Rabu, 08 Maret 2017

SADRANAN DAN PADUSAN (Tradisi Masyarakat Klaten untuk Menyambut Ramadhan)


SADRANAN DAN PADUSAN

(Tradisi Masyarakat Klaten untuk Menyambut Ramadhan)

Oleh : Tuti AHK

A.    Pendahuluan

Indonesia kaya akan variasi tradisi/budaya, baik yang sifatnya kedaerahan, keagamaan, maupun perpaduan keduanya. Namun seiring dengan perkembangan zaman juga pergantian generasi, tradisi itu sudah banyak mengalami perubahan atau pergeseran dari makna sosiologisnya yang asli. Kendati demikian, tidak sedikit suatu wilayah tertentu masih tetap mempertahankan adatnya yang murni sebagai peninggalan nenek moyang dan sangat protektif terhadap pengaruh luar. Pada puncaknya budaya tersebut akan bisa menjadi ciri dan kebanggaan daerah, bahkan sering prosesi ritualnya kemudian menjadi aset wisata.

Di Klaten,[1] ada satu tradisi yang dinamakan dengan Sadranan dan Padusan.[2] Dua hal dalam satu rangkaian acara yang diselenggarakan sekali setiap tahun pada bulan Sya’ban (Ruwah dalam kalender Jawa) oleh masyarakat muslim untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.[3]  Kemeriahan Sadranan hampir sama dengan lebaran, bahkan di beberapa desa ada yang justru lebih ramai dibanding Idul Fitri.

Menurut pengalaman pemakalah yang lahir dan besar di Klaten, keunikan Sadranan dan Padusan pada tiap-tiap desa cenderung tidak ditemukan adanya perbedaan, bahkan antar kecamatan pun relatif sama. Misalnya ada beda itu terletak pada kekuatan keyakinan masyarakat sehubungan dengan nilai mistis, aliran spiritual, dan khusus untuk Sadranan tanggal pelaksanaannya dapat berlainan,[4] sedangkan teknik acaranya sangat mirip.[5] Kendati di Klaten terdapat sejumlah tradisi lokal yang menarik,[6] namun makalah ini hanya akan menyajikan uraian singkat tentang keadaan sosiologis terkait judul sebagaimana tersebut di atas.     

B.     Sadranan

Sadranan atau sering disebut Nyadran saja berasal dari bahasa jawa yang artinya berziarah.[7] Pada hari itu sudah bisa dipastikan makam-makam akan dibanjiri orang. Nyadran juga berarti membersihkan tempat makam sekaligus mengirim doa untuk leluhur di setiap bulan Ruwah (kalender Jawa) atau Sya’ban dalam kalender Hijriyah. Kata Ruwah sendiri memiliki akar kata arwah atau roh para leluhur. Kabarnya dari arti kata arwah itulah yang menjadikan bulan Ruwah sebagai bulan untuk mengenang sekaligus mendoakan para leluhur.[8]

Secara umum yang terjadi di Klaten, pada mulanya Nyadran dilakukan ke makam tokoh masyarakat yang sangat dihormati maupun nenek moyang keturunannya. Namun kini, beberapa masyarakat hanya berziarah ke makam famili atau sanak saudaranya. Dalam prosesi Nyadran biasanya para peziarah membawa tiga jenis bunga, yaitu bunga kantil, kenanga, dan mawar. Setiap bunga memiliki makna tersendiri. Kantil agar hati peziarah terkait dengan orang yang sudah meninggal, kenanga merupakan tanda supaya semua kenangan selalu diingat, serta mawar sebagai permohonan semoga dosa arwah dihapuskan. Para peziarah kadang-kadang juga membakar kemenyan yang dianggap sebuah simbol keagungan. Asap kemenyan yang membumbung tinggi diyakini sebagai perumpamaan doa peziarah ke atas sehingga menghubungkan diri kepada Tuhan dan itu adalah simbol perjalanan doa peziarah mudah-mudahan bisa diterima. Selain tiga bunga tadi, biasanya prosesi Nyadran diwarnai beberapa makanan sebagai sesajen yakni apem dan ketan.[9] Kedua makanan ini juga memiliki makna tersendiri. Ketan menjadi lambang untuk merekatkan hubungan persaudaraan (ketan: ikatan). Semua orang datang bersama-sama dan merapatkan garis sosial. Sedangkan apem sebagai bentuk dari berharap  memperoleh ampunan (apem: ‘afwun; ampunan), dan melalui ritual itu peziarah akan bisa ingat kepada Tuhan. Kemudian acara Nyadran akan berakhir dengan makan bersama dengan saling menukarkan makanan yang dibawa oleh setiap keluarga.[10]

Pada saat Nyadran sesungguhnya bukan berziarah/besik saja atau tidak sesederhana itu.[11] Kendati berziarah bisa dikatakan sebagai acara inti, namun suasana Nyadran sering dibarengi dengan acara macam-macam dan akan menjadi terasa tidak lengkap jika ditinggalkan. Adapun rangkaian kegiatan Nyadran yaitu:

1.      Penentuan tanggal

Di Klaten,[12] Nyadran dilaksanakan mulai Ruwah tanggal 18 dan terakhir tanggal 29,[13] sehingga kemudian muncul istilah Nyadran wolulas (18), Nyadran songolas (19), Nyadran rongpuluh (20), Nyadran selikur (21), Nyadran rorikur (22), Nyadran telulikur (23), Nyadran patlikur (24), Nyadran selawe (25), Nyadran nemlikur (26), Nyadran pitulikur (27), Nyadran wolulikur (28), dan Nyadran songolikur (29). Desa yang satu dengan desa yang lain waktu Nyadran bisa sama juga bisa berbeda-beda, yang jelas memilih salah satu hari dari 12 hari Nyadran tersebut, tetapi konon Nyadran yang terbesar adalah Nyadran rongpuluh dan Nyadran selawe. Dan hanya sedikit desa yang dalam waktu 12 hari tersebut melaksanakan Nyadran dua kali di hari dan tanggal yang berbeda.

Penentuan kapan suatu desa akan melaksanakan Nyadran hampir tidak ditemukan dasar landasannya, kiranya semula merupakan kesepakatan dari seluruh anggota masyarakat desa tersebut yang kemudian diteruskan secara turun-temurun. Sebagai contoh: (1) Desa Tarubasan dan Desa Troso Kecamatan Karanganom, juga Desa Karanggotan Kecamatan Jatinom Nyadran rongpuluh; (2) Desa Meger Kecamatan Ceper Nyadran rorikur, demikian juga Desa Dlanggon dan Desa Kunden Kecamatan Karanganom; (3) Desa Kadirjo Kecamatan Karanganom Nyadran nemlikur; (4) Desa Karangan Kecamatan Karanganom, Desa Gedaren Kecamatan Jatinom, juga Desa Tegalyoso Kecamatan Klaten Selatan Nyadran selawe; (5) Desa Beku Kecamatan Karanganom Nyadran telulikur; (6) Desa Mudal Kecamatan Klaten Utara Nyadran pitulikur; dan (7) Desa Wanglu Kecamatan Trucuk Nyadran selikur.

2.      Masak-memasak

   Hampir semua rumah atau setiap kepala keluarga melakukan masak-memasak yang lebih banyak dan komplit dari hari-hari biasanya pada satu hari sebelum hari Nyadran-nya, sehingga pasar-pasar tradisional ramai dikunjungi pembeli, dan harga-harga kebutuhan dapur pun mengalami kenaikan. Meningkatnya permintaan konsumen diikuti dengan membludaknya pembeli diistilahkan dengan prepegan.[14] Fenomena itu disertai juga dengan munculnya pedagang musiman yang menjual bunga mawar atau bahan-bahan untuk keperluan besik, bisa di dalam pasar atau di pinggir-pinggir jalan dekat pasar.

Sebenarnya tidak ada menu khusus yang harus dihidangkan di hari Nyadran, atau pada dasarnya terserah pada selera saja, tetapi tanpa perjanjian rata-rata bahan yang dimasak sama dan jenis masakannya pun seringnya sama juga. Dari segi lauk yang hampir semua memasaknya adalah sambel goreng,[15] ayam,[16] telur,[17] tahu-tempe,[18] thontho,[19] mie goreng, peyek,[20] dan krupuk udang. Kemudian dari segi kue ada jadah[21] dan apem.[22] Selain itu, masih ada buah-buahan yang dikategorikan sebagai jajan pasar. Selebihnya kalau ada tambahan macam menu dan aneka jenis kue itu terserah masing-masing sesuai keinginan dan kemampuan ekonomi keluarga tersebut. Seandainya makanan-makanan itu bermakna, maka untuk saat ini sudah sangat sulit digali maknanya,  kecuali ketan dan apem seperti yang sudah dijelaskan di atas. Dan kiranya jenis makanan tersebut menjadi bagian tradisi yang sesuai dengan selera lidah orang Klaten saja.   

3.      Weweh

Selesai memasak, kemudian di keesokan harinya (yaitu pada tanggal Nyadran yang sudah ditetapkan di desanya) pagi-pagi ada acara weweh ke sanak saudara atau kerabat keluarga dekat yang ada di desa lain atau kecamatan lain yang kebetulan tanggal Nyadran-nya berbeda. Walaupun beda desa tetapi kalau tanggal Nyadran-nya sama, maka tidak diteri atau tidak diwewehi makanan.[23] Makanan yang di-weweh-kan sesuai dengan apa yang dimasak. Jadi, jika hari ini suatu keluarga diteri oleh saudaranya yang di lain desa, maka di hari lain (waktu desanya Nyadran) suatu keluarga tersebut gantian ngeteri/mewehi.[24]

Ter-teran atau saling memberi/antar makanan tersebut sebagai bentuk sedekah guna lebih merekatkan persaudaraan. Selain itu, menjadi tanda kerukunan dan kebersamaan sesama saudara dalam satu keturunan/nenek moyang. Jika dua keluarga masih bersaudara (tetapi berlainan desa dan tanggal Nyadran-nya) terlihat tidak saling ngeteri, maka itu bisa menjadi indikasi bahwa persaudaraan mulai renggang atau keduanya ada masalah, sehingga ada istilah pangan nyerakke paseduluran (makanan mendekatkan pesaudaraan).           

4.      Besik

 Besik umumnya dimulai siang hari setelah dhuhur.[25] Warga masyarakat berbondong-bondong pergi ke makam dan masing-masing keluarga membawa makanan komplit (nasi, lauk-pauk, dan kue)[26] yang disebut dengan ambeng untuk kenduren (kenduri), serta sarana besik (bunga mawar).[27] Orang yang datang bukan hanya warga setempat, tetapi juga dihadiri oleh warga dari desa lain yang dulunya lahir di desa tersebut atau ada keluarganya yang dimakamkan di situ. Dan tidak jarang orang yang tinggal di tempat jauh pun sengaja mudik Nyadran.[28] Biasanya sebelum acara besik bersama dimulai, tempat makam atau lazim disebut dengan istilah sarean[29] sudah dibersihkan secara gotong-royong oleh pemuda dan bapak-bapak di waktu paginya atau kemarin pada saat ibu-ibu punya acara masak-memasak.

Setelah berkumpul semua kemudian membentuk kelompok, yaitu kelompok bapak-bapak dan para pemuda yang mengelilingi/mengepung sejumlah ambeng yang ditata rapi, sedangkan ibu-ibu berkelompok bersama anak-anak dengan sejumlah sisa ambeng yang dikelilingi kelompok laki-laki. Untuk minumannya biasa menggunakan teh manis yang disiapkan oleh sejumlah warga yang ditunjuk atau sifatnya sukarela.[30] Selanjutnya acara tahlilan bisa segera dimulai dan diikuti dengan tausiyah serta doa. Tahlilan bersama dipimpin oleh tokoh masyarakat sekaligus yang menjadi tokoh agama di desa tersebut. Sedangkan tausiyah dan doa bisa oleh orang lain yang sengaja didatangkan. Tahlilan ditujukan untuk mendoakan orang-orang yang dimakamkan di sarean setempat. Setelah selesai, semua yang hadir makan bersama dari ambeng-ambeng yang dibawanya.  Jika nantinya masih tersisa, maka ambeng itu dibagi-bagi dan dibawa pulang oleh ibu-ibu.     

Berkaitan dengan tempat pelaksanaan tahlilan dan kenduren ada perbedaan. Suatu desa yang lokasi sarean-nya didekat atau disamping masjid maka acara tahlilan dan kenduren-nya ditempatkan di masjid. Namun bagi desa yang sarean-nya jauh dari masjid, prosesi kedua acara tersebut tetap dilaksanakan di tempat pemakaman atau didekatnya. Biasanya di depan sarean ada halaman atau jalan yang cukup luas, sehingga mereka berkumpul di situ duduk di atas tikar.

  Prosesi berikutnya setelah semuanya kenyang, mereka masuk ke sarean mengunjungi makam atau kuburan keluarganya masing-masing. Bagi desa yang masih mempunyai cerita yang jelas tentang sejarah nenek moyang desanya atau di sarean tersebut masih ditemukan kuburan kuno, maka sebelum mengunjungi makam familinya mereka berziarah ke tempat orang yang dianggapnya sebagai pendiri desa tersebut. Tidak jarang, mereka melakukan tahlilan kembali bersama keluarganya masing-masing di setiap tempat makam kerabatnya. Sebelum tahlilan dan mendoakan ahli kubur keluarganya, terlebih dulu makamnya itu dibersihkan dari rerumputan dan lain-lain serta dirapikan.[31] Terakhir adalah dengan menaburkan bunga mawar.[32]

Di pemakaman orang bergerombol-gerombol dengan keluarganya sendiri-sendiri. Satu keluarga bertemu dengan keluarga lainnya, mereka saling menyapa dan saling membicarakan tentang garis-garis keturunan mereka terkait seseorang yang sudah meninggal. Seorang bapak berkesempatan memperkenalkan kepada anak-anaknya yang masih kecil kepada makam-makam nenek moyangnya, dan dalam moment Nyadran sering suatu keluarga membicarakan atau mengenang kembali tentang anggota keluarganya yang sudah meninggal baik itu di sarean maupun setelah sesamapinya di rumah.[33]

5.      Kunjungan

Hampir setiap rumah pada saat itu mempunyai banyak makanan, bersiap-siap juga kalau-kalau akan ada tamu. Orang-orang dari desa lain, setelah melakukan besik mereka melakukan kunjungan silaturrahim ke orang-orang dekat atau sanak saudaranya di desa tersebut. Makin mempunyai banyak saudara yang berada di desa lain biasanya makin banyak pula tamunya. Namun tidak jarang pula, satu keluarga mengundang teman-temannya[34] yang berbeda tanggal Nyadran-nya untuk berkunjung meskipun mereka tidak ada keperluan besik. Dan kedepan mereka gantian nantinya untuk saling mengunjungi di hari Nyadran-nya.

 Itulah yang menyebabkan kadang-kadang Nyadran terkesan ramainya seperti lebaran. Adapun beberapa bedanya dengan kunjungan di hari lebaran (Idul Fitri) yaitu, kalau di Nyadran tamu disuguhi kue seadanya tetapi kemudian harus makan nasi, sedangkan di lebaran tamu disuguhi dengan aneka macam kue saja. Kalau di lebaran orang berkunjung untuk mengucapkan selamat dan mengutarakan permohonan maaf, tetapi kalau di Nyadran orang berkunjung untuk mempererat persaudaraan dan persahabatan, menanyakan kabar, serta bisa berbincang-bincang tentang banyak hal.



C.    Padusan 

Setelah semua desa selesai menyelenggarrakan Nyadran, maka dilanjutkan dengan acara Padusan yang dilaksanakan secara serentak tepatnya satu hari sebelum puasa Ramadhan.[35] Padusan berasal dari kata dasar adus, yang artinya mandi. Dengan demikian secara sederhana padusan dapat diartikan sebagai tindakan mandi dengan maksud penyucian diri agar dapat menjalani puasa di bulan suci Ramadhan dalam keadaan suci. Dalam keadaan suci ini, khususnya suci lahir, diharapkan tujuan puasa untuk mencapai derajat ketaqwaan akan terkondisi dengan lebih baik.

Padusan dilakukan dengan adus kramas, mandi besar, guna menghilangkan hadast besar dan kecil. Pada intinya, padusan dapat dilakukan dimanapun dengan menggunakan air suci dan yang menyucikan, sehingga banyak orang terutama orang-orang tua atau yang merasa malu mandi di tempat padusan, mereka melakukan padusan di rumahnya sendiri-sendiri. Namun sebagian orang masih ada yang berpendapat untuk melakukan padusan harus di suatu belik atau sumber air tertentu, harus memakai air tujuh sumber, dan lain-lain. Dari itu, di Klaten ada tempat-tempat padusan seperti Umbul Cokro di kecamatan Tulung, Umbul Ponggok di Kecamatan Polanharjo, Umbul Jolotundo di Kecamatan Jatinom, dan masih banyak lagi. Semuanya itu adalah sumber-sumber air. Para warga di Klaten berkumpul di pemandian untuk bersuci menyambut bulan Ramadhan secara bersama-sama, mereka terjun ke dalam air dan mandi bersama, tanpa membeda-bedakan status sosial, hal ini ditujukan untuk mempererat hubungan antar warga sekaligus sebagai ritual pensucian diri.[36]

Di beberapa tempat, padusan memang masih menyimpan kesakralannya. Namun  di sejumlah tempat lain, terutama di daerah perkotaan, ritual padusan telah menjadi komoditi pariwisata.[37] Masyarakat lupa bahwa padusan itu bukan sekadar mandi dan keramas menjelang puasa. Namun lebih kepada pembersihan raga dan jiwa sehingga benar-benar bersih, suci, dan siap untuk berpuasa. Begitulah kata Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Winarso Kalinggo, seorang budayawan di Solo, Jawa Tengah. Tradisi padusan, lanjut Kalinggo, sudah kehilangan ruhnya. Apalagi belakangan ini ritual padusan mulai dijual demi kepentingan pariwisata. Bahkan banyak tempat-tempat padusan yang dilengkapi dengan panggung dangdut. Nilai sakral mulai ditinggalkan, tetapi lebih mengejar pada jumlah pengunjung. Semakin banyak orang datang, maka semakin banyak pula tiket yang terjual. Tradisi padusan yang sesungguhnya merupakan tahap akhir dari prosesi pembersihan diri sebelum puasa. [38]



D.    Tanggapan Singkat

Setiap komunitas masyarakat pasti akan selalu melahirkan sebuah budaya. Selain sebagai kebutuhan, budaya juga merupakan konsekuensi sosiologis orang bermasyarakat. Masyarakat di manapun di dunia ini pasti mempunyai budaya lokal. Bagaimanapun sebuah budaya telah berhasil dihilangkan orang, maka otomatis di masyarakat tersebut akan lahir budaya baru, begitu seterusnya. Kadang-kadang keinginan seseorang untuk merubah suatu tradisi akan menjadi tidak bijaksana ketika tidak dibarengi dengan budaya tandingan (budaya lain yang mapan), karena sudah tentu akan mendapat perlawanan dari masyarakat. Dan jika perubahan cenderung dipaksakan, dan seandainya tradisi itu kemudian berhasil dirapuhkan maka suatu masyarakat itu relatif akan berganti dengan budaya lain yang jauh dari kekompakan (tidak mapan). Di satu komunitas masyarakat yang budayanya tidak solid menyebabkannya rentan terhadap perpecahan serta konflik. Sudah pasti, masyarakat tanpa budaya dan kebersamaan akan terasa hampa dan pada akhirnya masyarakat tersebut bisa kehilangan identitas.

Kiranya Sadranan merupakan tradisi yang patut untuk dilestarikan, namun perlu dan penting juga dibarengi dengan pencerahan-pencerahan spiritual keislaman agar umat Islam tidak terjerumus pada niat dan pemaknaan yang keliru atau berbau kesyirikan. Kendati sebagian orang beranggapan bahwa Sadranan adalah budaya peninggalan agama Hindu, menurut pemakalah itu tidak masalah. Tidak mudah menciptakan sebuah kerangka budaya yang mapan. Sebelum datang Islam memang rata-rata masyarakat Indonesia (Klaten) beragama Hindu.[39] Tidak ada salahnya jika kerangka budaya masyarakat yang kebetulan saja dulunya beragama Hindu diambil kemudian diisi dengan nilai-nilai keislaman. Kerangka budaya berasal dari kreasi masyarakatnya bukan oleh agamanya. Jadi kerangka budaya terkait pada orangnya bukan Hindu-nya. Menurut pemakalah, Sadranan pada dasarnya adalah kerangka budaya. Ketika diisi dengan ajaran Hindu maka Sadranan menjadi bagian dari ajaran Hindu. Dan ketika diisi dengan nilai-nilai ajaran Islam, maka Sadranan pun bisa menjadi bagian dari bentuk pengamalan ajaran Islam.[40]

Adapun masalah Padusan, tidak ada jeleknya juga kalau tetap dilestarikan tetapi juga harus diikuti dengan pemahaman yang benar, sehingga Padusan bisa berposisi sebagai sesuatu kebaikan dan bukan menimbulkan sesuatu yang berkebalikan. Pada dasarnya masyarakat menyambut Ramadhan dengan melakukan bersih diri, itu merupakan sebuah keinginan yang boleh dan baik dalam pandangan Islam. Tradisi Padusan dalam maknanya yang asli yaitu menyiapkan diri untuk memasuki Ramadhan dalam keadaan suci, kiranya merupakan bagian dari kreatifitas pikir dan usaha masyarakat dalam keinginan mencapai kebaikan yang optimal, karena kebersihan lahir bisa juga menuntun seseorang pada kebersihan batin. Kondisi batin yang bersih sudah tentu relatif lebih mudah memperoleh kekhusukan dalam peribadatan.     



DAFTAR PUSTAKA

Ganug Nugroho Adi, Tradisi Jawa yang Masih Tersisa, http://kabarsoloraya.com/2010/08/14/ny (diunduh Desember 2011).

Muhib al-Majdi, Risalah Ramadhan,  http://arrahmah.com (diiunduh Desember 2011).

Wawancara dengan Rahmah, guru agama Islam SMPN I Karanganom, Klaten.

Redaksi Wiki, Kabupaten Klaten, http://id.wikipedia.org/wiki/ (diunduh Desember 2011).
http://id.wikipedia.org/wiki/Pluneng,_Kebonarum,_Klaten (diunduh Desember 2011).


[1] Nama salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang berlokasi  antara Solo dan Jogja.
[2] Sadranan  merupakan budaya Jawa terutama Jawa Tengah yang sedikit masih berlangsung, namun di Klaten dan sebagian di Kabupaten Boyolali tradisi tersebut masih lestari dengan baik. Lihat: Ganug Nugroho Adi, Tradisi Jawa yang Masih Tersisa, http://kabarsoloraya.com/2010/08/14/ny (diunduh Desember 2011).
[3] Di tempat lain mungkin juga ada kegiatan-kegiatan khas pada waktu menjelang bulan puasa. Misalnya di Padang ada acara Balimau yang pengertiannya hampir sama dengan Padusan.
[4] Beberapa tahun terakhir ada sebagian masyarakat yang sudah anti Sadranan dan Padusan disebabkan oleh paham keagamaaannya.
[5] Tidak seperti yang  terjadi di Lombok. Konon setiap desa saja sudah mempunyai perbedaan yang cukup signifikan.
[6] Salah satunya tradisi Yaqowiyu (sebaran apem/nama kue) oleh masyarakat Jatinom, Klaten.
[7] Lihat: Muhib al-Majdi, Risalah Ramadhan,  http://arrahmah.com (diiunduh Desember 2011).
[8] Adi, Tradisi Jawa yang Masih Tersisa.
[9] Membakar kemenyan di saat berziarah dan istilah sesajen masih banyak dilakukan oleh orang-orang Jawa yang puritan (Islam kejawen).
[10] Informasi ini diperoleh pemakalah dulu selama tinggal di Klaten, kemudian juga berdasarkan wawancara via sms (Desember 2011) dengan sepupu pemakalah (Siti Rahmah, guru agama Islam SMPN I Karanganom) yang tinggal di Polodadi, Tarubasan, Karanganom, Klaten atau tidak jauh dari kampung halaman pemakalah. Informasi yang  disampaikannya ke pemakalah dia dapatkan dari banyak sumber yaitu melalui wawancara juga kepada orang-orang yang ada di sekitarnya.
[11] Berziarah di hari Nyadran disebut dengan istilah besik, karena disamping berdoa juga diikuti dengan membersihkan makam dan merapikan atau memperbaiki kuburan-kuburan yang rusak.
[12] Terdiri atas 26 kecamatan dan 400 kelurahan/desa. Lihat: Redaksi Wiki, Kabupaten Klaten, http://id.wikipedia.org/wiki/ (diunduh Desember 2011).
[13] Masyarakat Klaten terutama orang-orang tua dalam hitung-hitungan hari masih menggunakan penanggalan Jawa.
[14] Ada prepegan Nyadran, ada juga prepegan poso (puasa), prepegan bodo (lebaran), dan lain-lain. Pasar tradisional yang satu dengan yang lain kadang prepegan Nyadran-nya berbeda tergantung dari kapan masyarakat konsumennya akan melaksanakan Nyadran.
[15] Bahan dasar sambel goreng adalah tahu, kentang, dan krecek (kulit sapi/kerbau), dimasak dengan santan dan dibumbui khusus untuk sambel goreng.
[16] Bisa ayam goreng, ayam terik (dimasak dengan santan), atau ayam bacem (manis). Umumnya menu di hajatan Nyadran cenderung lebih sederhana dibanding dengan hajatan besar lainnya (misal: lebaran dan pernikahan), sehingga untuk kebutuhan daging cukup dipilih daging ayam saja.
[17] Biasanya menggunakan telur ayam negeri atau telur ayam kampung, bisa direbus saja atau dimasak dengan kecap manis, dan jarang yang dimasak goreng. 
[18] Tahu dan tempe bisa digoreng atau dibacem manis.
[19] Dibuat dari pati singkong dicampur dengan kedelai yang ditumbuk/diiris dan ditambah sedikit parutan kelapa kemudian digoreng.
[20] Ada tiga jenis peyek: peyek teri, peyek kacang tanah, dan peyek kedelai. Peyek teri bisa diganti ikan asin yang digoreng dengan tepung beras.
[21] Dibuat dari ketan yang dicampur dengan parutan kelapa dan sedikit garam kemudian dikukus, setelah matang dihaluskan.
[22] Dibuat dari adonan campuran tepung beras, tape singkong, dan gula merah, setelah itu digoreng.
[23] Diteri artinya diantari sesuatu makanan. Sedangkan weweh maksudnya adalah memberi/mengantarkan makanan dalam bentuk menu komplit ke orang lain. Weweh dari kata aweh yang artinya memberi. Dan istilah weweh hanya digunakan dalam moment hajatan. 
[24] Gantian memberi.
[25] Ada juga yang dimulai sejak pagi, dan sebagian desa ada yang menyelenggarakan tahlilan dan kenduren di malam Nyadran-nya, sehingga besik dilaksanakan tidak serentak tetapi sepanjang hari mulai pagi sampai sore dan paling ramai biasanya tetap setelah dhuhur.  
[26] Ditempatkan di suatu wadah (bentuknya bebas) kemudian ditutupi dengan daun pisang cukup banyak yang nantinya daun itu digunakan untuk makan. Namun belakangan di beberapa desa untuk makannya sudah menggunakan piring. 
[27] Tidak semua orang bisa membawa bunga kantil dan bunga kenanga, karena kedua bunga itu di pasar harganya mahal, sehingga kebanyakan orang kemudian membawa bunga mawar saja.
[28] Ada dua macam istilah mudik, yaitu mudik Nyadran dan mudik lebaran. Bagi yang tempat tinggalnya sangat jauh maka biasanya memilih mudik lebaran saja, atau misalnya ingin mudik Nyadran  maka tidak sekeluarga. 
[29] Sarean atau pesarean berasal dari kata kerja sare (tidur), kadang juga tempat makam itu dinamakan dengan sasono loyo.
[30] Umumnya setiap desa mempunyai banyak gelas dan perangkat lainnya yang disimpan di salah satu warga yang ditunjuk atau di masjid untuk keperluan hajatan bersama. 
[31] Gotong-royong membersihkan sarean oleh warga tidak sampai pada makam per makam, akan tetapi sebatas sarean secara umum. Sedangkan pembersihan makam harus dilakukan oleh keluarganya sendiri-sendiri, sehingga kalau akan besik sudah biasa orang membawa peralatan seperti sapu, sabit, juga cangkul.  Bagi makam yang pada saat Nyadran tampak tidak ada bekas dibesiki keluarganya, maka makam tersebut terancam suatu saat akan digusur atau diratakan oleh warga. 
[32] Orang-orang Islam Kejawen juga dengan membakar kemenyan, kadang-kadang juga pakai sesajen/sesaji. Konon karena sebuah desa itu ada penunggunya yaitu danyang (roh halus/sebangsa jin). Danyang itu tempatnya di sarean. Untuk masalah komposisi sesajen pemakalah belum begitu mengerti, biasanya berupa makanan macam-macam tetapi jumlahnya sedikit-sedikit.
[33] Tidak banyak ibu-ibu bisa dijumpai di sarean, ibu-ibu dianggap prasaannya sensitif dan kurang kuat menahan air mata jika almarhum-almarhumah dibicarakan. Sedangkan menangis di sarean dianggap sebagai sesuatu yang tabu, sehingga seorang perempuan boleh ke sarean dengan syarat tidak akan menangis.
[34] Bisa teman kerja, teman sekolah, dan lain sebagainya.
[35] Bagi warga desa yang Islamnya masih campur dengan kejawen dan terutama mereka yang tempat tinggalnya didekat sumber air untuk padusan, mereka pada ritual padusan  membuat sesaji lagi untuk dibawanya ke umbul/belik /sendang (sumber air) dipersembahkan kepada dan yang yang menunggu belik tersebut. Selain itu, agar orang-orang yang padusan di situ bisa selamat, karena tidak jarang pada waktu padusan ada saja yang meninggal di lokasi padusan.    
[36] Lihat juga di http://id.wikipedia.org/wiki/Pluneng,_Kebonarum,_Klaten (diunduh Desember 2011).
[37] Sebagai contoh: dulu untuk padusan di Umbul Cokro gratis, sekarang masuk umbul tersebut harus membayar. Dan tidak jarang di dekat beberapa umbul diselenggarakan pentas seni.
[38] Adi, Tradisi Jawa yang Masih Tersisa.
[39] Terbukti Candi Prambanan ada di Klaten, candi yang merupakan simbol kebesaran umat Hindu Indonesia di masa lampau.
[40] Bisa diidentikkan dengan cerita, sebuah bangunan dulunya adalah gereja kemudian dijadikan masjid. Demikian pula dengan kerangka budaya, tidak lebih ibaratnya sebagai sebuah konsep bangunan yang netral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar