Senin, 13 Maret 2017

Satu Syariat Beragam Fikih, Sebuah Perspektif tentang Tarjih

Satu Syariat Beragam Fikih,
Sebuah Perspektif tentang Tarjih

Oleh: Miftahul Huda*



A. Pendahuluan
Syariat Islam memiliki dua dimensi yang tak terpisahkan, yakni  dimensi formal/lahiriah yang dikembangkan dalam disiplin Fikih dan dimensi substansial/batiniah yang menyangkut nilai-nilai moral, dan teologis yang kemudian berkembang menjadi disiplin Akhlāq/Tashawwuf dan Tauhīd/’Aqīdah.
Dalam kehidupan kaum muslimin, hukum Islam (Fiqh) [1] memang menempati posisi yang amat penting, karena aturan-aturannya yang mencakup semua aspek kehidupan mereka.[2] Apa yang secara sederhana disebut hukum Islam, sesungguhnya sangat tepat jika diapresiasi sebagai keseluruhan dari tata hidup dalam Islam itu sendiri.[3] Namun cabang-cabang Fikih berkembang sesuai dengan kebutuhan umat Islam dari waktu ke waktu dengan karakteristik tertentu baik dalam aspek substansi maupun metodologinya.
Sebagai agama, memang Islam diyakini memiliki nilai kebenaran absolut dan final. Tetapi Fikih sebagai rumusan konsep aplikasinya, tidak lepas dari pengaruh perubahan jaman dan situasi.[4] Norma-norma keagamaan tersebut disimpulkan melalui proses Ijtihād dari sumber-sumber keagamaan (al-mashādir al-dīniyyah) yang secara tekstual banyak berbeda satu sama lain. Dari gugusan informasi yang bervariasi itulah kemudian ditarik rumusan konsep norma hidup tersebut dengan menggunakan prinsip,[5] metode, pendekatan dan kaidah penafsiran tertentu (tharīqat al-istinbāth).[6]  Hasil-hasil ijtihad tersebut kini telah menjadi khazanah pemikiran Hukum (tharwah fiqhiyyah) yang luar biasa banyaknya dan sebagian besar berhasil diabadikan dalam karya-karya Fiqh dengan berbagai mazhabnya hingga sekarang ini.
Luasnya ikhtilāf (perbedaan diantara mazhab-mazhab Fiqh), sebenarnya menjadi berkah bagi kehidupan umat Islam; yaitu dengan tersedianya banyak alternatif cara mengamalkan ajaran Islam yang bisa dipilih sesuai dengan kondisi masing-masing individu dan lingkungan masyarakat.[7] Legitimasi mengenai hal ini sering disitir dari sebuah hadits Rasul: ikhtilāf ummatī rahmah (perbedaan pendapat diantara umatku adalah rahmat),[8] sekalipun otentisitas hadits tersebut menjadi kontroversi.[9]   Keadaan seperti itulah, antara lain yang menjadi salah satu jawaban, mengapa Hukum Islam dapat berkembang di lingkungan sosial yang kontras sekalipun secara bersamaan. Mengutip khazanah klasik Coulson melukiskan pentingnya pemahaman tentang ikhtilāf tersebut: "Siapapun yang belum memahami seluk-beluk ikhtilaf tidak akan bisa merasakan aroma Fiqh" (man lam ya'rif al-ikhtilāf lam yashumma rā'ihat al-fiqh) [10]
Namun, di sisi lain, beragamnya konsep hukum tersebut  juga membawa dilema sendiri bagi umat Islam, baik secara individual maupun kolektif.[11] Lahirnya mazhab-mazhab Fikih yang menandai cemerlangnya aktivitas intelektual umat Islam di awal-awal sejarahnya (abad I hingga III Hijriah), ternyata juga membawa efek negatif pada era-era berikutnya, seperti gangguan terhadap solidaritas dan ukhuwah di antara  mereka.
Banyak faktor yang berpengaruh dalam hal ini. Namun kekaguman yang berlebihan terhadap para founding fathers dan para tokoh mazhab serta keengganan untuk melakukan inovasi berfikir telah mengikis semangat kritis para ulama dan cenderung membatasi kegiatan intelektual mereka hanya pada upaya memahami, mengembangkan, membela dan menyebarluaskan pemikiran para imam mazhabnya.[12] Pola pengembangan intelektual seperti ini kian menyuburkan bibit konservatisme dan fanatisme aliran, yang kemudian menggoyahkan sendi-sendi kesatuan umat pada era-era sesudahnya.
Dengan demikian, sekalipun tersedia konsep hukum yang beraneka ragam, dalam kenyataannya sebagian besar umat Islam tetap tidak memperoleh manfaat yang berarti, karena secara kultural mereka telah  terdidik untuk secara apriori mengafiliasikan dirinya (dan hanya mau berhubungan) dengan aliran pemikiran tertentu. Apa yang oleh Coulson digambarkan sebagai bentuk konflik dalam konsep-konsep hukum Islam, yakni antara prinsip kesatuan (unity) dan keragaman (diversity), tetap tidak terpecahkan.
Menanggapi keadaan tersebut sejumlah ulama melakukan terobosan dengan studi hukum lintas aliran, komparasi (muqāranah al-madhāhib) serta Tarjīh. Ibnu Qudamah, salah seorang ulama mazhab Hanbali, adalah satu diantara perintis penting. Melalui karyanya al-Mughnī, ia melakukan kajian kritis atas berbagai konsep Fiqh kemudian dibandingkan dengan pandangan tradisional mazhab Hanbali. Langkah ini diikuti oleh sejumlah ulama pada kurun-kurun sesudahnya.[13] Usaha ini tentu saja merupakan langkah penting dan berani untuk mencoba mencairkan kebekuan yang ada pada saat itu.
Hanya saja karena dalam kajian tersebut para ulama juga menggunakan sumber, metode dan pendekatan yang berbeda-beda sementara para pengikut mereka juga belum terbiasa mengapresiasi pendapat-pendapat yang beragam, maka dari situ akhirnya lahir juga hasil Tarjīh sebagai "mazhab baru" (madhhab tarjīh) yang bervariasi, dan tidak kecil pula pengaruhnya dalam memupuk semangat sektarian terutama di kalangan masyarakat awam.
Disinilah masalahnya, bahwa ternyata memahami hukum Islam tidak dapat didekati hanya dari sisi thariqat al-istinbāth dalam logika formalnya, melainkan perlu pendekatan secara lebih komprehensif, yang meliputi:
  1. Kajian epistemologis, yakni mengenai sumber-sumber pengetahuan mengenai hukum Islam yang dapat diterima.
  2. Telaah (komparatif) dari sisi metode dan pendekatannya dalam istinbāth.
  3. Kajian yang lebih fundamental tentang aspek filsafat moral di balik pengamalan ajaran agama serta obsesi-obsesi religius orang-orang yang beriman.
  4. Pendekatan-pendekatan yang bersifat analisis historis, sosio-kultur dan sosio-politik.
Sebenarya secara fundamental al-Quran telah menjelaskan bahwa orientasi mendasar dari hidup manusia beriman adalah untuk mengabdi. Allah menegaskan: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku".[14] Satu-satunya ukuran untuk menentukan nilai masing- masing manusia di hadapan Allah adalah terletak pada intensitas taqwā-nya.
Karena secara hakiki, taqwā itu hanya diketahui oleh Allah, maka antar manusia seharusnya tidak saling menghina, merendahkan, sombong,  atau justru (sebaliknya) mengkultuskan orang lain melebihi Allah (sekalipun terhadap nabi dan para ulama).. Malahan mereka seharusnya saling mengingatkan (taushiyah), menghormati, menghargai, mengasihi, berlomba serta bekerja sama bahu-membahu dalam melakukan kebajikan dan (peningkatan) taqwā kepada-Nya.[15]
Penegasan al-Quran atas manusia sebagai hamba Allah juga menyiratkan pesan bahwa pada hakekatnya setiap orang tidak berwenang  untuk menetapkan sendiri ukuran-ukuran moral baik terhadap perbuatan yang mereka lakukan sendiri atau yang dilakukan orang lain. Sebaliknya, mereka harus menggunakan ukuran-ukuran yang telah ditetapkan oleh Allah. Karena apa yang mereka sukai boleh jadi adalah buruk dan apa yang mereka benci, boleh jadi sebenarnya adalah baik menurut Allah swt.[16]  Ukuran-ukuran moral itu (baik secara aktual maupun potensial) termuat dalam rangkaian misi pewahyuan lewat  manusia-manusia pilihan; yaitu para nabi dan rasul.
Kaum muslimin yang hidup sesudah wafatnya rasulullah hingga masa sekarang, memahami konsep-konsep hukum tersebut dengan menafsirkan teks verbal al-Quran dan “teks” prilaku hidup nabi Muhammad saw. dengan menggunakan pendekatan dan pola berpikir tertentu.

B. Basis Perbedaan dalam Fikih
Lahirnya konsep-konsep Fikih dengan semua varian dan cabang pembidangannya serta pengamalannya oleh warga masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor,[17] yang secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam tiga aspek  sebagai berikut:

1. Aspek Sumber atau Basis Epistemologi

Aspek ini meliputi variasi pandangan mengenai beberapa hal berikut:
a.       Pandangan fundamental terhadap konsep-konsep epistemologi yang telah berkembang di dunia Islam (yakni pola pendekatan Bayānī, Burhānī dan ‘Irfānī.[18]) dan batas-batas penggunaannya masing-masing. Para ulama secara prinsip sepakat dalam penggunaan argumen bayani (al-adillah al-manqūlah) yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah nabi, namun mereka berbeda pendapat dalam hal penggunaan argumen burhânī (al-‘aql)  dan irfānī  (al-kashf wa al-ilhām) sebagai sumber pengetahuan mengenai hukum syariat.
b.      Jenis-jenis sumber materiil hukum syariat yang dapat diterima (baik yang berupa teks verbal maupun lainnya).  Misalnya 10 sumber yang popoler dalam kajian ushūl fiqh, yakni; al-Quran, Sunnah, Ijmā’, Qiyās, Mashlahah al-mursalah, Istihsān, ‘Urf, Shar’u man qablanā, Istishhāb, dan Madhhab al-sahābī,) serta batas-batas penggunaannya masing-masing.  Terhadap jenis-jenis sumber hukum tersebut para ulama memiliki, istilah-istilah teknis, konsep pemaknaan dan batasan aplikasi yang berbeda-beda.
c.       Kriteria dan prosedur dalam menilai otentisitas teks syariat yang dapat diterima, khususnya hadits, dan batas-batas penggunaannya. Misalnya pilihan aplikasi dari model pendekatan/kritik sanad  dan kritik matan. Para ulama yang berpegang pada model kritik sanad  (terutama para muhaddithîn) menilai otentisitas hadith berdasarkan kuantitas dan kualitas para rāwî yang meriwayatkannya dari generasi ke generasi (silsitat al-ruwāt). Sedangkan para ulama lainnya yang cenderung pada kritik matan menilainya otentisitas suatu teks hadits dengan lebih memperhatikan kesesuaian isi teks tersebut dengan teks-teks lainnya yang memiliki kesamaan tema sentral, terutama dengan penjelasan eksplisit yang terdapat dalam ayat-ayat al-Quran.
Di antara para ulama yang sama-sama menggunakan pendekatan / kritik sanad pun memiliki standar yang tidak selalu sama, sehingga terkadang masih terjadi perbedaan pendapat misalnya  suatu teks hadits bernilai sahîh menurut sebagian ulama,  sedangkan menurut lainnya bernilai hasan.
d.      Status dan hubungan antar sumber hukum satu dengan lainnya. Misalnya posisi dan hubungan antara al-Quran dan Hadîth, antara Hadith dengan Ijmā‘, Qiyās, antara suatu teks Hadith shahīh dengan teks lainnya yang hasan dll, apakah masing-masing berada pada posisi yang sifatnya herarkis sepenuhnya  sehingga sumber yang tingkatannya lebih tinggi menggugurkan semua sumber yang berada di bawahnya jika maknanya tidak bersesuaian ataukah sebagai suatu kesatuan sehingga harus disimpulkan secara bersamaan. 
2. Aspek Otoritas dan Metode Istinbāth
Aspek ini terkait dengan perbedaan pendapat mengenai otoritas dan pilihan pendekatan dan metode yang digunakan dalam menafsirkan sumber-sumber yang telah dianggap sahih. Aspek ini menyentuh beberapa hal berikut:
a.       Kriteria ulama yang dinyatakan berhak melakukan ijtihâd  (syarat mujtahid).  Misalnya apakah seorang ilmuwan ternama yang tidak pandai membaca al-Quran atau tidak memahami Bahasa Arab memiliki kewenangan untuk melakukan ijtihād di bidang hukum syariat. Atau apakah untuk menjadi seorang mujtaihd disyaratkan harus hafal seluruh ayat al-Quran (terutama ayart-ayat yang terkait dengan tema hukum yang tengah dikajinya), dan berbagai persyaratan lainnya.
b.      Pandangan tentang signifikansi suatu teks yang dianggap sahih dengan esensi ajaran syariat. Hal ini terkait dengan pertanyaan apakah isi teks itu merupakan bagian dari esensi ajaran/pesan utama syariat atau hanya merupakan deskripsi atas fakta sosial, kultural atau kecenderungan/selera pribadi yang secara substansial tidak mengandung pesan syariat (konsep al-Sunnah al-Muttaba’ah). Misalnya perbedaan pandangan mengenai isi teks-teks Hadits tentang memanjangkan jenggot, kepemimpinan orang Quraisy[19], kepemimpinan wanita[20], mengenakan cincin perak di jari manis,[21]  warna pakaian, selera makanan, pola menyisir rambut, dan sebagainya. (yang banyak ditemukan dalam kitab-kitab sahih)
Sekalipun dari sisi sanad banyak teks hadits sahih mengenai hal-hal tersebut, namun para ulama berbeda pendapat apakah kandungan makna hadits-hadits seperti itu termasuk dalam ketentuan hukum syariat yang selalu harus dilaksanakan atau tidak.
c.       Pilihan “teks-teks sahih”  yang digunakan sebagai hujjah  Karena biasanya ditemukan banyak teks yang dapat diterapkan untuk kasus yang sama. Teks tentang shalat misalnya banyak sekali yang diambil secara berbeda-beda antara mujtahid  satu dengan lainnya, sehingga mereka memiliki pendapat yang berbeda mengenai masalah tertentu misalnya mengenai jumlah rukun, syarat, bacaan, dan hal yang membatalkan shalat. Demikian pula ketika mereka merumuskan konsep hukum mengenai penggunaan alat kontrasepsi dalam program keluarga berencana, konsep mengenai tatanan politik, ekonomi, dan sebagainya. Karena masing-masing ulama menggunakan rujukan teks syariat yang berbeda, maka kesimpulan akhirnya pun kemungkinan juga akan berbeda.
d.      Hubungan antara teks satu dengan teks lainnya yang sama-sama telah dianggap valid  (sahîh). Haruskah selalu dilakukan tarjih terhadap semua teks hadits yang isinya dianggap berbeda atau semuanya bersifat pilihan yang relatif bebas karena teks-teks itu telah dinilai sahih.   
e.       Perspektif tentang pesan utama yang ada di dalam suatu teks.  Hal ini terkait dengan perbedaan visi, pola pikir dan fokus perhatian para mujtahid terhadap aspek kehidupan (misalnya antara ulama dari lingkungan pedagang, sufi, lingkaran istana, ilmuwan, petani politisi, ekonom dll.).  Sebuah teks Hadits yang ditempatkan pada bab Fikih tertentu bisa ditempatkan pada bab lainnya oleh ulama yang berbeda. Penempatan ini sangat besar pengaruhnya dalam “mengarahkan” kesimpulan para mujtahid pada era-era berikutnnya.
f.       Pilihan pola pendekatan yang digunakan sebagai dasar dalam memahami teks tersebut  (misalnya dengan pendekatan tekstual/literal,[22] kontekstual[23] atau kombinasi di antara keduanya) serta batas-batas penggunaannya.
g.      Perpektif mengenai teks verbal (hadith qaulî) dengan yang fi’îi, taqrîrî dan sifati, apakah semuanya dianggap memiliki signifikansi yang sama dalam semua tema hukum.  Hal ini karena hadits qaulî  merupakan deskripsi yang teks literalnya diucapkan sendiri oleh nabi, sedangkan jenis hadits lainnya (fi’îy, taqrirî dan sifatî)  teks literalnya tidak pernah diucapkan oleh nabi melainkan berasal dari abstraksi, persepsi dan reportase para sahabat yang menyertai nabi.
Ibn Hazm, salah seorang tokoh utama mazhab zāhiri, misalnya berpendapat bahwa hadits yang bisa digunakan sebagai hujjah (argumen) hukum hanyalah hadits qauly , sementara hadits fi’lî statusnya adalah sebagai uswah sedangkan hadits taqriry adalah sebagai isyarat pembolehan (ibāhah).[24]
h.      Perspektif tentang intensitas perintah (apakah menghasilkan hukum wājib atau sunnah) dan larangan (apakah mengarah pada hukum harām atau makrūh) yang terdapat dalam teks syariat dan signifikasinya terhadap suatu masalah hukum. Misalnya hadits tentang “keharusan” adanya wali dalam pernikahan terdapat di semua kitab hadits sahih sehingga para ulama tidak meragukan kesahihannya. Namun mereka berbeda pendapat apakah wali nikah itu bagian dari rukun (yang menentukan sahnya nikah) atau sebatas elemen penyempurnaan saja (sehingga tanpa wali pun nikah tetap sah sekalipun kurang sempurna).  Demikian pula ketentuan hukum mengenai mandi pada hari Jumat, sebagian besar ulama tidak menyatakan hukum wajib, namun Imam Muslim meletakkan hadits mengenai hal itu di bawah judul bab kewajiban mandi Jumat (bāb wujūb ghusl al-Jum’ah)[25]   
i.        Perbedaan pendapat dalam penggunaan perspektif Hermeneutika dalam menelakukan kajian terhadap teks syariat tertentu, misalnya hadits, atau pendapat ulama terdahulu. Hal ini terkait dengan kemungkinan mengkonstruksi makna baru di luar makna-makna yang sudah dipopulerkan ulama sebelumnya  (bukan hanya reproduksi tapi juga produksi; bukan hanya justifikasi dan repetisi tetapi juga discovery/upaya menemukan konsep-konsep pemahaman yang baru). 
Sebagai pola pemahaman yang secara historis dianggap berasal dari luar tradisi keilmuan umat Islam, penggunaan pola pemiikiran Hermeneutika mendapatkan tantangan keras dari sebagian besar ulama.

3.  Aspek Proses Sosialisasi dan Pengamalan oleh umat.

Aspek ini terkait dengan faktor-faktor sosiohistoris yang menyertai kehidupan kaum muslimin dan para ulama Fikih,  yang meliputi beberapa hal berikut:
a.       Proses perkembangan dan penyebaran konsep Fikih. Misalnya yang terkait dengan kegigihan para penganut suatu mazhab untuk mengembangkan, menyebarluaskan, mendirikan madrasah, dan menulis buku.  Berkembangnya mazhab-mazhab tertentu hingga sekarang dan punahnya banyak mazhab lainnya  tidak lepas dari faktor ini.  Sejumlah mazhab hukum yang pernah populer di masa lalu dan kemudian punah seiring dengan perjalanan sejarah (Misalnya mazhab Sufyan al-Thauri, Sufyan Ibn Uyainah, al-Auza’i dll), tidak bisa diklaim bahwa seluruh pendapat mazhab tersebut salah, melainkan karena secara “kebetulan” mazhab tersebut tidak memiliki tokoh-tokoh besar yang memperjuangkannya, dan mengabadikannya dalam bentuk karya ilmiah dari waktu ke waktu sebagaimana mazhab lainnya yang masih  eksis dan terus berkembang hingga  kini.
b.      Akseptabilitas sosiologis terhadap konsep-konsep Fikih yang disebarkan di setiap lingkungan sosial. Hal ini karena sekalipun semua mazhab Fikih disosialisasikan di tengah masyarakat, pada akhirnya faktor-faktor sosiologis dengan sendirinya akan melakukan “seleksi” alamiah untuk memilih mana di antara konsep/mazhab fikih tersebut yang dapat diterima dan kemudian dikembangkan oleh umat.  Masalah ini terkait dengan suasana kehidupan masyarakat, tantangan historis dan momentum situasi yang menyertainya. Karena para ulama di setiap lingkungan masyarakat pada setiap era sejarahnya selalu menghadapi pertanyaan, tantangan dan kebutuhan historis yang berbeda-beda. Misalnya keperluan untuk mengembangkan Fikih politik, perbankan syariah, atau Fikih lingkungan hidup tidak sama tingkat urgensiya di semua lingkungan masyarakat  muslim. 
c.       Proses (dinamika politik) legislasi aturan-aturan Fikih menjadi aturan formal.  Angin politik (dukungan dan penolakan mainstream kekuatan politik) serta keberpihakannya terhadap para ulama yang berpegang pada konsep Fikih tertentu terbukti sangat berpengaruh pada proses perkembangan Fikih dalam kehidupan masyarakat baik dalam teori maupun penerapannya. Hal itu misalnya tampak pada corak perkembangan Fikih  di Haramain (Mekkah dan Medinah)  antara sebelum dan sesudah tampilnya dinasti Saudi di tampuk kekuasaan.[26]
d.      Akseptabilitas aturan fikih oleh masing-masing individu sesuai dengan kebutuhannya sendiri-sendiri. Hal ini karena setiap individu memiliki karakter, keperluan, kecenderungan pribadi, tantamgan hidup dan situasi khasnya masing-masing. Misalnya seorang muslim yang berprofesi sebagai pengusaha dan tinggal di kota besar yang sibuk sangat mungkin memiliki aksentuasi pilihan jenis ibadah dan corak pengamalan Fikih yang berbeda dengan saudaranya yang petani dan tinggal di pedesaan, sekalipun keduanya mempunyai semangat keislaman yang tinggi.
e.       Pengaruh mainstream aliran yang tengah berkembang di tengah masyarakat. Faktor ini misalnya sangat menentukan desain kurikulum pendidikan agama Islam, tama-tema dakwah dan kegiatan keagamaan yang berkembang, sehingga amat menentukan corak perkembangan pemahaman dan pengamalan Fikih di setiap lingkungan masyarakat.
Jika masing-masing faktor tersebut dikaji lagi dalam uraian yang lebih detail, maka akan semakin jelas bahwa keragaman pemahaman dan pengamalan Fikih secara alamiah memang pasti terjadi karena hal itu merupakan konsekuensi logis dari terbukanya pintu ijtihad dan perkembangan kehidupan sosial di masing-masing lingkungan masyarakat.
Perbedaan hasil ijtihad para ulama dan keragaman pengamalannya oleh umat tidak dapat dihilangkan sama sekali karena perbedaan pandangan dalam satu item saja dari faktor-faktor yang telah disebutkan di atas selalu  membawa potensi terjadinya perbedaan dalam pandangan dan pengamalan Fikih.
Di samping itu juga karena secara prinsip kedudukan para ulama tersebut adalah setara. Tidak ada seorang atau sekelompok ulama tertentu yang boleh mengklaim dirinya lebih berhak untuk diikuti pendapatnya dan memaksakannya pendapatnya itu kepada umat.

C. Tarjih :  Pendekatan, dan Otoritas

Dari penjelasan di atas, ada sejumlah catatan yang penting untuk    digarisbawahi: Pertama, pemetaan dari sudut metode istinbâth atas berbagai aspek pembidangan Fikih menunjukkan bahwa para mujtahid dan  pengikut mereka ternyata tidak sepenuhnya berpegang pada pola-pola dan manhaj pemikiran tertentu secara konsisten. Kedua, lahir dan berkembangnya pemikiran Fikih tidak selalu terkait secara jelas dan meyakinkan dengan persoalan benar dan salah, tetapi juga sangat ditentukan oleh faktor sosiologis, momentum situasi dan “kebetulan” sejarah. Ketiga, klaim-klaim “keunggulan” Fikih tertentu terhadap lainnya, sesungguhnya tidak pernah bersifat valid mutlak karena di dalamnya juga tidak pernah lepas dari kontroversi, kritik dan inkonsistensi metodologis.
Oleh karena itu, untuk memilih (tarjîh) konsep hukum yang hendak diamalkan, disosialisasikan atau dijadikan pijakan dalam penetapan kebijakan publik, seharusnya tidak hanya didasarkan pada logika hukum Fikih (thariqah al-istinbāth al-fiqhiyyah) semata seperti dalam kajian  ushūl fiqh yang sudah ada, melainkan perlu menggunaka instrumen lain sebagai tolok ukur. Dalam hal ini ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu pendekatan religio-etika, pendekatan teleologis-sosiologis dan pendekatan ilmu pengetahuan (sains). 
Pendekatan religio-etika adalah memilih pendapat Fikih berdasarkan kedekatannya dengan semangat pengabdian (ibādah) kepada Allah swt. Dalam konteks ini seluruh kegiatan hidup manusia pada dasarnya merupakan indikator ekspresi dari rasa syukur dan kesungguhannya untuk mengikuti pesan-pesan Allah. Oleh karena itu ketika terdapat banyak kesimpulan Fikih yang sama-sama memiliki argumen (hujjah) dan sama-sama dapat dijelaskan dari logika tarīqah al-istinbāt sekalipun mungkin dengan perspektif yang berbeda, maka selanjutnya harus dinilai dari sisi kedekatannya dengan semangat menjalani kesalehan hidup, bersyukur, dan  mematuhi pesan-pesan Ilahi.
Misalnya dalam ketentuan Fikih seseorang yang telah memiliki minimal (nishāb) 40 ekor kambing[27] selama satu tahun diwajibkan untuk mengeluarkan zakat seekor kambing. Jika berpegang secara ketat kepada ketentuan tersebut sebenarnya secara formal dia bisa “menghindar” dari kewajiban membayar zakat; yaitu dengan selalu menjual seekor kambingnya sebelum jatuh tempo satu tahun sehingga kambingnya selalu tinggal 39 ekor. Cara ini disebut hilah hukum, yakni melakukan suatu tindakan yang dengan sengaja dimaksudkan untuk menghindar dari kewajiban menjalankan aturan syariat.
Secara logika formal dia memang bisa menghindar dari kewajiban membayar zakat karena dalam kenyataan kambingnya memang kurang dari 40 ekor. Hanya saja dari sudut pandang nilai keagamaan cara itu sungguh tidak bermoral karena dia dengan sengaja menghindar dari perintah Allah yang telah memberinya karunia rizki berupa harta dan karunia lainnya. Seharusnya dia justru memilih untuk tetap mengeluarkan zakat sebagai wujud dari komitmen pengabdian (beribadah) dan rasa syukur kepada Allah atas limpahan karunia rizki yang Dia berikan, bukan malah menghindarinya.
Pendekatan teleologis-sosiologis dilakukan dengan cara melihat (atau   memperhitungkan)  dampak yang akan timbul dari pengamalan suatu aturan hukum dan kesesuaiannya dengan tujuan fundamental hukum syariat (maqāshid al-ahkām al-shar’iyyah). Dalam menentukan pilihan terhadap berbagai konsep Fikih yang sama-sama argumentatif dari sisi thaīqat al-istinbāth, pertanyaan yang harus dikaji adalah mana di antara konsep-konsep Fikih tersebut yang paling mencerminkan nilai-nilai fundamental syariat dan paling kuat dalam mendorong terwujudnya tujuan-tujuan fundamental syariat seperti maslahah, kesejahteraan, dan keadilan sosial.
Kemaslahatan itu sendiri sifanya dinamis. Seperti dikemukakan oleh al-Asymawi keberadaan aturan syariat adalah dimaksudkan untuk memberikan maslahat bagi masyarakat. Oleh karena itu sejalan dengan perkembangan sosial sebagian aturan syariat diganti (naskh) dengan yang lain. Hal itu karena kebenaran dan kemaslahatan aturan syariat  bergantung pada kemajuan realitas yang terus berubah. [28]
Misalnya dengan logikanya masing-masing para ulama berbeda pendapat mengenai hukum melakukan pembatasan kelahiran anak dalam program Keluarga Berencana (KB) dengan berbagai tekniknya. Para ulama yang setuju menggunakan argumen ayat al-Quran[29] dan sejumlah hadits. Sedangkan ulama yang tidak setuju juga menggunakan argumen ayat al-Quran[30] dan sejumlah hadits lainnya. Jika kedua pendapat tersebut sama-sama bisa dianggap argumentatif dari sisi tharoqat istinbāt, maka untuk memilihnya kedua pendapat tersebut harus dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan prinsip maslahah yang menjadi salah satu tujuan fundamental syariat  Islam (maqāshid al-shari’ah) sesuai dengan konteks sosialnya masing-masing..
 Pendapat yang menganjurkan KB rasanya sangat cocok untuk diterapkan di negeri-negeri padat penduduk yang masyarakatnya masih miskin, karena dengan program KB yang dibarengi langkah-langkah pemberdayaan sosial lainnya, akan terbuka peluang yang lebih baik untuk  meningkatkan kesejahteraan hidup dan mempersiapkan generasi masa depan yang lebih berkualitas.  Sedangkan pada masyarakat yang sudah makmur apalagi jika jumlah penduduknya cenderung menurun,  memerintahkan untuk ber KB justru kurang relevan karena dengan keluarga besar pun mereka tetap mampu hidup sejahtera, berkecukupan dan mampu mempersiapkan generasi masa depan dengan baik.
Pendekatan ilmu pengetahuan dilakukan dengan mengkaji kesesuaian suatu hasil ijtihad dengan sains dan ilmu pengetahuan modern, yang kebenarannya telah diterima secara luas atau telah dibuktikan secara empirik. Pedekatan ini sangat cocok digunakan terutama untuk menangani masalah-masalah yang terkait dengan proses-proses alamiah, seperti masalah lama masa kehamilan atau haid, kepastian garis keturunan (nasab), arah kiblat, penentuan hilal untuk keperluan puasa ramadhan, dan sebagainya.
Dalam menangani masalah-masalah tersebut, penjelasan sains, pemeriksaan oleh tenaga medis yang ahli, penggunaan tes DNA dan pemanfaatan teknologi dan ilmu astronomi modern dapat memberikan kesimpulan yang lebih meyakinkan dari pada hasil kesimpulan lewat analisis deduktif (istinbāt) atas sumber-sumber syariat yang masih mujmal.
Karena sifatnya yang tidak dogmatis, ketiga pola pendekatan tersebut (etika-religius, teleologis dan sains), dapat lebih menyentuh masalah kehidupan yang nyata dan lebih mudah berinteraksi dengan rasionalitas masyarakat modern. Hal ini bisa mendorong proses dialog yang sehat di antara sesama ulama untuk menemukan kesamaan visi dan cara pandang terhadap suatu permasalahan yang dihadapi umat.
Di samping mmasalah pendekatan dalam berijtihad, ada aspek lain yang juga penting untuk diperhatikan, yaitu persoalan otoritas dan prosedur dalam melakukan tarjih.
Sejak awal pertumbuhan Fikih, pemahama tentang otoritas ijtihād berkembang secara alamiah berdasarkan pengakuan umat terhadap figur-figur tertentu yang secara personal dianggap mumpuni. Setelah melalui proses historis yang panjang akhirnya muncul figur-figur ulama besar dalam wacana pemikiran hukum Islam,  seperti para imam mazhab dan generasi penerus mereka. Mereka itulah yang kemudian menjadi rujukan umat dalam memahami dan mengamalkan hukum syariat.
Dewasa ini pola ijtihad personal/individual (ijtihād fardī) seperti itu kurang sesuai lagi dengan tuntutan kehidupan yang terus berkembang. Dengan meningkatnya jumlah masalah baru maka seorang mujtahid betapapun hebatnya tidak akan mampu menangani sendiri semua masalah yang dihadapi umat. Apalagi meningkatnya kuantitas juga dibarengi dengan peningkatan kompleksitas masalahnya sehingga sangat sulit untuk diselesaikan hanya oleh satu dua orang ulama saja. 
Dalam hal ini diperlukan keahlian para spesialis di berbagai bidang untuk membantu menjelaskan hal-hal yang diperlukan. Misalnya penjelasan kalangan ahli medis diperlukan sebelum membahas status hukum transplantasi organ tubuh, bayi tabung, operasi kelamin, dan sebagainya.  Demikian pula penjelasan para peneliti sosial dan kriminolog diperlukan dalam upaya mengembangkan konsep hukum pidana berbasis syariah yang hendak diterapkan dalam kehidupan masyarakat.
Di samping itu diperlukan pula adanya mekanisme sistemik untuk memilih ketika terdapat hasil ijtihād yang berbeda. Demikian pula mekanisme untuk melakukan kajian ulang atas hasil ijtihad sebelumnya..  Hal ini diperlukan ketika ditemukan bukti-bukti dan argumen baru yang lebih kuat atau karena adanya perkembangan situasi kehidupan yang memerlukan respons tertentu.  Misalnya kajian ulang terhadap larangan melakukan tindakan medis untuk menunda waktu haid bagi wanita yang tengah menjalankan ibadah haji, terutama yang berasal dari negeri-negeri yang jauh dari tanah suci.
Oleh karena itu pada masa sekarang dan di masa depan perlu terus dikembangkan pola ijtihād yang diselenggarakan secara kolektif (ijtihād jamāi) dan dilaksanakan secara kelembagaan. Ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi pentingnya hal ini;
a.       Dengan ijtihad secara kolektif akan ditemukan konsep hukum dengan dalil-dalil, hujjah (argumen) serta pertimbangan yang lebih kuat dan komprehensif karena dalam forum itu semua pendapat yang berkembang dapat diklarifikasi, dinilai dan diperbandingkan satu sama lain dengan semua perspektif, variabel,  dan argumen (hujjah) yang mendasarinya.
b.       .Secara substansial setiap masalah dapat dikaji secara lebih luas dan mendalam karena melibatkan para spesialis dari berbagai latar belakang keahlian yang relevan, sehingga pembahasan masalah tidak hanya disandarkan pada teori dan pernyataan tekstual sumber-sumber syariat dan kesimpulan deduktifnya, melainkan juga didasarkan pada fakta, data, dalil, dan argumen yang lebih dapat diandalkan.
c.       Ijtihad secara kolektif, pada tingkat tertentu, dapat membantu upaya merumuskan nilai-nilai fundamental dan visi sosial bersama di antara para ulama, sehingga dapat mengurangi potensi perpecahan umat karena semangat primordial dan fanatisme terhadap ulama tertentu.
Pada aspek hukum yang menyentuh kebijakan dan kepentingan publik penanganan yang sifatnya kolektif-institusional bahkan semakin urgen.  Keberadaan institusi tersebut diperlukan untuk:
a.       Menentukan pilihan atas hasil ijtihād yang berbeda-beda. Sehingga dapat ditetapkan hanya satu ketentuan hukum yang seragam bagi semua warga masyarakat. Dengan kesatuan (unifikasi) aturan hukum itu maka fungsi hukum syariat sebagai alat pengendalian sosial, pemersatu masyarakat dan sarana transformasi sosial dapat dimainkan secara lebih efektif.
b.       Dengan adanya institusi hukum yang definitif,  maka ada pemegang kewenangan formal dalam penegakan hukum sehingga ketentuan hukum syariat tidak hanya berfungsi sebagai wacana diskursus di antara para ulama atau sekedar “himbauan moral” tetapi benar-benar ditegakkan dalam kehidupan.  Hal ini amat penting untuk menghindari praktek “main hakim sendiri” antar warga masyarakat yang mengarah kepada situasi anarkisme hukum dan kekacauan sosial.
c.       Dengan adanya institusi yang definitif pengembangan konsep hukum syariat dan penerapannya dapat dirancang dan ditangani secara komprehensif sejak dari hulu hingga ke hilir, termasuk antsisipasi dampak sosial yang mungkin timbul dari penerapan aturan hukum itu sendiri.
Namun demikian perlu diperhatikan bahwa karena berbagai faktor,  tingkat akseptabilitas masyarakat terhadap aturan syariat dan kemampuan penegakannya juga ada batasnya, sehingga secara sosiologis tidak mungkin konsep-konsep aturan syariat yang dirumuskan para ulama diterapkan hingga sekecil-kecilnya. 
Oleh karena itu diperlukan skala prioritas dan klasifikasi aspek-aspek yang perlu dan mungkin dibuat aturan melalui lembaga penegakan hukum formal.  Di sisi lain harus pula tetap disediakan ruang yang cukup luas bagi warga masyarakat, untuk memilih dan mengembangkan sendiri konsep hukum syariat yang ada, terutama dalam aspek-aspek yang terkait dengan kehidupan pribadi dan domestik, baik melalui keluarga,  lembaga pendidikan, media massa, organisasi kemasyarakatan (ormas),  maupun kelompok-kelompok civil society  lainnya.

 

D. Penutup

Sekalipun telah melalui kajian yang luas dari berbagai segi dan menunjukkan kelebihan pada sisi-sisi tertentu, namun semua hasil tarjîh pada dasarnya tetap merupakan produk ijtihād juga, sebagaimana pendapat-pendapat yang di-tarjih. Oleh karena itu  kebenarannya juga tidak bisa dianggap absolut dan final, karena kesimpulannya amat bergatung pada variabel-variabel yang menjadi pertimbangannya.
 Pengertian tersebut perlu digarisbawahi karena di samping untuk tetap membuka peluang melakukan kajian ulang atas hasil tarjih, juga memberikan isyarat kepada kaum muslimin untuk saling mengapresiasi dan menerima dengan besar hati fakta keragaman Fikih dalam masalah furu’ sehingga tercipta semangat kebersamaan dan toleransi yang lebih tulus satu sama lain.
Mereka juga perlu menggeser titik berat orientasi kegiatan dakwah dari pola-pola yang sifatnya eksklusif sektarian ke arah dakwah Islāmiyah yang lebih luas dan lebih substansial. Dakwah eksklusif sektarian adalah mengajak sesama muslim berpindah dari (mazhab) Fikih yang satu menuju Fikih yang lain, sedangkan dakwah substantif-universal adalah mengajak masyarakat untuk menerima dan mengamalkan ajaran-ajaran fumdamental Islam yang secara umum telah disepakati oleh umat.. Misalnya menyampaikan panggilan beriman kepada komunitas masyarakat yang selama ini belum tersentuh panggilan dakwah, atau mengajak mereka yang belum shalat untuk menunaikannya atau menggalang partisipasi masyarakat untuk memajukan pendidikan al-Quran bagi anak-anak dan remaja muslim adalah lebih baik dari pada mengajak berpindah dari bacaan shalat yang satu ke bacaan yang lain jika kedua bacaan tersebut masih sama-sama memiliki argumen/dalil  (sekalipun debatable).  
Dengan semangat itu mereka dapat meningkatkan penghayatan dalam ibadah, melakukan refleksi keilmuan secara sehat atas berbagai pedapat Fikih yang ada, mengembangkan wawasan keagamaan dan kemanusiaan yang lebih luas, serta menangani masalah yang lebih strategis guna membuat kemajuan bersama di berbagai bidang kehidupan. 
Dalam mengamalkan syariat seharusnya kaum muslimin juga tidak hanya memperhatikan aspek simbolis dan formalitasnya tetapi juga mendalami dan mengaktualisasikan lebih jauh aspek spiritual dan substansialnya yang berupa kedalaman penghayatan religiusitas dan internalisasi pesan-pesan moralnya serta memperhatikan manfaat dan implikasi sosialnya.
 
E. Bibliografi

Alwi, Rahman,  Metode Ijtihad Mazhab al-Zahiri, Alternatif Menyongsong Modernitas, (Jakarta: Gaung Persada Pers, 2005),
Amiri, Abdallah M. Husain al-, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam, Pemikiran Hukum Najm ad-Din Thufi, (Jakarta: gaya Media Pratama, 2004),
Anderson, J.N.D Islamic Law in Modern World (New York University Press, 1959)
Anwar, Syamsul, “Epistemologi Hukum Islam dalam al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul Karya al-Ghazali (450-505/1058-1111)”, Disertasi (Yogyakarta: Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 2000).
Asymawi, Muhammad Sai’d  al-,  Nalar Kritis Syariah, terj. Luthfi Thomafi (Yogyakarta: LkiS, 2004)
Bakar, al-Yasa Abu "Beberapa Teori Pelanaran Fiqh dan Penerapannya" dalam Tjun Sudjarman (ed), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek  (Bandung: Rosdakarya, 1994)
Bayanuni,Muhammad Abul fatah al- Islam Warna-warni Tradiosi beda Pendapat dalam Islam, terj. Abdul Stukur dkk. (Jakarta: Hikmah, 2003) 
Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismail al-  Matn al-Bukhārīî (Jeddah: Ak-Haramain, tt)  juz III,
Chatib, Ahmad Hukum Islam dan Perubahan Masyarakat (Jakarta: Intermasa, 1980)
Coulson, Noel J. Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence (Chicago: The University of Chicago Press, 1969),
Donald, D. B. Mc Muslem Theology Jurisprudence and Constitutional Theories, (New York University Press, 1907);
Haqq, Ubaid al- "Kebangkitan Kembali Islam: Tantangan Perubahan" dalam Taufiq Abdullah (ed) Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1988) .
Imarah, Musthafa Muhammad Jawāhir al-Bukhârī (tt: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah Indonesia, 1371 H) 
Jabiri, Muhammad ‘Abid al-,  Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī: Dirāsah Tahliliyyah al-Naqdiyyah li al-Nuzhum al-Ma’rifah fi al-Tsaqāfah al-Islāmiyyah (Beirut, Cassablanca: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1993) 
Kamali, Muhammad Hashim, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, terj Noorhaidi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) 
Muslim,  bin Hajjaj, Sahih Muslim ( tt. Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah)  juz  II 
Nasser, Seyyed Hussein Ideals and Realities of Islam (London: George and Allen Unwin, 1966)
Qaradhawi, Yusuf al- Fiqhul Ikhtilāf  terj. Aunul Rafiq Shaleh Tamhid (Jakarta: Robbani Press, 2001).
____________ , Ijtihad Kontemporer Kode Etika dan Berbagai Penyimpangannya, terj Abu Barzani (Surabaya: Risalah Gusti, 1995)
Rusli, “Interaksi Power dan Knowledge dalam Kostruksi Mazhab Fiqih dalam Perspektif Historis”, dalam Jurnal  Islamica (Surabaya: Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel) vol 4 nomor 1 September 2009.
Rusyd, Ibn,  Bidāyat al-Mujtahid wa Nihāyat al-Muqtasid  (tt: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah Indunisiya) juz I,
Sirry, Mun’im A “Ke Arah Rekonstruksi Tradisi Ikhtilaf”,  Jurnal Ulumul Quran (Jakarta: LSAF, no. 4vol  V  1994).
____________, Sejarah Fiqh Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1995) 
Thabari, al- , Ikhtilāf al-Fuqahā  (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt)  
Wahid, Abdurrahman "Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan", dalam jurnal Prisma (Jakarta: LP3ES) nomer 4, Agustus 1975.



*)  Staf pengajar  Fakultas Syariah IAIN Mataram
[1]Pandangan yang menganggap pengertian hukum Islam sebagai terjemahan sederhana dari istilah Fiqh seperti yang secara keseluruhan hendak digunakan di sini, sekalipun cukup populer, namun belum menjadi konvensi yang diterima oleh seluruh pakar Hukum Islam. 
[2]Abdurrahman Wahid, "Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan", dalam jurnal Prisma (Jakarta: LP3ES) nomer 4, Agustus 1975.
[3]JND Anderson, Islamic Law in Modern World (New York University Press, 1959)  4; Bandingkan juga dengan D.B. Mc Donald, Muslem Theology Jurisprudence and Constitutional Theories, (New York University Press, 1907); serta Seyyed Hussein Nasser, Ideals and Realities of Islam (London: George and Allen Unwin, 1966)  105-6.
[4]Ahmad Chatib, Hukum Islam dan Perubahan Masyarakat (Jakarta: Intermasa, 1980) hlm. 357-71. Lihat juga Yusuf Qaradhawi, Ijtihad Kontemporer Kode Etika dan Berbagai Penyimpangannya, terj Abu Barzani (Surabaya: Risalah Gusti, 1995)  7-10.
[5]Mengenai prinsip-rinsip umum syariat, lihat Muhammad Sai’d  al-Asymawi, Nalar Kritis Syariah, terj. Luthfi Thomafi (Yogyakarta: LkiS, 2004) , 46-89.
[6]Kaidah-kaidah interpretasi ini dikenal dengan istilah Ushul Fiqh. Mengenai hal ini lihat al-Yasa Abu Bakar, "Beberapa Teori Pelanaran Fiqh dan Penerapannya" dalam Tjun Sudjarman (ed), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek  (Bandung: Rosdakarya, 1994) 173- 208. Juga Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, terj Noorhaidi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)  khususnya  Bab IV dan V  109-88.
[7]Ada dua pandangan dalam menyikapi fakta Ikhtilaf ini. Kelompok pertama menolak kemungkinan adanya Ikhtilaf karena memandang Ikhtilaf sebagai Bid’ah dan menjadi penyebab kemunduran umat. Sedang pandangan kedua justru melihatnya sebagai bukti konkret bahwa sekalipun Islam berdiri kokoh diatas dasar kebenaran mutlak namun tetap memberikan ruang gerak bagi perkembangan pemikiran.
[8]Misalnya seperti dinyatakan oleh al-Thabari dalam Ikhtilaf al-Fuqaha (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt)  6.
[9]Syekh Nashiruddin al-Albani misalnya menolak keabsahan hadits tersebut. Mengutip Allamah Subky, dia mengatakan “sanadnya dhaif dan maudhu’nya saja tidak ditemukan qpalagi yang shahih”.  Mun’im A Sirry, “Ke Arah Rekonstruksi Tradisi Ikhtilaf”,  Jurnal Ulumul Quran (Jakarta: LSAF, no. 4vol  V  1994)  59
[10]Noel J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence (Chicago: The University of Chicago Press, 1969), 21.
[11]Diantara academic problem mengenai hal ini antara lain dapat disimak pada Ubaid al-Haqq "Kebangkitan Kembali Islam: Tantangan Perubahan" dalam Taufiq Abdullah (ed) Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1988) . 460-83. Lihat juga JND Anderson, Islamic law... 81-100.
[12]Mun'im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1995)  132.
[13]Noel  J. Coulson, Conflicts and Tensions   33-4
[14]Qs. 51 (al-Dhariyat):: 56.
[15]Qs. 5 (al-Ma’dah) : 2.
[16]Qs. 2:216.
[17]Syekh Yusuf al-Qaradhawi membagi faktor penyebab terjadinya perbedaan dalam paham keagamaan ini (termasuk dalam Fikih) ke dalam dua kelompok besar. Pertama adalah faktor moral atau mentalitas. Termasuk dalam kategori ini adalah perasaan bangga yang berlebihan terhadap pendapat sendiri, buruk sangka terhadap orang lain, egoisme, fanatik terhadap mazhab, etnis, negara, jamaah/organisasi, pemimpin dan sebagainya. Kedua, adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan perbedaan pemikiran, perspektif dan cara pendekatan terhadap suatu isu keagamaan tertentu. Pada bagian inilah sesungguhnya yang merupakan kajian ilmiah tentang ikhtilāf.  Lihat Yusuf al-Qaradhawi, Fiqhul Ikhtilāf  terj. Aunul Rafiq Shaleh Tamhid (Jakarta: Robbani Press, 2001) hlm. 11-3.  Ulasan yang cukup luas dengan perspektif yang agak berbeda juga dapat dilihat dalam Muhammad Abul fatah al-Bayanuni, Islam Warna-warni Tradiosi beda Pendapat dalam Islam, terj. Abdul Stukur dkk. (Jakarta: Hikmah, 2003)  26-87.
[18]Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyyah al-Naqdiyyah li al-Nuzhum al-Ma’rifah fi al-Tsaqafah al-Islamiyyah (Beirut, Cassablanca: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1993) hlm. 9 dan 485.  Untuk ulasan komparatif yang lebih luas terhadap konsep-konsep lainnya bandingkan dengan Syamsul Anwar, “Epistemologi Hukum Islam dalam al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul Karya al-Ghazali (450-505/1058-1111)”, Disertasi (Yogyakarta: Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 2000). 139-148. 
[19]Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim ( tt. Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah)  juz  II   122
[20]Musthafa Muhammad Imarah, Jawahir al-Bukhari (tt: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah Indonesia, 1371 H)  367
[21]Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari,  Matn al-Bukharii (Jeddah: Ak-Haramain, tt)  juz III, 36
[22]Mengenai Prinsi-prinsip pendekatan literal, argumen-argumennya, dan batas-batas penggunanaannya lihat Rahman Alwi,  Metode Ijtihad Mazhab al-Zahiri, Alternatif Menyongsong Modernitas, (Jakarta: Gaung Persada Pers, 2005),  73-84.
[23]Beberapa penjelasan penting mengeai pemahaman kontekstual lihat Abdallah M. Husain al-Amiri, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam, Pemikiran Hukum Najm ad-Din Thufi, (Jakarta: gaya Media Pratama, 2004), 3-20. 
[24]Rahman Alwi,  Metode Ijtihad .... 76
[25]Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, juz I : 337
[26]Mengenai dinamika interaksi antara perkembangan Fikih dengan dinamika politik ini, lihat juga,  Rusli, “Interaksi Power dan Knowledge dalam Kostruksi Mazhab Fiqih dalam Perspektif Historis”, dalam Jurnal  Islamica (Surabaya: Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel) vol 4 nomor 1 September 2009,   80-94  
[27]Ibn Rusyd,  Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid  (tt: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah Indunisiya) juz I, 191 
[28]al-Asymawi, Nalar Kritis,  89
[29]Misalnya Qs. 4 (al-Nisa):: 9 yang isinya peringatan untuk tidak meninggalkan generasi penerus yang lemah-lemah.
[30]Misalnya Qs. 6 (al-An’am):: 151 dan  17 (al-Isra’):: 31  yang berisi larangan membunuh anak karena Allah  yang akan memberikan rizki kepada mereka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar