Rabu, 07 November 2012

ISLAM DAN KESETARAAN GENDER



           
A.    Pendahuluan
Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada nabi dan rasul seluruh alam, Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa ajaran yang mengangkat derajat wanita kepada derajat yang tinggi.
            Mahasuci Allah yang telah menciptakan manusia dari diri yang satu, yaitu Adam AS. Kemudian dari Adam itu Allah ciptakan makhluk yang bernama perempuan. Melalui kedua orang inilah (Adam dan Hawa) Allah menciptakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ yang artinya:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya  Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu. (Q.S. an-Nisa’: 1)

Maksud kata وخلق منها menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.[1]
Islam merupakan agama yang dibawa oIeh Nabi Muhammad SAW dan merupakan agama universal, diperuntukkan bagi seluruh umat manusia. Ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW itu mengajarkan kepada umat manusia untuk selalu berlaku adil dan tidak berbuat zalim serta selalu menebarkan kedamaian dan keselamatan di muka bumi ini. Islam juga mengajarkan untuk selalu hidup secara positif di antara sesame manusia dalam suasana yang harmonis, persaudaraan dan tenggang rasa, tidak membeda-bedakan derajat, status, warna kulit, jenis bahkan i’tikad ataupun agama. Hal ini disebabkan mereka (manusia) berasal dari diri yang satu, seperti yang telah dijelaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 1.
Isu tentang kesetaraan gender yang marak pada saat sekarang ini bermula dari adanya perubahan metode pendekatan kajian Islam yang dikatakan menggunakan titik pandang tradisional. Yang dimaksud dengan titik pandang tradisional dalam studi Islam adalah model kajian Islam yang bersifat normative, dan kurang atau bahkan menafikan aspek historis. Para alumni Studi Islam McGill, Kanada menyatakan, guna menghadapi tantangan zaman modern sekarang ini, sudah saatnya model Studi Islam yang bersifat normative diganti dengan model/metode pengkajian Islam dengan pendekatan historis. Dengan demikian, metode normative dalam pengkajian Islam harus dibuang jauh-jauh dan diganti dengan metode dengan pendekatan historis.[2] Metode pendekatan historis ini diusung oleh pendiri Studi Islam McGill, Kanada, Prof. Wilfred Cantwell Smith, yang kemudian dibawa pulang oleh sejumlah ilmuan di kalangan muslim.[3]
Di Indonesia, para alumnus McGill ini juga membawa pulang metode pengkajian Islam yang diusung oleh Wilfred Cantwell Smith ini. Mereka kemudian mensosialisasikannya ke perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam. Hal ini kemudian menyebabkan banyaknya kecaman-kecaman terhadap ajaran Islam khususnya kitab suci al-Qur’an yang merupakan dustur utama ajaran Islam. Para pengusung pendekatan historis ini sampai berani menyatakan ketidak-relevan-an sebagian dari isi al-Qur’an itu. Salah satu ajaran Islam yang dikatakan tidak relevan itu adalah tentang masalah gender yang dibarengi dengan paham Feminisme.
Melihat fenomena yang ada, penulis merasa tergugah untuk mengkaji lebih dalam tentang gender ini (khususnya kesetaraan gender) yang ada dalam al-Qur’an ini. Dari hasil kajian ini penulis berharap memberikan manfaat, baik secara teoritis, yaitu menambah perbendaharaan karya ilmiah dan bacaan kepada masyarakat khususnya kalangan intelektual; sedangkan manfaat praktisnya adalah mengingatkan kembali ataupun sebagai bahan penyegaran kepada masyarakat khususnya umat Islam bahwa ajaran Islam bersifat syamil (menyeluruh), tidak lekang oleh waktu dan masa-masa. kepada para pembaca     

B.     Pembahasan
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Allah SWT menciptakan manusia berpasang-pasangan. Ia menciptakan manusia guna menunaikan hak dan kewajibannya, bertanggungjawab terhadap kehidupannya, yang semata-mata hanya untuk menyembah kepada Allah SWT. Allah SWT dengan tegas menjelaskan hal tersebut dalam al-Qur’an surat adz-Zariyat, yang artinya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S. Adz-Dzariyat: 56)
            Ayat di atas dengan jelas menyebutkan tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah/beribadah kepada Allah SWT dengan tidak membeda-bedakan baik jenis kelamin, golongan darah, status, strata sosial, pangkat dan kedudukan, ataupun perbedaan-perbedaan yang lain. Dengan demikian tujuan Allah ini bersifat universal, berlaku untuk makhluk yang bernama jin dan manusia.

a.      Definisi
Menurut kamus pintar Bahasa Indonesia, kata “gender” berarti jenis kelamin.[4] Namun jika ditambahkan dengan kata kesetaraan, maka maknanya akan lain. Badariyah Fahyumi, et. al. mendefiniskan gender sebagai perbedaan laki-laki dan perempuan di luar sifatnya yang biologis.[5] Sedangkan pengertian paham kesetaraan gender, seperti yang dikutip Nazaruddin Umar dalam Women’s Studies Encyclopedia, dalam bukunya Argumen Kesetaraan Jender: perspektif al-Qur’an, yang dikutip oleh Henri Salahuddin, adalah “konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.[6]
Melihat definisi-definisi di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya kesetaraan gender yang menjadi wacana di masyarakat adalah kesetaraan yang berada di luar sifat biologisnya. Kesetaraan yang diinginkan adalah dari segi peran, perilaku, mental dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan. Dari sini, kita dapat mengambil 3 kata kunci, yaitu laki-laki, perempuan dan kebudayaan.
Jadi sebenarnya aspek yang ingin ditonjolkan pada isu kesetaraan gender ini adalah masalah kebudayaan, atau kalau dikaitkan dengan kajian Islam, maka pendekatan kajiannya dengan pendekatan historis yang sudah barang tentu bersinggungan dengan kebudayaan.

b.      Prinsip Gender dalam Islam
Empat belas abad sudah Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia. Islam yang merupakan ajaran yang bersifat universal. Salah satu ajaran yang dibawanya adalah menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Islam telah mengangkat derajat perempuan dari makhluk yang dianggap hina, kelas dua ataupun hanya sebagai pelengkap bagi laki-laki menjadi makhluk yang terhormat, memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Secara kodrati, terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan memiliki payudara, alat kelamin yang berbeda dari laki-laki (faraj), rahim,  bisa melahirkan, sedangkan laki-laki tidak demikian. Ia (laki-laki) memiliki sperma yang bisa membuahi ovum sel telur perempuan sehingga terbentuknya janin. Ini merupakan perbedaan asasi antara laki-laki dengan perempuan. Dari perbedaan inilah terlihat bahwa sebenarnya laki-laki dan perempuan saling membutuhkan satu sama lain demi kelangsungan hidup manusia.
Melihat perbedaan kodrati ini sayogyanyalah laki-laki hidup berdampingan dengan perempuan karena keduanya tidak ada yang lebih sempurna. Manusia telah diciptakan Allah SWT sebagai ciptaan yang paling baik (ahsanu taqwim) seperti firmanNya pada surat at-Tiin yang artinya:
Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (Q.S. at-Tiin: 4)
Sementara itu, Islam telah menentukan beberapa prinsip tentang gender.[7] Prinsip pertama, laki-laki dan perempuan adalah sama di mata Allah SWT. Yang membedakannya hanyalah ketakwaannya. Perbedaan jenis kelamin bukan penentu seorang manusia menjadi mulia. Ketakwaan itu yang menjadi tolok ukur derajatnya di sisi Allah. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an yang artinya:
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujurat: 13)
Prinsip kedua adalah bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mendapat perintah dari Allah untuk menyeru kepada yang maruf dan mencegah kepada yang munkar. Dikala laki-laki diperintahkan untuk menjaga kemaluannya, wanita pun tidak luput dari larangan itu. Firman Allah dalam surat an-Nur ayat 30-31, yang artinya:
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, . (Q.S. an-Nuur: 30-31)
Prinsip ketiga adalah bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sebanding dengan kewajibannya. Allah berfirman dalam al-Quran surat an-Nisa ayat 32, yang artinya:
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S. an-Nisa: 32)
Adapun masalah yang paling sering mencuat di publik adalah mengenai ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan  qawamat ar-rajul (kepemimpinan laki-laki) pada surat an-Nisa’ ayat 34 yang artinya:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (Q.S. an-Nisa’: 34).
            Apakah sebenarnya maksud dari qawamah ini? Dr. Abduh asy-Syahiy menjelaskan sebagai berikut:
فإن هذه الدرجة هي القوامة، أي الرعاية والصيانة والحفظ وليست هذه الدرجة هى درجة التشبت فى الرأي والتحكم والسيطرة فى إدارة شئون الأسرة، أو الاستبداد قولا وعمل فى أمور الأسرة.[8]  

Dari penjelasan ini jelas sekali bahwa qawamah yang dimaksudkan pada ayat tersebut adalah pengayom (ri’ayah), dan penolong/pelindung (shianah) dan menjaga (hifz), bukan berarti menguasai dan mengekang seperti yang dikatakan sebagian orang.
Dengan demikian, laki-laki harus mengetahui bahwa derajat kepemimpinan disini adalah derajat taklif dan mas’uliyyah (kewajiban dan tanggung jawab). Dari sini, dapat kita ketahui bahwa wanita mempunyai hak untuk memiliki atas segala sesuatu tanpa ada pembedaan dengan laki-laki, ia juga berhak untuk bertransaksi, bekerja yang sesuai dengan tuntunan syari’ah. Sehingga perempuan juga mempunyai hak untuk member dan menerima wasiat serta warisan. Bahkan ia juga berhak untuk melindungi dirinya dan hartanya dengan cara bagaimanapun selama tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
Demikianlah, Islam memberikan hak-hak yang sangat istimewa kepada perempuan yang tidak pernah diberikan oleh sistem-sistem keagamaan konstitusional yang lain. Hak dan tanggung jawab yang diberikan Allah SWT kepada perempuan sederajat dengan yang diterima oleh laki-laki. Kesederajatan ini tidak selalu identik. Karena secara biologis dan psikologis perempuan diciptakan berbeda dari laki-laki. Islam telah menetapkan hak dan tanggung jawab terhadap perempuan sesuai dengan sifatnya, memberinya perlindungan dan keamanan penuh dari penistaan dan alur kehidupan yang tidak menentu. Dari sinilah dapat dipahami bahwa kesetaraan itu tidak sama dengan kesamaan. Laki-laki diciptakan Allah SWT setara dengan perempuan, tetapi tidak sama antara laki-laki dengan perempuan.[9]
Banyak para ilmuwan terjebak dengan istilah ‘kesetaraan’ dan ‘kesamaan’. Semua orang mendambakan kesetaraan, baik kesetaraan dalam hak maupun kesetaraan dalam kewajiban. Namun, tak seorangpun yang menginginkan kesamaan.

C.    Penutup
a.       Kesimpulan
Dari uraian singkat di atas penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Islam sangat menekankan kesetaraan gender. Namun demikian tetap mengacu kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits yang merupakan sumber utama ajaran Islam.
2.      Kesetaraan yang dimaksudkan Islam bukan berarti sama/identik. Laki-laki diciptakan Allah SWT setara dengan perempuan, tetapi tidak sama antara laki-laki dengan perempuan. Karena secara biologis dan psikologis perempuan diciptakan berbeda dari laki-laki. Islam telah menetapkan hak dan tanggung jawab terhadap perempuan sesuai dengan sifatnya, memberinya perlindungan dan keamanan penuh dari penistaan dan alur kehidupan yang tidak menentu
b.      Saran
Demikian makalah singkat penulis buat, semoga bermanfaat bagi kita semua. Tentunya dalam penulisan ini terdapat bayak kekurangan dan kesalahan yang tidak mungkin penulis hindari. Kami berharap, akan banyak yang tergugah hatinya untuk menelaah kembali permasalahan gender ini sehingga pemahaman kita pada khususnya dan masyarakat pada umumnya lurus dan benar terhadap ajaran Islam beserta kitab suci Al-Qur’an yang belakangan ini di kecam dan dihujat. Wallahu a’lam bisshawab.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim
As-Sahiy, Syauqi Abduh, -. Al-Huquq al-Ma’nawiyah wa al-Adabiyah li az-Zaujah fi Dhau’casy-Syari’ah al-Islamiyah dalam Makanat al-Mar’ah wa Huququha fi al-Islam. Kairo: Rabithah al-Jami’at al-Islamiyah.
Fayumi, Badriyah, et.al., 2004. Halaqah Islam: Mengaji Perempuan, HAM dan Demokrasi. Jakarta: Ushul Press.
Husaini, Adian, 2009. Kajian Islam Historis dan Aplikasinya dalam Studi Gender, dalam Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, vol. V no.1. Jakarta, Khairul Bayan.
Khadim al-Haramain asy-Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Makkah, Khadim al-Haramain asy-Syarifain.
Naik, Zakir, dkk, 2009.  Mereka Bertanya Islam Menjawab. Solo, PT. Aqwam Media Profetika.
Salahuddin, Henri, Menelusuri Paham Kesetaraan Gender dalam Studi Islam: Tantangan terhadap Konsep Wahyu dal Ilmu dalam Islam, makalah disampaikan pada acara Kursus Pemikiran dan Peradaban Islam, pada 4 April 2009 di kantor INSIST Jakarta.


[1] Al-Qur’an dan Terjemahnya, dicetak oleh khadim al-haramain asy-syarifain, hal. 114.
[2] Adian Husaini, Kajian Islam Historis dan Aplikasinya dalam Sudi Gender, dalam Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, vol. V, no. 1, 2009, hal. 13.
[3] Ibid, hal. 13.
[4] Y. Istiyono Wahyu dan Ostaria Silaban, 2006. Kamus Pintar Bahasa Indonesia. Karisma Publishing Grup, Batam, hal. 184.
[5] Badariyah Fahyumi, et. al., 2004. Halaqah Islam: Mengaji Perempuan, HAM dan Demokrasi. Jakarta: Ushul Press, cet. I, hal. 4.
[6] Henri Salahuddin, Menelusuri Paham Kesetaraan Gender dalam Studi Islam: Tantangan terhadap Konsep Wahyu dan Ilmu Kalam dalam Islam, makalah disampaikan pada acara kursus Pemikiran dan Peradaban Islam, pada 4 April 2009 di kantor INSISTS Jakarta.
[7] Badariyah Fahyumi, et.al., Ibid, hal. 5 dan seterusnya.
[8] Dr. Abduh Asy-Syahiy, Al-Huquq al-Ma’nawiyyah wa al-Adabiyyah  li az-Zaujah fi Dhau’ asy-Syari’ah al-Islamiyya, dalam Makanat al-Mar’ah wa Huququha fi al-Islam. Rabithah al-Jamiaat al-Islamiyyah, Kairo, hal. 44.
[9] Zakir Naik, dkk, 2009. Mereka Bertanya Islam Menjawab. Solo, PT. Aqwam Media Profetika, hal. 87.

2 komentar: