Senin, 05 November 2012

PANDANGAN IMAM SYAFI’I TENTANG SUNNAH


A.    PENDAHULUAN

Muhammad bin Idris bin Al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syati’ bin Saib al-Qurasyi, yang dikenal sebagai Imam Syafi’i adalah murid Imam Malik. Ia lahir di Palestina pada tahun 150 H/767 M bahkan sejak usia muda telah menunjukkan bakat. Ia adalah pelopor yurisprudensi Islam. Teori-teorinya terkenal karena pandangannya yang sederhana dan keseimbangan hukum. Buah penanya tentang yurisprudensi, risalah, merupakan karya monumental yang menunjukkan pandangannya yang jelas dan pemahaman yang penuh mengenai pengetahuan hukum yang memungkinkannya untuk mengatakan apa yang terbukti menjadi kata pemutus dalam permasalahan. Ia membawa teknik pemikiran hukum ke dalam tingkat kemampuan dan penguasaan yang tidak pernah dicapai sebelumnya, yang hampir tidak dapat disamai dan tidak pernah ada yang melampaui setelahnya.[1]
Kebesarannya terletak pada sikap menyeimbangkan antara pendukung hadits dengan pendukung pendapat (ra’yu). Ia mengikuti sikap tengah antara dua tendensi yang bertentangan dengan prinsip menyetujui hanya yang benar yang bersumber pada Nabi. Baginya, hadits bisa diterima atau tidak tergantung pada Isnad atau rangkaian pembawa cerita.[2]
Tema yang dominan dalam ajaran Syafi’i adalah membatasi penggunaan bebas pendapat pribadi dan menekankan otoritas hadits Nabi sebagai penentu hukum: “Ta’atlah kepada Tuhan dan Rasul”.[3], “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, ambillah, sebaliknya apa yang ia larang, tinggalkanlah”[4], “Barangsiapa ta’at kepada Rasul berarti ta’at kepada Tuhan”[5]. Hadits-hadits Nabi merupakan wahyu Ilahi (juga yang tidak beliau katakan terhadap keinginan yang beliau miliki merupakan inspirasi yang diwahyukan[6] tidak hanya menafsirkan ayat Al-Qur’an tetapi juga melengkapinya.
Setelah Al-Qur’an, Syafi’i menekankan Sunnah Nabi. Ia berpendapat bahwa ayat Al-Qur’an dapat di-nasakh oleh ayat Al-Qur’an yang lain, dan Al-Qur’an tak dapat menasakh sunnah begitu pula sebaliknya. Memang benar, ia terus berpendapat bahwa sunnah dapat diganti oleh ayat Al-Qur’an, akan tetapi selama sunnah tidak dapat menasakh terlebih dahulu oleh sunnah lain yang disabdakan oleh Nabi.[7]
Dalam bukunya, Ar-Risalah, Imam Syafi’i memperkenalkan hal baru yang berkaitan dengan khabar Ahad atau Wahid. Imam Syafi’i kemudian menjelaskan apa yang dimaksud dengan terminologi tersebut dengan persyaratan-persyaratan yang membedakannya apakah periwayatannya ahad atau tidak. Perbedaan antara kesaksian dan riwayat dijelaskan, kapan hal tersebut dapat diterima dan khabar ahad tidak cukup. Kemudian Imam Syafi’i mendiskusikan otoritas khabar ahad dan riwayat-riwayat yang demikian dapat dipegangi sebagai dalil.

B.     DEFINISI KHABAR WAHID ATAU AHAD

Definisi al-Khatib al-Baghdadi (w. 463/1071) khabar ahad adalah khabar yang tidak mencapai kualifikasi mutawatir dan tidak menimbulkan pengetahuan pasti (al-‘ilm) sekalipun dilaporkan oleh orang banyak.
Al-Qarafi (683 H) mendefinisikannya sebagai hadits yang dilaporkan oleh satu atau beberapa wali adil yang menimbulkan asumsi (az-zann)[8]. Seorang penulis Usul Fiqh Syafi’i, al-Jalil al-Mahalli, menyatakan bahwa hadits ahad adalah “hadits yang tidak mencapai tingkat mutawatir baik rawinya satu orang atau lebih, baik menimbulkan pengetahuan pasti (al-‘ilm) melalui keterangan-keterangan sirkumstal terpisah atau tidak.[9]
Kata Ahad atau Wahid dalam frase khabar wahid/ahad (yang berarti satu atau tunggal) hanyalah semata-mata istilah yang sudah lazim dan sama sekali tidak berarti bahwa khabar ahad itu hanyalah khabar yang memiliki sanad tunggal. Definisi-definisi diatas jelas menunjukkan bahwa khabar ahad atau wahid itu meliputi baik khabar bersanad tunggal maupun khabar yang memiliki lebih dari satu sanad selama tidak mencapai jumlah sanad mutawatir. Kebanyakan hadits-hadits Nabi SAW termasuk kategori hadits ahad.

C.    SUNNAH DALAM PANDANGAN SYAFI’I

Imam Syafi’i memberikan batasan alasan atau argumen kepada ahlul ‘ilmi mengenai khabar yang khusus atau istimewa, yaitu khabar yang diterima dari seorang rawi kepada rawi yang lainnya yang sanadnya sampai pada Rasulullah SAW.
Dan argumen tidak akan terwujud atau terlaksana kecuali dengan alasan khusus, hingga mencakup beberapa hal, antara lain:
a)      agar yang menyampaikan orang yang kuat agamanya, jujur dalam tutur katanya, sadar apa yang ia katakan, mengetahui secara leterlek dalam memahami makna hadits dari lafalnya.
b)      menyampaikan hadits secara harfiah dari apa yang ia dengar dengan tidak menyampaikan secara makna, karena jika disampaikan dengan makna maka tidak akan diketahui alasan dari maknanya. Dan tidak akan diketahui apakah yang halal berubah menjadi haram.
Kriteria hadits menurut Imam Syafi’i:
a)      asas dasar dengan sendirinya, dan tidak diqiyaskan pada yang lain karena qiyas itu lebih lemah dari dasar.
b)      menjadikan hadits sebagai kesaksian yang diketahui secara umum.
Terkadang kesaksian-kesaksian itu mengalami perbedaan dan persamaan dalam beberapa hal. Dikatakan berbeda atau bertentangan apabila hadits yang rawinya seorang pria atau wanita dan tidak diterimanya salah satu dari keduanya dalam kesaksian. Hadits: “Fulan telah meriwayatkan hadits padaku dari Fulanah”. Hadits ini dapat diterima apabila perawi bukan penipu, dan kesaksiannya hanya diterima jika terdapat kata, sami’tu, Raitu, atau Asyhadani.
Imam Syafi’i mendiskusikan dan menjelaskan kelemahan hadits dan menguraikan bahwa adanya pertentangan-pertentangan hadits dikarenakan banyak faktor. Suatu kontradiksi mungkin timbul disebabkan suatu hadits sudah dinasakh oleh hadits yang lain atau karena adanya kesalahan yang dilakukan dalam periwayatannya. Kesalahan-kesalahan yang demikian mungkin menyebabkan adanya pertentangan yang dimaksud, dan masih banyak faktor lagi.
Teori Imam Syafi’i tentang hadits paling baik dipahami melalui teks risalah:
“Setiap hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang dapat dipercaya yang bersumber pada Nabi, adalah otoritatif dan dapat ditolak hanya jika ada hadits otoritatif lain dari Nabi yang menentangnya. Jika peraturan terdahulu dicabut oleh peraturan yang datang kemudian, maka yang datang kemudian diterima, jika tidak ada informasi yang diketahui tentang pencabutan, maka dua hadits lebih dapat dipercaya itulah yang diikuti. Jika keduanya sama-sama dapat dipercaya, maka yang lebih sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi-lah yang dipilih. Hadits-hadits dari orang lain tidak dapat diperhitungkan jika berhadapan dengan hadits Nabi, baik hadits itu mendukung atau bertentangan dengannya. Jika orang-orang itu bersikap hati-hati terhadap hadits dari Nabi maka mereka mesti mengikutinya”.[10]
Keteguhannya memegang hadits Nabi termanifestasikan dalam sikapnya yang menganggap semua hadits sama-sama mengikat dan jika dipertimbangkan maka ia menggunakan interpretasi yang mengharmoniskan dan ia tidak pernah menganggap dua hadits yang bertentangan jika ada cara untuk menerima keduanya. Jika kedua hadits tidak bisa dikompromikan maka ia akan memilih yang lebih sesuai dengan al-Qur’an dan mempertahankan bagian dari sunnah Nabi yang tidak dipersoalkan lagi.[11]
Al-Qur’an baginya merupakan dasar pengetahuan hukum dan penjelasan tentang segala sesuatu, spiritual dan temporal dimana orang beriman diharuskan mengamatinya. Ia membagi hukum al-Qur’an ke dalam kategori yang berbeda. “Ada’, ia mengamati peraturan umum yang dapat dijelaskan dengan konteks, akan tetapi juga ada aturan implisit”. Ia menambahkan, ada peraturan umum dimana hanya sunnah yang dapat menentukan umum atau khusus.[12] Konsepnya ini dianggap sebagai unsur yang sangat penting dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an.
Ia membatasi penggunaan qiyas atau analogi untuk masalah-masalah detail.[13] Pada prinsipnya, Syafi’i mengakui hanya penalaran sistematis analogis yang ketat untuk mengeluarkan pendapat yang berubah-ubah dan keputusan yang bebas.
Mengenai masalah yang tidak ada dalam al-Qur’an, Sunnah Nabi maupun ijma’, maka hukum dapat disimpulkan dengan menggunakan analogi, dari apa yang telah diletakkan oleh otoritas-otoritas ini.
Jadi syafi’i memperbolehkan penalaran hanya melalui qiyas atau analogi.[14] Dalam ia menggunakan analoginya, ada perbedaan pemahaman sementara mencoba untuk menentukan paralelisme antara kasus yang ada dengan peraturan dalam al-Qur’an atau Sunnah, yang sama dalam beberapa hal tetapi tidak paralel, para pendahulunya bertumpu pada penalaran pribadi, tetapi ia tidak mau menerima alasan tersebut tanpa petunjuk tertentu yang jelas, dalam konteks yang menunjukkannya. Oleh karena itu pemikiran harus analogis dan tidak individual.[15]
Adapun jelasnya tentang ini cukup kita mengikuti mengutip perkataan-perkataan ‘ulama madzhab, salah satunya yaitu:
“Imam Ahmad ibnu Hanbal mengatakan: “saya pernah bertanya kepada Imam Syafi’i mengenai qiyas (analogi), maka beliau menjawab: di kala keadaaan darurat”.
Yakni, Imam Syafi’i menentukan hukum secara qiyas apabila keadaan memaksa, tidak ada naskh dari al-Qur’an dan Sunnah. Maka jika masih terdapat naskh al-Qur’an dan atau keterangan dari Sunnah Nabi, niscaya beliau tidak akan menetapkan hukum secara qiyas (analogi).
D.    PENUTUP

Berdasarkan penjelasan diatas menunjukkan bahwa Syafi’i sebagai pelopor yurisprudensi Islam yang menjadikan al-Qur’an merupakan dasar pengetahuan hukum dan penjelasan tentang segala sesuatu, spiritual dan temporal dimana orang beriman diharuskan mengamatinya. Dalam hal ini Syafi’i secara tidak langsung mengakui adanya peranan ilmu berasal dari Tuhan dan hadits-hadits Nabi SAW berfungsi menjelaskan al-Qur’an. Oleh karena itu al-Qur’an harus ditafsirkan dengan sinaran hadits, bahkan juga melengkapinya, bukan malah sebaliknya.
Tema yang dominan dalam ajaran Syafi’i adalah membatasi penggunaan bebas pendapat pribadi dan menekankan otoritas hadits Nabi sebagai penentu hukum. Terdapat pada hadits-hadits inilah penekanan terhadap sunnah Nabi dalam menentukan suatu hukum. Konsep ini dianggap sebagai unsur yang sangat penting dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an.
Hadits Ahad yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang dapat dipercaya yang bersumber pada Nabi, adalah otoritatif dan dapat ditolak jika dan hanya jika ada hadits lain dari Nabi yang menentangnya.
Sedangkan mengenai penerimaan qiyas itu berlaku apabila ia berfungsi memperluas arti dari pada al-Qur’an dan Sunnah. Dan qiyas yang benarlah yang dianggap dan diambil oleh Syafi’i.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahannya. Mujamma’ Khadim Haramain Syaritain, Malik Fahd, t. Mushaf. Madinah Munawarah. 1412 H.

Anwar, Syamsul, Pengertian, Formula dan Pembagian Hadits (BAB I), Yogyakarta, 2004.

Bukhari, Shahih, Kitab al-Ahkam.

Ibn Idris al-Syafi’i, Muhammad, al-Risalah, Beirut: Daar el-Fikr,. 1309 H.

Khoidduri, Muhammad, Islamic Jurisprudence, Baltimore: Syafi’i’s Risalah, 1961.

Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam. Penerjemah: Yudian Wahyudi, et., Cet: II, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1997.

Schacht, Yoseph, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford, 1950.


[1] Yoseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford, 1950. h. 12.
[2] Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam. Penerjemah: Yudian Wahyudi, et., Cet: II, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1997. h. 60.
[3] Qur’an, 4 : 59.
[4] Ibid, 59 : 7.
[5] Ibid, 4 : 80.
[6] Ibid, 53 : 3-4.
[7] Muhammad Khoidduri, Islamic Jurisprudence, Baltimore: Syafi’i’s Risalah, 1961. h. 35.
[8] Al-Qarafi. Syarh Tandih al – Fusul Fi Ikhtisar al –Mahsul fil- Usul,(  Kairo; Dar el- Fikr wal Maktabah al-Kulliyat al – Azhariyah, 1973 ). Hal: 349.
[9]  Al- Mahalli, Syarh Matn Jami’ al –Jawani, Dicetak Bersama  al – banani, Hasyiyah al- Bananai. ( Tth. Dar- al-Fikr ) 1932. Hal: 129.
[10] Shahih Bukhari, Kitab al-Ahkam.
[11] Qur’an, 3 : 103.
[12] Muhammad Khoidduri, Islamic Jurisprudence, Baltimore: Syafi’i’s Risalah, 1961. h. 35.
[13] Ibid, h. 39.
[14] Ibid, h. 39.
[15] Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam. Penerjemah: Yudian Wahyudi, et., Cet: II, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1997.

1 komentar: