Satu
Syariat Beragam Fikih,
Sebuah Perspektif tentang Tarjih
Oleh: Miftahul Huda*
A. Pendahuluan
Syariat Islam
memiliki dua dimensi yang tak terpisahkan, yakni dimensi formal/lahiriah yang dikembangkan
dalam disiplin Fikih dan dimensi substansial/batiniah yang menyangkut
nilai-nilai moral, dan teologis yang kemudian berkembang menjadi disiplin Akhlāq/Tashawwuf
dan Tauhīd/’Aqīdah.
Dalam
kehidupan kaum muslimin, hukum Islam (Fiqh) [1]
memang menempati posisi yang amat penting, karena aturan-aturannya yang
mencakup semua aspek kehidupan mereka.[2]
Apa yang secara sederhana disebut hukum Islam, sesungguhnya sangat tepat jika
diapresiasi sebagai keseluruhan dari tata hidup dalam Islam itu sendiri.[3]
Namun cabang-cabang Fikih berkembang sesuai dengan kebutuhan umat Islam dari
waktu ke waktu dengan karakteristik tertentu baik dalam aspek substansi maupun
metodologinya.
Sebagai
agama, memang Islam diyakini memiliki nilai kebenaran absolut dan final. Tetapi
Fikih sebagai rumusan konsep aplikasinya, tidak lepas dari pengaruh perubahan
jaman dan situasi.[4] Norma-norma keagamaan
tersebut disimpulkan melalui proses Ijtihād dari sumber-sumber keagamaan
(al-mashādir al-dīniyyah) yang secara tekstual banyak berbeda satu sama
lain. Dari gugusan informasi yang bervariasi itulah kemudian ditarik rumusan
konsep norma hidup tersebut dengan menggunakan prinsip,[5]
metode, pendekatan dan kaidah penafsiran tertentu (tharīqat al-istinbāth).[6] Hasil-hasil ijtihad tersebut kini telah
menjadi khazanah pemikiran Hukum (tharwah fiqhiyyah) yang luar biasa
banyaknya dan sebagian besar berhasil diabadikan dalam karya-karya Fiqh
dengan berbagai mazhabnya hingga sekarang ini.
Luasnya ikhtilāf
(perbedaan diantara mazhab-mazhab Fiqh), sebenarnya menjadi berkah bagi
kehidupan umat Islam; yaitu dengan tersedianya banyak alternatif cara
mengamalkan ajaran Islam yang bisa dipilih sesuai dengan kondisi masing-masing
individu dan lingkungan masyarakat.[7]
Legitimasi mengenai hal ini sering disitir dari sebuah hadits Rasul: ikhtilāf
ummatī rahmah (perbedaan pendapat diantara umatku adalah rahmat),[8]
sekalipun otentisitas hadits tersebut menjadi kontroversi.[9] Keadaan seperti itulah, antara lain yang
menjadi salah satu jawaban, mengapa Hukum Islam dapat berkembang di lingkungan
sosial yang kontras sekalipun secara bersamaan. Mengutip khazanah klasik
Coulson melukiskan pentingnya pemahaman tentang ikhtilāf tersebut:
"Siapapun yang belum memahami seluk-beluk ikhtilaf tidak akan bisa
merasakan aroma Fiqh" (man lam ya'rif al-ikhtilāf lam yashumma rā'ihat
al-fiqh) [10]
Namun, di
sisi lain, beragamnya konsep hukum tersebut
juga membawa dilema sendiri bagi umat Islam, baik secara individual
maupun kolektif.[11] Lahirnya mazhab-mazhab
Fikih yang menandai cemerlangnya aktivitas intelektual umat Islam di awal-awal
sejarahnya (abad I hingga III Hijriah), ternyata juga membawa efek negatif pada
era-era berikutnya, seperti gangguan terhadap solidaritas dan ukhuwah di
antara mereka.
Banyak faktor
yang berpengaruh dalam hal ini. Namun kekaguman yang berlebihan terhadap para founding
fathers dan para tokoh mazhab serta keengganan untuk melakukan inovasi
berfikir telah mengikis semangat kritis para ulama dan cenderung membatasi
kegiatan intelektual mereka hanya pada upaya memahami, mengembangkan, membela
dan menyebarluaskan pemikiran para imam mazhabnya.[12]
Pola pengembangan intelektual seperti ini kian menyuburkan bibit konservatisme
dan fanatisme aliran, yang kemudian menggoyahkan sendi-sendi kesatuan umat pada
era-era sesudahnya.
Dengan
demikian, sekalipun tersedia konsep hukum yang beraneka ragam, dalam
kenyataannya sebagian besar umat Islam tetap tidak memperoleh manfaat yang
berarti, karena secara kultural mereka telah
terdidik untuk secara apriori mengafiliasikan dirinya (dan hanya mau
berhubungan) dengan aliran pemikiran tertentu. Apa yang oleh Coulson
digambarkan sebagai bentuk konflik dalam konsep-konsep hukum Islam, yakni
antara prinsip kesatuan (unity) dan keragaman (diversity), tetap
tidak terpecahkan.
Menanggapi
keadaan tersebut sejumlah ulama melakukan terobosan dengan studi hukum lintas
aliran, komparasi (muqāranah al-madhāhib) serta Tarjīh. Ibnu
Qudamah, salah seorang ulama mazhab Hanbali, adalah satu diantara perintis
penting. Melalui karyanya al-Mughnī, ia melakukan kajian kritis atas
berbagai konsep Fiqh kemudian dibandingkan dengan pandangan tradisional mazhab
Hanbali. Langkah ini diikuti oleh sejumlah ulama pada kurun-kurun sesudahnya.[13]
Usaha ini tentu saja merupakan langkah penting dan berani untuk mencoba
mencairkan kebekuan yang ada pada saat itu.
Hanya saja
karena dalam kajian tersebut para ulama juga menggunakan sumber, metode dan
pendekatan yang berbeda-beda sementara para pengikut mereka juga belum terbiasa
mengapresiasi pendapat-pendapat yang beragam, maka dari situ akhirnya lahir
juga hasil Tarjīh sebagai "mazhab baru" (madhhab tarjīh)
yang bervariasi, dan tidak kecil pula pengaruhnya dalam memupuk semangat
sektarian terutama di kalangan masyarakat awam.
Disinilah masalahnya, bahwa ternyata memahami hukum
Islam tidak dapat didekati hanya dari sisi thariqat al-istinbāth dalam
logika formalnya, melainkan perlu pendekatan secara lebih komprehensif, yang
meliputi:
- Kajian epistemologis, yakni mengenai sumber-sumber
pengetahuan mengenai hukum Islam yang dapat diterima.
- Telaah (komparatif) dari sisi metode dan
pendekatannya dalam istinbāth.
- Kajian yang lebih fundamental tentang aspek filsafat
moral di balik pengamalan ajaran agama serta obsesi-obsesi religius
orang-orang yang beriman.
- Pendekatan-pendekatan yang bersifat analisis
historis, sosio-kultur dan sosio-politik.
Sebenarya secara fundamental al-Quran telah
menjelaskan bahwa orientasi mendasar dari hidup manusia beriman adalah untuk
mengabdi. Allah menegaskan: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku".[14]
Satu-satunya ukuran untuk menentukan nilai masing- masing manusia di hadapan
Allah adalah terletak pada intensitas taqwā-nya.
Karena secara
hakiki, taqwā itu hanya diketahui oleh Allah, maka antar manusia
seharusnya tidak saling menghina, merendahkan, sombong, atau justru (sebaliknya) mengkultuskan orang
lain melebihi Allah (sekalipun terhadap nabi dan para ulama).. Malahan mereka
seharusnya saling mengingatkan (taushiyah), menghormati, menghargai,
mengasihi, berlomba serta bekerja sama bahu-membahu dalam melakukan kebajikan
dan (peningkatan) taqwā kepada-Nya.[15]
Penegasan
al-Quran atas manusia sebagai hamba Allah juga menyiratkan pesan bahwa pada
hakekatnya setiap orang tidak berwenang
untuk menetapkan sendiri ukuran-ukuran moral baik terhadap perbuatan
yang mereka lakukan sendiri atau yang dilakukan orang lain. Sebaliknya, mereka
harus menggunakan ukuran-ukuran yang telah ditetapkan oleh Allah. Karena apa
yang mereka sukai boleh jadi adalah buruk dan apa yang mereka benci, boleh jadi
sebenarnya adalah baik menurut Allah swt.[16] Ukuran-ukuran moral itu (baik secara aktual
maupun potensial) termuat dalam rangkaian misi pewahyuan lewat manusia-manusia pilihan; yaitu para nabi dan
rasul.
Kaum muslimin
yang hidup sesudah wafatnya rasulullah hingga masa sekarang, memahami
konsep-konsep hukum tersebut dengan menafsirkan teks verbal al-Quran dan “teks”
prilaku hidup nabi Muhammad saw. dengan menggunakan pendekatan dan pola
berpikir tertentu.
B. Basis Perbedaan dalam Fikih
Lahirnya
konsep-konsep Fikih dengan semua varian dan cabang pembidangannya serta
pengamalannya oleh warga masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor,[17]
yang secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam tiga aspek sebagai berikut:
1. Aspek Sumber atau Basis Epistemologi
Aspek ini
meliputi variasi pandangan mengenai beberapa hal berikut:
a.
Pandangan fundamental terhadap
konsep-konsep epistemologi yang telah berkembang di dunia Islam (yakni pola
pendekatan Bayānī, Burhānī dan ‘Irfānī.[18])
dan batas-batas penggunaannya masing-masing. Para ulama secara prinsip sepakat
dalam penggunaan argumen bayani (al-adillah al-manqūlah) yang
terdapat dalam al-Quran dan Sunnah nabi, namun mereka berbeda pendapat dalam
hal penggunaan argumen burhânī (al-‘aql) dan irfānī (al-kashf wa al-ilhām) sebagai sumber
pengetahuan mengenai hukum syariat.
b.
Jenis-jenis sumber materiil hukum
syariat yang dapat diterima (baik yang berupa teks verbal maupun lainnya). Misalnya 10 sumber yang popoler dalam kajian ushūl
fiqh, yakni; al-Quran, Sunnah, Ijmā’, Qiyās, Mashlahah al-mursalah,
Istihsān, ‘Urf, Shar’u man qablanā, Istishhāb, dan Madhhab al-sahābī,)
serta batas-batas penggunaannya masing-masing.
Terhadap jenis-jenis sumber hukum tersebut para ulama memiliki,
istilah-istilah teknis, konsep pemaknaan dan batasan aplikasi yang
berbeda-beda.
c.
Kriteria dan prosedur dalam
menilai otentisitas teks syariat yang dapat diterima, khususnya hadits, dan
batas-batas penggunaannya. Misalnya pilihan aplikasi dari model
pendekatan/kritik sanad dan
kritik matan. Para ulama yang berpegang pada model kritik sanad (terutama para muhaddithîn) menilai
otentisitas hadith berdasarkan kuantitas dan kualitas para rāwî yang
meriwayatkannya dari generasi ke generasi (silsitat al-ruwāt). Sedangkan
para ulama lainnya yang cenderung pada kritik matan menilainya
otentisitas suatu teks hadits dengan lebih memperhatikan kesesuaian isi teks
tersebut dengan teks-teks lainnya yang memiliki kesamaan tema sentral, terutama
dengan penjelasan eksplisit yang terdapat dalam ayat-ayat al-Quran.
Di antara para
ulama yang sama-sama menggunakan pendekatan / kritik sanad pun memiliki
standar yang tidak selalu sama, sehingga terkadang masih terjadi perbedaan
pendapat misalnya suatu teks hadits
bernilai sahîh menurut sebagian ulama,
sedangkan menurut lainnya bernilai hasan.
d.
Status dan hubungan antar sumber
hukum satu dengan lainnya. Misalnya posisi dan hubungan antara al-Quran dan Hadîth,
antara Hadith dengan Ijmā‘, Qiyās, antara suatu teks Hadith shahīh
dengan teks lainnya yang hasan dll, apakah masing-masing berada pada
posisi yang sifatnya herarkis sepenuhnya
sehingga sumber yang tingkatannya lebih tinggi menggugurkan semua sumber
yang berada di bawahnya jika maknanya tidak bersesuaian ataukah sebagai suatu
kesatuan sehingga harus disimpulkan secara bersamaan.
2. Aspek Otoritas dan Metode Istinbāth
Aspek ini terkait dengan perbedaan pendapat mengenai
otoritas dan pilihan pendekatan dan metode yang digunakan dalam menafsirkan
sumber-sumber yang telah dianggap sahih. Aspek ini menyentuh beberapa hal
berikut:
a.
Kriteria ulama yang dinyatakan
berhak melakukan ijtihâd (syarat mujtahid). Misalnya apakah seorang ilmuwan ternama yang
tidak pandai membaca al-Quran atau tidak memahami Bahasa Arab memiliki
kewenangan untuk melakukan ijtihād di bidang hukum syariat. Atau
apakah untuk menjadi seorang mujtaihd disyaratkan harus hafal seluruh
ayat al-Quran (terutama ayart-ayat yang terkait dengan tema hukum yang tengah
dikajinya), dan berbagai persyaratan lainnya.
b.
Pandangan tentang signifikansi
suatu teks yang dianggap sahih dengan esensi ajaran syariat. Hal ini terkait
dengan pertanyaan apakah isi teks itu merupakan bagian dari esensi ajaran/pesan
utama syariat atau hanya merupakan deskripsi atas fakta sosial, kultural atau
kecenderungan/selera pribadi yang secara substansial tidak mengandung pesan
syariat (konsep al-Sunnah al-Muttaba’ah). Misalnya perbedaan pandangan
mengenai isi teks-teks Hadits tentang memanjangkan jenggot, kepemimpinan orang
Quraisy[19],
kepemimpinan wanita[20],
mengenakan cincin perak di jari manis,[21] warna pakaian, selera makanan, pola menyisir
rambut, dan sebagainya. (yang banyak ditemukan dalam kitab-kitab sahih).
Sekalipun dari
sisi sanad banyak teks hadits sahih mengenai hal-hal tersebut, namun
para ulama berbeda pendapat apakah kandungan makna hadits-hadits seperti itu
termasuk dalam ketentuan hukum syariat yang selalu harus dilaksanakan atau
tidak.
c.
Pilihan “teks-teks sahih” yang digunakan sebagai hujjah Karena biasanya ditemukan banyak teks yang
dapat diterapkan untuk kasus yang sama. Teks tentang shalat misalnya banyak
sekali yang diambil secara berbeda-beda antara mujtahid satu dengan lainnya, sehingga mereka memiliki
pendapat yang berbeda mengenai masalah tertentu misalnya mengenai jumlah rukun,
syarat, bacaan, dan hal yang membatalkan shalat. Demikian pula ketika mereka
merumuskan konsep hukum mengenai penggunaan alat kontrasepsi dalam program
keluarga berencana, konsep mengenai tatanan politik, ekonomi, dan sebagainya.
Karena masing-masing ulama menggunakan rujukan teks syariat yang berbeda, maka
kesimpulan akhirnya pun kemungkinan juga akan berbeda.
d.
Hubungan antara teks satu dengan
teks lainnya yang sama-sama telah dianggap valid (sahîh). Haruskah selalu dilakukan tarjih
terhadap semua teks hadits yang isinya dianggap berbeda atau semuanya bersifat
pilihan yang relatif bebas karena teks-teks itu telah dinilai sahih.
e.
Perspektif tentang pesan utama
yang ada di dalam suatu teks. Hal ini
terkait dengan perbedaan visi, pola pikir dan fokus perhatian para mujtahid terhadap
aspek kehidupan (misalnya antara ulama dari lingkungan pedagang, sufi,
lingkaran istana, ilmuwan, petani politisi, ekonom dll.). Sebuah teks Hadits yang ditempatkan pada bab
Fikih tertentu bisa ditempatkan pada bab lainnya oleh ulama yang berbeda.
Penempatan ini sangat besar pengaruhnya dalam “mengarahkan” kesimpulan para
mujtahid pada era-era berikutnnya.
f.
Pilihan pola pendekatan yang
digunakan sebagai dasar dalam memahami teks tersebut (misalnya dengan pendekatan tekstual/literal,[22]
kontekstual[23] atau kombinasi di antara
keduanya) serta batas-batas penggunaannya.
g.
Perpektif mengenai teks verbal (hadith
qaulî) dengan yang fi’îi, taqrîrî dan sifati, apakah semuanya
dianggap memiliki signifikansi yang sama dalam semua tema hukum. Hal ini karena hadits qaulî merupakan deskripsi yang teks literalnya
diucapkan sendiri oleh nabi, sedangkan jenis hadits lainnya (fi’îy, taqrirî
dan sifatî) teks literalnya tidak
pernah diucapkan oleh nabi melainkan berasal dari abstraksi, persepsi dan
reportase para sahabat yang menyertai nabi.
Ibn Hazm,
salah seorang tokoh utama mazhab zāhiri, misalnya berpendapat bahwa
hadits yang bisa digunakan sebagai hujjah (argumen) hukum hanyalah
hadits qauly , sementara hadits fi’lî statusnya adalah sebagai uswah
sedangkan hadits taqriry adalah sebagai isyarat pembolehan (ibāhah).[24]
h.
Perspektif tentang intensitas
perintah (apakah menghasilkan hukum wājib atau sunnah) dan
larangan (apakah mengarah pada hukum harām atau makrūh) yang
terdapat dalam teks syariat dan signifikasinya terhadap suatu masalah hukum.
Misalnya hadits tentang “keharusan” adanya wali dalam pernikahan
terdapat di semua kitab hadits sahih sehingga para ulama tidak meragukan
kesahihannya. Namun mereka berbeda pendapat apakah wali nikah itu bagian dari rukun
(yang menentukan sahnya nikah) atau sebatas elemen penyempurnaan saja (sehingga
tanpa wali pun nikah tetap sah sekalipun kurang sempurna). Demikian pula ketentuan hukum mengenai mandi
pada hari Jumat, sebagian besar ulama tidak menyatakan hukum wajib, namun Imam
Muslim meletakkan hadits mengenai hal itu di bawah judul bab kewajiban mandi
Jumat (bāb wujūb ghusl al-Jum’ah)[25]
i.
Perbedaan pendapat dalam
penggunaan perspektif Hermeneutika dalam menelakukan kajian terhadap teks
syariat tertentu, misalnya hadits, atau pendapat ulama terdahulu. Hal ini
terkait dengan kemungkinan mengkonstruksi makna baru di luar makna-makna yang
sudah dipopulerkan ulama sebelumnya
(bukan hanya reproduksi tapi juga produksi; bukan hanya justifikasi dan
repetisi tetapi juga discovery/upaya menemukan konsep-konsep pemahaman
yang baru).
Sebagai pola
pemahaman yang secara historis dianggap berasal dari luar tradisi keilmuan umat
Islam, penggunaan pola pemiikiran Hermeneutika mendapatkan tantangan keras dari
sebagian besar ulama.
3. Aspek
Proses Sosialisasi dan Pengamalan oleh umat.
Aspek ini
terkait dengan faktor-faktor sosiohistoris yang menyertai kehidupan kaum
muslimin dan para ulama Fikih, yang
meliputi beberapa hal berikut:
a.
Proses perkembangan dan penyebaran
konsep Fikih. Misalnya yang terkait dengan kegigihan para penganut suatu mazhab
untuk mengembangkan, menyebarluaskan, mendirikan madrasah, dan menulis
buku. Berkembangnya mazhab-mazhab
tertentu hingga sekarang dan punahnya banyak mazhab lainnya tidak lepas dari faktor ini. Sejumlah mazhab hukum yang pernah populer di
masa lalu dan kemudian punah seiring dengan perjalanan sejarah (Misalnya mazhab
Sufyan al-Thauri, Sufyan Ibn Uyainah, al-Auza’i dll), tidak bisa diklaim bahwa
seluruh pendapat mazhab tersebut salah, melainkan karena secara “kebetulan”
mazhab tersebut tidak memiliki tokoh-tokoh besar yang memperjuangkannya, dan
mengabadikannya dalam bentuk karya ilmiah dari waktu ke waktu sebagaimana
mazhab lainnya yang masih eksis dan
terus berkembang hingga kini.
b.
Akseptabilitas sosiologis terhadap
konsep-konsep Fikih yang disebarkan di setiap lingkungan sosial. Hal ini karena
sekalipun semua mazhab Fikih disosialisasikan di tengah masyarakat, pada
akhirnya faktor-faktor sosiologis dengan sendirinya akan melakukan “seleksi”
alamiah untuk memilih mana di antara konsep/mazhab fikih tersebut yang dapat
diterima dan kemudian dikembangkan oleh umat.
Masalah ini terkait dengan suasana kehidupan masyarakat, tantangan
historis dan momentum situasi yang menyertainya. Karena para ulama di setiap lingkungan
masyarakat pada setiap era sejarahnya selalu menghadapi pertanyaan, tantangan
dan kebutuhan historis yang berbeda-beda. Misalnya keperluan untuk
mengembangkan Fikih politik, perbankan syariah, atau Fikih lingkungan hidup
tidak sama tingkat urgensiya di semua lingkungan masyarakat muslim.
c.
Proses (dinamika politik)
legislasi aturan-aturan Fikih menjadi aturan formal. Angin politik (dukungan dan penolakan mainstream
kekuatan politik) serta keberpihakannya terhadap para ulama yang berpegang pada
konsep Fikih tertentu terbukti sangat berpengaruh pada proses perkembangan
Fikih dalam kehidupan masyarakat baik dalam teori maupun penerapannya. Hal itu
misalnya tampak pada corak perkembangan Fikih
di Haramain (Mekkah dan Medinah)
antara sebelum dan sesudah tampilnya dinasti Saudi di tampuk kekuasaan.[26]
d.
Akseptabilitas aturan fikih oleh
masing-masing individu sesuai dengan kebutuhannya sendiri-sendiri. Hal ini
karena setiap individu memiliki karakter, keperluan, kecenderungan pribadi,
tantamgan hidup dan situasi khasnya masing-masing. Misalnya seorang muslim yang
berprofesi sebagai pengusaha dan tinggal di kota besar yang sibuk sangat
mungkin memiliki aksentuasi pilihan jenis ibadah dan corak pengamalan Fikih
yang berbeda dengan saudaranya yang petani dan tinggal di pedesaan, sekalipun
keduanya mempunyai semangat keislaman yang tinggi.
e.
Pengaruh mainstream aliran
yang tengah berkembang di tengah masyarakat. Faktor ini misalnya sangat
menentukan desain kurikulum pendidikan agama Islam, tama-tema dakwah dan kegiatan
keagamaan yang berkembang, sehingga amat menentukan corak perkembangan
pemahaman dan pengamalan Fikih di setiap lingkungan masyarakat.
Jika masing-masing faktor tersebut dikaji lagi dalam
uraian yang lebih detail, maka akan semakin jelas bahwa keragaman pemahaman dan
pengamalan Fikih secara alamiah memang pasti terjadi karena hal itu merupakan
konsekuensi logis dari terbukanya pintu ijtihad dan perkembangan kehidupan
sosial di masing-masing lingkungan masyarakat.
Perbedaan hasil ijtihad para ulama dan keragaman
pengamalannya oleh umat tidak dapat dihilangkan sama sekali karena perbedaan
pandangan dalam satu item saja dari faktor-faktor yang telah disebutkan di atas
selalu membawa potensi terjadinya
perbedaan dalam pandangan dan pengamalan Fikih.
Di samping itu juga karena secara prinsip kedudukan
para ulama tersebut adalah setara. Tidak ada seorang atau sekelompok ulama
tertentu yang boleh mengklaim dirinya lebih berhak untuk diikuti pendapatnya
dan memaksakannya pendapatnya itu kepada umat.
C. Tarjih : Pendekatan, dan Otoritas
Dari penjelasan di atas, ada sejumlah catatan yang
penting untuk digarisbawahi: Pertama,
pemetaan dari sudut metode istinbâth atas berbagai aspek pembidangan
Fikih menunjukkan bahwa para mujtahid dan pengikut mereka ternyata tidak sepenuhnya
berpegang pada pola-pola dan manhaj pemikiran tertentu secara konsisten.
Kedua, lahir dan berkembangnya pemikiran Fikih tidak selalu terkait
secara jelas dan meyakinkan dengan persoalan benar dan salah, tetapi juga
sangat ditentukan oleh faktor sosiologis, momentum situasi dan “kebetulan”
sejarah. Ketiga, klaim-klaim “keunggulan” Fikih tertentu terhadap
lainnya, sesungguhnya tidak pernah bersifat valid mutlak karena di dalamnya
juga tidak pernah lepas dari kontroversi, kritik dan inkonsistensi metodologis.
Oleh karena
itu, untuk memilih (tarjîh) konsep hukum yang hendak diamalkan,
disosialisasikan atau dijadikan pijakan dalam penetapan kebijakan publik,
seharusnya tidak hanya didasarkan pada logika hukum Fikih (thariqah
al-istinbāth al-fiqhiyyah) semata seperti dalam kajian ushūl fiqh yang sudah ada, melainkan
perlu menggunaka instrumen lain sebagai tolok ukur. Dalam hal ini ada tiga
pendekatan yang dapat digunakan, yaitu pendekatan religio-etika,
pendekatan teleologis-sosiologis dan pendekatan ilmu pengetahuan
(sains).
Pendekatan
religio-etika adalah memilih pendapat Fikih berdasarkan kedekatannya dengan
semangat pengabdian (ibādah) kepada Allah swt. Dalam konteks ini seluruh
kegiatan hidup manusia pada dasarnya merupakan indikator ekspresi dari rasa
syukur dan kesungguhannya untuk mengikuti pesan-pesan Allah. Oleh karena itu
ketika terdapat banyak kesimpulan Fikih yang sama-sama memiliki argumen (hujjah)
dan sama-sama dapat dijelaskan dari logika tarīqah al-istinbāt sekalipun
mungkin dengan perspektif yang berbeda, maka selanjutnya harus dinilai
dari sisi kedekatannya dengan semangat menjalani kesalehan hidup, bersyukur,
dan mematuhi pesan-pesan Ilahi.
Misalnya dalam ketentuan Fikih seseorang yang telah
memiliki minimal (nishāb) 40 ekor kambing[27] selama
satu tahun diwajibkan untuk mengeluarkan zakat seekor kambing. Jika
berpegang secara ketat kepada ketentuan tersebut sebenarnya secara formal dia
bisa “menghindar” dari kewajiban membayar zakat; yaitu dengan selalu menjual
seekor kambingnya sebelum jatuh tempo satu tahun sehingga kambingnya selalu
tinggal 39 ekor. Cara ini disebut hilah hukum, yakni melakukan suatu
tindakan yang dengan sengaja dimaksudkan untuk menghindar dari kewajiban
menjalankan aturan syariat.
Secara logika formal dia memang bisa menghindar dari
kewajiban membayar zakat karena dalam kenyataan kambingnya memang kurang dari
40 ekor. Hanya saja dari sudut pandang nilai keagamaan cara itu sungguh tidak
bermoral karena dia dengan sengaja menghindar dari perintah Allah yang telah
memberinya karunia rizki berupa harta dan karunia lainnya. Seharusnya dia
justru memilih untuk tetap mengeluarkan zakat sebagai wujud dari komitmen
pengabdian (beribadah) dan rasa syukur kepada Allah atas limpahan karunia rizki
yang Dia berikan, bukan malah menghindarinya.
Pendekatan teleologis-sosiologis dilakukan
dengan cara melihat (atau
memperhitungkan) dampak yang akan
timbul dari pengamalan suatu aturan hukum dan kesesuaiannya dengan tujuan
fundamental hukum syariat (maqāshid al-ahkām al-shar’iyyah). Dalam
menentukan pilihan terhadap berbagai konsep Fikih yang sama-sama argumentatif
dari sisi thaīqat al-istinbāth, pertanyaan yang harus dikaji adalah mana
di antara konsep-konsep Fikih tersebut yang paling mencerminkan nilai-nilai
fundamental syariat dan paling kuat dalam mendorong terwujudnya tujuan-tujuan
fundamental syariat seperti maslahah, kesejahteraan, dan keadilan
sosial.
Kemaslahatan itu sendiri sifanya dinamis. Seperti
dikemukakan oleh al-Asymawi keberadaan aturan syariat adalah dimaksudkan untuk
memberikan maslahat bagi masyarakat. Oleh karena itu sejalan dengan
perkembangan sosial sebagian aturan syariat diganti (naskh) dengan yang
lain. Hal itu karena kebenaran dan kemaslahatan aturan syariat bergantung pada kemajuan realitas yang terus
berubah. [28]
Misalnya dengan logikanya masing-masing para ulama
berbeda pendapat mengenai hukum melakukan pembatasan kelahiran anak dalam
program Keluarga Berencana (KB) dengan berbagai tekniknya. Para ulama yang
setuju menggunakan argumen ayat al-Quran[29]
dan sejumlah hadits. Sedangkan ulama yang tidak setuju juga menggunakan argumen
ayat al-Quran[30] dan sejumlah hadits
lainnya. Jika kedua pendapat tersebut sama-sama bisa dianggap argumentatif dari
sisi tharoqat istinbāt, maka untuk memilihnya kedua pendapat tersebut
harus dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan prinsip maslahah yang
menjadi salah satu tujuan fundamental syariat
Islam (maqāshid al-shari’ah) sesuai dengan konteks sosialnya
masing-masing..
Pendapat yang
menganjurkan KB rasanya sangat cocok untuk diterapkan di negeri-negeri padat
penduduk yang masyarakatnya masih miskin, karena dengan program KB yang
dibarengi langkah-langkah pemberdayaan sosial lainnya, akan terbuka peluang
yang lebih baik untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup dan mempersiapkan generasi masa depan yang lebih
berkualitas. Sedangkan pada masyarakat
yang sudah makmur apalagi jika jumlah penduduknya cenderung menurun, memerintahkan untuk ber KB justru kurang
relevan karena dengan keluarga besar pun mereka tetap mampu hidup sejahtera,
berkecukupan dan mampu mempersiapkan generasi masa depan dengan baik.
Pendekatan ilmu pengetahuan dilakukan dengan
mengkaji kesesuaian suatu hasil ijtihad dengan sains dan ilmu pengetahuan modern,
yang kebenarannya telah diterima secara luas atau telah dibuktikan secara
empirik. Pedekatan ini sangat cocok digunakan terutama untuk menangani
masalah-masalah yang terkait dengan proses-proses alamiah, seperti masalah lama
masa kehamilan atau haid, kepastian garis keturunan (nasab), arah
kiblat, penentuan hilal untuk keperluan puasa ramadhan, dan sebagainya.
Dalam menangani masalah-masalah tersebut, penjelasan
sains, pemeriksaan oleh tenaga medis yang ahli, penggunaan tes DNA dan
pemanfaatan teknologi dan ilmu astronomi modern dapat memberikan kesimpulan
yang lebih meyakinkan dari pada hasil kesimpulan lewat analisis deduktif (istinbāt)
atas sumber-sumber syariat yang masih mujmal.
Karena sifatnya yang tidak dogmatis, ketiga pola
pendekatan tersebut (etika-religius, teleologis dan sains), dapat lebih
menyentuh masalah kehidupan yang nyata dan lebih mudah berinteraksi dengan
rasionalitas masyarakat modern. Hal ini bisa mendorong proses dialog yang sehat
di antara sesama ulama untuk menemukan kesamaan visi dan cara pandang terhadap
suatu permasalahan yang dihadapi umat.
Di samping mmasalah pendekatan dalam berijtihad, ada
aspek lain yang juga penting untuk diperhatikan, yaitu persoalan otoritas dan
prosedur dalam melakukan tarjih.
Sejak awal pertumbuhan Fikih, pemahama tentang
otoritas ijtihād berkembang secara alamiah berdasarkan pengakuan umat
terhadap figur-figur tertentu yang secara personal dianggap mumpuni. Setelah
melalui proses historis yang panjang akhirnya muncul figur-figur ulama besar
dalam wacana pemikiran hukum Islam,
seperti para imam mazhab dan generasi penerus mereka. Mereka itulah yang
kemudian menjadi rujukan umat dalam memahami dan mengamalkan hukum syariat.
Dewasa ini
pola ijtihad personal/individual (ijtihād fardī) seperti itu kurang
sesuai lagi dengan tuntutan kehidupan yang terus berkembang. Dengan
meningkatnya jumlah masalah baru maka seorang mujtahid betapapun
hebatnya tidak akan mampu menangani sendiri semua masalah yang dihadapi umat.
Apalagi meningkatnya kuantitas juga dibarengi dengan peningkatan kompleksitas
masalahnya sehingga sangat sulit untuk diselesaikan hanya oleh satu dua orang
ulama saja.
Dalam hal ini
diperlukan keahlian para spesialis di berbagai bidang untuk membantu
menjelaskan hal-hal yang diperlukan. Misalnya penjelasan kalangan ahli medis
diperlukan sebelum membahas status hukum transplantasi organ tubuh, bayi
tabung, operasi kelamin, dan sebagainya.
Demikian pula penjelasan para peneliti sosial dan kriminolog diperlukan
dalam upaya mengembangkan konsep hukum pidana berbasis syariah yang hendak diterapkan
dalam kehidupan masyarakat.
Di samping
itu diperlukan pula adanya mekanisme sistemik untuk memilih ketika terdapat
hasil ijtihād yang berbeda. Demikian pula mekanisme untuk melakukan
kajian ulang atas hasil ijtihad sebelumnya..
Hal ini diperlukan ketika ditemukan bukti-bukti dan argumen baru yang
lebih kuat atau karena adanya perkembangan situasi kehidupan yang memerlukan
respons tertentu. Misalnya kajian ulang
terhadap larangan melakukan tindakan medis untuk menunda waktu haid bagi wanita
yang tengah menjalankan ibadah haji, terutama yang berasal dari negeri-negeri
yang jauh dari tanah suci.
Oleh karena
itu pada masa sekarang dan di masa depan perlu terus dikembangkan pola ijtihād
yang diselenggarakan secara kolektif (ijtihād jamāi) dan dilaksanakan
secara kelembagaan. Ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi pentingnya hal
ini;
a.
Dengan ijtihad secara kolektif
akan ditemukan konsep hukum dengan dalil-dalil, hujjah (argumen) serta
pertimbangan yang lebih kuat dan komprehensif karena dalam forum itu semua
pendapat yang berkembang dapat diklarifikasi, dinilai dan diperbandingkan satu
sama lain dengan semua perspektif, variabel,
dan argumen (hujjah) yang mendasarinya.
b.
.Secara substansial setiap masalah
dapat dikaji secara lebih luas dan mendalam karena melibatkan para spesialis
dari berbagai latar belakang keahlian yang relevan, sehingga pembahasan masalah
tidak hanya disandarkan pada teori dan pernyataan tekstual sumber-sumber syariat
dan kesimpulan deduktifnya, melainkan juga didasarkan pada fakta, data, dalil,
dan argumen yang lebih dapat diandalkan.
c.
Ijtihad secara kolektif, pada
tingkat tertentu, dapat membantu upaya merumuskan nilai-nilai fundamental dan
visi sosial bersama di antara para ulama, sehingga dapat mengurangi potensi
perpecahan umat karena semangat primordial dan fanatisme terhadap ulama
tertentu.
Pada aspek hukum yang menyentuh
kebijakan dan kepentingan publik penanganan yang sifatnya
kolektif-institusional bahkan semakin urgen.
Keberadaan institusi tersebut diperlukan untuk:
a.
Menentukan pilihan atas hasil ijtihād
yang berbeda-beda. Sehingga dapat ditetapkan hanya satu ketentuan hukum yang
seragam bagi semua warga masyarakat. Dengan kesatuan (unifikasi) aturan hukum
itu maka fungsi hukum syariat sebagai alat pengendalian sosial, pemersatu
masyarakat dan sarana transformasi sosial dapat dimainkan secara lebih efektif.
b.
Dengan adanya institusi hukum yang
definitif, maka ada pemegang kewenangan
formal dalam penegakan hukum sehingga ketentuan hukum syariat tidak hanya
berfungsi sebagai wacana diskursus di antara para ulama atau sekedar “himbauan
moral” tetapi benar-benar ditegakkan dalam kehidupan. Hal ini amat penting untuk menghindari
praktek “main hakim sendiri” antar warga masyarakat yang mengarah kepada
situasi anarkisme hukum dan kekacauan sosial.
c.
Dengan adanya institusi yang
definitif pengembangan konsep hukum syariat dan penerapannya dapat dirancang
dan ditangani secara komprehensif sejak dari hulu hingga ke hilir, termasuk
antsisipasi dampak sosial yang mungkin timbul dari penerapan aturan hukum itu
sendiri.
Namun demikian
perlu diperhatikan bahwa karena berbagai faktor, tingkat akseptabilitas masyarakat terhadap
aturan syariat dan kemampuan penegakannya juga ada batasnya, sehingga secara
sosiologis tidak mungkin konsep-konsep aturan syariat yang dirumuskan para
ulama diterapkan hingga sekecil-kecilnya.
Oleh karena
itu diperlukan skala prioritas dan klasifikasi aspek-aspek yang perlu dan
mungkin dibuat aturan melalui lembaga penegakan hukum formal. Di sisi lain harus pula tetap disediakan
ruang yang cukup luas bagi warga masyarakat, untuk memilih dan mengembangkan
sendiri konsep hukum syariat yang ada, terutama dalam aspek-aspek yang terkait
dengan kehidupan pribadi dan domestik, baik melalui keluarga, lembaga pendidikan, media massa, organisasi
kemasyarakatan (ormas), maupun
kelompok-kelompok civil society lainnya.
D. Penutup
Sekalipun telah melalui kajian yang luas dari
berbagai segi dan menunjukkan kelebihan pada sisi-sisi tertentu, namun semua
hasil tarjîh pada dasarnya tetap merupakan produk ijtihād juga,
sebagaimana pendapat-pendapat yang di-tarjih. Oleh karena itu kebenarannya juga tidak bisa dianggap absolut
dan final, karena kesimpulannya amat bergatung pada variabel-variabel yang
menjadi pertimbangannya.
Pengertian
tersebut perlu digarisbawahi karena di samping untuk tetap membuka peluang
melakukan kajian ulang atas hasil tarjih, juga memberikan isyarat kepada
kaum muslimin untuk saling mengapresiasi dan menerima dengan besar hati fakta
keragaman Fikih dalam masalah furu’ sehingga tercipta semangat
kebersamaan dan toleransi yang lebih tulus satu sama lain.
Mereka juga perlu menggeser titik berat orientasi
kegiatan dakwah dari pola-pola yang sifatnya eksklusif sektarian ke arah dakwah
Islāmiyah yang lebih luas dan lebih substansial. Dakwah eksklusif sektarian
adalah mengajak sesama muslim berpindah dari (mazhab) Fikih yang satu menuju
Fikih yang lain, sedangkan dakwah substantif-universal adalah mengajak
masyarakat untuk menerima dan mengamalkan ajaran-ajaran fumdamental Islam yang
secara umum telah disepakati oleh umat.. Misalnya menyampaikan panggilan
beriman kepada komunitas masyarakat yang selama ini belum tersentuh panggilan
dakwah, atau mengajak mereka yang belum shalat untuk menunaikannya atau
menggalang partisipasi masyarakat untuk memajukan pendidikan al-Quran bagi
anak-anak dan remaja muslim adalah lebih baik dari pada mengajak berpindah dari
bacaan shalat yang satu ke bacaan yang lain jika kedua bacaan tersebut masih
sama-sama memiliki argumen/dalil
(sekalipun debatable).
Dengan
semangat itu mereka dapat meningkatkan penghayatan dalam ibadah, melakukan
refleksi keilmuan secara sehat atas berbagai pedapat Fikih yang ada,
mengembangkan wawasan keagamaan dan kemanusiaan yang lebih luas, serta
menangani masalah yang lebih strategis guna membuat kemajuan bersama di
berbagai bidang kehidupan.
Dalam
mengamalkan syariat seharusnya kaum muslimin juga tidak hanya memperhatikan
aspek simbolis dan formalitasnya tetapi juga mendalami dan mengaktualisasikan
lebih jauh aspek spiritual dan substansialnya yang berupa kedalaman penghayatan
religiusitas dan internalisasi pesan-pesan moralnya serta memperhatikan manfaat
dan implikasi sosialnya.
E. Bibliografi
Alwi,
Rahman, Metode Ijtihad Mazhab
al-Zahiri, Alternatif Menyongsong Modernitas, (Jakarta: Gaung Persada Pers,
2005),
Amiri,
Abdallah M. Husain al-, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam, Pemikiran Hukum
Najm ad-Din Thufi, (Jakarta: gaya Media Pratama, 2004),
Anderson,
J.N.D Islamic Law in Modern World (New York University Press, 1959)
Anwar,
Syamsul, “Epistemologi Hukum Islam dalam al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul
Karya al-Ghazali (450-505/1058-1111)”, Disertasi (Yogyakarta: Program
Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 2000).
Asymawi,
Muhammad Sai’d al-, Nalar Kritis Syariah, terj. Luthfi
Thomafi (Yogyakarta: LkiS, 2004)
Bakar,
al-Yasa Abu "Beberapa Teori Pelanaran Fiqh dan Penerapannya" dalam
Tjun Sudjarman (ed), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek (Bandung: Rosdakarya, 1994)
Bayanuni,Muhammad
Abul fatah al- Islam Warna-warni Tradiosi beda Pendapat dalam Islam,
terj. Abdul Stukur dkk. (Jakarta: Hikmah, 2003)
Bukhari,
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismail al- Matn
al-Bukhārīî (Jeddah: Ak-Haramain, tt)
juz III,
Chatib,
Ahmad Hukum Islam dan Perubahan Masyarakat (Jakarta: Intermasa, 1980)
Coulson,
Noel J. Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence (Chicago: The
University of Chicago Press, 1969),
Donald,
D. B. Mc Muslem Theology Jurisprudence and Constitutional Theories, (New
York University Press, 1907);
Haqq,
Ubaid al- "Kebangkitan Kembali Islam: Tantangan Perubahan" dalam
Taufiq Abdullah (ed) Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara
(Jakarta: LP3ES, 1988) .
Imarah,
Musthafa Muhammad Jawāhir al-Bukhârī (tt: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah
Indonesia, 1371 H)
Jabiri,
Muhammad ‘Abid al-, Bunyah al-‘Aql
al-‘Arabī: Dirāsah Tahliliyyah al-Naqdiyyah li al-Nuzhum al-Ma’rifah fi
al-Tsaqāfah al-Islāmiyyah (Beirut, Cassablanca: al-Markaz al-Tsaqafi
al-‘Arabi, 1993)
Kamali,
Muhammad Hashim, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, terj Noorhaidi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)
Muslim, bin Hajjaj, Sahih Muslim ( tt. Dar
Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah) juz II
Nasser,
Seyyed Hussein Ideals and Realities of Islam (London: George and Allen
Unwin, 1966)
Qaradhawi,
Yusuf al- Fiqhul Ikhtilāf terj.
Aunul Rafiq Shaleh Tamhid (Jakarta: Robbani Press, 2001).
____________
, Ijtihad Kontemporer Kode Etika dan Berbagai Penyimpangannya, terj Abu
Barzani (Surabaya: Risalah Gusti, 1995)
Rusli,
“Interaksi Power dan Knowledge dalam Kostruksi Mazhab Fiqih dalam Perspektif
Historis”, dalam Jurnal Islamica
(Surabaya: Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel) vol 4 nomor 1 September 2009.
Rusyd,
Ibn, Bidāyat al-Mujtahid wa Nihāyat
al-Muqtasid (tt: Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyyah Indunisiya) juz I,
Sirry,
Mun’im A “Ke Arah Rekonstruksi Tradisi Ikhtilaf”, Jurnal Ulumul Quran (Jakarta: LSAF,
no. 4vol V 1994).
____________,
Sejarah Fiqh Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1995)
Thabari,
al- , Ikhtilāf al-Fuqahā (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt)
Wahid, Abdurrahman "Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang
Pembangunan", dalam jurnal Prisma (Jakarta: LP3ES) nomer 4, Agustus
1975.
*)
Staf pengajar Fakultas Syariah
IAIN Mataram
[1]Pandangan
yang menganggap pengertian hukum Islam sebagai terjemahan sederhana dari
istilah Fiqh seperti yang secara keseluruhan hendak digunakan di sini,
sekalipun cukup populer, namun belum menjadi konvensi yang diterima oleh
seluruh pakar Hukum Islam.
[2]Abdurrahman
Wahid, "Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan", dalam
jurnal Prisma (Jakarta: LP3ES) nomer 4, Agustus 1975.
[3]JND
Anderson, Islamic Law in Modern World (New York University Press,
1959) 4; Bandingkan juga dengan D.B. Mc
Donald, Muslem Theology Jurisprudence and Constitutional Theories, (New
York University Press, 1907); serta Seyyed Hussein Nasser, Ideals and
Realities of Islam (London: George and Allen Unwin, 1966) 105-6.
[4]Ahmad
Chatib, Hukum Islam dan Perubahan Masyarakat (Jakarta: Intermasa, 1980)
hlm. 357-71. Lihat juga Yusuf Qaradhawi, Ijtihad Kontemporer Kode Etika dan
Berbagai Penyimpangannya, terj Abu Barzani (Surabaya: Risalah Gusti,
1995) 7-10.
[5]Mengenai
prinsip-rinsip umum syariat, lihat Muhammad Sai’d al-Asymawi, Nalar Kritis Syariah,
terj. Luthfi Thomafi (Yogyakarta: LkiS, 2004) , 46-89.
[6]Kaidah-kaidah
interpretasi ini dikenal dengan istilah Ushul Fiqh. Mengenai hal ini
lihat al-Yasa Abu Bakar, "Beberapa Teori Pelanaran Fiqh dan
Penerapannya" dalam Tjun Sudjarman (ed), Hukum Islam di Indonesia
Pemikiran dan Praktek (Bandung:
Rosdakarya, 1994) 173- 208. Juga Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan
Teori-teori Hukum Islam, terj Noorhaidi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996) khususnya Bab IV dan V
109-88.
[7]Ada
dua pandangan dalam menyikapi fakta Ikhtilaf ini. Kelompok pertama
menolak kemungkinan adanya Ikhtilaf karena memandang Ikhtilaf
sebagai Bid’ah dan menjadi penyebab kemunduran umat. Sedang pandangan
kedua justru melihatnya sebagai bukti konkret bahwa sekalipun Islam berdiri
kokoh diatas dasar kebenaran mutlak namun tetap memberikan ruang gerak bagi
perkembangan pemikiran.
[8]Misalnya
seperti dinyatakan oleh al-Thabari dalam Ikhtilaf al-Fuqaha (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, tt) 6.
[9]Syekh
Nashiruddin al-Albani misalnya menolak keabsahan hadits tersebut. Mengutip
Allamah Subky, dia mengatakan “sanadnya dhaif dan maudhu’nya saja
tidak ditemukan qpalagi yang shahih”.
Mun’im A Sirry, “Ke Arah Rekonstruksi Tradisi Ikhtilaf”, Jurnal Ulumul Quran (Jakarta: LSAF,
no. 4vol V 1994)
59
[10]Noel
J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence (Chicago:
The University of Chicago Press, 1969), 21.
[11]Diantara
academic problem mengenai hal ini antara lain dapat disimak pada Ubaid
al-Haqq "Kebangkitan Kembali Islam: Tantangan Perubahan" dalam Taufiq
Abdullah (ed) Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara (Jakarta:
LP3ES, 1988) . 460-83. Lihat juga JND Anderson, Islamic law... 81-100.
[13]Noel J. Coulson, Conflicts and Tensions 33-4
[14]Qs.
51 (al-Dhariyat):: 56.
[15]Qs.
5 (al-Ma’dah) : 2.
[16]Qs.
2:216.
[17]Syekh
Yusuf al-Qaradhawi membagi faktor penyebab terjadinya perbedaan dalam paham
keagamaan ini (termasuk dalam Fikih) ke dalam dua kelompok besar. Pertama
adalah faktor moral atau mentalitas. Termasuk dalam kategori ini adalah
perasaan bangga yang berlebihan terhadap pendapat sendiri, buruk sangka
terhadap orang lain, egoisme, fanatik terhadap mazhab, etnis, negara,
jamaah/organisasi, pemimpin dan sebagainya. Kedua, adalah faktor-faktor
yang berhubungan dengan perbedaan pemikiran, perspektif dan cara pendekatan
terhadap suatu isu keagamaan tertentu. Pada bagian inilah sesungguhnya yang
merupakan kajian ilmiah tentang ikhtilāf. Lihat Yusuf al-Qaradhawi, Fiqhul Ikhtilāf terj. Aunul Rafiq Shaleh Tamhid (Jakarta:
Robbani Press, 2001) hlm. 11-3. Ulasan
yang cukup luas dengan perspektif yang agak berbeda juga dapat dilihat dalam
Muhammad Abul fatah al-Bayanuni, Islam Warna-warni Tradiosi beda Pendapat
dalam Islam, terj. Abdul Stukur dkk. (Jakarta: Hikmah, 2003) 26-87.
[18]Al-Jabiri,
Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyyah al-Naqdiyyah li al-Nuzhum
al-Ma’rifah fi al-Tsaqafah al-Islamiyyah (Beirut, Cassablanca: al-Markaz
al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1993) hlm. 9 dan 485.
Untuk ulasan komparatif yang lebih luas terhadap konsep-konsep lainnya
bandingkan dengan Syamsul Anwar, “Epistemologi Hukum Islam dalam al-Mustashfa
min ‘Ilm al-Ushul Karya al-Ghazali (450-505/1058-1111)”, Disertasi
(Yogyakarta: Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 2000). 139-148.
[19]Muslim
bin Hajjaj, Sahih Muslim ( tt. Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah) juz
II 122
[20]Musthafa
Muhammad Imarah, Jawahir al-Bukhari (tt: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah
Indonesia, 1371 H) 367
[21]Abu
‘Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari,
Matn al-Bukharii (Jeddah: Ak-Haramain, tt) juz III, 36
[22]Mengenai
Prinsi-prinsip pendekatan literal, argumen-argumennya, dan batas-batas
penggunanaannya lihat Rahman Alwi, Metode
Ijtihad Mazhab al-Zahiri, Alternatif Menyongsong Modernitas, (Jakarta:
Gaung Persada Pers, 2005), 73-84.
[23]Beberapa penjelasan
penting mengeai pemahaman kontekstual lihat Abdallah M. Husain al-Amiri, Dekonstruksi
Sumber Hukum Islam, Pemikiran Hukum Najm ad-Din Thufi, (Jakarta: gaya Media
Pratama, 2004), 3-20.
[24]Rahman
Alwi, Metode Ijtihad .... 76
[25]Muslim
bin Hajjaj, Sahih Muslim, juz I : 337
[26]Mengenai
dinamika interaksi antara perkembangan Fikih dengan dinamika politik ini, lihat
juga, Rusli, “Interaksi Power dan
Knowledge dalam Kostruksi Mazhab Fiqih dalam Perspektif Historis”, dalam Jurnal Islamica (Surabaya: Program
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel) vol 4 nomor 1 September 2009, 80-94
[27]Ibn
Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat
al-Muqtashid (tt: Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyyah Indunisiya) juz I, 191
[28]al-Asymawi,
Nalar Kritis, 89
[29]Misalnya
Qs. 4 (al-Nisa):: 9 yang isinya peringatan untuk tidak meninggalkan generasi
penerus yang lemah-lemah.
[30]Misalnya
Qs. 6 (al-An’am):: 151 dan 17
(al-Isra’):: 31 yang berisi larangan
membunuh anak karena Allah yang akan
memberikan rizki kepada mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar