Senin, 06 Februari 2017

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN MENURUT AL-QUR’AN (Telaah QS. An-Nisa’: 34)


A.    Pendahuluan

Kepemimpinan dalam Islam selalu saja menarik untuk dikaji, terutama sekali masalah kepemimpinan perempuan. Terlebih pada zaman sekarang ini muncul berbagai isu yang ingin merusak ajaran Islam, baik dari luar, terlebih lagi dari dalam. Hal ini semakin diperparah dengan adanya paham feminisme dan kesetaraan gender yang didengungkan oleh orang-orang barat terutama para orientalis yang tidak senang dengan semakin tumbuh dan berkembangnya Islam di seluruh dunia.

Islam merupakan agama yang dibawa oIeh Nabi Muhammad SAW dan merupakan agama universal, diperuntukkan bagi seluruh umat manusia. Ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW itu mengajarkan kepada umat manusia untuk selalu berlaku adil dan tidak berbuat zalim serta selalu menebarkan kedamaian dan keselamatan di muka bumi ini. Islam juga mengajarkan untuk selalu hidup secara positif di antara sesama manusia dalam suasana yang harmonis, persaudaraan dan tenggang rasa, tidak membeda-bedakan derajat, status, warna kulit, jenis bahkan i’tikad ataupun agama. Hal ini disebabkan mereka (manusia) berasal dari diri yang satu, seperti yang telah dijelaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 1.

Sejak 14 abad yang silam, al-Qur’an telah menghapuskan berbagai macam diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, al-Qur’an memberikan hak-hak kepada kaum perempuan sebagaimana hak-hak yang diberikan kepada kaum laki-laki, kecuali hak atau kewajiban yang dikhususkan Islam untuk laki-laki berdasarkan dalil-dalil syara’.

Yang menarik dan selalu diperbincangkan adalah pandangan al-Qur’an terhadap kepemimpinan perempuan. Di negara-negara Islam ataupun negara-negara dengan mayoritas penduduknya muslim kepemimpinan perempuan ini selalu menjadi topik yang hangat, yang selalu saja menghasilkan dua kesimpulan yang berlawanan, ada yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkan, tentunya dengan argumen masing-masing yang melandasi pendapat mereka.

Melihat fenomena yang ada, penulis merasa tergugah untuk mengkaji lebih dalam tentang kepemimpinan perempuan yang ada dalam al-Qur’an ini sehingga paling tidak ada gambara bagi kita, khususnya penulis, serta pembaca pada umumnya. Dari hasil kajian ini penulis berharap memberikan manfaat, baik secara teoritis, yaitu menambah perbendaharaan karya ilmiah dan bacaan kepada masyarakat khususnya kalangan intelektual; sedangkan manfaat praktisnya adalah mengingatkan kembali ataupun sebagai bahan penyegaran kepada masyarakat khususnya umat Islam bahwa ajaran Islam bersifat syamil (menyeluruh), tidak diskriminatif terhadap semua pihak dan memberikan sesuatu sesuai dengan porsi masing-masing.

B.     PEMBAHASAN



1.      Tafsir Surat An-Nisa’ ayat 34

Sebelum membahas lebih jauh tentang kepemimpinan perempuan ini, penulis terlebih dahulu mengetengahkan ayat al-Qur’an yang merupakan titik tolak penulis dalam kajian kepemimpinan ini. Ayat tersebut adalah Surat An-Nisa’ ayat 34 yang berbunyi:



ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا ٣٤

 Artinya:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”[1]

Empat belas abad sudah Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia. Islam yang merupakan ajaran yang bersifat universal. Salah satu ajaran yang dibawanya adalah menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Islam telah mengangkat derajat perempuan dari makhluk yang dianggap hina, kelas dua ataupun hanya sebagai pelengkap bagi laki-laki menjadi makhluk yang terhormat, memiliki hak dan kewajiban yang sama. Jika demikian, samakah hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin?

Sumber permasalahan ini sebenarnya adalah perbedaan penafsiran ayat al-Qur’an, yaitu kata قَوَّٰمُونَ .

Syeikh Kholid Abdurrahman al-‘Ak dalam Shafwah al-Bayan li Ma’aniy al-qur’an al-Karim Mudzayyilan bi Asbab Al-Nuzul li Al-Suyuthi,[2] menyebutkan bahwa kata  قَوَّٰمُونَ berarti قيام الولاة المصلحين على الرعية, yaitu laki-laki merupakan pemimpin bagi perempuan dengan catatan memimpin dengan cara yang baik.

Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili[3] menyebutkan bahwa laki-laki menjadi pemimpin bagi perempuan (dalam hal ini bertanggungjawab atas urusannya dan menjaga perempuan) disebabkan oleh dua hal, yaitu:

1.      Karakteristik kelaki-lakiannya serta keperkasaannya serta lebih berpengalaman daripada perempuan (خصائص الرجولة و مقوماتها الجسدية، وزيادة الخبرة)

2.      Laki-laki bertanggungjawab penuh untuk menafkahi keluarga, berkewajiban untuk memberi mahar, sementara itu perempuan yang shalehah (dalam hal ini istri) yang taat kepada Allah SWT dan suaminya, tentulah menyimpan rahasia rumah tangganya serta memanfaatkan harta suaminya dengan sebaik-baiknya.

Dr. Abduh asy-Syahiy menjelaskan sebagai berikut:

فإن هذه الدرجة هي القوامة، أي الرعاية والصيانة والحفظ وليست هذه الدرجة هى درجة التشبث فى الرأي والتحكم والسيطرة فى إدارة شئون الأسرة، أو الاستبداد قولا وعملا فى أمور الأسرة.[4]  



Dari penjelasan ini jelas sekali bahwa qawamah yang dimaksudkan pada ayat tersebut adalah pengayom (ri’ayah), dan penolong/pelindung (shianah) dan menjaga (hifz), bukan berarti menguasai dan mengekang seperti yang dikatakan sebagian orang.

Jika kita melihat konteks ayat di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa ‘seolah-olah’ perempuan berada di bawah kekuasaan laki-laki, yang dengan demikian perempuan tidak mempunyai hak untuk menjadi seorang pemimpin dan hanya bertanggungjawab terhadap urusan rumah tangganya.

Menurut Dr. M. Quraish Shihab, MA,[5] setidaknya ada tiga alasan yang sering dikemukakan sebagai larangan keterlibatan perempuan dalam berpolitik, yaitu:

1.      Ayat Arrijalu qawwamuna ‘alannisa’ (QS. An-Nisa’: 34)

2.      Hadis yang menyatakan bahwa akal wanita kurang cerdas dibandingkan laki-laki

3.      Hadis Abi Bakrah yang menyatakan tidak bahagianya/beruntungnya suatu kaum yang dipimpin oleh perempuan.

Ayat dan hadis di atas seolah-olah mengisyaratkan bahwa yang berhak menjadi pemimpin hanyalah untuk kaum laki-laki, sementara perempuan harus mengakui kepemimpinan tersebut.

Al-Qurthubi dalam tafsirnya menulis tentang makna ayat tersebut yang artinya: "Para lelaki (suami) didahulukan diberi hak kepemimpinan, karena lelaki berkewajiban memberikan nafkah kepada wanita dan membela mereka, juga (karena) hanya lelaki yang menjadi penguasa, hakim, dan ikut bertempur, sedangkan semua itu tidak terdapat pada wanita". Selanjutnya penafsir ini menegaskan bahwa: "Ayat ini menunjukkan bahwa lelaki berkewajiban mengatur dan mendidik wanita, serta menugaskannya berada di rumah dan melarangnya keluar. Wanita berkewajiban menaati dan melaksanakan perintahnya selama itu bukan perintah maksiat". Bahkan, menurut Quraish Shihab, banyak mufassir yang mengikuti pendapat al-Qurthubi ini.[6]

Jika kita melihat pendapat para mufassir tentang maksud ayat ini, maka kita dapat berpikir sebaliknya, yaitu jika alasan laki-laki yang harus menjadi pemimpin itu tidak lengkap atau tidak mencukupi, maka perempuan pun berhak menjadi pemimpin jika memenuhi kriteria.

Dengan demikian, laki-laki harus mengetahui bahwa derajat kepemimpinan di sini adalah derajat taklif dan mas’uliyyah (kewajiban dan tanggung jawab). Dari sini, dapat kita ketahui bahwa wanita mempunyai hak untuk memiliki atas segala sesuatu tanpa ada pembedaan dengan laki-laki, ia juga berhak untuk bertransaksi, bekerja yang sesuai dengan tuntunan syari’ah. Sehingga perempuan juga mempunyai hak untuk memberi dan menerima wasiat serta warisan. Bahkan ia juga berhak untuk melindungi dirinya dan hartanya dengan cara bagaimanapun selama tidak bertentangan dengan syari’at Islam.

Demikianlah, Islam memberikan hak-hak yang sangat istimewa kepada perempuan yang tidak pernah diberikan oleh sistem-sistem keagamaan konstitusional yang lain. Hak dan tanggung jawab yang diberikan Allah SWT kepada perempuan sederajat dengan yang diterima oleh laki-laki. Kesederajatan ini tidak selalu identik. Karena secara biologis dan psikologis perempuan diciptakan berbeda dari laki-laki. Islam telah menetapkan hak dan tanggung jawab terhadap perempuan sesuai dengan sifatnya, memberinya perlindungan dan keamanan penuh dari penistaan dan alur kehidupan yang tidak menentu. Dari sinilah dapat dipahami bahwa kesetaraan itu tidak sama dengan kesamaan. Laki-laki diciptakan Allah SWT setara dengan perempuan, tetapi tidak sama antara laki-laki dengan perempuan.[7]

Dalam ajaran ajaran Islam, laki-laki dan perempuan mempunyai persamaan dalam hal[8]:

1.      Persamaan dalam segi kemanusiaan (al-musawah al-insaniyah) (QS. Al-Hujurat: 13)

2.      Persamaan dalam memikul beban yang diberikan Allah SWT (al-musawah fi al-taklif) (QS. Al-Mumtahanah: 10

3.      Persamaan dalam pemberian balasan/pahala atas amal ibadahnya (al-musawah fi al-Tsawab) (QS. Al-Ahzab: 35)

4.      Persamaan dalam muwalat dan saling tolong-menolong (al-musawah fi al-muwalat wa al-tanshur) (QS. At-Taubah: 71)

Alasan yang kedua yang menyatakan bahwa kurangnya kecerdasan perempuan sehingga ia tidak layak untuk dijadikan pemimpin telah terbantahkan oleh al-Qur’an yang menceritakan tentang seorang perempuan yang memerintah dengan arif dan bijaksana. Ia adalah ratu Balqis , sang ratu negeri Saba’. Hal ini disebutkan dalam al-Qur’an surat as-Saba’ ayat 15:

لَقَدۡ كَانَ لِسَبَإٖ فِي مَسۡكَنِهِمۡ ءَايَةٞۖ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٖ وَشِمَالٖۖ كُلُواْ مِن رِّزۡقِ رَبِّكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لَهُۥۚ بَلۡدَةٞ طَيِّبَةٞ وَرَبٌّ غَفُورٞ ١٥



Artinya: Sesungguhnya bagi kaum Saba´ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun."

 

Mengenai kecerdasan dan kebijaksanaan ratu Balqis, telah disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Naml ayat 29-35[9] yang menceritakan diskusinya dengan para pejabat negara, ketika menerima surat dari nabi Sulaiman AS, yang pada waktu itu para pembesar kerajaan ingin menyerang kerajaan nabi Sulaiman AS karena merasa mereka lebih kuat dan besar kekuasaannya. Namun ratu Balqis malah tidak menyetujuinya dengan alasan teramat pedih dampak dari peperangan tersebut. Hal ini akan menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat yang tidak bersalah.

Bahkan kecerdasan Balqis dan berlogika dan bertauhid terlihat ketika ia melihat keindahan istana Sulaiman yang lantainya dari marmer yang berkilauan laksana air. Dalam ketakjuban itu, Ratu Balqis tidak menyerah begitu saja kepada Sulaiman. Tetapi ia mengatakan: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, tuhan semesta alam.”[10]



2.      Sebab turunnya ayat

As-Suyuthi menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat 34 surat An-Nisa adalah adanya seorang perempuan yang mengadu kepada Rasulullah SAW tentang perbuatan suaminya yang menamparnya. Lengkapnya adalah sebagai berikut:

أخرج ابن حاتم عن الحسن قال: جاءت امرأة إلى النبي صلى الله عليه وسلم تستعدي على زوجها أنه لطمها، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: القصاص، فأنزل الله (الرجال قوامون على النساء) الآية، فرجعت بغير قصاص.[11]



“Ibnu Hatim meriwayatkan dari al-Hasan, ia berkata: telah datang seorang perempuan kepada Rasulullah SAW mengadukan perbuatan suaminya yang menamparnya, maka Rasulullah menjawab: (hukumannya adalah) qishash (yakni ia harus menampar suaminya sebagai balasan yang setimpal), maka turunlah ayat yang berbunyi: (الرجال قوامون على النساء), maka pulanglah si perempuan tanpa harus meng-qishash suaminya.”

Jika kita melihat asbab an-nuzul dari ayat 34 surat an-Nisa’ ini, maka tampak jelas terlihat bahwa perkara yang dibahas dalam ayat ini adalah perkara rumah tangga. Makna arrijal di sini bukan laki-laki pada umumnya, namun tidak lebih hanya bermakna suami. Hal ini cukup beralasan, karena pada lanjutan ayat ini langsung disebutkan tentang kewajiban laki-laki, yang dalam hal ini suami, yaitu menafkahi perempuan-perempuan (istrinya). Terlebih lagi pada ayat selanjutnya dijelaskan masalah yang berhubungan dengan rumah tangga.

Sementara itu, Hadits abi Bakrah yang diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, Nasa’i dan Turmudzi yang menyatakan ketidakberuntungan suatu kaum jika dipimpin oleh perempuan itu bersifat temporal dan kasuistik pada bangsa Persia.[12] Bunyi lengkap hadis tersebut adalah:

عن أبي بكرة قال: لما بلغ رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أهل فارس ملكوا عليهم بنت كسري قال: لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة. (رواه البخاري والنسائي والترمذي وأحمد)

Artinya:dari Abi Bakrah ia berkata: Ketika Rasulullah mengetahui bahwa masyarakat Persia mengangkat Putri Kisra sebagai penguasa mereka, beliau bersabda, “tidak akan sukses (beruntung) suatu kaum yang menyerahkan (menguasakan) urusan mereka kepada seorang perempuan.” (HR. Al-Bukhari, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, dan Ahmad)[13]



Hadis ini menurut Quraish Shihab berlaku khusus bagi masyarakat Persia pada waktu itu, bukan terhadap semua masyarakat dan dalam semua urusan. Dengan demikian, berlaku kaidah Pada prinsipnya hukum itu
berlaku karena kekhususan sebab bukan karena keumuman lafaz.”

Dengan demikian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada suatu ketentuan agama pun secara jelas mengatakan bahwa perempuan tidak boleh berpolitik, ataupun membatasi ruang gerak perempuan untuk terjun ke dunia politik dan hanya berlaku untuk laki-laki.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kaum perempuan berhak untuk memimpin suatu negara (Presiden atau Perdana Menteri), sebagaimana halnya kaum laki-laki, bila mereka memiliki kriteria persyaratan sebagai pemimpin.

Jadi kalau hadits Abi Bakrah di atas mengatakan bahwa: Tidak bahagia suatu kaum yang mengangkat pemimpin mereka seorang perempuan, al-Qur’an justru menyebutkan sebaliknya. Al-Qur’an telah menceritakan bagaimana kepemimpinan ratu Balqis yang dapat memimpin negerinya dengan baik dan sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, sehingga mereka hidup dalam kemakmuran dan berlimpah ruah.

Disebutkannya cerita ratu Balqis sebagai penguasa negeri Saba’ memperlihatkan bahwa perempuan pun mampu untuk menjadi pemimpin, meskipun ada sebagian yang beralasan bahwa ia menjadi pemimpin ketika belum bertauhid kepada Allah SWT. Dan ketika telah menikah dengan Sulaiman dan memeluk agama tauhid, ia tidak lagi menjadi pemimpin, namun tetaplah sebagai permaisuri dari raja Sulaiman yang agung.



C.    SIMPULAN

Setelah melalui pembahasan yang singkat dari tulisan ini penulis mencoba menyimpulkannya dengan hasil sebagai berikut:

1.      Makna Qawwamah dalam al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 34 lebih sebagai pemimpin rumah tangga, pengayom, pelindung, dan penjaga, bukan penguasa sepenuhnya dalam arti mengekang dan menguasai seperti budak;

2.      Perempuan diperbolehkan terjun ke dunia politik, selama tidak mengganggu tugas dan tanggungjawabnya dalam mengurus rumah tangga suaminya;

3.      Yang tidak diperbolehkan dalam Islam adalah perempuan menjadi khalifah atau pemimpin tertinggi yang mempunyai kekuasaan mutlak serta segala keputusan tergantung kepadanya;

4.      Penafsiran surat an-Nisa’ ayat 34 itu harus diposisikan sesuai dengan asbab an-nuzulnya, yaitu tentang rumah tangga, dengan pemaknaan kata rijal dengan ‘suami’ dan nisa’ dengan ‘istri’, sedangkan menafsiran hadis dari Abi Bakrah ditafsirkan pula sesuai asbab al-wurudnya, yaitu khusu untuk masyarakat Persia waktu itu.

Demikianlah simpulan yang dapat penulis kemukakan semoga bermanfaat dan wallahu a’lam bissowab.




DAFTAR PUSTAKA





Al-Qur’an Al-Karim

al-‘Ak, Syeikh Kholid Abdurrahman. Shafwah al-Bayan li Ma’aniy al-qur’an al-Karim Mudzayyilan bi Asbab Al-Nuzul li Al-Suyuthi. Dimasyq: Dar al-Basyaair, 1994.

al-Barraziy, Muhammad Fuad. Al-Huquq al-Siyasiyah li al-Mar’ah fi Zilal al-Islam, dalam Makanat al-Mar’ah wa Huququha fi al-Islam. Kairo, Rabithah al-Jamiaat al-Islamiyyah, 2006.

Al-Syahiy, Abduh. Al-Huquq al-Ma’nawiyyah wa al-Adabiyyah  li az-Zaujah fi Dhau’ asy-Syari’ah al-Islamiyyah, dalam Makanat al-Mar’ah wa Huququha fi al-Islam. Kairo, Rabithah al-Jamiaat al-Islamiyyah, 2006.

al-Zuhaili, Wahbah. al-Tafsir al-Wajiz ‘ala Hamisy al-Qur’an al-‘Azim. Dimasyq, Dar al-Fikr.

Muslim, Muslihun. Kiprah dan Pemikiran Nahdlatul Wathan dari TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid ke Dr. TGKH. Muhammad Zainul Majdi, MA. Surabaya: Cerdas Pustaka Publisher, 2012.

Naik, Zakir, dkk. Mereka Bertanya Islam Menjawab. Solo, PT. Aqwam Media Profetika, 2009.

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.
Taufiq, Mohamad. Software Qur’an in Ms Word versi 2.2.00.  taufiq product, 2013.


[1] Mohamad Taufiq, Software Qur’an in Ms Word versi 2.2.00  (taufiq product, 2013).
[2] Syeikh Kholid Abdurrahman al-‘Ak , Shafwah al-Bayan li Ma’aniy al-qur’an al-Karim Mudzayyilan bi Asbab Al-Nuzul li Al-Suyuthi (Dimasyq: Dar al-Basyaair, 1994), 84.
[3] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Wajiz ‘ala Hamisy al-Qur’an al-‘Azim (Dimasyq, Dar al-Fikr), 85.
[4] Dr. Abduh Asy-Syahiy, Al-Huquq al-Ma’nawiyyah wa al-Adabiyyah  li az-Zaujah fi Dhau’ asy-Syari’ah al-Islamiyyah, dalam Makanat al-Mar’ah wa Huququha fi al-Islam (Kairo, Rabithah al-Jamiaat al-Islamiyyah, 2006), 44.
[5] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan, 1996), 313.
[6] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an..., 313-314.
[7] Zakir Naik, dkk., Mereka Bertanya Islam Menjawab (Solo: PT. Aqwam Media Profetika, 2009), 87.
[8] Prof. Dr. Muhammad Fuad al-Barraziy, Al-Huquq al-Siyasiyah li al-Mar’ah fi Zilal al-Islam, dalam Makanat al-Mar’ah wa Huququha fi al-Islam (Kairo, Rabithah al-Jamiaat al-Islamiyyah, 2006), 189-190.
[9] Bunyi ayat tersebut adalah:
قَالَتۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمَلَؤُاْ إِنِّيٓ أُلۡقِيَ إِلَيَّ كِتَٰبٞ كَرِيمٌ ٢٩ إِنَّهُۥ مِن سُلَيۡمَٰنَ وَإِنَّهُۥ  ٣٠  أَلَّا تَعۡلُواْ عَلَيَّ وَأۡتُونِي مُسۡلِمِينَ ٣١ قَالَتۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمَلَؤُاْ أَفۡتُونِي فِيٓ أَمۡرِي مَا كُنتُ قَاطِعَةً أَمۡرًا حَتَّىٰ تَشۡهَدُونِ ٣٢ قَالُواْ نَحۡنُ أُوْلُواْ قُوَّةٖ وَأُوْلُواْ بَأۡسٖ شَدِيدٖ وَٱلۡأَمۡرُ إِلَيۡكِ فَٱنظُرِي مَاذَا تَأۡمُرِينَ ٣٣ قَالَتۡ إِنَّ ٱلۡمُلُوكَ إِذَا دَخَلُواْ قَرۡيَةً أَفۡسَدُوهَا وَجَعَلُوٓاْ أَعِزَّةَ أَهۡلِهَآ أَذِلَّةٗۚ وَكَذَٰلِكَ يَفۡعَلُونَ ٣٤ وَإِنِّي مُرۡسِلَةٌ إِلَيۡهِم بِهَدِيَّةٖ فَنَاظِرَةُۢ بِمَ يَرۡجِعُ ٱلۡمُرۡسَلُونَ ٣٥
[10] QS. An-Naml: 44
[11] Syeikh Kholid Abdurrahman al-‘Ak , Shafwah al-Bayan..., 84.
[12] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an..., 314. Lihat juga Muslihun Muslim, Kiprah dan Pemikiran Nahdlatul Wathan dari TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid ke Dr. TGKH. Muhammad Zainul Majdi, MA (Surabaya: Cerdas Pustaka Publisher, 2012), 77-79.
[13] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an..., 314.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar