Senin, 13 Maret 2017

PERKAWINAN ADAT DI LOMBOK UTARA

PERKAWINAN ADAT DI KLU
(Kasus di Kecamatan Kayangan dan Kecamatan Bayan)
Oleh : Hamdun


PENDAHULUAN
KLU adalah sebuah singkatan dari Kabupaten Lombok Utara. Terletak di sebelah utara pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat. berbatasan dengan Lombok Barat (di wilayah sebelah Barat), Lombok Tengah (di Wilayah Tengah), dan Lombok Timur (di wilayah sebelah timur).
Kabupaten Lombok Utara adalah salah satu Kabupaten baru. Berdiri dan menjadi daerah otonom pada tanggal 22 Juli 2008, diresmikan di depan Kantor Gubernur NTB pada tanggal 30 Desember 2008 oleh Menteri Dalam Negeri, disaksikan oleh ratusan lapisan masyarakat KLU dari berbagai latar belakang dan unsur yang berbeda.[1]
Pemekaran KLU sebagai Kabupaten baru mempunyai alasan logis dan refresentatif. Beberapa diantaranya adalah; jarak ibukota kabupaten induk yang terlalu jauh sehingga pelayanan pemerintah daerah tidak maksimal, wilayah secara gografis dan jumlah penduduk memenuhi syarat secara konstitusional, Sumber  Daya Alam yang memadai dalam mendukung Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) dan beberapa alasan-alasan lain yang signifikan.
Harus diakui Sumber Daya Alam KLU yang eksotik menawarkan berbagai macam pesona untuk menunjang sector ekonomi masyarakat secara umum. Walaupun demikian potensi ini tidak sebanding lurus dengan potensi Sumber Daya Manusia yang ada. Phenomena masyarakat KLU yang konserfatif, tidak mempunyai pendidikan yang cukup, ditambah dengan angka kemiskinan yang begitu besar, menjadi “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan dengan berjenjang. Sehingga visi ke depan “tioq, tata, tunaq” bukan hanya slogan dan symbol-syimbol. Tetapi teraktualisasi dalam seluruh elemen strata social. 
Sebagai bagian provinsi NTB yang notabene berpenduduk mayoritas Muslim, KLU juga adalah bagian kemasyarakatan dengan angka prosentase penduduk muslim mayoritas, maka tidak heran jikalau ujung barat sampai ujung timur perbatasan daerah selalu ada masjid sebagai syimbol keberadaan ummat Islam. Namun, sama dengan persoalan di atas, potensi keagamaan yang besar tidak berbanding lurus dengan potensi pemahaman mereka dalam bidang agama.
Bahkan pemahaman keagamaan masyarakat sebagiannya masih kental dalam pemikiran budaya dan tradisi lokal. Sehingga masalah-masalah masyarakat sebagai individu dan social lebih rentan dalam menimbulkan konflik. Dan salah satu persolan yang paling sering muncul dalam tradisi keagamaan masyarakat adalah persoalan yang berkaitan dengan hukum keluarga atau perkawinan.
Persoalan perkawinan masyarakat KLU pada umumnya memiliki adat yang sama mulai dari kecamatan Pemenang sampai Kecamatan Bayan.[2] Hal ini bisa dilihat dari acara-acara perkawinan yang dilaksanakan pada 5 wilayah kecamatan tersebut. Walaupun akhir-akhir ini perkawinan adat perlahan mulai ditinggalkan, digantikan dengan perkawinan campuran adat dan agama. Keduanya terjadi lebih disebabkan karena akulturasi budaya yang menyebabkan asimilasi nilai dan tata cara perkawinan. Hal ini banyak tampak terutama di kecamatan Pemenang sampai Kecamatan Gangga. Sementara di sebagian Kecamatan Kayangan dan Kecamatan Bayan pada saat tertentu budaya masih dipertahankan termasuk dalam persoalan perkawinan.
Adapun perkawinan adat yang diangkat dalam makalah ini adalah perkawinan yang berlangsung di wilayah kecamatan Kayangan dan Kecamatan Bayan. Hal ini disebabkan karena penulis sendiri bekerja pada wilayah tersebut sebagai Penyuluh Agama Islam sehingga sedikit banyak mengetahui tata cara perkawinan masyarakatnya dan juga kasus-kasus yang terjadi dalam prosesi acara dan pengaruhnya secara sosiologis.
Secara kebetulan tata cara perkawinan khas daerah ini diminta agar diangkat dalam diskusi Sosiologi Hukum Islam. maka beberapa kejadian dalam prosesi perkawinan adat di tempat penulis  ini bersambut dengan tugas mata kuliah sosiologi hukum Islam, sehingga bisa diangkat sebagai tugas ilmiah untuk memberikan diskripsi singkat tentang beberapa bagian penting dari perkawinan adat di wilayah KLU. Maka makalah ini diberi judul : PERKAWINAN ADAT DI KLU (Kasus di Kecamatan Kayangan dan Kecamatan Bayan).

SEKILAS TENTANG KAYANGAN, BAYAN DAN WETU TELU
Secara geografis wilayah Kecamatan Kayangan dan Kecamatan Bayan dahulunya adalah satu kecamatan; yaitu Kecamatan Bayan. Tetapi pada tahun 2004, Kabupaten Lombok Barat (sebelum ada KLU) memekarkan wilayah ini menjadi dua kecamatan yaitu kecamatan Bayan dan Kecamatan Kayangan.
Kecamatan Kayangan, adalah salah satu Kecamatan di Kabupaten Lombok Utara yang berlokasi antara Kecamatan Gangga dan Kecamatan Bayan. Kecamatan Kayangan memiliki  luas wilayah sekitar ±10 km arah Timur Barat dan ±20 km arah Utara Selatan, berpenduduk sekitar 20 ribu jiwa yang terbagi dalam delapan desa, yaitu : Desa Kayangan Desa Dangiang Desa Gumantar Desa Selengen Desa Salut Desa Sesait Desa Pendua Desa Santong.
Sedangkan Kecamatan Bayan berlokasi disebelah timur Kecamatan Kayangan dan wilayahnya berbatasan dengan Lombok Timur. Kecamatan Bayan memiliki Luas 628.370 M2 dengan jumlah penduduk sekitar 45. 705 jiwa. Memiliki 9 Desa yaitu;  Desa Bayan, Desa Senaru, Desa Loloan, Desa Segenter, dan Desa Karang Bajo. Desa Anyar, Desa Suka Dana, Desa Sambik Elen dan Desa akar-akar.[3]
Dari 5 Kecamatan di KLU Di kedua kecamatan inilah paling banyak penduduknya berfaham Wetu Telu. Sebuah falsafah yang sangat kental dipegang oleh masyarakat asli. walaupun perlahan luntur bersama perubahan zaman yang semakin menggelobal. Masyarkat dua kecamatan ini (keduanya memiliki kesamaan adat karena secara adat dua geografis ini adalah satu wilayah) tetap kokoh mempertahankan adat istiadat mereka.
Keteguhan masyarakat adat Wetu Telu melestarikan adatnya patut ditiru. Cukup banyak masyarakat asli di sana yang merantau ke luar daerah, namun selalu berusaha kembali pulang ketika upacara-upacara adat dilakukan, demi melestarikan adat. Beberapa perkampungan mereka juga masih memegang adat dan bertahan hidup secara tradisional. Antara lain di Desa Gumantar, Desa Sesait, Desa Salut (Kecamatan Kayangan), Desa Bayan, Desa Senaru, Desa Loloan, Desa Segenter, dan Desa Karang Bajo. (Kecamatan Bayan).[4]
Raden Gedarip mengatakan, selama ini banyak salah persepsi tentang adat Wetu Telu. Opini yang terbentuk akhirnya menggambarkan bahwa Wetu Telu adalah agama Islam yang belum tuntas diajarkan, dan masih mengadopsi ajaran agama Hindu. Misalnya sholat hanya tiga kali, berpuasa hanya tiga kali di hari pertama, pertengahan, dan penutup. Ada juga yang menyebut penganut Wetu Telu hanya menjalankan tiga rukun iman dalam Islam, kecuali shalat lima waktu dan naik haji.
“Itu semua persepsi yang salah. Banyak pemangku adat kami yang naik haji, dan shalat kami lima kali sehari. Banyak juga masyarakat adat Wetu Telu yang menjadi pimpinan di kantor pemerintahan daerah,” kata Raden Gedarip.
Menurut Gedarip, Wetu Telu bukan agama, tetapi pandangan hidup yang ditinggalkan leluhur mereka. Wetu berarti batasan wilayah, sedangkan Telu berarti tiga.
Dari sisi kehidupan, masyarakat adat Wetu Telu diharuskan menjaga keselarasan dan keseimbangan hidup antar mahluk yang diciptakan Allah melalui tiga jalan yakni Memanak (beranak), Menteluk (bertelur), dan mentiu (bertumbuh).
Manusia dan hewan mamalia dilahirkan dari proses beranak-pinak, unggas dan hewan melata tercipta dari telur, sedangkan tumbuhan dari biji-bijian yang ditanam dan bertumbuh. Ketiganya harus selaras dan seimbang. Makna filosofinya, manusia tidak boleh mengeksploitasi alam secara berlebihan karena akan merusak tumbuhan, habitat hewan dan juga kemanusiaan.
Dari sisi tatanan sosial, masyarakat ada Wetu Telu menghormati tiga unsur kepemimpinan, yakni pemusungan (dari unsur pemerintah seperti Kades), pemangku (dari unsur adat istiadat), dan penghulu (dari unsur Keagamaan). Ketiganya memiliki tanggungjawab sosial terhadap masyarakatnya.
Dari sisi letak geografis tempat tinggal, masyarakat adat Wetu Telu membagi tiga wilayah yang harus dijaga kelestariannya, yakni wilayah Gunung dan Hutan untuk penduduk di perkampungan yang dekat dengan kaki gunung Rinjani, wilayah pertanian untuk perkampungan di dataran tengah, dan wilayah laut untuk perkampungan yang dekat pesisir.
Misalnya untuk wilayah laut, kami tidak pernah menangkap ikan menggunakan potasium atau bom ikan, itu dilarang secara adat karena akan merusak keseimbangan,” katanya.
Tapi tidak cukup banyak yang bisa diceritakan Gedarip tentang Wetu Telu, “Ada beberapa hal yang kami ketahui tetapi tak bisa kami ungkapkan karena memang secara turun temurun dari leluhur, hal itu hanya kami saja yang boleh tahu. Kalau diceritakan ke orang lain bisa pemaliq (bernasib sial)”.
Untuk keislaman, masyarakat adat Wetu Telu percaya bahwa leluhur merekalah yang pertama kali menerima ajaran Islam di Pulau Lombok, yang dibawa Wali Songo pada abad ke 17 Masehi. Masjid kuno Bayan Beleq adalah bukti sejarahnya yang sampai sekarang tetap berdiri di Desa Bayan.
Mereka percaya, Datu Bayan (Raja Bayan) adalah orang pertama yang diislamkan di Lombok, disusul oleh para pemangku adat dan masyarakat adat Bayan. Dalam acara pernikahan Secara sederhana Gedarip menggambarkan, prosesi agama ijab kabul dilakukan di masjid atau KUA, sementara sesudahnya prosesi adat pun dilakukan menyusul, yakni nyongkolan atau sorong serah.
Filosofi wetu telu inilah rupanya yang menjadi semangat masyarakat Kayangan dan Bayan khususnya dan KLU pada umumnya untuk terus mempertahankan budaya dan nilai-nilai kehidupan yang menjadi pandangan hidup mereka secara komprehensif. Sehingga dalam berbagai kegiatan keagamaan (Islam) juga ada paduannya dalam kegiatan adat, seperti idul fitri adat, maulid adat termasuk juga tata cara dalam pekawinan adat.

PERKAWINAN ADAT BAYAN

Perkawinan adat di KLU terutama di Bayan memiliki keunikan yang tidak ditemukan di daerah lainnya. Apalagi yang menikah itu, berasal dari keluarga bangsawan. Mereka punya tradisi khusus yang masih terpelihara secara lestari hingga saat ini.
Perkawinan Dende Peniwarni, SE dengan Slamet Riady, S.IP[5] misalnya; sebenarnya sudah berlangsung tujuh tahun lalu. Pada saat itu, perkawinan keluarga ini, hanya berupa akad nikah secara muslim. Tujuh tahun masa perkawinannya, pasangan ini sekarang sudah dikaruniai tiga orang anak. Namun demikian, tenggang waktu pernikahan yang cukup lama, tidak serta merta mengabaikan pernikahan secara adat yang sudah berlangsung secara turun temurun.
Prosesi secara adat itu, baru bisa berlangsung Sabtu (27/11/2010) lalu. Prosesinya dikenal dengan sorong serah aji krama adat yang artinya menyerahkan sejumlah material kepada mempelai wanita. Pada prosesi adat ini, pengantin pria menyerahkan sejumlah material yang ditetapkan dalam adat. Yakni 11 ekor sapi, 44 buah tombak, kain putih sebanyak 44 lembar masing-masing ukuran 1 meter. Selain itu, ada juga material lainnya yang melengkapi. Diantaranya beras, sejumlah uang dan beberapa bahan keperluan lain yang ditetapkan dalam perkawinan adat Bayan. 
Penyerahan seserahan kepada keluarga perempuan itu berlangsung di kampu (rumah tempat berlangsungnya ritual adat Bayan). Keluarga Dende Peniwarni (Nyakranom) menjelaskan, saat dipersunting oleh suaminya pada 1 Juni 2003 lalu ia setuju kapan saja diadakan upacara perkawinan adat asalkan dipenuhi tuntutan adat Bayan. Seperti gayung bersambut tuntutan itu disanggupi oleh Slamet Riady, karyawan BPM KLU. Kegiatan itu berlangsung di Bayan Timur, Desa Bayan Beleq. ‘’Kapan mampu bayar adat, itu tidak dipaksakan. Yang kawin belakangan juga diberlakukan adat yang sama,’’jelas Nyakranom.[6]
Saat acara itu berlangsung, banyak kerabat dan keluarga Dende Peniwarni dan Slamet Riady menyaksikan ritual itu. Prosesi ritual itu berlangsung sesuai dengan yang direncanakan. Sebelas ekor sapi dan bahan lainnya yang diserahkan ke kampu dibawa sejumlah warga dipimpin oleh pembayun atau utusan pihak laki bersama sejumlah rombongan.
Keluarga Besar adat Bayan Raden Nyakranom menerangkan kegiatan ini merupakan proses adat perkawinan di Bayan yang masih dipertahankan sampai kini. Menurut Nyakranom, jika yang bersangkutan belum membayar tampah wiring (seserahan seperti 11 ekor sapi) mereka belum bisa mengikuti ritual di kampu.[7] 
Jika misalnya ritual adat tak bisa dilaksanakan, maka dedosan atau denda yang dikenakan. Dalam perkawinan adat jika ada pelanggaran yang dilakukan, perempuan yang memulang/ selarian akan dihitung berapa kali yang dilewati saat ia meninggalkan rumah.
Tiap dusun di Bayan besarnya dedosan berbeda. Yang menentukan dedosan bukan orang tua perempuan melainkan oleh keluarganya sesuai ketentuan adat setempat. Menurut R. Sawinggih syarat perkawinan adat Bayan memang berat, sehingga kawin cerai jarang terjadi. ‘’Bisa dibandingkan dengan di tempat lain, di Bayan jarang ditemukan laki-laki sering kawin. Ini karena adat yang kuat,’’jelas Sawinggih.[8]

PEMBAYUN

Salah satu adat yang sangat melekat pada prosesi perkawinan adat Bayan KLU adalah Adat dan budaya kepembayunan pada upacara sorong serah  dalam adat perkawinan.
Menurut Rianom, kata pembayan berasal dari dua suku kata yaitu pemban dan ayun, yang berarti pengajeng atau pemuka. Dalam upacara sorong serah terutama dalam pemulangan atau perkawinan, pembayun bertugas sebagai pemimpin rombongan dalam membawa harta yang merupakan gegawan atau bawaan dari pihak keluarga laki ke pihak keluarga perempuan. Dan biasanya rombongan ini berjumlah  20 sampai 30 orang.[9]
Pembayun selain bertugas sebagai duta (utusan) yang diberikan mandat oleh keluarga laki-laki, juga bertugas menyampaikan amanat dalam menyelesaikan pelaksanaan adat, tata cara dan tertib dalam perkawinan.  Karenanya, seorang pembayun dalam menjalankan tugasnya harus mengetahui beberapa hal, antara lain; mengetahui tata cara adat istiadat,  menguasai bahasa yang dipergunakan dalam acara sorong serah, menjaga ketertiban dalam rombongan dan bertanggungjawab atas keberhasilan tugas yang diemban.
Karena tugas pembayun adalah tugas profesi, lanjut Rianom, dalam upacara penyelesaian adat perkawinan, tentu tidak sembarang orang dapat ditugaskan sebagai wakil mutlak dari pihak keluarga laki, kecuali harus dilakukan oleh orang yang terdidik terutama pada persoalan adat pemulangan.
Rianom mengakui, sebagai seorang pembayun, bukan saja dituntut  memelihara tata tertib, tapi juga harus menjadikan diri lebih, baik dari sisi penampilan, pakaian, tutur bahasa maupun kecakapannya dalam menyampaikan segala sesuatu dari pihak keluarga laki-laki. 
Dalam menjalankan tugas, sang pembayun terdiri dari beberapa orang, yaitu pembayun itu sendiri yang bertugas sebagai juru bicara dan panji sebagai pengiringnya yang sewaktu-waktu dapat dimintai pendapat oleh pembayun. Dan para pembayun sedapat mungkin menggunakan pakaian adat dan sebilah keris, karena dari segi pakaian, dapat mempengaruhi keluarga perempuan selaku pihak penerima. Disamping itu perilaku kepembayunan juga harus difahami dengan baik seperti cara menyampaikan pesan harus tahu tata cara nyokor dimana seorang pembayun tidak boleh berdiri atau pun bergerak sebelum dipersilahkan oleh keluarga mempelai perempuan. Jika sudah dipersilahkan maka seorang pembayun bergerak tidak sembarangan tetapi tetap dalam posisi nyokor (jalan dengan tidak berdiri).
Pakaian yang digunakan pembayun terdiri dari ikat kepala (sapuk), dodot atau leang, baju kemeja (pegon), kain sarung panjang dan dilengkapi dengan sebilah keris yang diselipkan di pinggang. “Pakaian ini, memang sebagian orang belum memahaminya, karena belum pernah mendapat pendidikan tentang cara memakai pakaian adat yang rapi. Soal warna pakaian rombongan boleh saja berwarna warni, yang penting rapi, sebab pakaian yang dikenakan oleh pembayun tentu berbeda dengan pakaian dinas atau seragam sekolah”.
Sebelum berangkat ke rumah keluarga perempuan, rombongan ini terlebih dahulu melakukan urun rembug dengan pihak keluarga laki, Kepala Dusun atau Kepala Desa untuk dimintai nasehatnya, sebagai bekal untuk menjalankan tugas kepembayunan. Sebab pembayun merupakan utusan untuk menyampaikan dan memutuskan kepada si keluarga perempuan. “Jadi kalau mereka (pembayun) itu sudah berangkat menjalankan tugas, maka semua tanggungjawab berada di pundaknya”.
Pembayun bisa dilakukan pada beberapa tahapan, yaitu “mesejati”  yakni mengabarkan kepada keluarga perempuan, bahwa anak gadisnya sudah diambil oleh anak dari orang tua penganten laki-laki. Dan ini dilakukan paling tidak sehari setelah si gadis  memulang atau kawin. Dalam hal ini keluarga laki-laki bisa langsung menggunakan pembayun atau mengutus petugas di tingkat dusun. Adapun tata caranya ada yang unik dimana dalam menyampaikan pesan pembayun harus
Mesejati ini kemudian dilanjutkan dengan runtut sejati yang tujuannya untuk memepertegas mesejati yang telah dilakukan terdahulu, dan biasa tenggang waktunya tida hari setelah mesejati. Biasanya setelah pihak perempuan mendapat mesejati dan runtut sejati, akan langsung mengumpulkan ahli waris atau kadang jari untuk mengadakan gundem membahas besar-kecilnya aji karma. Dan setelah selesai, hasilnya itupun disampaikan kepada pembayun selaku duta yang kemudian diteruskan kepada keluarga pengantin laki-laki.
Tenggang waktu yang diberikan pihak perempuan kepada pihak keluarga laki-laki paling lama 10 hari. Dan setelah itu barulah dilakukan selabar yakni mengabarkan tentang diterimanya apa yang dibebankan  kepada pihak keluarga laki yaitu aji krama.  Dan yang terakhir adalah sorong serah aji karma pada saat hari yang telah ditentukan bersama antara kedua belah pihak pada saat melakukan peradang. Dalam penyarahan piranti adat ini, disaksikan oleh semua keluarga pengantin wanita. 

ISLAM DAN PERKAWINAN DI KLU (dalam Perspektif Sosio-Historis)
Islam secara teologis, merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiyah dan transenden. Sedangkan dari aspek sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Dialektika Islam dengan realitas kehidupan sejatinya merupakan realitas yang terus menerus menyertai agama sepanjang sejarahnya. Sejak awal kelahirannya, Islam tumbuh dan berkembang dalam suatu kondisi yang tidak hampa budaya. Realitas kehidupan ini diakui atau tidak memiliki peran yang cukup signifikan dalam mengantarkan Islam menuju perkembangannya yang aktual sehingga sampai pada suatu peradaban yang mewakili dan diakui oleh masyarakat dunia.
Aktualisasi Islam dalam lintasan sejarah telah menjadikan Islam tidak dapat dilepaskan dari aspek lokalitas, mulai dari budaya Arab, Persi, Turki, India sampai Melayu. Masing-masing dengan karakteristiknya sendiri, tapi sekaligus mencerminkan nilai-nilai ketauhidan sebagai suatu unity sebagai benang merah yang mengikat secara kokoh satu sama lain. Sejarah Islam yang beragam merupakan penerjemahan Islam universal ke dalam realitas kehidupan umat manusia.[10]
Relasi antara Islam sebagai agama dengan adat dan budaya lokal sangat jelas dalam kajian antropologi agama. Dalam perspektif ini diyakini, bahwa agama merupakan penjelmaan dari sistem budaya.[11] Berdasarkan teori ini, Islam sebagai agama samawi dianggap merupakan penjelmaan dari sistem budaya suatu masyarakat Muslim. Hal ini kemudian dikembangkan pada aspek-aspek ajaran Islam, termasuk aspek hukumnya. Para pakar antropologi dan sosiologi mendekati hukum Islam sebagai sebuah institusi kebudayaan Muslim. Pada konteks sekarang, pengkajian hukum dengan pendekatan sosiologis dan antrologis sudah dikembangkan oleh para ahli hukum Islam yang peduli terhadap nasib syari’ah. Dalam pandangan mereka, jika syari’ah tidak didekati secara sosio-historis, maka yang terjadi adalah pembakuan terhadap norma syariah yang sejatinya bersifat dinamis dan mengakomodasi perubahan masyarakat.
Islam sebagai agama, kebudayaan dan peradaban besar dunia sudah sejak awal masuk ke Indonesia pada abad ke-7 dan terus berkembang hingga kini. Ia telah memberi sumbangsih terhadap keanekaragaman kebudayaan nusantara. Islam tidak saja hadir dalam tradisi agung bahkan memperkaya pluralitas dengan islamisasi kebudayaan dan pribumisasi Islam yang pada gilirannya banyak melahirkan tradisi-tardisi kecil Islam. Berbagai warna Islam dari Aceh, Melayu, Jawa, Sunda, Sasak, Bugis, dan lainnya, riuh rendah memberi corak tertentu keragaman, yang akibatnya dapat berwajah ambigu. Ambiguitas atau juga disebut ambivalensi adalah fungsi agama yang sudah diterima secara umum dari sudut pandang sosiologis.
Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat Lombok Utara. Seseorang baru dianggap sebagai warga penuh dari suatu masyarakat apabila ia telah berkeluarga. Dengan demikian ia akan memperoleh hak-hak dan kewajiban baik sebagai warga kelompok kerabat atau pun sebagai warga masyarakat. Sebagaimana perkawinan menurut Islam dikonsepsikan sebagai jalan mendapatkan kehidupan berpasang-pasangan, tenteram dan damai (mawaddah warahmat) sekaligus sebagai sarana pelanjutan generasi (mendapatkan keturunan), maka perkawinan bagi masyarakat KLU juga memiliki makna yang sangat luas, bahkan menurut orang Bayan, perkawinan bukan hanya mempersatukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan saja, tetapi sekaligus mengandung arti untuk mempersatukan hubungan dua keluarga besar, yaitu kerabat pihak laki-laki dan kerabat pihak perempuan. Itulah sebabnya aturan dan tata caranya harus mencerminkan hal tersebut. Inilah salah satu makna filosofis dari adat sorong serah aji kerama dan kepembanyunan yang berlangsung turun temurun sebagai budaya adat perkawinan di KLU.
Berdasarkan tujuan besar tersebut, maka terdapat tiga macam perkawinan dalam masyarakat di KLU, yaitu:
1.      Perkawinan antara seorang pria dengan seorang perempuan dalam satu kadang waris yang disebut perkawinan menempur menasa (misan dengan misan/cross cousin).
2.      Perkawinan antara pria dan perempuan yang mempunyai hubungan anak jari (ikatan keluarga) disebut perkawinan sambung urat benang (untuk memperkuat hubungan kekeluargaan); dan
3.      Perkawinan antara pihak laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan perkadangan (kekerabatan) disebut perkawinan menggaluhang gumi (memperluas daerah/wilayah).
Dengan demikian, maka semakin jelas bahwa tujuan perkawinan menurut adat KLU adalah untuk melanjutkan keturunan (penerus generasi), memperkokoh ikatan kekerabatan dan memperluas hubungan kekeluargaan. Dalam hal ini tentunya tidak menyimpang dari konsep perkawinan dalam hukum Islam.[12]
Untuk menjunjung tujuan perkawinan ini maka dalam sejarahnya diciptakan aturan atau tata nilai yang mengakomodir tuntutan agama Islam (asal tidak menyimpang) dan adat atau tradisi setempat oleh penyebar agama Islam yang dipercaya masyarakat KLU di mulai dari  Bayan. Kemudian pandangan dan tradisi ini kemudian turun temurun di amalkan sampai saat ini di KLU yang kemudian dikenal sebagai perkawinan adat.
Namun dengan perubahan zaman yang semakin canggih dan modern maka secara perlahan pola perkawinan adat tergeser menyesuaikan dengan kondisi dan zaman saat ini. Di KLU perkawinan campuran (dengan memadukan adat dan agama) menjadi tata cara yang baru. Contoh; akad nikah dalam perkawinan dilakukan dengan tata cara Islam tetapi beberapa bagian prosesi penyelesaian perkawinan seperti nyongkolan dengan kecimol/kecodak, ji karma atau pisuka sudah menyatu dalam budaya dan persepsi masyarakat KLU. Dan mungkin kedepan akan terus berubah menjadi adat baru dalam budaya perkawinan generasi KLU dimasa yang akan datang.

KESIMPULAN

Berdasarkan beberapa narasi di atas maka bisa disimpulkan bahwa :
1.      Adat perkawinan yang ada di KLU memiliki tata cara yang sama. Tetapi paling tampak menonjol dilaksanakan di Kecamatan Kayangan dan Bayan, sementara di tiga Kecamatan lainnya banyak yang berubah menjadi perkawinan campur antara adat dan agama.
2.      Adat perkawinan yang khas berupa sorong serah aji kerama adat dan kepembayunan.
3.      Tata cara perkawinan adat murni masih ada dan terdapat dibeberapa tempat seperti di segenter atau gumantar. Walaupun secara perlahan juga ditinggalkan karena  sebagian tata cara masih menyimpang dari ajaran Islam seperti; mendiamkan perempuan di rumah laki-laki sampai acara sorong serah resmi dilaksanakan. Hal ini bisa memakan waktu berbulan-bulan, baru dinikahkan secara adat atau agama. Kemudian acara perkawinan dilengkapi dengan acara nyadek (meminum blo’).
Demikian beberapa tata cara perkawinan kami sampaikan secara diskriptif. Semoga menambah wawasan kita dan bermanfaat untuk menambah bahan diskusi dalam komparasi hukum Islam dan hukum adat secara sosiologis.
 Segala masukan dan perbaikan sangat diharapkan.

DAFTAR RUJUKAN

1.    Wawancara dengan amaq Masnun, salah satu orang tua yang tinggal di Dusun Kr. Gelebeg  Desa Pemenang Barat pada tanggal 9 Nopember 2011
2.      Data di KUA Kecamatan Kayangan dan Kecamatan Bayan Tahun 2010
3.   Wawancara dengan Raden Gedarip. Tokoh Wetu Telu Bayan pada Tanggal, 29 Oktober 2011
4.    Wawancara dengan Raden Nyakranom, Keluarga Besar Adat di KUA Kecamatan Bayan pada Tanggal 8 Nopember 2011
5.   wawancara dengan ust. Tauhid seorang da’I di Dusun Segenter Tinggal di Segenter berasal  dari Kediri Lombok Barat, Tahun 2010
6.    Suara Komunitas Panorama FM, wawancara dengan Rianom, S.Sos, ketua Pranata Adat Karang Bajo Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara di Dusun Ancak Timur Desa Karang Bajo, selasa 22 Juni 2011.
7. Bassam Tibbi, Islam and Cultural Accommodation of Social Change, San Francisco: Westview Pres, 1991. Hal. 88.  (google books)


[1] Penulis ikut hadir pada acara tersebut sebagai undangan mewakili tokoh agama masy. Kecamatan
  Pemenang
[2] Empat puluh tahun lalu hampir semua masyarakat di dayan gunung (KLU) mempunyai adat dan tata cara yang sama dalam perilaku kehidupan termasuk perkawinan. Karena mereka adalah keturunan dan dari nenek moyang yang sama. Hampir disemua tempat kita bisa menyaksikan pola hidup wetu telu. Namun sekitar tahun 1970-an banyak orang tua menyerahkan anaknya ke teben (mataram dan sekitarnya) untuk mengaji atau memperdalam agama Islam. dari generasi inilah yang kemudian banyak membawa perubahan pada masyarakat KLU hingga sekarang. (wawancara dengan amaq Masnun, salah satu orang tua yang tinggal di Dusun Kr. Gelebeg  Desa Pemenang Barat pada tanggal 9 Nopember 2011)
[3] Data di KUA Kecamatan Kayangan dan Kecamatan Bayan Tahun 2010
[4] Wawancara dengan Raden Gedarip. Tokoh Wetu Telu Bayan pada Tanggal, 29 Oktober 2011
[5] Dende Peniwarni adalah karyawan/staf Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah
   (PPKAD) KLU dan Slamet Riady adalah karyawan/staf BPM KLU
[6] Wawancara dengan Raden Nyakranom, Keluarga Besar Adat di KUA Kecamatan Bayan pada Tanggal 8 Nopember 2011.
[7] Wawancara dengan Raden Nyakranom, Keluarga Besar Adat di KUA Kecamatan Bayan pada Tanggal 8 Nopember 2011.
[8] Wawancara dengan Raden Sawinggih, keluarga besar adat Bayan pada Tanggal 8 Nopember 2011
[9] Suara Komunitas Panorama FM, wawancara dengan Rianom, S.Sos, ketua Pranata Adat Karang Bajo
  Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara di Dusun Ancak Timur Desa Karang Bajo, selasa 22 Juni 2011
[10] Bassam Tibbi, Islam and Cultural Accommodation of Social Change, San Francisco: Westview Pres, 1991. Hal. 88.  (google books)
[11] Bassam Tibbi, Islam and Cultutral Accommodation of Social Change Hal. 89
[12] Terlepas dari beberapa kebiasaan menyimpang yang menyertainya. Seperti; mendiamkan perempuan di rumah laki-laki sampai acara sorong serah resmi dilaksanakan. Hal ini bisa memakan waktu berbulan-bulan, baru dinikahkan secara adat atau agama atau minum blo’ (arak yang disimpan berbulan-bulan) pada acara begawe atau pestanya. (wawancara dengan ust. Tauhid seorang da’I di Dusun Segenter Tinggal di Segenter berasal  dari Kediri Lombok Barat, Tahun 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar