsep pembedaan definisi tersebut tidak mengandung urgensi sama sekali.  Deskripsi mengenai defuisi-definisi tersebut antara lain dapat dilihat dalam Mahmud al-Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits  Beiriut, tt)  5-7.
[9]Lihat Muhammad ‘Awwamah, Atsar al-Hadits al-Syarif fi Ikhtilaf al-Aimmah al-Fuqaha Radliyya Allah anhum, (tt: Dar al-Salam); 152-4
[10]Muhammad Abu Zaheah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, (Beirut: dar al-Fikr al-‘Araby, tt)  60-63
[11]Seperti dikutip Rahman Alwi dalam Metode Ijtihad Mazhab Zahiri Alternatif Meyongsong Modernitas, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2005), 76
[12]Musthafa Muhammad Imarah, Jawahir al-Bukhari (tt: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah Indonesia, 1371 H)  456 
[13]Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim ( tt. Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah)  juz  II   122
[14]Musthafa Muhammad Imarah, Jawahir al-Bukhari  367
[15]Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari,  Matn al-Bukharii (Jeddah: Ak-Haramain, tt)  juz III, 36
[16]Musthafa Muhammad Imarah, Jawahir al-Bukhari 458
[17]Abu Husain Muslim bbin Hajjaj, Sahih Muslim,(Mesir: Dar al-Fikr, tt)  juz I hlm 135.
[18]Seperti dikutip oleh Syaikh bin Wahf al-Qahthani,  dalam Putihnya Sunnah Hitamnya Bid’ah, terj. Abu Umar Bsyir, (Klaten: Wafa, 2009), 14
[19]Ibid,  15
[20]Di antara argumen yang digunakan dasar dalam pemikiran ini adalah sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh “Aisyah RA bahwa rasulullah SAW pernah bersabda;” Barangsiapa membuat hal-hal baru dalam urusan saya ini dengan sesuatu yang tidak termasuk di dalamnya, maka ditolak”.  Mushthafa Muhammad Imarah, Jawahir al-Bukhari (tt: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah Indonesia)  307
[21]al-Bukhari,  Matn al-Bukharii  Juz I , 133
[22]Misalnya Surat 17 (al-Isra) 31
[23]Misalnya Surat 4 (al-Nisa) : 9
[24]al-Bukhari,  Matn al-Bukharii  Juz I , 177
[25]Lihat juga sebagai perbandingan Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, cetakan ke-37, 2006) jilid I, II, III dan IV.  
[26]al-Bukhari,  Matn al-Bukharii  Juz I , 119
[27]Muslim, Sahih Muslim, juz I : 337
[28]Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid,  (tt: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah Indonesia)  juz I 103

Tidak ada komentar:

Posting Komentar