Senin, 30 April 2018

Nilai Manusia dalam Perspektif Kedalaman

Nilai Manusia dalam Perspektif Kedalaman
       Oleh: Dr. Husni Mu'az


Umumnya hampir semua orang percaya bahwa manusia terdiri atas dua unsur: materi dan non-materi, atau jasad dan ruh (xe "kesadaran"kesadaran), kecuali dari kelompok filosof materialis/fisikalis yang secara ontologis melihat manusia sebagai yang bersifat monistik. Materi atau jasad adalah dimensi luar sedangkan roh/jiwa (xe "kesadaran"kesadaran) adalah dimensi dalam dari manusia. Unsur luar (badan) terdiri atas atom-atom yang membentuk molekul-molekul, molekul-molekul membentuk sel-sel yang selanjutnya membentuk organisme. Unsur luar terdiri atas materi murni (hierarki paling rendah) yang menjadi unsur dasar dari kehidupan biologis (hierarki yang lebih tinggi). Ciri kehidupan, menurut xe "Maturana dan Varela"Maturana dan Varela, adalah xe "autopoiesis"autopoiesis, yaitu kemampuan xe "living systems"xe "living systems"living systems memproduksi (komponen-komponen) diri sebagai cara mempertahankan keberadaannya. Kemampuan ini tidak dimiliki oleh atom atau molekul di level fisik yang lebih rendah. Unsur dalam dari manusia bersifat non-materi, tidak memiliki bentuk dan tidak menempati ruang. Ia ada tapi tidak di dalam ruang seperti jasad atau materi. Unsur dalam ini mengada dan berinteraksi dengan badan. Jadi, eksistensi manusia terdiri atas minimal tiga  unsur dari tiga level hierarki, sebagai berikut (xe "Wilber"Wilber, 1995):
level 1: physiosphere (materi/fisik);
level 2: biosphere (jiwa/kehidupan);
level 3: xe "noosphere"noosphere (ruh/xe "kesadaran"kesadaran).
Dengan unsur-unsur dari tiga level ini manusia mengada dalam dua dunia, dunia materi dan dunia non-materi, atau dunia luar (exterior) dan dunia dalam (interior). Nasibnya juga akan ditentukan oleh kemampuannya menari diantara dua dunia ini, yaitu antara dunia luar dan dunia dalam, dunia lahir dan dunia batin, dunia kognitif dan dunia trans-kognitif, dunia material dan dunia spiritual.
Sekalipun banyak yang percaya bahwa kita memiliki elemen konstitutif seperti di atas (terdiri atas unsur-unsur dari level 1, 2, dan 3), sering kita tidak sadar dan bahkan terjebak mereduksi diri seolah-olah kita mengada hanya di level dua. Bukankah, misalnya,  kita menerima klaim para ahli ekologi bahwa kita (manusia) adalah bagian dari sistem biologis (ekosistem biologi) dan sistem biologis adalah bagian dari sistem alam (level 1). Siapa yang menolak klaim bahwa kita adalah bagian dari sistem alam? Selama ini secara tidak sadar kita telah terjebak dan terperangkap dalam dimensi “keluasan,” dimana di dalamnya kita hanya bisa melihat bahwa secara kuantitas kita adalah bagian (satu jenis) dari berbagai jenis binatang/hewan dengan ciri tertentu, dan kita secara material adalah debu dibandingkan dengan isi dan luasnya jagad raya ini. Kita adalah bagian dari alam dan harus menyatu dan bersahabat dengannya.
Ini adalah pendapat yang merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan kita. Apa yang salah di sini? Yang salah adalah bahwa, secara tidak disadari, pendapat ini telah mereduksi diri manusia menjadi sebuah entitas monodimensi, yaitu entitas yang hanya memiliki dimensi luar atau dimensi material saja. Yang salah adalah karena kita terjebak dalam xe "flatland consciousness"flatland xe "consciousness"xe "consciousness"consciousness (xe "Wilber"Wilber, 1995), dalam xe "kesadaran"kesadaran keluasan, dan lupa bahwa diri kita lebih mulia dan lebih kompleks karena kita juga terdiri atas entitas yang memiliki dimensi dalam. Agaknya Capra juga terjebak dalam cara berpikir (baca: xe "kesadaran"kesadaran) yang sama. Manusia dalam The web of life adalah bagian dari xe "eko-sistem"ekosistem, dan oleh karenanya mereduksi xe "teori"teori sistem atau berpikir sistem sebagai seolah-olah hanya mampu melihat dunia obyek, yaitu dunia yang eksternal, yang material, yang flatland saja.
Yang hilang dalam perspektif ini adalah xe "kesadaran"kesadaran akan dimensi “dalam” dalam diri manusia. Bagaimana mungkin kita bisa melihat dan menemukan kedalaman isi yang ada dalam dimensi “dalam” dalam dunia luar? Isi level 3 tidak akan kita temukan dalam level 1 atau level 2, karena isi level 3 hanya ada dalam level 3, yang berada di atas hierarki level 1 dan level 2.
Yang kita perlukan adalah perspektif dengan dimensi “kedalaman,” bukan dimensi “keluasan.” Dlam perspektif “kedalaman” kita kembali ke hierarki atau kompleksitas kejadian kita, kompleksitas konstitutif kita. Sebagaimana disinggung di atas, manusia mengada dengan tiga unsur yang tersusun secara hierarkis. Material (atom, molekul) adalah unsur pembentuk yang ada pada level 1. Tanpa unsur ini (untuk mudahnya kita sebut unsur A), kehidupan biologis di level 2 tidak mungkin terjadi. Elemen konstitutif dasar dari kehidupan (level 2) adalah A; tapi A saja tidak cukup karena A hanya akan melahirkan entitas yang ada pada level 1 saja. Untuk kehidupan biologis di level 2 diperlukan elemen konstitutif lain disamping A, yaitu B. AB dengan demikian adalah elemen konstitutif kehidupan yang berada di level 2 (xe "biosphere"biosphere). Karena xe "biosphere"biosphere tidak akan ada tanpa A, maka merusak atau menghilangkan A sama dengan merusak atau menghilangkan AB. Tetapi sebaliknya tidak berlaku. Sekalipun xe "biosphere"biosphere tidak mungkin ada tanpa B, merusak atau menghilangkan B tidak akan merusak atau menghilangkan physiosphere yang berada pada level 1. Ini karena B berada di level hierarki yang lebih tinggi dari A (level 1).
level 1: Materi/fisik = A
level 2: Kehidupan biologis = AB
level 3: Ruh/xe "kesadaran"kesadaran = ABC
Manusia berada di level 3, yang unsur pembentuknya disamping A dan B, tapi juga C (xe "kesadaran"kesadaran), yaitu unsur konstitutif baru yang menjadi ciri khas manusia. Manusia, dengan demikian, terdiri atas unsur A, B, dan C. A dan B, sekalipun merupakan elemen konstitutif dari manusia, bukanlah ciri khas manusia. Ciri unik manusia adalah C, yaitu unsur ruhani atau xe "kesadaran"kesadaran yang berada di dunia dalam. Tanpa C manusia sama dengan AB (hewan/binatang) sebagai mana juga tanpa B kehidupan di level 2 akan sama dengan A. Akan tetapi ABC karena berada di level hierarki yang paling tinggi tidak mungkin ada bila AB, atau B saja, atau A saja tidak ada, karena A atau B, atau AB adalah bagian dari ABC. Entitas pada level 3 tidak akan ada bila unsur yang berasal dari level 1 atau level 2 atau level 1 dan 2 tidak ada. Merusak unsur yang berasal dari level 2 (xe "biosphere"biosphere) sama dengan menghilangkan entitas yang ada pada level 3, tapi sebaliknya tidak berlaku.
Sekarang problem yang muncul dalam perspektif “keluasan” atau xe "flatland consciousness"flatland xe "consciousness"xe "consciousness"consciousness yang selama ini kita tidak sadari adalah sebagai berikut. Bila manusia, ABC, yang berada pada level 3 adalah benar merupakan bagian (baca: elemen konstitutif) dari ekosistem biologi, AB, yang berada pada level 2, maka ekosistem biologi tidak akan ada atau akan hilang atau minimal rusak bila manusia tidak ada atau menghilang! Demikian juga jagad raya ini akan hilang atau rusak bila sistem biologis hilang atau rusak, karena, sebagaimana diasumsikan dalam xe "flatland consciousness"flatland xe "consciousness"xe "consciousness"consciousness, xe "biosphere"biosphere adalah bagian dari physiosphere. Tapi ini tidak terjadi. Ekosistem alam tidak akan rusak bila manusia atau semua sistem biologis tidak ada, atau rusak.
Bahasan di atas merujuk pada logika sederhana. ABC tidak mungkin bisa menjadi bagian dari AB, atau bagian dari A, sebagaimana juga tidak mungkin AB bisa menjadi bagian dari A. Yang benar adalah sebaliknya: sistem A adalah bagian dari sistem AB, dan sistem AB adalah bagian dari sistem ABC, dan secara transitif sistem A adalah bagian dari sistem ABC.  Jadi yang salah dan bertentangan dengan logika sederhana adalah klaim bahwa kita manusia adalah bagian dari sistem alam, dan/atau bagian dari sistem biologi. Ini terjadi karena perspektif yang kita gunakan selama ini adalah perspektif keluasan, perspektif flatland, atau perspektif eksternal saja dan perspektif ini tentu tidak mampu mengakomodir dimensi dalam dari manusia.
Yang kita perlukan adalah perspektif yang sebaliknya, yaitu perspektif “kedalaman,” bukan “keluasan.” Dilihat dari perspektif “kedalaman” manusia bukan bagian dari sistem biologis dan juga bukan merupakan bagian dari sistem alam. Manusia melampaui ke duanya, karena unsur unsur dalam physiosphere (A) dan xe "biosphere"biosphere (B) adalah elemen konstitutif material dari manusia. Bukankah keseluruhan tidak bisa menjadi bagian dari bagian-bagiannya? Jadi selama ini yang kita tidak sadari adalah adanya gap (tidak adanya konsistensi logis) antara kompleksitas eksistensi (realitas ontologis, yang terdiri atas ABC) dengan xe "kesadaran"kesadaran akan kompleksitas eksistensi itu (xe "kesadaran"kesadaran epistemik tentang realitas ontologis, yaitu xe "kesadaran"kesadaran bahwa diri kita terdiri atas ABC). Akibatnya yang lahir adalah xe "kesadaran"kesadaran ekologis (xe "kesadaran"kesadaran hewani/nabati) dan/atau xe "kesadaran"kesadaran materi (xe "kesadaran"kesadaran alami), tetapi, sebagai akibatnya, tidak lahir xe "kesadaran"kesadaran dalam/bathin (xe "kesadaran"kesadaran nurani, atau xe "kesadaran"kesadaran akan xe "kesadaran"kesadaran) karena xe "kesadaran"kesadaran akan xe "kesadaran"kesadaran telah tereduksi menjadi bagian dari xe "kesadaran"kesadaran hewani atau xe "kesadaran"kesadaran alami.
Dalam perspektif kedalaman, saya ingin menawarkan perspektif yang radikal tentang manusia: alam (physiosphere dan xe "biosphere"biosphere) adalah bagian dari ekosistem manusia, bukan sebaliknya. Manusia adalah makrokosmos, bukan mikrokosmos sebagaimana yang terlihat dalam dimensi keluasan. Kesadaran manusia sedari awal (primordial) adalah xe "kesadaran"xe "kesadaran makrokosmik"kesadaran makrokosmik (xe "trans-kognitif"xe "trans-kognitif"trans-kognitif) yang berada di luar ruang dan waktu karena konsep ruang dan waktu adalah konsep jagad raya yang sudah berada dalam diri manusia. Kesadaran makro-kosmik adalah xe "kesadaran"kesadaran trans-kosmik, yaitu xe "kesadaran"kesadaran bahwa kita selalu vis-a-vis berhadapan dengan Sang Pencipta, bukan berhadapan dengan kosmos.
Karena alam adalah bagian konstitutif dari manusia, maka masuk akal jika apabila alam mengalami kerusakan maka manusia juga akan binasa. Sebaliknya, bila alam terpelihara maka manusia dan kehidupan akan terpelihara. Tetapi terpeliharanya alam hanya akan menjamin kemungkinan terpeliharanya dimensi luar (eksterior, atau unsur AB) atau badan dari manusia. Dunia dalam (bathin) manusia tidak terkait secara langsung dengan terpelihara tidaknya alam eksternal. Karena unsur C dalam diri manusia berkaitan dengan dunia dalam yang menjadi ciri kemanusiaannya, maka sehat tidaknya C akan tergantung pada pemenuhan kebutuhan dari C (yang pada saatnya nanti akan dielaborasi secukupnya).
Apa implikasi dari cara pandang dengan perspektif kedalaman, yaitu bahwa manusia adalah xe "makrokosmos"xe "makrokosmos"xe "makrokosmos"makrokosmos, yang di dalamnya alam merupakan elemen konstitutif atau menjadi bagian darinya? Implikasi pertama berkaitan dengan konsep martabat manusia. Manusia atau subyek dalam perspektif ini memiliki nilai yang sangat tinggi dan tidak bisa ditandingi atau ditukar bahkan oleh seluruh jagad raya dengan segala isinya. Bukankah esensi dari alam (baca: physiosphere dan xe "biosphere"biosphere) sudah terepresentasikan dalam diri (dimensi ragawi) manusia? Seluruh alam dan isinya tidak bisa membentuk apalagi menggantikan potensi rohaniah yang dimiliki manusia. Alam tanpa manusia, betapapun gegantiknya, adalah obyek yang mekanistik yang akan selalu menjadi obyek tanpa nama dan tanpa sebutan bila tidak ada manusia. Alam memiliki makna karena manusia memberikan makna padanya. Karena nilai alam lebih rendah dari manusia, mestinya konflik antar sesama manusia tidak boleh terjadi semata-mata karena alam (materi), betapapun banyaknya, karena nilainya lebih rendah dari manusia. Materi, sekali lagi betapapun banyaknya, hanya memiliki nilai instrumental. Keluasan alam yang hampir tidak terhingga itu tidak akan membuatnya memiliki nilai yang bersifat intrinsik. Oleh karenanya penghargaan yang berlebihan terhadap dunia materi sehingga melahirkan kesombongan dan egoisme adalah simtom adanya proses perendahan diri, suatu penyakit akibat jebakan xe "kesadaran"kesadaran keluasan dalam diri seseorang. Manusia yang bermartabat adalah manusia yang menghargai diri dan diri orang lain (kemanusiaan) tidak berdasarkan apa yang dimilikinya, tetapi semata-mata karena xe "kesadaran"kesadaran akan nilai intrinsik yang dimiliki oleh diri dan setiap diri yang lain. Tetapi xe "kesadaran"kesadaran seperti ini akan lahir bila, dalam melihat diri kita, kita menggunakan perspektif kedalaman.
Implikasi ke dua berkaitan dengan konsep transendensi. Selama ini, dari berbagai perspektif (tasawuf, filsafat manusia, dan lain lain), kita mengenal bahwa kesucian manusia sangat terkait dengan kemampuannya mentransendensikan diri dari dunia terbatas dan jangka pendek (dunia secara literal berarti dekat, di sini), yaitu dunia material, dunia nafsu, menuju dunia xe "non-material"non-material atau dunia spiritual yang tak terbatas dan yang menjanjikan kehidupan yang abadi. Konsep transendensi kedengarannya tidak saja esoteris, tapi juga sangat elitis: kesannya hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang khusus dan terbatas, tidak untuk orang kebanyakan, apalagi untuk orang modern yang selalu sibuk dengan urusan-urusannya. Menurut saya konsep transendensi adalah produk atau, setidak-tidaknya, pengaruh dari perspektif keluasan. Karena kita mengada secara material dalam ruang dunia, maka demi keabadian kita harus mengadakan perjalanan melampaui ruang dunia yang terbatas ini. Dalam perspektif kedalaman konsep trasendensi tidak diperlukan, karena secara ontologis manusia sudah mengada secara “transenden.” Karena alam (physiosphere level 1 dan xe "biosphere"biosphere level 2) adalah bagian dari konstitusi manusia, maka, tentu, ruang (dan waktu) sudah ada di dalam (bukan di luar) diri manusia. Spacio-temporality adalah konsep keluasan, bukan konsep kedalaman. Itulah sebabnya manusia sebenarnya, secara ontologis, sudah transenden. Dengan perspektif ini sekarang problem manusia bisa dirumuskan menjadi begini:  bagaimana agar minimal bisa mempertahankan diri di posisi asali itu dan tidak justru terjatuh ke alam hewani atau lebih rendah dari itu. Dengan kata lain, problem manusia: bukan berkaitan dengan asendensi, tetapi desendensi. Problemnya adalah bagaimana agar manusia selalu menyadari bahwa substansi dirinya tidak sama dengan binatang atau yang lebih rendah dari itu.
Bahasan di atas mengantar kita pada bahasan implikasi ke tiga, yaitu yang berkaitan dengan xe "kesadaran"kesadaran dan aktivitas manusia. Kesadaran akan substansi diri manusia yang bersifat transenden harus secara konsisten tercermin dalam aktivitas kesehariannya. Tantangannya adalah bagaimana kita bisa membuat semua aktivitas keseharian kita menjadi ekspresi autentik dari nilai-nilai kemanusiaan yang sudah transenden itu. Nilai-nilai transenden itu berkaitan dengan kebenaran, kebaikan dan keindahan.
Hidup di dunia modern ini banyak berisi pereduksian terhadap nilai-nilai ini. Inilah dilema dunia modern. Hampir semua orang bermimpi ingin maju, berhasil, bahkan kalau bisa menjadi yang “terbaik.” Untuk itu, konsentrasi, pikiran, waktu dan tenaga kita habiskan untuk mengejar impian impian itu. Saking sibuknya kita dengan aktivitas kemajuan itu kita sering lupa bertanya: kemajuan dan keberhasilan yang kita kejar itu sebenarnya untuk apa dan dalam rangka apa? Apa sebenarnya yang kita maksudkan dengan kemajuan dan keberhasilan itu? Jawaban dari pertanyaan ini mestinya menjadi guidance bagi kita untuk berangkat, untuk memilih jalan mana yang harus kita tempuh (terutama ketika kita mendapati jalan yang mulai bercabang). Tetapi bila pertanyaan ini tidak pernah kita ajukan, maka kemungkinan kita hanya akan memilih jalan yang telah biasa dilalui banyak orang saja. Inilah the xe "unexamined life"unexamined life, yaitu hidup tanpa mawas dan koreksi diri. Jadinya kita berangkat dan pergi bukan karena tujuan yang dituju sudah jelas (kemajuan dan keberhasilan seperti apa yang kita inginkan) tetapi karena kita tidak ingin tertinggal terlalu jauh dari orang lain yang telah berangkat lebih dahulu. Keberhasilan berarti “tidak tertinggal dari orang lain” atau berarti bisa “mendahului/menyalip orang lain yang telah berangkat lebih dahulu”. Di sini ukuran keberhasilan berkaitan dengan jarak antara posisi kita dengan posisi orang lain; siapa yang berada dalam posisi lebih depan (apalagi yang terdepan) itulah yang lebih maju, lebih berhasil. Nilai yang paling krusial di sini berkaitan dengan nilai ruang (di posisi mana kita) dan waktu (seberapa cepat kita berada di posisi itu). Nilai-nilai lainnya berada di bawah nilai ruang dan waktu.
Dunia modern dengan rasionalitas dan xe "mental models"xe "mental models"xe "mental models"mental models ilmiah yang menjadi cirinya  yang paling menonjol adalah sebuah cerita tentang keberhasilan manusia berinteraksi dengan alam physiosphere (A) dan xe "biosphere"biosphere (AB). Karena kedua sphere ini adalah entitas material maka cara kita memahaminya adalah dengan menggunakan dua prinsip utama: distingsi (membuat perbedaan) dan kuantifikasi (sebagai ukuran untuk melihat posisi perbedaan). Kita tidak bisa mengenal atau memahami sesuatu bila kita tidak bisa membedakan sesuatu itu dengan yang lainnya. Seseorang dikatakan tidak mengetahui cangkir kalau ia tidak bisa membedakannya dengan gelas, mangkok dan lain lain. Demikian juga kuantifikasi. Entitas yang kita ketahui adalah entitas yang menempati ruang, dan segala sesuatu yang menempati ruang memiliki ukuran, bentuk, berat dan lain lain yang semuanya bisa didekati secara kuantitatif. Seseorang belum dikatakan memahami sesuatu bila ia tidak mengetahui ciri kuantitatif dari sesuatu itu. Dalam dunia modern, melalui pendidikan, kita membangun xe "mental models"xe "mental models"xe "mental models"mental models berdasarkan dua prinsip ini. Dan celakanya prinsip ini kita gunakan juga waktu berinteraksi di alam xe "noosphere"noosphere (ABC), yaitu ketika berinteraksi bukan dengan alam/obyek tetapi dengan sesama subyek dan juga dengan Tuhan. Yang baik adalah yang unik, yang berbeda dengan yang lain; yang baik adalah yang bisa diukur secara kuantitatif, yang secara kuantitatif berjumlah banyak dan yang secara kuantitatif berbeda dengan yang lainnya.
Berbeda dengan entitas-entitas yang berada pada physiosphere dan xe "biosphere"biosphere, manusia memiliki ciri khusus yang tidak dimiliki oleh yang non-manusia: aktivitas-aktivitas manusia adalah fungsi dari kesadarannya. Karena ciri manusia berkaitan dengan xe "kesadaran"kesadaran (yang bersifat xe "non-material"non-material, ciri C), dan karena semua aktivitas yang bermakna atau tidak bermakna (sesuai cirinya) adalah aktivitas yang lahir dari xe "kesadaran"kesadaran, maka prinsip-prinsip yang mengatur hubungan antar sesama tentu tidak sama dengan prinsip-prinsip yang mengatur hubungan kita dengan alam materi (physiosphere dan xe "biosphere"biosphere, alam A atau AB). Interaksi dengan sesama tidak bisa atau, lebih tepat, tidak mungkin bisa menggunakan pendekatan kognisi tanpa melahirkan distorsi. Bagaimana kita bisa membedakan antara xe "kesadaran"kesadaran kita dengan yang lainnya? Kesadaran bersifat xe "non-material"non-material dan karenannya tidak menempati ruang sebagaimana dunia materi. Oleh karena xe "kesadaran"kesadaran tidak menempati ruang ia tidak memiliki ukuran, tidak memiliki bentuk yang bisa kita identifikasi, dan oleh karenanya kita tidak bisa membuat perbedaan dalam hubungan xe "intersubyektivitas"inter-subyektivitas. Kesamaan semua manusia adalah fakta ontologis, bukan sebuah idealisasi.
Karena aktivitas manusia yang bermakna transenden adalah aktivitas kesadarannya (perbuatan orang gila tidak memiliki implikasi moral) dan karena dunia sosial adalah interaksi antar subyek yang memiliki xe "kesadaran"kesadaran (intersubyektivitas), maka aktivitas manusia yang berkaitan dengan interaksinya dengan sesama memiliki nilai intrinsik lebih tinggi daripada interaksinya dengan alam. Interaksi dengan sesama diperlukan dalam rangka konstitusi diri (xe "self-constitution"self-constitution). Diri tidak akan pernah berkembang normal tanpa interaksi dengan diri lain: to be is to be with. Kesadaran adalah entitas xe "non-material"non-material; interaksi antar xe "kesadaran"kesadaran diatur berdasarkan prinsip xe "non-material"non-material, dan hasil interaksi juga bersifat xe "non-material"non-material (xe "self-consitution"self-consitution).
xe "Aristoteles"xe "Aristoteles"Aristoteles membagi aktivitas manusia menjadi dua: xe "action"xe "action"xe "action"action and xe "production"production. Production adalah aktivitas manusia dalam rangka transformasi obyek dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Misalnya aktivitas memahat, melukis, membuat mobil dan lain lain adalah aktivitas produksi yang hasilnya bersifat ekstrinsik: patung, lukisan, dan mobil. Semuanya adalah entitas eksternal yang berada di luar diri subyek. Hubungan antara hasil-hasil produksi dengan subyek bersifat pemilikan, bukan intrinsik yang tidak bisa dipisahkan dengan subyek. Action (tindakan) adalah aktivitas subyek yang berkaitan dengan relasinya dengan subyek lain. Tindakan bersifat moral dan memiliki nilai intrinsik dalam rangka pembentukan diri (xe "self-constituion"self-constitution) dari subyek-subyek yang terlibat dalam interaksi. Dalam dunia modern konsep produksi telah berkembang menjadi konsep “xe "work"work” (kerja) (dan juga “labor”, memburuh) (lihat xe "Hannah Arendt"Hannah Arendt dalam Human conditions,) dan xe "relasi intersubyektivitas"relasi xe "intersubyektivitas"intersubyektivitas berada dalam konteks kerja atau pekerjaan.
Ciri dunia modern adalah penekanannya yang berlebihan pada konsep kerja (xe "work"work), yaitu pada relasi antara subyek dengan obyek untuk mendapatkan hasil-hasil yang bersifat ekstrinsik, kuantitas, dan membedakan. Nilai-nilai turunan dari aktivitas ini adalah efisiensi, profesionalisme, produktivitas, berdaya saing, nilai tambah, dan lain-lain. Karena semua hasil dari aktivitas kerja berkaitan dengan pemilikian obyek konkrit seperti harta maupun abstrak seperti kekuasaan, jabatan, dan bahkan pengetahuan, maka memiliki semua hasil kerja tidak secara langsung terkait dengan kebaikan. Apakah menjadi kaya, memiliki ketenaran, memiliki pengetahuan ilmiah, menjadi pejabat dan yang sejenisnya bisa secara langsung membuat kita menjadi manusia yang lebih baik?
Secara ontologis, misalnya, jabatan (dan banyak status status lainnya) adalah sebuah kategori yang keberadaannya kita (manusia) ciptakan sendiri (ontologically subjective). Dalam skema hierarki di atas, ia termasuk kategori A yang berada pada level satu. Tanpa manusia ia tidak akan pernah ada. Ia kita ciptakan sebagai lapangan permainan kita, bukan sebagai tujuan hidup kita. Kalau ia sebagai tujuan maka itu sama artinya dengan menyamakan diri kita dengan hasil karya kita atau menganggap hasil karya kita nilainya lebih tinggi dari kita (penciptanya). Itulah sebabnya, dalam perspektif agama, jabatan adalah amanah untuk tujuan tujuan yang lebih mulia sesuai martabat kita, bukan sebagai tujuan dalam dirinya. Kalau sebagai tujuan maka penyakit yang pasti kita dapatkan adalah “I’m my position.” “I” adalah subyek, “position” adalah obyek hasil ciptaan kita. Jadi bila subyek sama dengan obyek, maka pasti ini adalah penyakit.
Jabatan berkaitan dengan fungsi, dan fungsi adalah placeholder yang mengacu pada seperangkat aktivitas yang harus dilakukan sesuai tupoksi fungsi. Jadi menerima dan memegang sebuah jabatan tiada lain adalah janji pada publik untuk melaksanakan seluruh aktivitas tersebut dengan sebaik-baiknya. Bila sebuah janji pada seseorang saja tidak selalu kita bisa penuhi, bagaimana dengan janji pada publik untuk melakukan sekian banyak aktivitas, bukan pada suatu waktu, tapi pada durasi waktu selama masa jabatan? Selama ini jabatan banyak dilihat sebagai kata benda, sebagai property, bukan sebagai  kata kerja, sebagai aktivitas. Artinya, jabatan sering dilihat sebagai pemilikan, sehingga relasinya adalah relasi subyek-obyek. Sebagai obyek kepemilikan, jabatan menjadi obyek buruan, yang kalau mendapatkannya maka dianggap sukses, berhasil, dan kalau tidak dianggap gagal, dan melahirkan rasa frustasi atau perlu dikasihani.         
Jabatan dalam artian aktivitas terkait dengan relasi subyek subyek, oleh karenanya berkaitan dengan tindakan, dengan aktivitas, bukan dengan kepemilikan, dan bukan juga dengan hak istimewa. Itulah sebabnya dari perspektif pengamat jabatan adalah amanah, dan dari perspektif pelaku ia adalah janji, bahkan lebih berat lagi: sumpah! Inheren dalam jabatan adalah xe "deontisitas"deontisitas, komitmen untuk berbuat, dan berbuat. Belajar menjadi amanah bukan dengan cara menghafal dan memahami apa itu amanah, tetapi dengan cara belajar menjalankan amanah. Untuk bisa menjalankan pembelajaran ini, kita tentu harus dalam posisi sedang dalam ‘memiliki’ jabatan tertentu, sebagai sasana pembelajaran. Tanpa ini, pembelajaran akan bersifat kognitif semata.
Secara horizontal dunia kebaikan berkaitan dengan tindakan (xe "action"xe "action"xe "action"action) yang konteksnya selalu bersifat intersubyektif. Orang yang baik adalah orang yang tindakan-tindakannya terhadap sesama adalah baik. Di sini hasil tindakanya adalah intrinsik, yaitu untuk kebaikan diri. Nilainya melampaui nilai kosmos, bahkan nilai xe "makrokosmos"xe "makrokosmos"xe "makrokosmos"makrokosmos. Kenapa? Karena tindakan yang baik itu tidak didapatkan dalan relasi internal ABC. Ia adalah fungsi dari relasi antar ABC, yaitu relasi antar makro-kosmos! Dalam konteks tindakan, konsep keberhasilan dan kemajuan (apalagi keberhasilan menjadi yang terbaik) tidak bisa diukur sendiri berdasarkan ukuran-ukuran kuantitatif, tetapi kemajuan itu dirasakan oleh orang lain sehingga hubungan antar sesama terasa semakin saling berterima (xe "mutual acceptance"mutual acceptance) dan semakin tidak bersyarat. Dan ini adalah contoh ekspresi otentik dari dunia transenden yang diekspresikan dalam dunia tindakan. Perspektif kedalaman melihat aktivitas manusia yang baik bukan sebagai proses transendensi, tetapi sebagai ekspresi dari aktivitas subyek yang secara ontologis sudah transenden dan yang tidak atau belum terdistorsi.

Sebagai contoh kecil. Bandingkan dua aktivitas berikut. Ibu saya meminta saya memandikan adik sebelum saya berangkat ke kantor. Tetapi kalau saya mematuhi ibu saya akan terlambat masuk kerja. Apa pilihan saya? Dalam perspektif kedalaman, mematuhi perintah adalah aktivitas (xe "action"xe "action"xe "action"action) yang langsung berkaitan dengan nilai kebaikan yang berada dalam konteks xe "relasi intersubyektivitas"relasi xe "intersubyektivitas"intersubyektivitas, nilai yang melampaui nilai kosmik. Mengabaikan permintaan Ibu karena motif memburu karir dan nama baik di kantor yang sering sepenuhnya berkaitan dengan pekerjaan (xe "work"work) tidak otomatis bisa melahirkan kebaikan baik untuk diri  maupun orang lain. Melalaikan yang pertama (xe "action"xe "action"xe "action"action) demi yang kedua (xe "work"work) adalah akibat dari xe "unexamined life"unexamined life dan hasil dari xe "mental models"xe "mental models"xe "mental models"mental models kehidupan dunia modern yang menggunakan perspektif keluasan. Menjadi baik mestinya lebih mudah dan bisa dimulai dari rumah, tapi ini hanya bisa dilakukan bila xe "mental models"xe "mental models"xe "mental models"mental models modernitas harus dirubah sedemikian rupa sehingga kita bisa melihat nilai tindakan (xe "relasi intersubyektivitas"relasi xe "intersubyektivitas"intersubyektivitas) selalu memiliki nilai lebih tinggi dari nilai kerja (relasi subyek-obyek), atau bisa melihat kerja dan hasil-hasilnya adalah dalam rangka xe "intersubyektivitas"intersubyektivitas, yaitu dalam rangka kemanusiaan, bukan dalam rangka subyektivitas semata.
     
      Baca Selengkapnya »