Kamis, 22 Maret 2012

HADITS PADA MASA NABI

HADITS PADA MASA NABI
Oleh : Muhammad Taisir

A. Pendahuluan
Hadits Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur'an. "Hadits atau disebut juga dengan Sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau didasarkan kepada Nabi SAW., baik berupa perketaan, perbuatan, atau taqrir-nya. Hadits, sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur'an, sejarah perjalanan hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri.
Pada zaman Nabi, hadits diterima dengan mengandalkan hafalan para sahabat Nabi, dan hanya sebagian hadits yang ditulis oleh para sahabat Nabi. Hal ini disebabkan, "Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis hadits beliau. Dalam pada itu, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadits beliau. Dalam sejarah, pada zaman Nabi telah terjadi penulisan hadits. misalnya berupa surat-surat Nabi tentang ajakan memeluk Islam kepada sejumlah pejabat dan kepala negara yang belum memeluk Islam. Sejumlah sahabat Nabi telah menulis hadits Nabi, misalnya Abdullah bin 'Amr bin al-'As (w.65 H/685 M), Abdullah bin 'Abbas (w.68 H/687 M), 'Ali bin Abi Thalib (w. 40 H/661 M), Sumrah (Samurah) bin Jundab (w. 60 H), Jabir bin Abdullah (w. 78 H/697 M), dan Abdullah bin Abi Aufa' (w.86 H). Walaupun demikian tidaklah berarti bahwa seluruh hadits telah terhimpun dalam catatan para sahabat tersebut.
Dengan demikian, hadits Nabi yang berkembang pada zaman Nabi (sumber aslinya), lebih banyak berlangsung secara hafalan dari pada secara tulisan. Penyebabnya adalah Nabi sendiri melarang para sahabat untuk menulis hadits-nya, dan sudah masyhur bahwa karakter orang-orang Arab sangat kuat hafalannya dan suka menghafal, dan ada kehawatiran bercampur dengan al-Qur'an. Dengan kenyataan ini, sangat logis sekali bahwa tidak seluruh hadits Nabi terdokumentasi pada zaman Nabi secara keseluruhan.

B. Pengertian Hadits
Kata "Hadits" atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya, ialah al-ahadis .
Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang mendefinisikan hadits, adalah :
"Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya". Ulama hadits menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah segala pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya. Ulama ahli hadits yang lain merumuskan pengertian hadits dengan :
"Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".
Dari pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para ahli hadits dalam mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah hadits dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits, tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya.
Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut :
"Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara'".
Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul, terdapat persamaan yaitu ; "memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung prilaku dan ucapan sahabat atau tabi'in. Perbedaan mereka terletak pada cakupan definisinya. Definisi dari ahli hadits mencakup segala sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir. Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya menyangkut aspek perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara'.
C. Hadits Pada masa Rasulullah SAW
1. Cara Sahabat Menerima Hadits pada masa Rasulullah SAW
Hadits-hadist yang kita terima sampai saat ini merupakan hasil dari kesungguhan para sahabat dalam menerima dan memelihara hadits dari Rasulullah SAW dahulu. Apa yang diterima oleh para sahabat dari Rasul disampaikan pula kepada sahabat lain yang tidak hadir ketika itu, kemudian mereka sampaikan kepada generasi berikutnya, dan demikianlah seterusnya sampai tibanya ‘ashr at-tadwin (zaman/masa pengkodifikasian hadits).
Minat dan girah yang besar para sahabat untuk memperoleh hadits membuat mereka berusaha keras untuk menyertai Nabi SAW agar ucapan, perbuatan atau taqrir beliau dapat mereka terima atau lihat secara langsung. Jika ada yang berhalangan, maka mereka akan berusaha mencari sahabat yang kebetulan hadir bersama Nabi SAW ketika itu guna meminta apa yang telah mereka peroleh dari beliau.
Ada empat cara yang ditempuh oleh para sahabat untuk mendapatkan hadits Nabi SAW, yaitu:
1. Para sahabat selalu menghadiri majis ta’lim/pengajian-pengajian yang diadakan oleh Rasulullah SAW. Beliau (rasul) selalu menyediakan waktu-waktu khusus bagi para sahabat untuk mengajarkan ajaran-ajaran Islam. Para sahabat pun meski mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing berusaha untuk menghadiri pengajian Nabi. Jika ada yang berhalangan, maka para sahabat bergantian untuk menghadirinya. Dengan demikian yang hadir memberitahu yang berhalangan tentang isi pengajian yang disampaikan Nabi.
2. Terkadang terdapat berberapa peristiwa tertentu yang dialami oleh Nabi SAW yang kemudian beliau jelaskan hukumnya kepada para sahabat. Jika para sahabat yang hadir menyaksiakan peristiwa tersebut berjumlah banyak, maka beritanya akan tersebar luas. Jika, yang hadir pada waktu itu sedikit, maka beliau memerintahkan sahabat yang hadir untuk memberitahu para sahabat yang tidak hadir.
3. Terkadang para sahabat mengalami peristiwa tertentu, kemudian mereka menanyakan hukumnya kepada Rasulullah SAW, kemudian Rasulullah SAW memberikan jawaban atas pertanyaan para sahabat tersebut.
4. Terkadang para sahabat menyaksikan Rasulullah SAW melakukan suatu perbuatan, dan seringkali berkaitan dengan tatacara pelaksanaan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan yang lainnya. Kemudian sahabat yang melihat perbuatan Nabi tersebut menyampaikannya kepada sahabat yang lain.
Jika para sahabat telah mendapatkan hadits dari Rasulullah SAW, mereka langsung menghafalnya layaknya mereka mnghafal al-Qur’an.
2. Penulisan Hadits pada Masa Rasulullah SAW
Tidak dapat disangkal lagi bahwa kegiatan tulis menulis dan juga kegiatan pendidikan di dunia Islam telah berlangsung sejak zaman Nabi SAW masih hidup. Ini dapat dilihat dengan adanya bukti-bukti bahwa ketika nabi masih hidup, para sahabat banyak yang mencatat hal-hal yang diimlakan beliau kepada mereka. Ada juga sejumalah sahabat yang menyimpan surat-surat nabi atau salinannya. Hudzaifah r.a. menuturkan bahwa Nabi meminta dituliskan nama orang-orang yang masuk Islam, maka Hudzaifah menuliskannya sebanyak 1500 orang. Selain itu ada juga aturan registrasi nama orang-orang yang mengikuti perang.
Rasulullah SAW yang menjadi kepala negara Madinah semenjak tahun pertama Hijriyah hidup di tengah-tengah masyarakat sahabat, para sahabat bisa bertemu dengan beliau secara langsung tanpa adanya birokrasi yang rumit seperti sekarang ini. Rasulullah SAW bergaul dengan mereka di masjid , di pasar, ruma dan dalam perjalanan.
Segala ucapan perbuatan dan kelakuan Rasulullah SAW-yang kita kenal sabagai hadits – akan menjadi ushwah bagi para sahabat r.a. dan mereka akan berlomba-lomba mewujudkannya dalam kehidupan mereka. Tidak dapat kita sangkal bahwa tidak semua sahabat mendengar satu hadis secara bersamaan, sehingga ada sahabat yang menuliskan hadits dalam shahifah agar tidak tercecer, seperti shahifah Abdullah bin Amru bin Ash.
Bagaimana hal ini bisa terjadi sementara hadits dari Abu Said al Khudri meyebutkan:
لاَ تَكْتُبُوْا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ (رواه مسلم)
”Jangan kalian tulis apa yang kalian dengar dariku, barangsiapa yang menuliskan selain dari al-Qur’an, hendaklah dihapus”.(H.R. Muslim)
Dan ternyata setelah Rasulullah SAW meninggal dunia sahifah-sahifah berisi hadits-hadits Rasullah SAW seperti sahifah Sa’ad Ibnu Abu Ubadah, Sahifah Jabir Ibn Abdullah, Samurah Ibn Jundab dan yang lainnya . Bahkan Muhammad Mustafa Azami PhD menulis dalam tesis doktoralnya yang berjudul Studies in Early Hadits Literature bahwa sejak awal pertama hijriyah buku-buku kecil berisi hadits telah beredar .
Walaupun ada sahifah-sahifah berisi hadits-hadits Rasulullah SAW, kodifikasi hadits ini tidak dilakukan secara formal seperti halnya al-Qur’an sampai abad pertama Hijriyah berlalu, padahal bisa saja para sahabat mengumpulkan hadits-hadits shahih dan mensarikannya dalam sebuah kitab. Pengarang fajrul Islam memberi komentar:

Mungkin hal itu juga terpikirkan oleh sebagian mereka, tetapi pelaksanaannya amat sukar. Sebab mereka tahu sewaktu Nabi SAW wafat jumlah sahabat yag mendengarkan dan meriwatkan dari beliau 114.000 orang. Setiap orang masing-masing mempunya satu, dua hadits seringkali nabi mengatakan sebuah hadits di hadapan segolongan sahabat yang tidak didengar oleh golongan lain .

Adapun dalam perkembangan penulisan hadits telah dicoba mengelompokkannya kedalam beberapa periode, seperti yang dirumuskan oleh M Hasbi Asyiddiqi yang membagi kedalam beberaa periode pada masa Nabi dan sahabat, yaitu pada abad pertama, M Hasbi Asyiddiqi membagi menjadi tiga periode, yaitu Periode Pertama (masa Rasulullah SAW), Periode kedua (Masa Khulafaurrasyidin) dan periode ketiga (masa Shigarus Shahabah dan Kibarut Tabi’in) . Dalam makalah ini penulis hanya memaparkan penulisan hadits pada periode pertama, yaitu pada masa Rasulullah SAW.
Pada periode pertama para sahabat langsung mendengarkan dari Rasulullah SAW atau dari sahabat lain, karena para sahabat tersebar di penjuru negri, ada yang di Dusun, dan ada yang di kota. Adakalanya diterangkan oleh istri-istri rasul seperti dalam masalah kewanitaan dan rasulullah SAW juga memerintahkan para sahabat untuk menghapal dan menyebarkan hadits-haditsnya diantara sabda beliau yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim
”Dan ceritakanlah dariadaku, tidak ada keberatan bagimu untuk menceritakan apa yang kamu dengar daripadaku. Barang siapa yang berdusta terhadap diriku, hendaklah ia bersedia menempati kedudukannya di neraka.”
Perlu diketahui bahwa dalam menyampaikan hadits dilakukan dengan dua cara :
1. Dengan lafadz asli, yakni menurut lafadz yang mereka dengar dari Rasulullah Saw.
2. Dengan makna saja, yakni hadits tersebut disampaikan dengan mengemukakan makna saja, tidak menurut lafadz seperti yang diucapkan Nabi.
Kecuali itu, pada masa Rasulullah SAW sudah ada catatan hadits-hadits beliau seperti Abdullah bin Amru, dan pernah suatu waktu Rasulullah SAW berkhutbah, setelah seorang dari yaman datang dan berkata. ”Ya Rasulullah tuliskanlah untukku”,tulislah Abu Syah ini.”
Kembali kepada pelarangan Rasulullah SAW dalam penulisan hadits. Tujuan Rasulullah adalah agar al-Qur’an tidak bercampur dengan apapun, termasuk perkataan beliau sendiri. Ketika menemukan ternyata ada sahifah-sahifah berisi hadits pada masa Rasulullah SAW kita tidak akan berani mengatakan bahwa para sahabat menghiraukan perintah Rasulullah SAW. Setelah diteliti ternyata ada hadits yang menyatakan bolehnya penulisan hadits, seperti sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan Abu Daud;
”Tulislah, maka jiwaku yang berada ditangan-Nya tidaklah keluar dari mulutku kecuali kebenaran”
Hadits ini terlihat kontradiktif dengan hadits sebelumnya, berikut ini adalah pendapat para ulama untk mengkomromikan kedua hadits ini;
1. Bahwa larangan menulis hadits itu, telah dimansukh oleh hadits yang memerintahkan menulis
2. Bahwa larangan itu bersifat umum, sedang untuk beberapa sahabat khusus diizinkan
3. Bahwa larangan menulis hadits ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan mencampur adukannya denga al-Qur’an, sedangkan keizinan menulis ditujukan kepada mereka yang dijamin tidak akan mencampuradukannya.
4. Bahwa larangan itu dalam bentuk kodifikasi secara formal seperti mushaf al-Qur’an, sedang untuk dipakai sendiri tidak dilarang.
5. Bahwa larangan itu berlaku pada saat wahyu-wahyu yang turun belum dihafal dan dicatat oleh para sahabat, setelah dihafal dan dicatat, menulis hadits diizinkan.
6. Larangan tersebut ditujukan terhadap mereka yang memiliki hafalan kuat sehingga mereka tidak terbebani dengan tulisan, sedangkan kebolehan diberikan kepada mereka yang lemah hafalannya seperti Abu Syah .

D. Penutup
Sebagai kesimpulan bahwa pada masa Rasulullah SAW semangat untuk mendapatkan hadits begitu tinggi sehingga kesibukan jika tidak terlalu sangat tidak menghalangi sahabat guna memperoleh hadits, baik dengan cara menghadiri pengajian rasul, memperoleh penjelasan langsung hukum peristiwa-peristiwa tertentu yang dihadapi Rasul, ataupun mereka langsung bertanya hukum suatu peristiwa yang mereka alami.
Adapun mengenai pelarangan untuk menulis hadits pada masa wahyu masih turun, adalah merupakan sikap kehati-hatian Rasulullah dalam menjaga kemurnian al-qur’an yang diikuti oleh para Khalifa Rasyidah dengan memberikan batasan secara ketat dalam penulisan hadits. Sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang diperbolehkan menulis hadits. Itupun dalam rang memenuhi kebutuhan ummat akan suatu permasalah agama yang belum diketahui. Sehingga kita dapat melihat kegiatan tulis-menulis hadits lebih pada surat kepada Sahabat yang lain. Ataupun hadits-hadits Nabi ditulis sebagai koleksi pribadi Sahabat.
Pada masa itu pula kesinambungan hadits begitu kuat terpelihara karena kuatnya hafalan para sahabat, kehati-hatian dalam menerima dan meriwayatkan hadits. Wallahu a’lam bissowab.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Rosnawati, Pengantar Ilmu Hadits, Kualalumpur: Ilham Abati Enterprise, 1997.
Amin, Ahmad, Fajrul Islam, Terj. Zaini Dahlan, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
Ash Shiddeqy, M. Hasby, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta, 1998.
As-Shan’ani, Muhammad Ibnu Isma’il, Tawdhih al-Afkar li Ma’ani Tanqih al-Anzar, Kairo : Al-Khanji, 1366
At-Thahhan, Mahmud, Taisir Musthalah al-Hadits, Beirut, Dar al-Fikr, tt.
Azami, Muhammad Mustafa, Metodologi Kritik Hadits, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
Azami, Muhammad Mustafa, Studes in Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa Ya'qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Bukhari, Shahih Bukhari
Hasan, Qadir, Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: Dipenegoro, 2007.
Yuslem, Nawir, Ulumul Hadits, Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2001.

1 komentar: