Kamis, 22 Maret 2012

KRITERIA KAFA’AH DALAM PEMIKIRAN FIQIH KLASIK

KRITERIA KAFA’AH DALAM PEMIKIRAN FIQIH KLASIK
(Studi tentang Pandangan Mazhab yang Empat tentang Kafa’ah)

PENDAHULUAN
Islam sebagai ad-di>n tentu sarat dengan ajaran-ajaran yang universal dan abadi. Ajaran-ajaran itu tertuang dalam dua sumber resmi, yaitu al-Qur’a>n dan al-H}adis} yang isinya mencakup berbagai aspek. Salah satu aspek yang terdapat dalam ajaran Islam tersebut adalah hukum Islam yang merupakan bagian penting ajaran Islam.
Hukum Islam memiliki daya lentur yang tampak dari minimnya ayat-ayat hukum (a>ya>t al-ah}ka>m) dalam Qur’an dan hadis-hadis hukum (h}adis} al-ah}ka>m). Di sini terlihat bahwa ada peluang adaptabilitas hukum Islam.
Kelenturan Hukum Islam ini terbukti dengan terjadinya interpretasi yang berbeda-beda di kalangan fuqaha’. Hal ini menimbulkan munculnya madzhab-madzhab dalam bidang fiqh. Perbedaan ini terlihat jelas khususnya pada hukum mu’amalah (hubungan horizontal). Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan lingkungan sosial para imam madzhab fiqh tersebut. Maka lahirlah Imam-Imam madzhab seperti Imam Abu Hanifah yang terkenal sebagai sosok rasionalis (menggunakan rasio dengan porsi yang lebih banyak) karena beliau hidup di tengah-tengah masyarakat yang heterogen. Sedangkan Imam Malik yang tinggal di tempat dimana hadits bersumber menjadi sosok yang tekstualis. Namun demikian, mereka tidak sedikitpun memonopoli penafsiran wahyu Allah, bahkan membuka pintu seluas-luasnya untuk memahami dan menafsirkan syari’ah.
Dari sini, penulis mencoba mengulas sedikit tentang kafa’ah dalam perkawinan dengan melihat kepada pendapat mazhab yang empat, yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Hambali.

PEMBAHASAN
Pandangan Fuqaha Mengenai Kriteria Kafa’ah
Islam adalah agama yang fitrah yang condong kepada kebenaran. Islam tidak membuat aturan secara eksplisit tentang kafa’ah, dalam artian tidak menyebutkan secara detail kriteria kafa’ah dalam perkawinan. Dengan demikian, tugas manusialah yang menetapkannya secara terperinci, tentunya ini diperuntukkan bagi mereka yang telah mampu untuk menafsirkan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah SAW. Dengan kata lain, ini merupakan tugas para alim ulama’, para mujtahid untuk memikul beban tersebut. Disebabkan oleh tingkat kecerdasan dan kepekaaan manusia berbeda-beda, maka dengan demikian mereka berbeda pendapat tentang hukum kafa’ah. Perbedaan kadar intelektual, latar belakang dan kondisi dimana mujtahid itu hidup mendjadikan perbedaan pendapat dalam menentukan kadar untuk seorang pria itu sederajat atau sepadan dengan seorang wanita atau dengan sebaliknya.
Muhammad Jawad Mughniyah menyatakan bahwa para ulama memandang penting adanya kafa’ah dalam menentukan pasangan dalam perkawinan, namun hanya pada kaum laki-laki saja dan tidak pada wanita. Hal ini disebabkan kaum laki-laki berbeda dengan kaum wanita, ia tidak direndahkan jika mengawini perempuan yang lebih rendah derajatnya dari dirinya.
Ada beberapa kriteria yang dapat dilihat untuk menentukan kafa’ah atau tidaknya pasangan perkawinan, yang masing memiliki persamaan dan perbedaan kriteria kafa’ah.
Mazhab Hanafi menyebutkan bahwa kafa’ah adalah kesejajaran lak-laki dan perempuan pada hal-hal tertentu, yaitu nasab (keturunan), Islam (harus beragama Islam), hirfah, merdeka, agama, dan harta.
Mazhab Maliki sendiri menyebutkan bahwa kafa’ah hanya mencakup dua saja, yaitu agama, yaitu hendaklah laki-laki tersebut muslim yang taat dan tidak fasik, dan yang kedua adalah hendaklah laki-laki itu bebas dari cacat atau ‘aib yang merupakan penyebab sang perempuan bebas memilih lelaki idamannya. Mazhab Maliki juga mengakui kriteria kafa’ah dilihat dari segi harta, keturunan, merdeka dan hirfah.
Mazhab Syafi’i sendiri menyebutkan kriteria kafa’ah itu mencakup empat hal, yaitu nasab, agama, merdeka, dan hirfah,
Mazhab Hambali sendiri juga memiliki kriteria yang harus dipenuhi agar seseorang mencapai derajat kafa’ah, yaitu ada lima hal yang harus diperhatikan yang pertama adalah agama, shina’ah, harta, merdeka, dan yang kelima adalah nasab.
Berikut penjelasan tentang perbedaan para fuqaha: Mazhab Hanafi, Mazhab Syafi’i, Mazhab Maliki, dan Mazhab Hambali mengenai kafa’ah.

a. Nasab (keturunan)
Orang Arab adalah kufu’ antara satu dengan lainnya. Begitu pula halnya dengan orang Quraisy sesama Quraisy lainnya. Karena itu orang yang bukan Arab tidak sekufu’ dengan perempuan Arab. Orang arab tetapi bukan dari golongan Quraisy, tidak sekufu’ dengan/bagi perempuan Quraisy, alasannya adalah sebagai berikut:
Riwayat Bazar dari Muadz bin Jabal bahwa Rasulullah SAW bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ: الَعَرَبُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ أَكْفَاءُ وَ المَوَاليِ بَعْضُهُمْ أَكْفَاءُ لِبَعْضٍ، اِلاَّ حَائِكًا أَوْحَجَامًا. رَوَاهُ الْحَاكِمْ، وَفِي إْسِنَادِهِ رَاوٍ لَمْ يُسَمَّ، وَاسْتَنْكَرَهُ أَبُوْحَاتِمْ. وَلَهُ شَاهِدٌ عِنْدَ الْبَزَّارِ عَنْ مُعَاذِبْنِ جَبَلٍ بِسَنَدٍ مُنْقَطِعٍ.

Artinya: “ Orang Arab adalah kufu’ bagi lainnya, orang Mawali kufu dengan Mawali lainnya kecuali tukang bekam”. (HR. Al Bazaar)

Mazhab Syafi’i maupun Mazhab Hanafi, mengukur kufu’ dengan keturunan seperti tersebut di atas. Tetapi mereka berbeda pendapat, apakah bagi orang Quraisy satu dengan lainnya ada kelebihan. Mazhab Hanafi berpendapat orang Quraisy kufu’ dengan Bani Hasyim. Sedangkan pengikut Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa Quraisy tidak sekufu’ dengan perempuan bani Hasyim dan Bani Munthalib.
Diriwayatkan oleh Syafi’i dan kebanyakan muridnya bahwa kufu’ sesama bangsa-bangsa bukan Arab, di ukur dengan bagaimana keturunan-keturunan mereka dengan diqiaskan kepada antara suku-suku bangsa Arab dengan yang lainnya. Karena mereka juga menganggap tercela apabila seorang perempuan dari satu suku kawin dengan laki-laki dari lain suku yang lebih rendah nasabnya. Jadi hukumnya sama dengan hukum yang berlaku dikalangan bangsa Arab karena sebabnya adalah sama.

b. Agama
Semua ulama fiqih (Hanafiyah, Syafi’iyah, Malikiyah, Hambaliyah) sepakat memasukkan agama dalam kafa’ah. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

عَنْ أَبِي حَاتِمٍ الْمُزَنِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ قَالَ إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ (راوه الترميذي وأحمد)

Artinya: “ Dan dari Abi Hasim al Muzni ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Apabila datang kepadamu seorang laki-laki (untuk meminang) orang yang kamu ridhoi agama dan budi pekertinya, maka kawinkanlah dia, apabila tidak kamu lakukan, maka akan menimbulkan fitnah dan kerusakan di muka bumi. Mereka bertanya, “ Apakah meskipun.....” Rasulullah SAW menjawab, “ Apabila datang kepadamu orang yang engkau ridhoi agama dan budi pekertinya, maka nikahkanlah dia.” (Beliau mengucapkannya sabdanya sampai tiga kali). (HR At-Tirmidzi dan Ahmad)

Jika melihat hadits di atas, amat jelas sekali bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kepada para wali agar mereka mengawinkan perempuan-perempuan yang diwakilinya kepada laki-laki peminangnya yang beragama, amanah, dan berakhlak. Jika mereka tidak mau mengawinkan dengan laki-laki yang berakhlak luhur, tetapi memilih laki-laki yang tinggi keturunannya, kedudukannya punya kebesaran dan harta, berarti akan mengakibatkan fitnah dan kerusakan tak ada hentinya bagi laki-laki tersebut.
Menurut golongan Syafi’iyyah sepatutnyalah perempuan sederajat dengan laki-laki tentang menjaga kehormatan dan kesuciannya. Maka perempuan yang baik sederajat dengan laki-laki yang baik dan tidak sederajat dengan laki-laki yang fasik (pezina, pejudi, pemabuk dsb). Dengan demikian, jika perempuan yang fasik haruslah atau tentu saja sederajat dengan laki-laki yang fasik. Begitu juga dengan perempuan yang berbuat zina (pezina) tentu saja sederajat dengan laki-laki pezina. Dalam hal ini pasangan-pasangan tersebut sesuai dengan kedudukan masing-masing, sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan jika terjadi ketidksesuaian. Golongan Hanabilah pun mempunyai pandangan yang sama dengan golongan Syafi’iyyah, demikian juga dengan Golongan Hanafiyyah dengan perbedaan keduanya ada beberapa perkara.
Perempuan yang sholeh dan bapaknya fasik, lalu ia menikah dengan laki-laki fasik, maka pernikahan itu sah dan bapaknya tidak berhak membantah (membatalkan) pernikahan, karena ia sama-sama fasik dengan laki-laki itu. Demikian menurut Golongan Malikiyyah. Menurut Golongan ini yang dimaksud fasik ialah: orang yang mengerjakan dosa besar dengan terang-terangan, atau orang yang mengerjakan dosa besar dengan bersembunyi, tetapi diberitahukannya kepada teman-temannya, bahwa ia berbuat demikian.
Pendapat Malikiyyah ini dianggap oleh sebagian ulama kontemporer sesuai dengan kondisi zaman sekarang, yaitu zaman demokrasi, zaman sama rata, sama rasa. Bahwa manusia itu sebenarnya sama baik miskin, kaya, berpangkat, rakyat jelata, keturunan bangsawan dan sebagainya adalah sederajat. Hanya yang membuat manusia mempunyai derajat tinggi dari yang lain yaitu karena taqwanya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang artinya:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurat: 13)


c. Merdeka
Mayoritas ulama, baik Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali memasukkan merdeka adalah salah satu kriteria seseorang dikatakan sekufu’. Namun, lain halnya dengan Mazhab Maliki yang tidak memasukkan merdeka sebagai kriteria dalam kafa’ah. Alasan jumhur ulama adalah Firman Allah surat An-Nahl ayat 75 yang artinya:

“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap suatupun dengan seorang yang kami beri rizki yang baik dari kami, lalu dia menafkahkan sebagaian dari rizkqi itu secara sembunyi atau terang-terangan adakah mereka itu sama”. (QS: An-Nahl:75)

Menurut Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali bahwa perempuan merdeka hanya sederajat dengan laki-laki merdeka dan tidak sederajat dengan laki-laki budak. Laki-laki budak yang sudah dimerdekakan, tidak sederajat dengan perempuan yang merdeka sejak lahirnya. Sedangkan Imam Maliki masih dalam pendirian semula bahwa merdeka tidak menjadi syarat kafa’ah.

d. Pekerjaan
Jumhur Ulama selain Maliki sepakat memasukkan pekerjaan dalam kafa’ah, berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ: الَعَرَبُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ أَكْفَاءُ وَ المَوَاليِ بَعْضُهُمْ أَكْفَاءُ لِبَعْضٍ، اِلاَّ حَائِكًا أَوْحَجَامًا. رَوَاهُ الْحَاكِمْ، وَفِي إْسِنَادِهِ رَاوٍ لَمْ يُسَمَّ، وَاسْتَنْكَرَهُ أَبُوْحَاتِمْ. وَلَهُ شَاهِدٌ عِنْدَ الْبَزَّارِ عَنْ مُعَاذِبْنِ جَبَلٍ بِسَنَدٍ مُنْقَطِعٍ.

Artinya: “ Orang Arab adalah kufu’ bagi lainnya, orang Mawali kufu dengan Mawali lainnya kecuali tukang bekam”. (HR. Al Bazaar)

Hadits diatas menjelaskan bahwa pekerjaan terhormat sekufu’ dengan pekerjaan terhormat. Karena orang-orang yang mempunyai pekerjaan terhormat, menganggap sebagai suatu kekurangan jika anak perempuan mereka dijodohkan dengan lelaki yang pekerja kasar, seperti tukang bekam, penyamak kulit, tukang sapu dan kuli. Karena kebiasaan masyarakat memandang pekerjaan tersebut demikian, sehingga seolah-olah hal ini menunjukkan nasabnya kurang.
Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara harta dan pekerjaan. Semua itu dapat berubah sesuai takdir Tuhan. Pekerjaan bagi golongan Malikiyah merupakan hal yang biasa dan tidak perlu dimasukkan dalam kafa’ah.

e. Kekayaan/ Harta
Golongan Hanafi menganggap bahwa kekayaan menjadi ukuran kufu’. Dan ukuran kekayaan disini yaitu memiliki harta untuk membayar mahar dan nafkah. Bagi orang yang tidak memiliki harta untuk membayar mahar dan nafkah, atau salah satu diantaranya, maka dianggap tidak kufu’. Dan yang dimaksud dengan kekayaan untuk membayar mahar yaitu sejumlah uang yang dapat dibayarkan dengan tunai dari mahar yang diminta.
Mengenai kafa’ah dalam kekayaan harta ini para ulama madzhab Syafi’i berbeda pendapat tentang perlunya kesepadanan dalam hal kekayaan. Sebagian mereka tidak menganggapnya, mengingat bahwa harta tidak dapat dijadikan dasar kebanggaaan bagi orang-orang yang berkepribadian tinggi. Akan tetapi, sebagian yang lain berpendapat bahwa kekayaan itu tidak dapat jadi ukuran kufu’ karena kekayaan itu sifatnya timbul tenggelam, dan bagi perempuan yang berbudi luhur tidaklah mementingkan kekayaan.
Mazhab Hanbali juga meletakkan harta sebagai ukuran kufu’ karena kalau perempuan yang kaya bila berada ditangan suami yang melarat akan mengalami bahaya. Sebab suami menjadi susah dalam memenuhi nafkahnya.


f. Tidak cacat
Asy-Syafi’i dan Malikiyah menganggap tidak cacatnya seseorang sebagai ukuran kafa’ah. Orang cacat yang memungkinkan seorang istri menuntut fasakh dianggap tidak sekufu’ dengan orang yang tidak cacat, meskipun cacatnya tidak menyebabkan fasakh, tetapi yang sekiranya akan membuat orang tidak senang mendekatinya. Lain halnya dengan pendapat ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang beranggapan bahwa bersih dari cacat merupakan ukuran kafa’ah dalam perkawinan.

Waktu Berlakunya Kafa’ah
Kafa’ah dinilai pada waktu terjadinya akad nikah. Apabila keadaannya berubah sesudah terjadinya akad, maka tidak mempengaruhi akad, karena syarat akad diteliti pada waktu akad. Apabila akad nikah telah dilaksanakan dan telah terbukti bahwa calon suami mempelai sejodoh, maka perkawinan itu telah sah dan tidak dapat diganggu gugat tentang kesalahan dengan alasan tidak sekufu’.

Kesimpulan
Dari uraian yang telah dikemukakan diatas kiranya sudah jelas bahwa ukuran kufu’ yang mutlak adalah agama dan budi pekerti (akhlaqnya) sedangkan hal-hal yang lain seperti pekerjaan, kedudukan, nasab, dan lain-lainnya adalah penambah keserasian.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim
al-Jaziri, Abdurrahman ibn Muhammad ‘Audl, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazhab al-Arba’ah jilid 4. Kairo: Maktabah Dar at-Turats, 2005.
az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu Juz 7, (Damskus: Dar al-Fikr, 1984.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab (penerj. Masykur A.B, dkk), Jakarta: Lentera, 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar