Kamis, 22 Maret 2012

KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM DALAM MENGHADAPI PERKEMBAGAN ZAMAN

KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM DALAM MENGHADAPI PERKEMBAGAN ZAMAN

Pendahuluan

Allah SWT telah menurunkan agama Islam kepada umat manusia dengan perantaraan nabi-Nya Muhammad SAW. Agama Islam yang merupakan agama universal mengandung aturan-aturan hukum yang langsung dari Allah SWTagar manusia selamat, baik di dunia maupun di akherat. Agama (Islam) beserta aturan-aturan (hukum) yang dibuat oleh Allah tersebut merupakan wahyu, diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya melalui perantaraan Malaikat Jibril. Sedangkan Nabi dan Rasul terakhir adalah Muhammad, s.a.w.
Wahyu yang diturunkan oleh Allah tersebut, adakalanya untuk menyelesaikan persoalan hukum yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu, dan dalam ilmu al-Qur’an dikenal dengan istilah asbabun-nuzul atau sebab-sebab turunnya wahyu (ayat al-Qur’an).
Pada masa Rasulullah SAW, segala permasalahan yang dihadapi para sahabat langsung ditanyakan kepada beliau. Dengan demikian, jawaban rasul terhadap pertanyaan-pertanyaan itu bersifat final.
Pada masa ini, sumber hukum yang digunakan adalah dua, yaitu al-Qur’an dan Hadits Nabi yang merupakan empirisasi dan interpretasi serta implementasi dari wahyu Allah SWT.
Seiring dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW, meluasnya wilayah kekuasaan Islam, terpencarnya para sahabat Nabi ke berbagai wilayah, dan banyaknya para sahabat yang gugur dalam pertempuran, maka umat Islam mendapat tantangan baru di bidang hukum, karena kadang kala masalah (hukum) yang sedang dihadapi tidak ada hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dan dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang sedang dihadapi tersebut, para sahabat selalu ber-ijtihad, dan mereka dapat dengan mudah menemukan hukum atas masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu karena para sahabat sangat mengenal tekhnik Nabi ber-ijtihad.
Hasil ijtihad para sahabat tersebut, jika tidak dibantah oleh sahabat Nabi yang lainnya, maka dianggap ijma’ para sahabat. Sebaliknya, jika hasil ijtihad sahabat Nabi tersebut dibantah oleh sahabat Nabi yang lain, maka hasil ijtihad sahabat Nabi tersebut tidak dapat dianggap sebagai ijma’ para sahabat, melainkan hanya pendapat pribadi para sahabat Nabi tentang persoalan-persoalan (hukum) tertentu. Dengan demikian terlihat bahwa, sumber hukum Islam pada masa sahabat hanya tiga yaitu; al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat.
Masa pun terus bergulir, para sahabat Nabi pun mulai wafat, maka otoritas tasri’ jatuh ke tangan generasi tabi’in kemudian tabi’ tabi’in dan seterusnya.
Demikianlah tahapan-tahapan yang dimiliki oleh Hukum Islam tersebut. Melihat fenomena ini, penulis mencoba membahas sedikit tentang mengapa Hukum Islam itu bisa berkembang mengikuti perubahan zaman dan waktu.


Karakteristik Hukum Islam Merupakan Sebab Pesatnya Perkembangan Hukum Islam

Setiap hukum tentunya memiliki ciri-ciri dan karakteristik yang membedakan yang satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, penulis mencoba memaparkan sedikit tentang ciri-ciri dan karakteristik (khasha-ish) hukum Islam guna menopang pesatnya perkembangan Hukum Islam.
Hukum Islam mempunyai karakteristik tersendiri, berbeda dengan Hukum Barat dan Hukum Adat, yaitu mempunyai dimensi ganda, pertama, dimensi syari'at (memiliki ciri wahyu) dan fikih (memiliki ciri ra'yu), kedua, ketuhanan dan kemanusiaan (iman dan ihsan atau akidah dan akhlak), ketiga, Hukum Islam berwatak universal (mengatasi ruang dan waktu, mencakup bidang ibadat dan mu'amalat dalam dalam arti luas, balasan atau sanksi dunia dan akhirat) dan kontekstual (dinamis, fleksibel).

1. Dimensi Syari'at dan Fikih
Karakteristik yang pertama, dalam bahasa Mohammad Daud Ali (1996) , mempunyai dua istilah kunci yakni (a) syari'at dan (b) fikih. Syari'at terdiri dari wahyu Allah dan Sunnah Nabi Muhammad dan fikih adalah pemahaman dan hasil pemahaman manusia tentang syari'at. Seperti yang penulis paparkan sebelumnya pada bab Pendahuluan, syari'at tidak dapat disamakan dengan fikih, namun kedua-duanya tidak bisa dipisahkan. Syari'at yang memang bersumber dari wahyu Allah SWT (al-Qur'an) dan Sunnah Nabi kita Muhammad SAW (al-Hadits) bersifat tsabat (tetap) kapan pun dan dimanapun. Sedangkan fikih bersifat tathowwur (terus-menerus berkembang) sebab ia adalah hasil pemahaman manusia tentang syari'at. Dengan sifat tsabat tersebut syari'at Allah SWT akan tetap berlaku sepanjang masa dan tidak seorang pun yang mampu untuk menggantikannya. Sedangkan dengan sifat fikih yang tathowwur, maka menunjukkan bahwa hukum Islam itu fleksibel (tidak kaku) di setiap kondisi dan situasi masyarakat serta terus mengikuti perkembangan zaman. Namun demikian, tetaplah Hukum Qur'ani.
Letak kekuatan syari'at Islam itu adalah pada kemurniannya sebab berasal dari wahyu Allah SWT tanpa dicampuri oleh daya nalar manusia. Sedangkan fikih itu sendiri adalah pemahaman yang berarti proses pembentukan Hukum Islam melalui daya nalar manusia. Baik itu pemahaman wahyu secara langsung maupun tidak langsung. Di sinilah fleksibilitas hukum Islam yang ketika membahas masalah mu'amalah kita diberikan kesempatan untuk berijtihad (pintu ijtihad itu tidak tertutup) dan al-Qur'an sendiri hanya membahas masalah mu'amalah ini secara global saja.

2. Ketuhanan dan Kemanusiaan
Ungkapan syahadatain "asyhadu allaailaha illallah" tidak hanya berhubungan dengan ketauhidan saja (bukan akidah aja). Namun, ungkapan ini juga mengandung syari'at yang jika dialihkan ke dalam bahasa hukum akan berbunyi "tiada hukum kecuali hukum Allah". Sumber rumusan kalimat ini adalah al-Qur'an surat al-An'am ayat 57, yang berbunyi:
                     •     
Artinya:
Katakanlah: "Sesungguhnya Aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang Sebenarnya dan dia pemberi Keputusan yang paling baik".

juga pada surat Yusuf ayat 40 dan 67 yang berbunyi:
         •                       ••   
Artinya:
Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali Hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Yusuf: 40)

                               
Artinya:
Dan Ya'qub berkata: "Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; namun demikian Aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah Aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri".(QS. Yusuf:67)

Hukum Islam itu diciptakan Allah SWT bukan untuk kepentingan Allah SWT. Namun, hal itu dilakukan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Hukum itu dibuat untuk mengatur kehidupan manusia dan tentunya Alalh lebih tahu kepentingan dan kebutuhan manusia baik yang berupa kebutuhan kepercayaan (akidah), ritual (ibadah), sampai dengan kebutuhan hidup individu dan sosial (mu'amalat). Agar seluruh kebutuhan manusia terpenuhi, maka Allah SWT telah menyediakan sarana dan prasarana secara sempurna serta memberikan pedoman hidup (hukum) secara sempurna untuk kebahagiaan manusia. Dari sinilah kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hukum Islam itu sangat memperhatikan karakteristik kemanusiaan sehingga Allah SWT memberikan pedoman hidup kepada manusia, baik itu berupa akidah, ibadah, maupun mu'amalat.
Apabila kita telah mengetahui dengan sebenarnya bahwa Allah lah yang menciptakan hukum, maka kewajiban kitalah yang harus melaksanakan dan menerapkan hukum Allah tersebut. Pelaksanaan itu bukan untuk diri kita pribadi namun, untuk Allah SWT dalam artian melaksanakan hukum Allah itu dengan nama Allah SWT.

3. Universal dan Kontekstual
Agama Islam bersifat universal ('alamy), mencakup semua manusia di dunia ini, tidak dibatasi oleh lautan maupun batasan sesuatu Negara. Ini berdasarkan firman Allah swt dalam surat Saba' ayat 28 yang berbunyi:
    ••     ••   
Artinya:
Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui.

Dan juga firman Allah Swt dalam surat Al-Anbiya ayat 107 yang berbunyi:
     
Artinya:
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Oleh Karena itu pada periode Makkah, di mana Nabi Muhammad Saw masih memfokuskan dakwahnya mengenai tauhid pada khususnya dan akidah pada umumnya, kita lihat ayat-ayat Al Quran pada umumnya dipergunakan panggilan Ya Ayuha n'Nas (Wahai manusia) untuk mencakup siapa saja dan di mana saja. Akan tetapi mengenai hukum-hukumnya meskipun tidak dibatasi oleh lautan dan daratan, namun pada umumnya, terutama mengenai ibadah, hanya khusus bagi kaum muslimin saja. Oleh karena itu kita lihat ayat-ayat Al Quran yang turun pada periode Madinah di mana Islam sudah mulai mentasyri'kan hukum, panggilan dipergunakan Ya Ayuha 'l-Ladzina Aamanu (Wahai orang-orang yang beriman).
Contoh seruan kepada segenap manusia mengenai tauhid firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 21-22, surat An-Nisa ayat 170. contoh lain mengenai hukum antara lain; firman Allah Swt dalam surat Al-Maidah 1s/d 3 dan firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat.
Universalitas hukum Islam dapat dilihat dari aspek kualitatif, yaitu mengenai ruang dan waktu, dan berlaku abadi. Dari aspek kuantitatif, yaitu hukum Islam, yang dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga mengatur hubungan manusia manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
Hukum Islam, yang dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak terikat oleh kebangsaan, (nasionalisme), kesukuan, golongan, penguasa, rakyat, jenis kelamin (lakilaki dan wanita), batas-batas wilayah atau geografi (dari segi ruang). Demikian juga tidak terikat dengan masa dan waktu.
Hukum Islam, disamping bersifat universal juga memiliki karakter kontekstual. Karakter hukum Islam ini, menurut Yusuf Qaradhawi berdasarkan kaidah-kaidah dan pola-pola berpikir yang asasi. Di antara kaidah-kaidah dan pola-pola berpikir itu adalah:
1. Memudahkan, dan menghilangkan kesulitan;
2. Memperhatikan tahapan masa;
3. Turun dari nilai ideal menuju realita dalam situasi darurat;
4. Segala yang mendatangkan kerugian atau kesengsaraan umat harus dilenyapkan;
5. Kemudlaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudlaratan;
6. Kemudlaratn yang bersifat khas digunakan untuk kemudlaratan yang bersifat umum;
7. Kemudlaratan yang ringan digunakan untuk menolak kemudlaratan yang berat;
8. Keadaan terpaksa memudahkan perbuatan atau tindakan terlarang;
9. Apa yang diperbolehkan karena terpaksa, diukur menurut ukuran yang diperlukan;
10. Kesulitan mendatangkan kemudahan;
11. Menutup sumber kerusakan didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.

Meskipun demikian, ada literatur lain yang menyatakan bahwa karakteristik Hukum Islam itu yang paling penting adalah enam , yaitu terjaga dari pemalsuan dan campur tangan manusia (al-hifdzu min at-tahrif); bersifat universal dan komprehensif (as-syumul); bersifat moderat (al-wasathiyyah); sesuai dengan zaman (al-waqi'iyyah); jelas dan masuk akal (al-wudluh wa al-'uqlaniyyah); dan yang terakhir adalah penggabungan antara tsabat dan tathowwur (al-jam'u baina as-tsabat wa at-tathowwur). Namun sebenarnya maksudnya tidaklah jauh berbeda dari pembagian ciri-ciri yang tiga seperti yang kami jelaskan di atas. Sebab di dalam penjelasan tersebut telah mencakup keenam ciri yang disebutkan literatur lain tersebut.

Melihat karakteristik hukum Islam di atas, maka sangat wajar bila Hukum Islam itu terus berkembang mengikuti perubahan waktu dan perkembangan zaman. Ia merupakan hukum yang universal, tidak memandang siapapun. Ia memang diturunkan untuk seluruh umat manusia. Tidak memandang etnis, suku ras, golongan, strata sosial.
Fleksibilitas Hukum Islam juga memberikan andil yang besar sehingga hukum Islam itu shalih likulli zaman dan makan.
Demikianlah, Hukum Islam sendiri sangat berperan besar dalam pengkodifikasian dan perkembangan Hukum Islam itu sendiri, yaitu melalui karakteristiknya seperti yang telah penulis sebutkan di atas.

Penutup

Dari uraian singkat di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa pada dasarnya ciri-ciri dan karakteristik Hukum Islam itu ada tiga, yaitu mempunyai dimensi ganda, pertama, dimensi syari'at (memiliki ciri wahyu) dan fikih (memiliki ciri ra'yu), kedua, ketuhanan dan kemanusiaan (iman dan ihsan atau akidah dan akhlak), ketiga, Hukum Islam berwatak universal (mengatasi ruang dan waktu, mencakup bidang ibadat dan mu'amalat dalam dalam arti luas, balasan atau sanksi dunia dan akhirat) dan kontekstual (dinamis, fleksibel).
Karakteristik inilah yang kemudian menjadikan hukum Islam terus selaras dan sejalan serta selalu sesuai dengan perkembangan zaman dan waktu yang terus bergulir.
Wallahu A’lam bisshawab








DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur’an Al-Karim
Ali, Mohammad Daud, 1996. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, cet. V.
Http://www.islamtoday.net/toislam/10.4/10.cfm
Http://Www.Pesantrenonline.Com/Ilmuislam/Detaililmuislam.Php3?Id=100&Katgori=4
Ibnu Rahman, M., 2001. Hukum Islam dalam Persfektif Filsafat. Yogyakarta: Philosophy Press, cet. I.
Masud, Muhammad Khalid, 1996. Filsafat Hukum Islam (penerjemah Ahsin Muhammad). Bandung: Penerbit Pustaka, cet. I.
Syah, H. Ismail Muhammad dkk., 1992. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara, cet. II.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar