A.
Pendahuluan
Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada nabi dan rasul
seluruh alam, Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa ajaran yang mengangkat
derajat wanita kepada derajat yang tinggi.
Mahasuci Allah yang telah
menciptakan manusia dari diri yang satu, yaitu Adam AS. Kemudian dari Adam itu
Allah ciptakan makhluk yang bernama perempuan. Melalui kedua orang inilah (Adam
dan Hawa) Allah menciptakan laki-laki dan perempuan
yang banyak. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ yang artinya:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.
(Q.S. an-Nisa’: 1)
Maksud
kata وخلق منها menurut Jumhur
Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis
riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari
padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.[1]
Islam merupakan agama yang dibawa oIeh Nabi
Muhammad SAW dan merupakan agama universal, diperuntukkan bagi seluruh umat
manusia. Ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW itu mengajarkan kepada
umat manusia untuk selalu berlaku adil dan tidak berbuat zalim serta selalu
menebarkan kedamaian dan keselamatan di muka bumi ini. Islam juga mengajarkan
untuk selalu hidup secara positif di antara sesame manusia dalam suasana yang
harmonis, persaudaraan dan tenggang rasa, tidak membeda-bedakan derajat,
status, warna kulit, jenis bahkan i’tikad ataupun agama. Hal ini disebabkan
mereka (manusia) berasal dari diri yang satu, seperti yang telah dijelaskan
dalam surat an-Nisa’ ayat 1.
Isu tentang kesetaraan gender yang marak pada saat sekarang ini bermula
dari adanya perubahan metode pendekatan kajian Islam yang dikatakan menggunakan
titik pandang tradisional. Yang dimaksud dengan titik pandang
tradisional dalam studi Islam adalah model kajian Islam yang bersifat
normative, dan kurang atau bahkan menafikan aspek historis. Para alumni Studi
Islam McGill, Kanada menyatakan, guna menghadapi tantangan zaman modern
sekarang ini, sudah saatnya model Studi Islam yang bersifat normative diganti
dengan model/metode pengkajian Islam dengan pendekatan historis. Dengan demikian,
metode normative dalam pengkajian Islam harus dibuang jauh-jauh dan diganti
dengan metode dengan pendekatan historis.[2] Metode
pendekatan historis ini diusung oleh pendiri Studi Islam McGill, Kanada, Prof.
Wilfred Cantwell Smith, yang kemudian dibawa pulang oleh sejumlah ilmuan di
kalangan muslim.[3]
Di Indonesia, para alumnus McGill ini juga membawa pulang metode
pengkajian Islam yang diusung oleh Wilfred Cantwell Smith ini. Mereka kemudian
mensosialisasikannya ke perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam. Hal ini
kemudian menyebabkan banyaknya kecaman-kecaman terhadap ajaran Islam khususnya
kitab suci al-Qur’an yang merupakan dustur utama ajaran Islam. Para pengusung
pendekatan historis ini sampai berani menyatakan ketidak-relevan-an sebagian
dari isi al-Qur’an itu. Salah satu ajaran Islam yang dikatakan tidak relevan
itu adalah tentang masalah gender yang dibarengi dengan paham Feminisme.
Melihat fenomena yang ada, penulis merasa tergugah untuk mengkaji lebih
dalam tentang gender ini (khususnya kesetaraan gender) yang ada dalam al-Qur’an
ini. Dari hasil kajian ini penulis berharap memberikan manfaat, baik secara
teoritis, yaitu menambah perbendaharaan karya ilmiah dan bacaan kepada
masyarakat khususnya kalangan intelektual; sedangkan manfaat praktisnya adalah
mengingatkan kembali ataupun sebagai bahan penyegaran kepada masyarakat
khususnya umat Islam bahwa ajaran Islam bersifat syamil (menyeluruh), tidak
lekang oleh waktu dan masa-masa. kepada para pembaca
B. Pembahasan
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya
bahwa Allah SWT menciptakan manusia berpasang-pasangan. Ia menciptakan manusia
guna menunaikan hak dan kewajibannya, bertanggungjawab terhadap kehidupannya,
yang semata-mata hanya untuk menyembah kepada Allah SWT. Allah SWT dengan tegas
menjelaskan hal tersebut dalam al-Qur’an surat adz-Zariyat, yang artinya:
Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku. (Q.S. Adz-Dzariyat: 56)
Ayat
di atas dengan jelas menyebutkan tujuan penciptaan manusia adalah untuk
menyembah/beribadah kepada Allah SWT dengan tidak membeda-bedakan baik jenis
kelamin, golongan darah, status, strata sosial, pangkat dan kedudukan, ataupun
perbedaan-perbedaan yang lain. Dengan demikian tujuan Allah ini bersifat
universal, berlaku untuk makhluk yang bernama jin dan manusia.
a.
Definisi
Menurut kamus
pintar Bahasa Indonesia, kata “gender” berarti jenis kelamin.[4] Namun jika ditambahkan
dengan kata kesetaraan, maka maknanya akan lain. Badariyah Fahyumi, et. al.
mendefiniskan gender sebagai perbedaan laki-laki dan perempuan di luar
sifatnya yang biologis.[5] Sedangkan pengertian paham
kesetaraan gender, seperti yang dikutip Nazaruddin Umar dalam Women’s
Studies Encyclopedia, dalam bukunya Argumen Kesetaraan Jender: perspektif
al-Qur’an, yang dikutip oleh Henri Salahuddin, adalah “konsep kultural yang
berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam
masyarakat.[6]
Melihat
definisi-definisi di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya kesetaraan
gender yang menjadi wacana di masyarakat adalah kesetaraan yang berada di luar
sifat biologisnya. Kesetaraan yang diinginkan adalah dari segi peran, perilaku,
mental dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan. Dari sini,
kita dapat mengambil 3 kata kunci, yaitu laki-laki, perempuan dan kebudayaan.
Jadi sebenarnya
aspek yang ingin ditonjolkan pada isu kesetaraan gender ini adalah masalah
kebudayaan, atau kalau dikaitkan dengan kajian Islam, maka pendekatan kajiannya
dengan pendekatan historis yang sudah barang tentu bersinggungan dengan
kebudayaan.
b.
Prinsip Gender dalam Islam
Empat
belas abad sudah Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia. Islam yang merupakan
ajaran yang bersifat universal. Salah satu ajaran yang dibawanya adalah
menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Islam telah
mengangkat derajat perempuan dari makhluk yang dianggap hina, kelas dua ataupun
hanya sebagai pelengkap bagi laki-laki menjadi makhluk yang terhormat, memiliki
hak dan kewajiban yang sama.
Secara kodrati,
terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan memiliki payudara,
alat kelamin yang berbeda dari laki-laki (faraj), rahim, bisa melahirkan, sedangkan laki-laki tidak
demikian. Ia (laki-laki) memiliki sperma yang bisa membuahi ovum sel telur
perempuan sehingga terbentuknya janin. Ini merupakan perbedaan asasi antara
laki-laki dengan perempuan. Dari perbedaan inilah terlihat bahwa sebenarnya
laki-laki dan perempuan saling membutuhkan satu sama lain demi kelangsungan
hidup manusia.
Melihat
perbedaan kodrati ini sayogyanyalah laki-laki hidup berdampingan dengan
perempuan karena keduanya tidak ada yang lebih sempurna. Manusia telah
diciptakan Allah SWT sebagai ciptaan yang paling baik (ahsanu taqwim)
seperti firmanNya pada surat at-Tiin yang artinya:
Sesungguhnya kami Telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (Q.S. at-Tiin: 4)
Sementara itu, Islam telah menentukan
beberapa prinsip tentang gender.[7]
Prinsip pertama, laki-laki dan perempuan adalah sama di mata Allah SWT. Yang
membedakannya hanyalah ketakwaannya. Perbedaan jenis kelamin bukan penentu
seorang manusia menjadi mulia. Ketakwaan itu yang menjadi tolok ukur derajatnya
di sisi Allah. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an yang artinya:
Hai manusia, Sesungguhnya kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal. (Q.S. al-Hujurat: 13)
Prinsip kedua adalah bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama
mendapat perintah dari Allah untuk menyeru kepada yang ma’ruf dan
mencegah kepada yang munkar. Dikala laki-laki diperintahkan untuk menjaga
kemaluannya, wanita pun tidak luput dari larangan itu. Firman Allah dalam surat
an-Nur ayat 30-31, yang artinya:
Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci
bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, …. (Q.S. an-Nuur: 30-31)
Prinsip
ketiga adalah bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sebanding dengan
kewajibannya. Allah berfirman dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 32, yang artinya:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap
apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian
yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S. an-Nisa’: 32)
Adapun masalah yang paling sering
mencuat di publik adalah mengenai ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan qawamat ar-rajul (kepemimpinan
laki-laki) pada surat an-Nisa’ ayat 34 yang artinya:
Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka.
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (Q.S. an-Nisa’: 34).
Apakah sebenarnya maksud dari
qawamah ini? Dr. Abduh asy-Syahiy menjelaskan sebagai berikut:
فإن هذه الدرجة هي
القوامة، أي الرعاية والصيانة والحفظ وليست هذه الدرجة هى درجة التشبت فى الرأي
والتحكم والسيطرة فى إدارة شئون الأسرة، أو الاستبداد قولا وعمل فى أمور الأسرة.[8]
Dari penjelasan ini jelas sekali bahwa qawamah yang
dimaksudkan pada ayat tersebut adalah pengayom (ri’ayah), dan
penolong/pelindung (shianah) dan menjaga (hifz), bukan berarti menguasai dan
mengekang seperti yang dikatakan sebagian orang.
Dengan demikian, laki-laki harus mengetahui bahwa derajat kepemimpinan
disini adalah derajat taklif dan mas’uliyyah (kewajiban dan tanggung jawab).
Dari sini, dapat kita ketahui bahwa wanita mempunyai hak untuk memiliki atas
segala sesuatu tanpa ada pembedaan dengan laki-laki, ia juga berhak untuk
bertransaksi, bekerja yang sesuai dengan tuntunan syari’ah. Sehingga perempuan
juga mempunyai hak untuk member dan menerima wasiat serta warisan. Bahkan ia
juga berhak untuk melindungi dirinya dan hartanya dengan cara bagaimanapun
selama tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
Demikianlah, Islam memberikan hak-hak yang sangat istimewa kepada
perempuan yang tidak pernah diberikan oleh sistem-sistem keagamaan
konstitusional yang lain. Hak dan tanggung jawab yang diberikan Allah SWT
kepada perempuan sederajat dengan yang diterima oleh laki-laki. Kesederajatan
ini tidak selalu identik. Karena secara biologis dan psikologis perempuan
diciptakan berbeda dari laki-laki. Islam telah menetapkan hak dan tanggung
jawab terhadap perempuan sesuai dengan sifatnya, memberinya perlindungan dan
keamanan penuh dari penistaan dan alur kehidupan yang tidak menentu. Dari
sinilah dapat dipahami bahwa kesetaraan itu tidak sama dengan kesamaan.
Laki-laki diciptakan Allah SWT setara dengan perempuan, tetapi tidak sama
antara laki-laki dengan perempuan.[9]
Banyak para ilmuwan terjebak dengan istilah ‘kesetaraan’ dan ‘kesamaan’.
Semua orang mendambakan kesetaraan, baik kesetaraan dalam hak maupun kesetaraan
dalam kewajiban. Namun, tak seorangpun yang menginginkan kesamaan.
C.
Penutup
a.
Kesimpulan
Dari uraian singkat di atas penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Islam sangat menekankan
kesetaraan gender. Namun demikian tetap mengacu kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits
yang merupakan sumber utama ajaran Islam.
2.
Kesetaraan yang
dimaksudkan Islam bukan berarti sama/identik. Laki-laki diciptakan Allah SWT
setara dengan perempuan, tetapi tidak sama antara laki-laki dengan perempuan. Karena
secara biologis dan psikologis perempuan diciptakan berbeda dari laki-laki.
Islam telah menetapkan hak dan tanggung jawab terhadap perempuan sesuai dengan
sifatnya, memberinya perlindungan dan keamanan penuh dari penistaan dan alur
kehidupan yang tidak menentu
b.
Saran
Demikian makalah singkat penulis buat, semoga bermanfaat bagi kita
semua. Tentunya dalam penulisan ini terdapat bayak kekurangan dan kesalahan yang
tidak mungkin penulis hindari. Kami berharap, akan banyak yang tergugah hatinya
untuk menelaah kembali permasalahan gender ini sehingga pemahaman kita pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya lurus dan benar terhadap ajaran Islam
beserta kitab suci Al-Qur’an yang belakangan ini di kecam dan dihujat. Wallahu
a’lam bisshawab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul
Karim
As-Sahiy,
Syauqi Abduh, -. Al-Huquq al-Ma’nawiyah wa al-Adabiyah li az-Zaujah fi
Dhau’casy-Syari’ah al-Islamiyah dalam Makanat al-Mar’ah wa Huququha fi
al-Islam. Kairo: Rabithah al-Jami’at al-Islamiyah.
Fayumi,
Badriyah, et.al., 2004. Halaqah Islam: Mengaji Perempuan, HAM dan Demokrasi.
Jakarta: Ushul Press.
Husaini,
Adian, 2009. Kajian Islam Historis dan Aplikasinya dalam Studi Gender, dalam
Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, vol. V no.1. Jakarta, Khairul
Bayan.
Khadim
al-Haramain asy-Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Makkah, Khadim
al-Haramain asy-Syarifain.
Naik,
Zakir, dkk, 2009. Mereka Bertanya Islam
Menjawab. Solo, PT. Aqwam Media Profetika.
Salahuddin, Henri, Menelusuri Paham Kesetaraan
Gender dalam Studi Islam: Tantangan terhadap Konsep Wahyu dal Ilmu dalam Islam,
makalah disampaikan pada acara Kursus Pemikiran dan Peradaban Islam, pada 4
April 2009 di kantor INSIST Jakarta.
[1] Al-Qur’an dan
Terjemahnya, dicetak oleh khadim al-haramain asy-syarifain, hal. 114.
[2] Adian Husaini, Kajian
Islam Historis dan Aplikasinya dalam Sudi Gender, dalam Jurnal Pemikiran dan
Peradaban Islam Islamia, vol. V, no. 1, 2009, hal. 13.
[3] Ibid, hal. 13.
[4] Y. Istiyono Wahyu dan
Ostaria Silaban, 2006. Kamus Pintar Bahasa Indonesia. Karisma Publishing
Grup, Batam, hal. 184.
[5] Badariyah Fahyumi,
et. al., 2004. Halaqah Islam: Mengaji Perempuan, HAM dan Demokrasi. Jakarta:
Ushul Press, cet. I, hal. 4.
[6] Henri Salahuddin, Menelusuri
Paham Kesetaraan Gender dalam Studi Islam: Tantangan terhadap Konsep Wahyu dan
Ilmu Kalam dalam Islam, makalah disampaikan pada acara kursus Pemikiran dan
Peradaban Islam, pada 4 April 2009 di kantor INSISTS Jakarta.
[7] Badariyah Fahyumi,
et.al., Ibid, hal. 5 dan seterusnya.
[8] Dr. Abduh Asy-Syahiy, Al-Huquq al-Ma’nawiyyah wa
al-Adabiyyah li az-Zaujah fi Dhau’
asy-Syari’ah al-Islamiyya, dalam Makanat al-Mar’ah wa Huququha fi al-Islam.
Rabithah al-Jamiaat al-Islamiyyah, Kairo, hal. 44.
[9] Zakir
Naik, dkk, 2009. Mereka Bertanya Islam Menjawab. Solo, PT. Aqwam Media
Profetika, hal. 87.
Siapa itu Dr. Abduh Asy-Syahiy?
BalasHapusprisip ke empat nya mana ya?
BalasHapus