Sabtu, 24 Maret 2012

STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN MENURUT AL-QUR’AN

STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN MENURUT AL-QUR’AN
Oleh: Muhammad Taisir

PENDAHULUAN
Kemiskinan merupakan problematika sosial yang tidak bisa dihindari. Setiap Negara di dunia ini selalu tertimpa masalah sosial yang dinamakan kemiskinan. Rakyat-rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan ini sangat sulit untuk ditiadakan. Tindakan yang bisa dilaksanakan baik pemerintah maupun rakyat itu sendiri adalah meminimalisir kuantitas penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan ini. Atau paling tidak, laju kemiskinan ini dapat ditekan hingga titik nol, kalaupun itu bisa dilakukan.
Seperti yang disebutkan di atas, setiap Negara di dunia ini hampir pasti pernah mengalami masalah kemiskinan. Negara-negara yang tengah berjuang untuk mengembangkan diri, meningkatkan pertumbuhan ekonomi ataupun peningkatan-peningkatan di berbagai sektor, bahkan mengalami laju pertumbuhan tingkat kemiskinan yang tinggi. Negara-negara tersebut lebih dikenal dengan istilah Negara-negara berkembang (developing countries). Sementara di Negara-negara yang telah memiliki tingkat kemajuan yang tinggi, masalah kemiskinan ini bisa ditekan meskipun sulit untuk dihapuskan. Negara-negara yang memiliki tingkat kemajuan setingkat lebih tinggi dari Negara-negara berkembang ini dikenal dengan Negara-negara maju (developed countries).
Perjuangan masing-masing Negara untuk mensejahterakan rakyatnya merupakan salah satu motivasi yang menyebabkan mereka harus bersusah payah merancang dan merumuskan strategi guna mehilangkan masalah kemiskinan ini. Berbagai macam teori ekonomi coba diterapkan. Pakar-pakar ekonomi terus-menerus bermunculan. Masing-masing dari mereka mengusulkan teori-teori ataupun metode-metode yang bisa dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan ini. Namun demikian, apakah problematika kemiskinan ini telah tuntas dengan diaplikasikannya teori-teori yang telah di kemukakan para pakar ekonomi tersebut?
Melihat kenyataan yang terjadi saat sekarang ini, berbagai macam teori dan metode yang telah dikemukakan oleh para ekonom yang handal itu tidak mampu menyelesaikan problematika kemiskinan ini.
Ketika keresahan mulai menyelimuti jiwa-jiwa yang kebingungan, maka sudah sepantasnya kita menengok, kembali kepada agama kita Islam, mendalami kitab sucinya, al-Qur’an yang suci mengharap ditemukannya solusi tebaik yang harus diterapkan untuk mengeliminasi atau paling tidak meminimalisir laju kemiskinan yang sang sulit dihindari ini.
Melihat fenomena di atas, penulis mencoba memaparkan sedikit tentang strategi al-Qur’an dalam penanggulangan kemiskinan ini. Penulis membatasi masalah ini menjadi dua, yaitu persepektif al-Qur’an tentang kemiskinan; serta langkah-langkah yang diberikan al-Qur’an guna mengentaskan kemiskinan ini.
Tujuan penulis membahas permasalahan ini adalah untuk mengetahui bagaimana al-Qur’an memandang kemiskinan ini, dan langkah-langkah apa saja yang dikemukakan al-Qur’an guna mengentaskan kemiskinan ini.

PEMBAHASAN

a.      Perspektif al-Qur’an tentang Kemiskinan
Sebelum kita menyelam lebih dalam kepada strategi penanggulangan kemiskinan ala al-Qur’an ini, sayogyanyalah kita mengetahui terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan kemiskinan itu.
Telah dimaklumi bersama, khusunya kita kaum muslimin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang diakui pada hari kiamat dan Allah SWT dengan tegas telah menyatakan bahwa yang mencari agama selain Islam adalah batil dan tidak akan diterima di hari kiamat kelak. Allah SWT berfirman:

`tBur Æ÷tGö;tƒ uŽöxî ÄN»n=óM}$# $YYƒÏŠ `n=sù Ÿ@t6ø)ムçm÷YÏB uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÌÅ¡»yø9$# ÇÑÎÈ  

Artinya:
Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.(Q.S. Ali Imran: 85)

Dengan demikian, sudah sangat jelas bahwa agama selain Islam adalah tertolak. Sejak turunnya ayat pada surat al-Maidah pada waktu haji wada’ kepada baginda junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, maka agama Islam yang telah didakwahkan oleh beliau selama 23 tahun itu sempurna sudah. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam firmanNya:

4 tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYƒÏŠ 4 ....... ÇÌÈ
Artinya:
Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.(Q.S. Al-Maidah: 3)

Dari ayat di atas, sudah jelas sekali akan kesempurnaan agama Islam yang telah diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Berbekal kitab suci al-Qur’an yang merupakan mukjizat terbesar Rasulullah SAW, ajaran Islam tertuang dalam untaian ayat-ayat yang begitu indah, yang tak satupun mampu membuat yang semisal dengan al-Qur’an tersebut meski mereka ditolong oleh beribu-ribu, bahkan seluruh umat manusia ini[1]. Al-Qur’an merupakan sumber utama ajaran agama Islam[2]. Ia adalah mashdar asasiy bagi agama Islam yang luhur ini.
Dengan demikian mari kita menengok ke dalam al-Qur’an[3] bagaimana kemiskinan tersebut.
Allah SWT telah  berfirman dalam al-Qur’an surat al-Taubah ayat 60 yang berbunyi:
* $yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pköŽn=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏB̍»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ  
Artinya:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Di dalam ayat ini al-Qur’an telah menyebutkan dua istilah bagi kemiskinan ini, yaitu, fuqaraa’ yang merupakan jamak’ (plural) dari faqir; dan masaakiin yang merupakan jamak’ (plural) dari miskin. al-Qur’an selalu menggunakan kedua istilah ini ketika menyebutkan tentang problematika kemiskinan ini. munculnya dua istilah ini sudah barang tentu ada perbedaan di antara kedua istilah ini.
Imam Thabari dalam tafsirnya menerangkan bahwa maksud dari kata fuqaraa’ adalah orang orang sangat membutuhkan bantuan untuk meringankan bebannya, (المحتاجون المتعففون عن المسألة), sedangkan masaakiin ialah orang yang keliling untuk meminta-minta (الطوافين السائلين) [4].
Sedangkan definisi faqir dan miskin, seperti yang dikemukakan di dalam al-Qur’an dan terjemahnya Departemen Agama RI, yaitu:
“orang fakir adalah orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. sedangkan orang miskin adalah orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan”.[5]

Melihat berbagai definisi di atas, jelaslah bahwa orang fakir adalah orang yang tidak mempunyai daya upaya, baik berupa harta maupun tenaga yang menyebabkan ketidakmampuannya memenuhi hajat hidupnya. Dengan begitu orang fakir inilah yang terutama harus dibantu sebelum yang lainnya.
Sedangkan orang miskin ini memiliki kemampuan untuk bekerja namun belum bisa mencukupi kehidupannya. Dari itu, ia masih memerlukan uluran tangan orang-orang yang berada untuk mencukupi kebutuhannya.
Dengan demikian, baik fakir maupun miskin kedua-duanya harus mendapatkan uluran tangan kita. Itulah sebabnya delapan golongan penerima zakat (mustahiq zakat) seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an surat at-taubah ayat 60 di atas, yang diutamakan adalah orang-orang fakir (fuqaraa’) dan orang-orang miskin (masaakiin).
Demikianlah al-Qur’an memandang kemiskinan. Kemiskinan itu merupakan sebuah keniscayaan. Hal ini merupakan sunnatullah. Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu itu berpasang-pasangan, maka dari itu jika ada yang namanya orang kaya, maka tentulah ada yang disebut miskin. Karena jika tidak ada orang kaya, maka tidak mungkin ada istilah orang miskin, pun begitu sebaliknya.

b.      Strategi Penanggulangan Kemiskinan menurut Al-Qur’an

Problematika sosial yang kita hadapi di dunia ini, yang salah satunya adalah kemiskinan ini telah diwanti-wanti oleh al-Qur’an. Sehingga sebenarnya al-Qur’an telah melakukan tindakan preventif agar tidak terjadi kemiskinan yang bergitu luas di kalangan penduduk bumi ini.
            Kemiskinan ini sangatlah berbahaya, baik untuk diri sendiri maupun untuk agama kita tercinta Islam. Berapa banyak orang-orang yang pindah agama lain Karena mie instan satu kardus. Bahkah, demi menyambung hidup mereka rela mengorbankan akidah. Inilah bahayanya penyakit yang dinamakan kemiskinan. Sampai-sampai Rasulullah SAW bersabda:
كَادَ الْفَقْرُ أَنْ يَكُوْنَ كُفْرًا (الحديث)
Hampir saja kefakiran itu menyebabkan kepada kekufuran (al-Hadits)        

            Maka dari itu, al-Qur’an telah memberikan beberapa strategi/langkah-langkah untuk menanggulangi kemiskinan ini, di antaranya:

  1. Al-Qur’an menyeru untuk bekerja dan berusaha
Allah SWT melarang kita untuk hidup bermalas-malasan. Bahkan Allah SWT memerintahkan kita untuk selalu giat bekerja dan berusaha. Bertebaran di muka bumi ini untuk mencari rizki Allah SWT. Hal ini disebabkan Allah SWT telah menyebarkan rizki itu dari berbagai sumber yang kita tidak tahu dari sumber yang mana rizki kita itu. Dengan tegas, Allah SWT memerintahkan manusia untuk bertebaran di muka bumi ini mencari fadlillah (rizki), seperti firmanNya  yang tertuang dalam surat al-Jumu’ah ayat 10, yang berbunyi:
#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãÏ±tFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.øŒ$#ur ©!$# #ZŽÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ  
Artinya:
Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Q.S. al-Jumu’ah: 10)

Pada ayat lain, Allah SWT memerintahkan kita untuk memburu kehidupan akhirat, namun jangan sekali-kali melupakan kehidupan dunia ini. Allah SWT berfirman:
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù š9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( Ÿwur š[Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJŸ2 z`|¡ômr& ª!$# šøs9Î) ( Ÿwur Æ÷ö7s? yŠ$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ
Artinya:
Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Q.S. Al-Qashash: 77)

         Ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa mencari kehidupan ukhrawi itu lebih utama, yaitu dengan cara taat kepada Allah SWT, namun tidak boleh bagi kita untuk melupakan kehidupan dunia ini. Hal ini dikarenakan kehidupan dunia itu merupakan jembatan menuju kehidupan yang kekal abadi, yaitu kehidupan akherat. Bekerja itu bisa dikatakan bukanlah suatu ‘kewajiban’, namun ia adalah sebuah kebutuhan. Jika kemiskinan menjangkiti kita, maka ketenangan untuk menggapai kehidupan akherat itu akan terganggu. Sebagai suatu contoh, jika kita shalat dalam keadaan lapar, maka kekhusyu’an itu akan berkurang, bahkan akan sirna. Yang terpikir adalah perut yang kosong yang belum terisi makanan. Apalagi kalau kita telah berkeluarga yang kita berperan sebagai suami. Kita bertanggungjawab terhadap nafkah, baik istri kita, maupun anak-anak kita. Sedangkan nafkah itu hak istri dan anak.  Begitupula orang tua berkewajiban atas pendidikan anank-anaknya yang tentunya memerlukan biaya dalam proses pendidikan tersebut[6]. Darimana biaya tersebut akan didapat jika orang tua tidak berkerja dan berusaha?[7]
Bekerja dan berusaha ini mutlak diperlukan guna menunjang kehidupan kita di dunia ini. Tanpa adanya usaha sangat sedikit peluang untuk menjadi sukses dalam menapak hidup ini.  

  1. Hidup hemat dan tidak berlebih-lebihan
Islam sangat membenci sikap berlebih-lebihan. Allah SWT melarang kita untuk berlebih-lebihan dalam segala hal. Allah SWT bahkan menyatakan bahwa orang yang suka berlebih-lebihan itu termasuk saudaranya syaitan. Allah SWT berfirman pada Surat al-Isra’ ayat 26-27:

ÏN#uäur #sŒ 4n1öà)ø9$# ¼çm¤)ym tûüÅ3ó¡ÏJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# Ÿwur öÉjt7è? #·ƒÉö7s? ÇËÏÈ ¨bÎ) tûïÍÉjt6ßJø9$# (#þqçR%x. tbºuq÷zÎ) ÈûüÏÜ»u¤±9$# ( tb%x.ur ß`»sÜø¤±9$# ¾ÏmÎn/tÏ9 #Yqàÿx. ÇËÐÈ
Artinya:
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (Q.S. Al-Isra’: 26-27)


Di ayat yang lain Allah SWT berfirman:
* uqèdur üÏ%©!$# r't±Sr& ;M»¨Yy_ ;M»x©rá÷è¨B uŽöxîur ;M»x©râ÷êtB Ÿ@÷¨Z9$#ur tíö¨9$#ur $¸ÿÎ=tFøƒèC ¼ã&é#à2é& šcqçG÷ƒ¨9$#ur šc$¨B9$#ur $\kÈ:»t±tFãB uŽöxîur 7mÎ7»t±tFãB 4 (#qè=à2 `ÏB ÿ¾Ín̍yJrO !#sŒÎ) tyJøOr& (#qè?#uäur ¼çm¤)ym uQöqtƒ ¾ÍnÏŠ$|Áym ( Ÿwur (#þqèùÎŽô£è@ 4 ¼çm¯RÎ) Ÿw =Ïtä šúüÏùÎŽô£ßJø9$# ÇÊÍÊÈ
Artinya:
Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (Q.S. Al-An’am: 141)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang melarang kita berlebih-lebihan dan menganjurkan untuk berhemat (bashathah). Demikianlah, Allah SWT melarang hambanya terlalu boros membelanjakan harta benda yang dititipkan kepadanya.
Jika kita berlebih-lebihan di muka bumi ini maka akan terjadi kerusakan-kerusakan akibat keserakahan kita. Hal inilah yang memnyebabkan terjadinya kerusakan pada lingkungan hidup seperti pemanasan global yang santer dibicarakan akhir-akhir ini.

  1. Mewajibkan kaum muslimin untuk mengeluarkan zakat, serta menyeru kepada shadaqah
Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk mengeluarkan zakat beriringan dengan perintah untuk mendirikan shalat. Allah SWT berfirman:
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
Artinya:
Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku. (Q.S. Al-Baqarah: 43)
Bahkan Allah SWT telah menentukan golongan-golongan yang berhak menerima zakat, yaitu delapan golongan, seperti yang disebutkan dalam surat at-Taubah ayat 60 yang artinya:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(Q.S. At-Taubah: 60)
Dari kedelapan ashnaf (golongan) mustahiq zakat ini, yang diperintahkan untuk didahulukan adalah fakir miskin. Hal ini ini sangat kontras karena dua golongan inilah yang paling membutuhkan uluran tangan.
Anjuran yang kedua adalah hendaklah kita memperbanyak shadaqah, karena dengan banyak shadaqah itu bukan mengurangi harta, akan tetapi menambah harta. Memang, secara lahiriah ketika kita menyedekahkan harta kita, Nampak bahwa harta tersebut berkurang. Padahal pada hakekatnya barta itu tidaklah hilang, malah ia akan menjadi semakin banyak. Allah SWT telah berjanji kepada orang yang menyedekahkan sebagian hartanya akan melipatgandakannya menjadi sepuluh, seratus, tujuh ratus ila maa yasyaa’ullah azza wa jalla.

Demikianlah beberapa langkah yang dikemukakan al-Qur’an untuk mengurangi ataupun mengentaskan kemiskinan yang selama ini melanda Negara-negara yang terutama sedang berusaha memajukan diri (developing countries). Bahkan seandainya saja setiap individu mengeluarkan kewajiban zakatnya di Negara kita tercinta Indonesia ini, maka tidak perlu lagi kita membayar pajak. Mengapa demikian? Karena semua itu telah tercukupi oleh pembayaran zakat kaum muslimin yang merupakan mayoritas agama penduduk Indonesia ini.
Kalau setiap kita mampu menerapkan staregi ini, insya Allah kita akan mampu meminimalisir kemiskinan, terutama kemiskinan dalam diri kita sendiri (individu).

PENUTUP
  1. Kesimpulan
Dari penjelasan singkat ini, penulis dapat mengambil kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah yang telah penulis kemukakan pada pendahuluan, yaitu:
1.      Bahwa Al-Qur’an memandang problematika kemiskinan itu merupakan sunnatullah yang akan terus ada karena Allah SWT menciptakan segala sesuatu di dunia ini berpasang-pasangan. Dengan demikian terdapat ladang amal bagi yang berada untuk membantu saudaranya yang kekurangan (miskin).
2.      Beberapa startegi/langkah yang dikemukakan Al-Qur’an dalam penanggulangan kemiskinan ini adalah: perintah untuk bekerja dan berusaha untuk mencari rizki Allah SWT; menjalani kehidupan yang sederhana dan berhemat serta tidak berlebih-lebihan; perintah untuk mengeluarkan zakat serta anjuran untuk menggalakkan shadaqah.  Wallahu a’lam bisshawab.

  1. Saran
Demikianlah makalah singkat ini penulis ketengahkan, semoga bermanfaat baik secara teoritis, yaitu sebagai perbendaharaan pengetahuan bagi para akademisi untuk menindaklanjuti beberapa strategi yang telah dikemukakan di atas; dan secara praktis, untuk memberikan pengetahuan umum kepada masyarakat bahwa Al-Qur’an ternyata telah memberikan solusi bagi setiap problematika umat khususnya masalah kemiskinan yang tak kunjung hilang di tengah-tengah masyarakat kita.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim
Aba al-Khail, Sulaiman ibn Abdullah ibn Hamud, 2005. Mashadir ad-Diin al-Islami: wa Abrazu Mahasinihi wa Mazayahu. Riyadh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, cet. I.
Al-Qur’an Digital versi 2.0, Freeware, Maret 2004.
At-Tujibiy, Abi Yahya Muhammad ibn Shumadih, tt. Mukhtashar Min Tafsir al-Imam at-Thabariy. Kairo: Dar al-Manar.
Aziz, Abdul dan Ahmad Musthofa Hadna, 2001. Qur’an Hadis Untuk Madrasah Aliyah Jilid I Kelas I. Semarang: CV. Wicaksana.
Diana,  Rashda, 1427-1428. Fiqh Muslimah, dalam Ijtihad: Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam, Vol. 2 nomor 1, Penerbit Fakultas Syari’ah Institut Studi Islam Darussalam.
El-Fandy, Muhammad Jamaluddin, 2004. Al-Qur’an tentang Alam Semesta. Penerbit Amzah.
Yahya, Harun, 2004. Memilih Al-Qur’an Sebagai Pembimbing. Surabaya: 2004, Risalah Gusti, cet. I.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an Departemen Agama RI, 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya Al-Jumanatul ‘Ali (seuntai mutiara yang maha luhur). Bandung: J-Art.


[1] Lihat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 23-24.
[2] Sulaiman ibn Abdullah ibn Hamud Aba al-Khail, Mashadir al-Din  al-Islamiy wa Abrazu Mahasinihi wa Mazayahu, Cet. I (Riyadh: 2005), Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyah, hal. 7.  
[3] Harun Yahya, Memilih Al-Qur’an Sebagai Pembimbing, cet. I (Surabaya: 2004), Risalah Gusti, hal. 35 dan seterusnya.
[4] Abu Yahya Muhammad ibn Shumadih at-Tujibiy, Mukhtashar min Tafsir al-Imam at-Thabariy, (Kairo: tt), Dar al-Manar lin-Nasyr wa at-Tauzi’, hal. 196.
[5] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Al-Jumanatul ‘Ali (Seuntai Mutiara yang Maha Luhur), (Bandung: 2005), penerbit J-Art, hal. 197 footnote nomor 660.
[6] Rashda Diana, Fiqh Muslimah, dalam Ijtihad: Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam, Vol. 2 nomor 1, (Fakultas Syari’ah Institut Studi Islam Darussalam: 1427-1428), hal. 19 dan seterusnya.
[7] Mengenai hak-hak wanita, lihat Abdul Ghaffar Hamid Hilal, Huquq al-mar’ah fi al-Islam, dalam Makanah al-Mar’ah fi al-Islam, Rabithah al-Jami’aat al-Islamiyyah, hal. 5 dan seterusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar