Rabu, 08 Maret 2017

Sistem Perkawinan Sasak ‘Merarik’


Sistem Perkawinan Sasak ‘Merarik’

Fenomena Sosial: Adat yang Mulai Ditinggalkan

Oleh: H.A. Masriadi Faishal



A.    Pendahuluan

Dalam perjalanan proses tata kehidupan masyarakat, sering kali terjadi tarik ulur antara hukum adat dan hukum agama (baca: syariat). Terkadang dalam suatu masyarakat hukum adat yang dominan, dan di masyarakat yang lain hukum agama yang lebih berperan, sehingga terlihat meski agama sama, tata kehidupan sosial masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain cenderung berbeda. Tata kehidupan masyarakat muslim Indonesia misalnya, tentu tidak sama dengan tata kehidupan masyarakat muslim Timur Tengah atau Afrika. Dalam konteks yang lebih kecil, muslim jawa tidaklah sama dengan muslim Sulawesi atau muslim Sasak (Lombok).

Di dalam satu komunitas masyarakat pun, hukum adat dan agama tak berhenti untuk saling tarik ulur dalam setiap sendi kehidupan. Terkadang dalam satu sendi terlihat kehidupan masyarakat begitu religius, namun di sendi yang lain adat yang dikedepankan.

Dalam satu sendi kehidupan suatu masyarakat itu juga, misalnya proses perkawinan, tarik ulur ini masih dan terus terjadi. Di suatu waktu misalnya proses perkawinan suatu masyarakat sangat kental dengan aturan adat, namun di waktu yang lain pada masyarakat yang sama, proses perkawinan lebih manut terhadap hukum agama.

Demikian halnya dengan masyarakat Sasak, tarik ulur dalam tata kehidupan masyarakat sasak antara agama dan adat jelas terlihat dan masih tetap berlangsung. Meski mayoritas suku sasak ini menganut agama Islam, namun tidak serta merta setiap sendi kehidupan masyarakat sasak bercorak Islami. Contohnya pada proses perkawinan sasak yang sangat dipengaruhi adat.

Perkawinan pada masyarakat sasak pada umumnya tidak diawali dengan pinangan (khitbah) sebagaimana yang diajarkan hukum agama, namun dengan suatu proses adat yang disebut ‘merarik’ atau melarikan anak gadis orang, hal yang oleh para tokoh agama diakui tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, namun tetap hidup berkembang di masyarakat sasak karena merupakan adat budaya atau kearifan lokal. Di sisi ini pada masyarakat sasak, hukum agama terlihat dikalahkan oleh hukum adat.

Namun kekalahan hukum agama dari hukum adat pada masalah ini tidak berlaku selamanya. Tarik ulur antara hukum adat dengan hukum agama masih berjalan. Ini terbukti dengan fenomena yang terjadi akhir-akhir ini pada masyarakat sasak, khususnya dalam hal perkawinan. Sebagian dari mereka sudah mulai meninggalkan adat ‘merarik’ ini, dan mulai berpindah ke ‘khitbah’. Fenomena sosial inilah yang ingin penulis angkat pada makalah kecil ini.

B.     Sekilas tentang Pulau Lombok (Suku Sasak) dan Kepercayaan masyarakatnya.

Pulau Lombok merupakan salah satu pulau yang membentuk Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penduduk asli pulau Lombok disebut suku Sasak. Mereka adalah kelompok etnik mayoritas yang berjumlah tidak kurang dari 89% dari keseluruhan penduduk Lombok. Sedangkan kelompok-kelompok etnik lainnya seperti Bali, Jawa, Arab, dan Cina adalah pendatang.[1] Orang-orang Sasak menyebar di hampir seluruh daratan Lombok. Sedangkan para pendatang, tinggal di daerah-daerah tertentu. Sebagian besar orang Bali tinggal di Lombok Barat dan Lombok Tengah. Orang Sumbawa bermukim di Lombok Timur dan orang Arab di Ampenan. Orang Cina yang umumnya yang bekerja sebagai pedagang tinggal di pusat-pusat kota seperti Cakranegara, Ampenan dan Praya. Demikian juga di Lombok terdapat pemukiman orang Jawa yang disebut Kampong Jawa.[2]

Sebagian besar penduduk pulau Lombok beragama Islam dan hanya sebagian kecil yang beragama non Islam. Agama Islam dipeluk oleh sebagian besar etnik Sasak, sedangkan agama non Islam seperti Hindu, Budha atau Kristen dipeluk oleh sebagian besar pendatang dari kelompok-kelompok etnik seperti Bali dan Cina.[3]

Ajaran agama Islam bagi masyarakat Sasak mendapatkan tempat sangat tinggi dalam menjalankan kehidupan keagamaannya sehari-hari sesuai dengan doktrin keagamaan yang dianut. Kuatnya tradisi keagamaan Islam ini dapat dilihat dengan jumlah-jumlah tempat ibadah (Masjid) yang ribuan jumlahnya sampai-sampai Pulau Lombok dijuluki Pulau Seribu Masjid. Begitu juga dengan fenomena selalu bertambahnya kuota jamaah haji di tiap tahun yang menjadi indikator keseriusan ibadah masyarakat Sasak[4], terlepas dari motivasi-motivasi mereka melaksanakan ibadah haji tersebut. 

Islam merupakan faktor utama dalam masyarakat Sasak. Seorang etnografis bahkan mengatakan bahwa “menjadi Sasak berarti menjadi muslim”. Meskipun pernyataan ini tidak seluruhnya benar (karena pernyataan ini mengabaikan populasi Sasak Boda).[5]  Namun sentimen-sentimen itu dipegangi bersama oleh sebagian besar penduduk Lombok karena identitas Sasak begitu erat kaitannya dengan identitas mereka sebagai muslim.

Islam sebagaimana ia dipraktekkan dan dipahami di Lombok menampilkan sejumlah variasi yang signifikan. Dalam tradisi keislaman masyarakat Sasak akan ditemukan dua varian Islam yaitu “Islam Wetu Telu (Waktu Tiga)” dan “Islam Waktu Lima”.[6]

Secara sederhana, Wetu Telu adalah orang sasak yang meskipun mengaku sebagai muslim, masih sangat percaya terhadap ketuhanan animistik leluhur (ancestral animistic deitis) maupun benda-benda antropomorfis (anthropomorphised inanimate objects). Sebaliknya, waktu lima adalah orang muslim sasak yang mengikuti ajaran syari’ah secara lebih keras sebagaimana diajarkan oleh al-Qur’an dan Hadis.

Sekilas terlihat dikotomi pola keberagamaan orang Sasak menjadi Waktu Lima dan Waktu Telu mungkin seperti dikotomi pola keberagaman orang jawa Islam Santri dan Islam Abangan. Erni Budiwanti mengatakan bahwa Islam Waktu Telu sebenarnya lebih mirip dengan Islam Abangan yang sering juga disebut sebagai secara formal, berdasarkan KTP semata atau Islam statistik. Sedangkan Waktu Lima mirip dengan Islam Santri yang taat menjalankan ibadah mahdah.[7] Namun tentu saja Islam Waktu telu di Sasak tidaklah sama persis dengan Islam Abangan di Jawa. Menurut hemat penulis, mungkin yang dimaksud kemiripan oleh Erni di sini adalah mirip atau samanya kedua varian Islam ini dalam hal lebih mengedepankan adat budaya lokal dalam pri kehidupan bermasyarakat maupun personal ketimbang ajaran syariat Islam yang murni. Sedangkan dalam detail pelaksanaan operasional tata kehidupan masyarakat Islam Waktu Telu Sasak berbeda jauh dengan Islam Abangan di Jawa. Jadi bisa dikatakan bahwa Islam Waktu Telu adalah khas adanya di Lombok, dan tidak ada di tempat lainnya.

C.    Tarik Ulur Adat dan Syariat

Proses asimilasi (pembauran) antara ajaran agama Islam dan adat budaya lokal (Sasak) pada masyarakat sasak memberikan hasil yang tidak seragam untuk tiap-tiap sebaran wilayah Pulau Lombok. Di suatu wilayah misalnya, adat terasa kental sekali, namun didaerah yang lain adat mulai terpinggirkan, baik oleh arus modernitas, maupun oleh  budaya lain, terutama ajaran agama -dalam hal ini agama Islam.

Untuk memetakan hasil asimilasi (tarik ulur) pada masyarakat sasak secara lengkap dan detail tentu sulit sekali, karena seluas penyebaran masyarakat sasak yang merata di seluruh penjuru Pulau Lombok, seluas itu pula perbedaan pri kehidupan sosialnya. Di daerah A misalnya dalam satu bidang, tata kehidupan sosialnya sama dengan daerah B dan berbeda dengan daerah C, namun di bidang yang lain malah daerah A sama dengan C, tetapi berbeda dengan daerah B, demikian seterusnya.

Namun secara sederhana, pemetaan umum dapat dilakukan sesuai dengan pen-dikotomi-an Islam sasak menjadi Islam Waktu Lima dan Islam Waktu Telu. Waktu telu dalam pelaksanaan operasional kehidupan sosial masyarakat sangat menjunjung adat yang sangat terpengaruh oleh budaya Hindu-Budha. Sampai-sampai siapa yang melihat tata kehidupan sosial masyarakat waktu telu, khususnya dalam ritual ibadah dan budayanya, jika tidak didahului oleh pengetahuan, tentu akan mengira bahwa masyarakat ini bukan penganut agama Islam.

Berbeda dengan Waktu Lima yang sedikit banyak ajaran Islam sudah menyerap ke segenap sendi kehidupan sosial dan personal mereka, meski tentu saja tidak paripurna, sebagaimana umumnya masyarakat muslim manapun di dunia ini dewasa ini.

Membaca dari apa yang ditulis sejarah, antara penganut Waktu Lima dan Waktu Telu selalu terlibat konflik. Masnun Tahir[8] menyebutkan bahwa Konflik ini mulai meruncing pada masa penjajahan Belanda. Gerakan pembaharuan Islam Waktu Lima mendapat perlawanan keras dari pribumi Sasak penganut Waktu Telu. Konflik ini semakin parah karena campur tangan Belanda. Setelah kemerdekaan RI (1950-1955), sebagian pengikut Waktu Telu yang berada di bawah naungan PKI dan sebagian lainnya berada di bawah naungan PIR (Partai Indonesia Raya) mendapat tekanan hebat dari pengikut Waktu Lima yang berada di bawah naungan Masyumi. Karena kedua kubu ini selalu berkonflik, maka setelah peristiwa G30 S PKI, Waktu Telu dinyatakan dilarang sebagai varian agama Islam oleh pemerintah. Maka secara hukum, sejak saat itu penganut Waktu Telu telah habis. Namun di beberapa tempat secara sembunyi-sembunyi praktik Waktu Telu masih dijalankan. Perkembangan terakhir menyebutkan bahwa Waktu Telu mengalami reinterpretasi. Waktu Telu tidak lagi berfungsi sebagai varian agama, namun hanya sebagai adat semata.

Jika dalam perkembangannya, Waktu Telu mengalami proses stagnasi, maka sebaliknya, Waktu Lima mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bahkan tidak berlebihan dikatakan bahwa hampir semua orang Islam Sasak sekarang ini adalah pengikut Waktu Lima, sehingga apabila dikatakan “orang Islam” tidak lain yang dimaksud adalan varian yang terakhir ini. Sebagai kelompok minoritas Islam Wetu Telu, baik secara langsung maupun tidak langsung keberadaannya semakin ditekan oleh tiga lapis “penindasan” sekaligus, yakni arus modernitas, penetrasi aktif dakwah Islamiyah yang tak kunjung surut, dan implikasi massif dari kebijakan politik khususnya program transmigrasi. Mereka yang tersisa kini kian terpencil diri komunitas besar etnis Sasak dan distigma sebagai segmen masyarakat yang “ketinggalan zaman” dan secara teologis “sesat” dan karenanya perlu didakwah.[9]

D.    ‘Merarik’ Sebagai Hasil Asimilasi antara Adat Sasak dan Islam

Bagi masyarakat Sasak, perkawinan bukan hanya ikatan antara dua individu dengan tugas dan tanggung jawab baru bagi pasangannya, tetapi  juga terdapat tanggung jawab sosiologis, yaitu tanggung jawab kedua orang yang mengikat tali perkawinan terhadap masyarakatnya. Oleh karena itu, perkawinan sebagaimana di masyarakat lain, bagi orang Sasak dianggap sebagai hal yang suci, sehingga dalam pelaksanaannya dilaksanakan dengan penuh hikmat, sakral dan pesta yang meriah. Salah satu bentuk perkawinan yang umum berkembang di masyarakat Sasak adalah ‘merarik’ (kawin lari).

Kata ‘merarik’ (melarikan) dalam gramatika bahasa Sasak dimaknai dan digunakan sebagai kata dengan pengertian yang sama dengan perkawinan atau pernikahan. Pada masyarakat Sasak secara umum menggunakan kata "melarikan" sebagai identifikasi bagi status perkawinan itu sendiri. Begitu kuat eksistensi budaya "kawin lari" ini, sehingga sudah menjadi bahasa baku yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat Sasak di seluruh lapisan sosial. Sampai di sini, terlihat dengan jelas seakan-akan laku budaya kawin lari telah menjadi kearifan lokal bagi komunitas Sasak.[10]

Kawin Lari dalam pengertian pelarian diri atau mencuri gadis dari pengawasan wali dan lingkungan sosialnya sudah terbentuk sebagai warisan budaya turun temurun bagi masyarakat Sasak secara umum. Sebagian masyarakat meyakini bahwa dengan melarikan diri atau mencuri si gadis dari pengawasan walinya, merupakan bukti nyata kesungguhan bajang (pemuda) Sasak untuk mempersunting si gadis.

Ada pertanyaan yang tersisa dari respon dan keyakinan masyarakat Sasak dalam adat perkawinannya ini. Bahwa apa hanya dengan lari bersama saja atau dengan mencuri si gadis dari pengawasan walinya saja, sebagai alternatif untuk membuktikan kelaki-lakian, keberanian, keseriusan untuk menjalankan hubungan dan jalinan bahtera rumah tangga nantinya?. Jawaban bagi pertanyaan ini direspon dengan narasi yang cukup humoris dan diplomatis bila dipertanyakan kepada orang Sasak atau kaum tua yang ada di Lombok saat ini. Kebanyakan dari mereka akan menjawab bahwa ketersinggungan luar biasa bagi mereka bila seorang lelaki yang ingin mempersunting anaknya dengan diminta atau dilamar (Sasak: lako’). Mereka menganalogikan perkawinan dengan melamar atau peminangan dirasakan sebagai penghinaan karena meminta anak gadisnya sama dengan meminta anak ayam atau barang saja. Dalam hubungan ini, Bartholomew menulis sebagai berikut:

”Pelarian diri kadang-kadang dianggap sebagai sebuah intisari praktik adat Sasak, meskipun sebenarnya praktik ini dipinjam dari orang-orang Bali. Pelarian diri merupakan praktik yang dihormati di daerah-daerah tertentu yang menekankan pelarangan meminta kepada seorang secara langsung atas anak perempuannya untuk dinikahi karena hal ini akan dianggap sebagai penghinaan terhadapnya, anak wanitanya dan keluarganya. Seorang laki-laki tua mengatakan kepada saya bahwa permintaan semacam itu nadanya sama dengan meminta seekor ayam.”[11]

Budaya kawin lari merupakan salah satu kultur tradisional bagi suku bangsa Sasak dari hasil asimilasi dan dialektika kebudayaan. Penjelasan yang mungkin diberikan dan penunjang popularitas tradisi ini adalah berkaitan dengan kenyataan bahwa raja-raja Bali pasca aneksasi dan orang-orang lain yang sangat berkuasa sering mengambil perempuan-perempuan Sasak sebagai gundik. Dengan melihat fenomena waktu itu, antisipasi para keluarga-keluarga Sasak sering mendorong anak wanitanya untuk lari bersama (melarikan) dengan laki-laki Sasak yang dicintainya. Secara psikologis gerak antisipatif masyarakat Sasak waktu itu tidak jauh dari upaya mempertahankan relasi endogamis ketimbang menjadi alat pemuas kekuasaan bagi perempuan Sasak waktu itu.[12]

Pemangku adat atau masyarakat Sasak umumnya menyatakan bahwa praktik budaya kawin lari merupakan hasil adopsi dari praktik budaya Bali. Bedanya adalah kemampuan suku bangsa Sasak untuk membuat inovasi baru bagi budaya kawin lari itu sendiri menjadi sebentuk identitas baru kebudayaan Sasak berdasar pada polesan ajaran Islam. Bila pada masyarakat Bali, pada prosesi melarikan gadis secara otomatis menjadi akad perkawinan bagi pasangan, sedangkan pada masyarakat Sasak proses itu hanya menjadi awal rentetan prosesi dari perkawinan, karena pelaksanaan akad nikah ala Islam menjadi keharusan untuk dilaksanakan. Selanjutnya, masyarakat Sasak menjalankan setiap rentetan seremoni perkawinan dilaksanakan dengan penuh hidmat dalam bingkai keislaman.[13]

E.     Pudarnya Pesona ‘Merarik

Sebelum Islam masuk ke Lombok, kepercayaan yang berkembang adalah Boda dengan kebudayaan yang sangat terpengaruh oleh budaya Bali, termasuk dalam hal perkawinan.[14] Kemudian Islam masuk ke Pulau Lombok yang kemudian mewarnai budaya yang telah ada di Lombok. Untuk dapat dterima oleh masyarakat suku Sasak, mengenai budaya Islam tidak prontal melarang dan merubah secara drastis budaya lokal saat itu, tetapi Islam memasukkan nilai-nilainya secara bertahap. Terhadap budaya yang tidak bertentangan nilai Islam, meskipun tidak di kenal dalam dunia Islam sebelumnya, Islam tidak membiarkannya tetap ada dalam masyarakat. Terhadap budaya yang bertentangan dengan nilai Islam, jika tidak memungkinkan untuk dapat langsung menghilangkannya, Islam berusaha masuk mewarnai budaya itu dan berusaha meminimalisir hal-hal yang tidak sesuai ajaran Islam dengan menggantinya dengan corak yang Islami. Ini dapat dilihat misalnya acara kumpul sembilan malam dari meninggalnya seorang warga yang dulunya diisi dengan minum minuman keras, berjudi, dan berbagai kegiatan terlarang lainnya, oleh Islam Sasak adat ini dipertahankan, hanya kegiatan yang dilakukan malam itu digantikan dengan membaca Surat Yasin, Zikir dan doa bersama untuk mayit.

Demikian pula dalam hal proses perkawinan ‘kawin lari’ yang sudah terlalu mengakar pada masyarakat Sasak, Islam tidak bisa langsung melarangnya, hanya berusaha memasukkan nilai-nilai Islam dalam proses perkawinan itu. Maka jadilah ‘merarik’ sebagai hasil dialektika kebudayaan antara Islam dengan kebudayaan Sasak yang sebelumnya diadopsi dari adat Bali.

Sebagai hasil dari dialektika kebudayaan, merarik tentu belum final. Tarik ulur masih akan terus berlangsung seiring perkembangan zaman, bukan hanya antara adat dan Islam sebagaimana pada awalnya, tetapi juga dengan unsur-unsur lain seperti modernitas, teknologi dan ilmu pengetahuan. Hal ini terbukti dengan mulai maraknya warga masyarakat suku Sasak, terutama di kota-kota dan yang terpelajar, mulai meninggalkan tata cara perkawinan kawin lari (merarik) ini.

Berdasarkan pengamatan, dalam pandangan masyarakat dewasa ini tentang perkawinan ‘merarik’, penulis mengklasifikasikan masyarakat sasak mnjadi tiga golongan, yakni:

Pertama, golongan yang masih setia memegang teguh tradisi kawin lari ini, dan akan sangat marah dan tidak terima apabila anak gadis atau keluarganya diminta (dilamar).

Kedua, golongan yang sama sekali meninggalkan tradisi kawin lari, dan beralih ke cara melamar (khitbah).

Ketiga, golongan pertengahan, yaitu mereka yang menggunakan kedua cara, yaitu khitbah dan kawin lari, dalam arti telah terjadi pembicaraan dan persetujuan keluarga kedua belah pihak untuk melangsungkan perkawinan, tetapi untuk menghormati adat dan masyarakat, sebelum terjadi akad si pemuda membawa si gadis pergi dari lingkungannya seolah-olah dilarikan.

F.     Faktor-faktor yang Menyebabkan ‘Merarik’ Mulai Ditinggalkan

Ada beberapa hal -menurut penulis- yang bertanggung jawab dalam hal mulai ditinggalkannya sistem perkawinan ‘merarik’ oleh warga Sasak. Diantaranya:

-          adanya fatwa atau dakwah tokoh agama (tuan guru) yang menentang  system perkawinan merarik,

-          meningkatnya kesadaran beragama masyarakat Sasak dan keinginan untuk melaksanakan syariat Islam di setiap lini kehidupan,

-          meningkatnya jumlah kaum terpelajar dan pendidikan,

-          masuknya modernitas ke Lombok,

-          banyaknya suku luar Lombok yang menetap di Lombok,

-          banyaknya orang Sasak yang merantau ke luar,

-          kesadaran masyarakat akan sisi negative kawin lari (merarik).

Pengaruh Tuan Guru dan Fatwanya Terhadap Sistem Perkawinan ‘Merarik’

Masyarakat Sasak adalah masyarakat religius, yang kehidupan sehari-harinya dibalut oleh semangat keagamaan. Horison ini, pada gilirannya mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap realitas di sekitarnya. Misalnya masyarakat lebih percaya pada institusi sosial yang berbasiskan keagamaan seperti ulama (Tuan Guru) dibandingkan lainnya.

Eksistensi tuan guru sebagai tokoh dan pilar stabilitas pembangunan di pulau Lombok memainkan peran yang sangat signifikan. Mereka terkenal karena kontribusi dan keterlibatannya yang sangat intensif baik dalam pengembangan dakwah maupun permainan politik kekuasaan (sebelum dan sesudah kemerdekaan). Para Tuan Guru mendapatkan pengakuan kuat di tengah-tengah kehidupan masyarakat karena pengabdian dan perjuangan mereka dalam membumikan Islam di Lombok, baik lewat jalur tasawuf, dakwah bi lisan (tablig), pengembangan pesantren maupun pergerakan sosial lainnya.

Kemudian pada perkembangannya, para tuan guru tidak hanya mendapatkan posisi penting pada aspek spiritual, tetapi juga pada aspek adat duniawi. Para tuan guru oleh masyarakat memiliki legitimasi untuk memberikan wejangan, petunjuk dan petuah dalam segala aspek kehidupan masyarakat, tidak ketinggalan pada ranah kebudayaan dan bahkan komitmen politik. 

Dengan eksistensinya golongan elit keagamaan (tuan guru) pada masyarakat Sasak, sistem sosial barupun muncul dengan tuan guru sebagai agen petuah dan penunjuk bagi pola budaya dan tingkah laku yang harus dilakukan oleh masyarakat Sasak dalam menjalankan rutinitas kehidupannya. Tokoh-tokoh agama memberikan pencerahan baru bagi perubahan pemahaman masyarakat dalam memaknai dan memposisikan adat dalam prikehidupan mereka. Adat menurut tuan guru dan tokoh agama merupakan artikulasi interpretasi nilai-nilai agama yang termaktub dalam sumber ajaran Islam dan ijtihad-ijtihad ulama fiqh Islam. Interpretasi baru adat ini sedikit tidak menyebabkan reposisi kompetensi tokoh adat dalam mengatur tata kehidupan bermasyarakat sehingga ketergantungan kuat terhadap tokoh adat menjadi berkurang dan memunculkan dialektika yang dinamis antar individu dan kelompok masyarakat.

Dalam konteks dinamika sosial masyarakat Sasak, para tuan guru hadir tidak hanya memainkan peran sebagai “makelar budaya" (cultural broker), tetapi lebih jauh juga berperan sebagai kreator aktif bagi perubahan sosial, yakni tuan guru memperkenalkan anasir sistem luar dan menggerakkan perubahan dalam masyarakat. Sebagai makelar budaya, berupaya mengaitkan dunia kecil pesantren atau komunitas atau diri dengan dunia luar. Mereka mengawasi (juga melangsungkan) parochialization atas nilai-nilai universal yang merambah dunia kecil dan melakukan universalisasi atas nilai-nilai lokal ke dunia luar. Sementara sebagai aktor kreatif dari dinamika sosial, para tuan guru secara relatif efektif menjadi figur panutan atau patron masyarakat. Untuk hal terakhir ini, mereka benar-benar tampil sebagai penentu cetak-biru (blue-print) wacana keagamaan di Lombok.[15]

Menurut Jhon Ryan Bartholomew, sejumlah ahli etnografi dan sejarawan yang melakukan penelitian di Lombok lebih dari tiga puluh tahun yang lalu mencatat kekuasaan tuan guru di Lombok. Wawancara-wawancara yang dilakukan kepada pemerintah dan para pengembang swasta tanpa terkecuali menyatakan bahwa semua proyek pembangunan haruslah disetujui oleh tuan guru bila ingin segala sesuatunya berjalan dengan baik. Tuan guru secara tipikal menggunakan symbol-simbol kekuasaan Sasak sebagai penopang pengikut dan klaim legitimasinya.[16]

Melihat begitu krusialnya posisi Tuan Guru di tengah kehidupan masyarakat Sasak, maka tentu tidak mengherankan bila fatwa-fatwanya ikut mewarnai corak kehidupan kebudayaan masyarakat sasak. Demikian juga dalam hal perkawinan, fatwa dari para Tuan Guru ikut bertanggung jawab dalam hal mulai ditinggalkannya praktik system perkawinan merarik ini.

Mungkin yang pertama kali secara tegas melarang praktik kawin lari (merarik) lewat fatwanya adalah TGH. Saleh Hanbali Bengkel. Beliau yang menganggap kawin lari ini sebagai manifestasi Hinduisme (Bali), serta tidak sesuai dengan ajaran Islam.[17]

Menurut Masnun Tahir, pertimbangan para tuan guru untuk menyatakan bahwa praktik kawin lari Sasak tersebut dari perspektif hukum Islam tidak benar adalah diantaranya praktik kawin lari lebih cenderung untuk berpotensi tidak baik dan kurang menguntungkan serta mengandung bahaya yang dapat mengancam jiwa dan menimbulkan permusuhan baik antara pelaku pelarian dengan keluarga perempuan ataupun dengan para beraye. Oleh karena itu keberadaannya juga perlu dikaji ulang untuk menutup atau sekurang-kurangnya memperkecil peluang bagi terjadinya berbagai perbuatan yang dapat mengancam kemaslahatan. Dalam perspektif hukum Islam, permasalahan hukum seperti ini disebut sadd al-zari'ah. Sadd alzari'ah dalam tradisi hukum Islam biasa diterjemahkan dengan meniadakan atau menutup suatu jalan (sarana) yang dapat membawa kepada perbuatan yang dilarang. Dalam hukum Islam, sadd al-zari'ah dipandang sebagai salah satu sumber hukum Islam.[18]

Selain itu, ajaran Islam yang mengatur tentang pernikahan secara eksplisit menyatakan bahwa seorang laki-laki harus melakukan peminangan (khitbah) secara resmi kepada ayah gadis bila ingin menikahinya. Karena alasan ini saja merarik adalah tidak Islami.

Pengaruh Meningkatnya Kesadaran Keagamaan Masyarakat Sasak.

Seperti halnya kebanyakan orang Islam di Indonesia, umat Islam Sasak umumnya -terlepas dari komunitas Watu Telu-, mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang mengenal syariat Islam dari sudut pandang fiqh menggunakan fiqh Syafi’iyah, dan dari tinjauan tauhid menganut teologi Asy’ariyah. Umat Islam Sasak, seperti juga kebanyakan orang Islam, sering diasosiasikan sebagai tradisionalis yang bercorak formalis-simbolis dan formal-ritual karena lebih menekankan ibadah formal atau ritual dalam arti sempit (ibadah mahdah) sebagai standar utama dalam mengukur kadar keberagamaan, kesalehan dan bahkan keimanan seseorang. Ini berlawanan dengan Islam yang bercorak substantif-fungsional yang melihat Islam secara lebih komprehensif dan tidak terbatas pada ibadah dalam arti sempit. Asumsi ini diperkuat oleh Muhammad Husni yang mengatakan bahwa aspek syari’ah (hukum Islam) yang dihayati dan diamalkan masyarakat Islam Lombok, tampaknya masih sangat terbatas pada segi-segi ajaran agama yang bersifat seremonial, sehingga tampaknya mereka berpandangan bahwa itulah keseluruhan agama. Akibatnya adalah lahirnya berbagai kepincangan dalam tata pergaulan masyarakat, baik yang berkaitan dengan hukum Islam maupun yang berkaitan dengan aspek-aspek ajaran Islam lainnya.[19]

Dari sisi ini, harus diakui bahwa proses mengislamkan masyarakat Islam Sasak memang belum maksimal dan belum paripurna. Tugas para tuan guru, cendikiawan dan para pendakwahlah untuk menyempurnakan pemahaman masyarakat terhadap Islam, supaya tidak hanya dipandang sebatas ritual seremonial, tetapi menyangkut segenap aspek kehidupan, termasuk dalam proses perkawinan.

Banyaknya tuan guru dan bejibunnya pondok pesantren di Lombok, serta maraknya majlis taklim dan pengajian-pengajian umum di masyarakat, sedikit tidak tentu akan memberi bekas pada pemahaman keagamaan masyarakat sasak. Dalam hal perkawinan merarik misalnya, mungkin tidak dapat merubah masyarakat mau meninggalkannya secara signifikan, tetapi setidaknya lama kelamaan akan melunturkan fanatisme masyarakat terhadap kawin lari ini.

Dalam perkembangan terakhir, konstruksi kesadaran beragama umat Islam di Lombok banyak dipengaruhi oleh elitnya yaitu tuan guru. Sebagai elit terdidik di masyarakat, tuan guru memberikan pengetahuan Islam kepada masyarakat, di samping itu juga diyakini memiliki otoritas yang sangat besar dan kharismatik. Hal ini, karena tuan guru adalah orang suci yang dianugerahi “berkah”, tipe otoritas ini berada “di luar” dunia kehidupan rutin dan profan sehari-hari. Otoritas tuan guru dalam hubungannya dengan masyarakat telah dibentuk oleh kepedulian dan orientasinya pada kepentingan-kepentingan umat Islam. Tipe kharismatik yang melekat pada diri kyai adalah karunia yang diperoleh dari kekuatan Tuhan.[20]

Melihat begitu fanatiknya masyarakat sasak terhadap tuan gurunya, meminta pendapatnya dalam segenap masalah akhirat dan dunianya, sudah barang tentu jika para tuan guru tidak setuju dengan system perkawinan merarik, dan ini ditularkan lewat pengajian-pengajian mereka kepada masyarakat luas, maka masyarakat sasakpun sedikit demi sedikit akan mengikuti pola fikir dari tuan gurunya. Ini dapat dilihat di desa Bengkel setelah TGH. Salih Hanbali melarang praktik perkawinan merarik ini.

Pengaruh Meningkatnya Jumlah Kaum Terpelajar dan Berpendidikan

Banyaknya pondok pesantren yang berkembang di Lombok di satu sisi, dan dorongan pemerintah dalam meningkatkan sektor pendidikan di sisi lain, melahirkan generasi muda yang berpendidikan. Generasi yang punya pola fikir berbeda dengan generasi sebelumnya yang sangat terikat adat. Generasi yang alam cakrawala berpikirnya telah berkembang dan terbuka terhadap ide-ide dan pemikiran luar, yang tentunya sedikit tidak akan berpengaruh terhadap pandangan mereka terhadap budaya sendiri, termasuk terhadap tata cara perkawinan.

Kaum terpelajar yang dimaksud di sini bukan hanya yang menguasai Ilmu Agama, tetapi secara umum yang telah mengecap pendidikan tinggi di semua bidang pendidikan. Karena yang terlihat lebih banyak mulai meninggalkan adat merarik dalam perkawinannya adalah mereka-mereka yang sudah mengecap pendidikan tinggi (para sarjana) di samping para ustadz dan para da’i.

Jika hal ini terus berlangsung ke masa depannya, generasi berganti, kaum tua yang erat memegang adat telah berkurang dan bahkan habis, digantikan kaum muda terpelajar yang tidak lagi fanatik terhadap adat, maka bisa diprediksikan eksistensi dari perkawinan merarik ini akan berkurang, bahkan bisa jadi akan punah.

Pengarauh Masuknya Arus Modernisasi ke Lombok

Tidak dapat disangkal lagi bahwa arus modernisasi yang melanda dunia sangat besar andilnya dalam member perubahan pada budaya semua daerah di seluruh dunia termasuk terhadap Suku Sasak di Lombok. Pengaruh yang ditimbulkan bisa berupa pengaruh positif dan juga pengaruh negatif.

Sebagai unsur modernitas, tayangan televisi, internet dan alat informasi modern lainnya sangat memberi bekas pada masyarakat. Ini dapat dilihat pada pola hidup masyarakat sekarang dibandingkan dengan masyarakat dulu, dari hal cara berpakaian, cara bergaul, sampai nilai-nilai moral masyarakat. Jika ada yang tidak terpengaruh dalam kegiatan hidup sehari-hari, tetapi paling tidak hal ini memberi bekas pada pandangan mereka terhadap budaya peninggalan nenek moyang mereka, termasuk dalam hal tata cara perkawinan.

Pengaruh Migrasi Suku Luar ke Lombok dan sebaliknya

Dari sejak zaman dahulu, perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lainnya sudah lumrah terjadi. Dewasa ini mobilitas migrasi penduduk ini semakin intens disebabkan tempat tugas, lapangan kerja, atau lainnya.

Seseorang yang migrasi ke daerah lain, biasanya akan membawa budaya asalnya ke daerah barunya, apalagi kalau sudah membentuk suatu komunitas masyarakat, seperti Kampong Jawa, Kampung Arab, atau Pecinan. Budaya yang dibawa ini ketika berbenturan dengan budaya lokal maka akan terjadi tarik ulur, yang akan menimbulkan akulturasi, asimilasi atau sintesis budaya.[21]

Banyaknya suku-suku luar yang memilih Lombok sebagai tempat tinggal mengakibatkan berbaurnya budaya Sasak dengan budaya luar yang pada akhirnya tentu akan berdanpak pada budaya sasak itu sendiri, termasuk pada system perkawinan.

Dalam sistem perkawinan, berbaurnya suku-suku mengakibatkan tarik ulur antar dua budaya tidak mungkin dihindari, terlebih jika terjadi perkawinan antar suku yang berbeda adat istiadatnya, misalkan suku Sasak dengan suku Jawa. Kompromi budaya tidak bisa tidak harus terjadi. Dan hal ini pada akhirnya akan membawa imbas pada sistem perkawinan sasak merarik.

Demikian juga dengan banyaknya orang sasak yang merantau keluar, tinggal cukup lama di daerah luar, menyaksikan dan kadang-kadang ikut terjun melaksanakan budaya luar tersebut, tentu hal itu akan berpengaruh terhadap cara pandangnya terhadap budaya sendiri. Dan ketika dia pulang kembali ke Lombok, cara pandang ini akan ia tularkan ke masyarakat sekitar, atau paling tidak terhadap anggota keluarganya sendiri.

Pengaruh Timbulnya Kesadaran Masyarakat akan Dampak Negatif Kawin Lari

Menurut penulis, faktor inilah sebenarnya yang paling penting dalam masalah mulai ditinggalkannya tradisi kawin lari (merarik) oleh sebagian warga sasak. Sedangkan fatwa tuan guru, tingginya jenjang pendidikan, pengaruh pembauran kebudayaan dan lainnya hanya menjadi penyebab bagi terciptanya kesadaran masyarakat Sasak akan dampak negatif kawin lari ini, disamping dampak positifnya.

Pada awalnya kawin lari ‘merarik’ terkesan menjadi sebentuk simplifikasi pilihan dalam sikap yang menggunakan legalitas adat sebagai instrumen pencapaian keinginan. Karena pilihan yang lain seperti perkawinan dengan meminang atau belako’ terkadang cukup memberatkan dan membutuhkan modal dan kesiapan psikologis yang harus ditanggung oleh calon mempelai pria. Kemungkinan lamaran ditolak dan tidak disetujui oleh wali perempuan, perbedaan status sosial (kafa’ah), syarat-syarat persetujuan dan lainnya yang harus dipenuhi oleh pelamar tidak kalah sering terasa memberatkan pihak laki-laki, maka lari bersama menjadi pilihan tepat bagi satu pasangan. Di samping mudah dalam penyelesaian masalah-masalah dalam proses perkawinan, juga mempermudah persetujuan wali (bila tidak ada ketentuan adat yang mengikat).

Hal ini disebabkan karena dalam adat perkawinan Sasak bila dua pasangan sudah melarikan diri akan menjadi keharusan bagi pihak wali perempuan untuk menyetujuinya. Bila tidak maka akan menjadi aib bagi keluarga yang dikesankan menyalahi adat.

Mungkin hal inilah yang menjadi dampak fositif dari tradisi kawin lari (merarik) bagi suku Sasak. Namun jika ditelisik lebih dalam, justru dibalik kesan positif inilah terdapat hal-hal negative yang perlu dikaji untuk dijadikan bahan pertimbangan. Pertama, dikatakan perkawinan dengan tradisi kawin lari relative lebih ringan dibandingkan dengan meminang yang cukup memberatkan dan membutuhkan modal dan kesiapan psikologis yang harus ditanggung calon mempelai pria. Menurut penulis, justru disinilah kekurangan kawin lari, karena pernikahan dianggap suatu yang gampangan, yang bisa dilaksanakan tanpa modal dan kesiapan matang, hal yang bertanggung jawab penuh pada ketidakharmonisan rumah tangga nantinya. Kekurangsiapan kedua mempelai dalam membina rumah tangga inilah yang mengakibatkan banyak rumah tangga di Lombok berakhir dengan perceraian, yang akan menyisakan persoalan-persoalan baru yang bersifat sosiologis maupun psikologis.

Kedua, dikatakan kawin lari akan mempermudah persetujuan wali karena wali dianggap menyalahi adat jika tidak menyetujui pernikahan anak perempuannya yang sudah dibawa lari oleh seorang lelaki. Menurut penulis, ini juga bentuk kelemahan dari kawin lari, karena persetujuan wali untuk mengawinkan anak (mauliyah)-nya adalah didasari keterpaksaan dan bukan atas kerelaan hati. Apalagi jika calon mempelai pria sebenarnya tidak disukai oleh keluarga perempuan dikarenakan tabiat dan tingkah lakunya yang tidak sesuai moral atau agama. Perkawinan yang tidak berdasarkan restu secara tulus ini akan mengakibatkan retaknya hubungan antara pengantin dengan pihak keluarga perempuan maupun pihak keluarga pria. Perkawinan yang semestinya tidak hanya mengikat dan mempersatukan kedua mempelai tetapi juga mempersatukan kedua kelaurga besar dari mempelai, malah menjadi benih permusuhan dan perpecahan diantara kedua keluarga besar mempelai.

Gambaran di atas memperlihatkan bahwa meskipun dalam beberapa hal kawin lari Sasak memperlihatkan adanya kesesuaian dengan ketentuan syara’ sebagi buah dari kompromi adat Sasak dulu yang mengadopsi adat Bali dengan ketentuan agama Islam, namun dimensi pertentangannya baik dari sudut normatif ataupun kemaslahatan juga tidak sedikit.

G.    Masa Depan ‘Merarik’

Melihat phenomena perubahan sosial masyarakat sasak dan semakin menggeliatnya faktor-faktor penyebab ‘merarik’ mulai ditinggalkan dalam proses perkawinan suku sasak, jika tidak ada usaha untuk melestarikan tradisi ini, baik oleh pemerintah maupun dewan adat, tidak menutup kemungkinan ‘merarik’ hanya akan tinggal kenangan generasi selanjutnya, atau hanya tersisa dalam catatan buku sejarah.

Usaha yang mungkin bisa dilakukan untuk mempertahankan eksistensi adat ‘merarik’ atau setidaknya memperlambat proses tereliminasinya dari corak kehidupan masyarakat sasak pada umumnya adalah dengan memperhatikan dan menjaga desa-desa adat sebagai cagar budaya atau museum adat.

Namun menurut penulis, usaha apapun yang dilakukan tidak akan sanggup untuk membendung perubahan yang mesti terjadi, sebentar atau lama perubahan itu pasti akan datang, dan usaha yang dilakukan hanya berfungsi memperlambat proses perubahan dan bukannya menghalanginya.



H.    Simpulan

Tradisi perkawinan ‘merarik’ merupakan sistem perkawinan yang umum dilakukan masyarakat suku Sasak di Lombok. Tradisi ‘merarik’ merupakan hasil proses asimilasi kebudayaan Sasak yang diadopsi dari suku Bali dengan ajaran syariat Islam. Meskipun begitu, oleh para pemuka agama Islam, praktik merarik dianggap masih bertentangan dengan aturan Islam, baik dari sudut normatif maupun maslahat.

Belakangan ini tradisi ‘merarik’ mulai ditinggalkan oleh sebagian warga suku Sasak dikarenakan fatwa para tuan guru yang melarang, meningkatnya kesadaran keagamaan  dan pendidikan masyarakat sasak, pengaruh modernitas, migrasi penduduk dan adanya sisi negative dari kawin lari.

*** *** ***

Daftar Pustaka

Abd. Syakur, Ahmad, Islam dan Kebudayaan; Akulturasi Nilai-Nilai Islam dalam Budaya Sasak, Yogyakarta: Adab Press, 2006.

Bartholomew, John Ryan, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, terj. Imron Rosyadi, Yogyakarta: Tiara wacana, 2001.

Budiwanti, Erni, ”The Impact of Islam on the Religion of the Sasak in Bayan, West Lombok” dalam Kultur Volume I, No.2/2001.

Budiwanti, Erni, Islam Sasak; Wetu Telu Versus Waktu Lima, Yogyakarta: LKiS, 2000.

Husni, Muhammad, "Kajian terhadap Kebudayaan Lombok Dewasa Ini: Tinjauan dari Perspektif Hukum Islam", makalah diskusi perdana Forum Studi dan Komunikasi Mahasiswa Lombok (FOSKOMAL), di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 5 November 1990

Noor, Muhammad, Muslihan Habib dan Muhammad Harfin Zuhdi, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004.

Tahir, Masnun, Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008

Taisir, M., Kawin Lari dalam Masyarakat Sasak Perspektif Hukum Islam, Tesis tidak diterbitkan pada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,

Turner, Bryan S., Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisa atas Tesa Sosiologi Weber, Jakarta: Rajawali, 1984.
Wikipedia, ensiklopedia bebas (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya)


[1] Erni Budiwanti, Islam Sasak; Wetu Telu Versus Waktu Lima (Yogyakarta: LKiS, 2000), 6.
[2] Masnun Tahir, Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok, Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I , 2008,  86. (ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/jurnal/05-masnun.pdf)
[3] Erni Budiwanti, Islam Sasak..., 6.
[4] Muhammad Noor, Muslihan Habib dan Muhammad Harfin Zuhdi, Visi Kebangsaan Religius Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004), 79.
[5] Boda merupakan kepercayaan asli orang Sasak sebelum kedatangan pengaruh asing. Orang Sasak pada waktu itu, yang menganut kepercayaan ini, disebut Sasak Boda. Agama Sasak Boda ini ditandai oleh Animisme dan Panteisme. Pemujaan dan Penyembahan roh-roh leluhur dan berbagai dewa lokal lainnya merupakan fokus utama dari praktek keagamaan Sasak Boda. Lihat Erni Budiwanti,”The Impact of Islam on the Religion of the Sasak in Bayan, West Lombok” dalam Kultur Volume I, No.2/2001, 30.
[6] John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, terj. Imron Rosyadi, (Yogyakarta: Tiara wacana, 2001), 86.
[7] Erni Budiwanti, Islam Sasak…,  1.
[8] Masnun Tahir, Tuan Guru…., 89.
[9] Dalam tulisannya Masnun tidak begitu setuju dengan segala usaha untuk memurnikan syariat Watu Telu, termasuk dengan berdakwah. Menurutnya keyakinan Islam yang bernuansa lokal ini harus dipertahankan dari keter-marginalkan, karena itulah bukti pluralitas keagamaan dalam Islam. Meski kemudian dalam kalimat selanjutnya dia  menulis “…beralihnya Orang Sasak dari Boda (sinkretisme Hindu-Budha) menjadi Islam, kemudian dari muslim sinkretis dan nominal –disebut Wetu Telu- menjadi Islam yang sempurna – Waktu Lima- …”. Sesuatu yang secara tidak langsung mengakui ketidak sempurnaan Islam Wetu telu. Dan jika tidak sempurna, bukankah kewajiban semua muslim untuk menyempurnakannya?. (Lihat Masnun Tahir, Tuan Guru…., 90-91)
[10] Masnun Tahir, Tuan Guru…., 93.
[11] John Ryan Bartholomew, Alif lam Mim .., 195.
[12] Masnun Tahir, Tuan Guru…., 93.
[13] M. Taisir, Kawin Lari dalam Masyarakat Sasak Perspektif Hukum Islam, Tesis tidak diterbitkan pada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 45.
[14] Lihat Erni Budiwanti, The Impact of Islam on the Religion of the Sasak in Bayan, West Lombok, dalam Kultur Volume I, No.2/2001, 30.
[15] Masnun Tahir, Tuan Guru….,  96.
[16] Jhon Ryan Bartholomew, Alif Lam …, 104
[17] Ahmad Abd. Syakur, Islam dan Kebudayaan; Akulturasi Nilai-Nilai Islam dalam Budaya Sasak, (Yogyakarta: Adab Press, 2006), 184.
[18] Masnun Tahir, Tuan Guru…., 96.
[19] Muhammad Husni, Kajian terhadap Kebudayaan Lombok Dewasa Ini: Tinjauan dari Perspektif Hukum Islam, makalah diskusi perdana Forum Studi dan Komunikasi Mahasiswa Lombok (FOSKOMAL), di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 5 November 1990, 4.
[20] Bryan S. Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisa atas Tesa Sosiologi Weber (Jakarta: Rajawali, 1984), 168-169.
[21] Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli. Lihat  wikipedia, ensiklopedia bebas (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar