A.
PENDAHULUAN
Muhammad bin Idris bin Al-‘Abbas bin ‘Utsman bin
Syati’ bin Saib al-Qurasyi, yang dikenal sebagai Imam Syafi’i adalah murid Imam
Malik. Ia lahir di Palestina pada tahun 150 H/767 M bahkan sejak usia muda telah
menunjukkan bakat. Ia adalah pelopor yurisprudensi Islam. Teori-teorinya
terkenal karena pandangannya yang sederhana dan keseimbangan hukum. Buah
penanya tentang yurisprudensi, risalah, merupakan karya monumental yang
menunjukkan pandangannya yang jelas dan pemahaman yang penuh mengenai
pengetahuan hukum yang memungkinkannya untuk mengatakan apa yang terbukti
menjadi kata pemutus dalam permasalahan. Ia membawa teknik pemikiran hukum ke
dalam tingkat kemampuan dan penguasaan yang tidak pernah dicapai sebelumnya,
yang hampir tidak dapat disamai dan tidak pernah ada yang melampaui setelahnya.[1]
Kebesarannya terletak pada sikap menyeimbangkan
antara pendukung hadits dengan pendukung pendapat (ra’yu). Ia mengikuti
sikap tengah antara dua tendensi yang bertentangan dengan prinsip menyetujui
hanya yang benar yang bersumber pada Nabi. Baginya, hadits bisa diterima atau
tidak tergantung pada Isnad atau rangkaian pembawa cerita.[2]
Tema yang dominan dalam ajaran Syafi’i adalah
membatasi penggunaan bebas pendapat pribadi dan menekankan otoritas hadits Nabi
sebagai penentu hukum: “Ta’atlah kepada Tuhan dan Rasul”.[3], “Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, ambillah, sebaliknya apa yang ia larang,
tinggalkanlah”[4],
“Barangsiapa ta’at kepada Rasul berarti ta’at kepada Tuhan”[5]. Hadits-hadits
Nabi merupakan wahyu Ilahi (juga yang tidak beliau katakan terhadap keinginan
yang beliau miliki merupakan inspirasi yang diwahyukan[6]
tidak hanya menafsirkan ayat Al-Qur’an tetapi juga melengkapinya.
Setelah Al-Qur’an, Syafi’i menekankan Sunnah Nabi.
Ia berpendapat bahwa ayat Al-Qur’an dapat di-nasakh oleh ayat Al-Qur’an
yang lain, dan Al-Qur’an tak dapat menasakh sunnah begitu pula sebaliknya.
Memang benar, ia terus berpendapat bahwa sunnah dapat diganti oleh ayat
Al-Qur’an, akan tetapi selama sunnah tidak dapat menasakh terlebih dahulu oleh
sunnah lain yang disabdakan oleh Nabi.[7]
Dalam bukunya, Ar-Risalah, Imam Syafi’i
memperkenalkan hal baru yang berkaitan dengan khabar Ahad atau Wahid.
Imam Syafi’i kemudian menjelaskan apa yang dimaksud dengan terminologi
tersebut dengan persyaratan-persyaratan yang membedakannya apakah
periwayatannya ahad atau tidak. Perbedaan antara kesaksian dan riwayat
dijelaskan, kapan hal tersebut dapat diterima dan khabar ahad tidak cukup.
Kemudian Imam Syafi’i mendiskusikan otoritas khabar ahad dan riwayat-riwayat
yang demikian dapat dipegangi sebagai dalil.
B.
DEFINISI KHABAR WAHID ATAU AHAD
Definisi al-Khatib al-Baghdadi (w. 463/1071)
khabar ahad adalah khabar yang tidak mencapai kualifikasi mutawatir
dan tidak menimbulkan pengetahuan pasti (al-‘ilm) sekalipun dilaporkan
oleh orang banyak.
Al-Qarafi (683 H) mendefinisikannya sebagai hadits
yang dilaporkan oleh satu atau beberapa wali adil yang menimbulkan asumsi (az-zann)[8].
Seorang penulis Usul Fiqh Syafi’i, al-Jalil al-Mahalli, menyatakan bahwa hadits
ahad adalah “hadits yang tidak mencapai tingkat mutawatir baik rawinya satu
orang atau lebih, baik menimbulkan pengetahuan pasti (al-‘ilm) melalui
keterangan-keterangan sirkumstal terpisah atau tidak.[9]
Kata Ahad atau Wahid dalam frase
khabar wahid/ahad (yang berarti satu atau tunggal) hanyalah semata-mata istilah
yang sudah lazim dan sama sekali tidak berarti bahwa khabar ahad itu hanyalah
khabar yang memiliki sanad tunggal. Definisi-definisi diatas jelas menunjukkan
bahwa khabar ahad atau wahid itu meliputi baik khabar bersanad tunggal maupun
khabar yang memiliki lebih dari satu sanad selama tidak mencapai jumlah sanad
mutawatir. Kebanyakan hadits-hadits Nabi SAW termasuk kategori hadits ahad.
C.
SUNNAH DALAM PANDANGAN SYAFI’I
Imam Syafi’i memberikan batasan alasan atau
argumen kepada ahlul ‘ilmi mengenai khabar yang khusus atau istimewa,
yaitu khabar yang diterima dari seorang rawi kepada rawi yang lainnya yang
sanadnya sampai pada Rasulullah SAW.
Dan argumen tidak akan terwujud atau terlaksana
kecuali dengan alasan khusus, hingga mencakup beberapa hal, antara lain:
a) agar yang menyampaikan orang
yang kuat agamanya, jujur dalam tutur katanya, sadar apa yang ia katakan,
mengetahui secara leterlek dalam memahami makna hadits dari lafalnya.
b) menyampaikan hadits secara harfiah
dari apa yang ia dengar dengan tidak menyampaikan secara makna, karena jika
disampaikan dengan makna maka tidak akan diketahui alasan dari maknanya. Dan
tidak akan diketahui apakah yang halal berubah menjadi haram.
Kriteria hadits menurut Imam Syafi’i:
a) asas dasar dengan sendirinya, dan tidak diqiyaskan pada yang
lain karena qiyas itu lebih lemah dari dasar.
b) menjadikan hadits sebagai
kesaksian yang diketahui secara umum.
Terkadang kesaksian-kesaksian itu mengalami perbedaan
dan persamaan dalam beberapa hal. Dikatakan berbeda atau bertentangan apabila
hadits yang rawinya seorang pria atau wanita dan tidak diterimanya salah satu
dari keduanya dalam kesaksian. Hadits: “Fulan telah meriwayatkan hadits
padaku dari Fulanah”. Hadits ini dapat diterima apabila perawi bukan
penipu, dan kesaksiannya hanya diterima jika terdapat kata, sami’tu, Raitu,
atau Asyhadani.
Imam
Syafi’i mendiskusikan dan menjelaskan kelemahan hadits dan menguraikan bahwa
adanya pertentangan-pertentangan hadits dikarenakan banyak faktor. Suatu
kontradiksi mungkin timbul disebabkan suatu hadits sudah dinasakh oleh hadits
yang lain atau karena adanya kesalahan yang dilakukan dalam periwayatannya.
Kesalahan-kesalahan yang demikian mungkin menyebabkan adanya pertentangan yang
dimaksud, dan masih banyak faktor lagi.
Teori Imam Syafi’i
tentang hadits paling baik dipahami melalui teks risalah:
“Setiap
hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang dapat dipercaya yang
bersumber pada Nabi, adalah otoritatif dan dapat ditolak hanya jika ada hadits
otoritatif lain dari Nabi yang menentangnya. Jika peraturan terdahulu dicabut
oleh peraturan yang datang kemudian, maka yang datang kemudian diterima, jika
tidak ada informasi yang diketahui tentang pencabutan, maka dua hadits lebih
dapat dipercaya itulah yang diikuti. Jika keduanya sama-sama dapat dipercaya,
maka yang lebih sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi-lah yang dipilih.
Hadits-hadits dari orang lain tidak dapat diperhitungkan jika berhadapan dengan
hadits Nabi, baik hadits itu mendukung atau bertentangan dengannya. Jika
orang-orang itu bersikap hati-hati terhadap hadits dari Nabi maka mereka mesti
mengikutinya”.[10]
Keteguhannya memegang hadits Nabi
termanifestasikan dalam sikapnya yang menganggap semua hadits sama-sama
mengikat dan jika dipertimbangkan maka ia menggunakan interpretasi yang
mengharmoniskan dan ia tidak pernah menganggap dua hadits yang bertentangan
jika ada cara untuk menerima keduanya. Jika kedua hadits tidak bisa
dikompromikan maka ia akan memilih yang lebih sesuai dengan al-Qur’an dan
mempertahankan bagian dari sunnah Nabi yang tidak dipersoalkan lagi.[11]
Al-Qur’an baginya merupakan dasar pengetahuan
hukum dan penjelasan tentang segala sesuatu, spiritual dan temporal dimana
orang beriman diharuskan mengamatinya. Ia membagi hukum al-Qur’an ke dalam
kategori yang berbeda. “Ada’, ia mengamati peraturan umum yang dapat dijelaskan
dengan konteks, akan tetapi juga ada aturan implisit”. Ia menambahkan, ada
peraturan umum dimana hanya sunnah yang dapat menentukan umum atau khusus.[12]
Konsepnya ini dianggap sebagai unsur yang sangat penting dalam penafsiran
ayat-ayat al-Qur’an.
Ia membatasi penggunaan qiyas atau analogi untuk
masalah-masalah detail.[13]
Pada prinsipnya, Syafi’i mengakui hanya penalaran sistematis analogis
yang ketat untuk mengeluarkan pendapat yang berubah-ubah dan keputusan yang
bebas.
Mengenai masalah yang tidak ada dalam al-Qur’an,
Sunnah Nabi maupun ijma’, maka hukum dapat disimpulkan dengan menggunakan
analogi, dari apa yang telah diletakkan oleh otoritas-otoritas ini.
Jadi syafi’i memperbolehkan penalaran hanya
melalui qiyas atau analogi.[14]
Dalam ia menggunakan analoginya, ada perbedaan pemahaman sementara mencoba
untuk menentukan paralelisme antara kasus yang ada dengan peraturan
dalam al-Qur’an atau Sunnah, yang sama dalam beberapa hal tetapi tidak paralel,
para pendahulunya bertumpu pada penalaran pribadi, tetapi ia tidak mau menerima
alasan tersebut tanpa petunjuk tertentu yang jelas, dalam konteks yang
menunjukkannya. Oleh karena itu pemikiran harus analogis dan tidak individual.[15]
Adapun jelasnya
tentang ini cukup kita mengikuti mengutip perkataan-perkataan ‘ulama madzhab,
salah satunya yaitu:
“Imam Ahmad ibnu
Hanbal mengatakan: “saya pernah bertanya kepada Imam Syafi’i mengenai qiyas
(analogi), maka beliau menjawab: di kala keadaaan darurat”.
Yakni, Imam Syafi’i menentukan hukum secara qiyas
apabila keadaan memaksa, tidak ada naskh dari al-Qur’an dan Sunnah. Maka jika
masih terdapat naskh al-Qur’an dan atau keterangan dari Sunnah Nabi, niscaya
beliau tidak akan menetapkan hukum secara qiyas (analogi).
D.
PENUTUP
Berdasarkan penjelasan diatas menunjukkan bahwa
Syafi’i sebagai pelopor yurisprudensi Islam yang menjadikan al-Qur’an
merupakan dasar pengetahuan hukum dan penjelasan tentang segala sesuatu,
spiritual dan temporal dimana orang beriman diharuskan mengamatinya. Dalam hal
ini Syafi’i secara tidak langsung mengakui adanya peranan ilmu berasal dari
Tuhan dan hadits-hadits Nabi SAW berfungsi menjelaskan al-Qur’an. Oleh karena
itu al-Qur’an harus ditafsirkan dengan sinaran hadits, bahkan juga
melengkapinya, bukan malah sebaliknya.
Tema yang dominan dalam ajaran Syafi’i adalah
membatasi penggunaan bebas pendapat pribadi dan menekankan otoritas hadits Nabi
sebagai penentu hukum. Terdapat pada hadits-hadits inilah penekanan terhadap
sunnah Nabi dalam menentukan suatu hukum. Konsep ini dianggap sebagai unsur
yang sangat penting dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an.
Hadits Ahad yang diriwayatkan oleh seorang perawi
yang dapat dipercaya yang bersumber pada Nabi, adalah otoritatif dan dapat
ditolak jika dan hanya jika ada hadits lain dari Nabi yang menentangnya.
Sedangkan mengenai penerimaan qiyas itu berlaku
apabila ia berfungsi memperluas arti dari pada al-Qur’an dan Sunnah. Dan qiyas
yang benarlah yang dianggap dan diambil oleh Syafi’i.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
al-Karim dan Terjemahannya. Mujamma’ Khadim Haramain Syaritain, Malik Fahd, t.
Mushaf. Madinah Munawarah. 1412 H.
Anwar, Syamsul, Pengertian,
Formula dan Pembagian Hadits (BAB I), Yogyakarta, 2004.
Bukhari, Shahih,
Kitab al-Ahkam.
Ibn Idris al-Syafi’i, Muhammad, al-Risalah,
Beirut: Daar el-Fikr,. 1309 H.
Khoidduri, Muhammad, Islamic
Jurisprudence, Baltimore: Syafi’i’s Risalah, 1961.
Muslehuddin, Muhammad, Filsafat
Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam.
Penerjemah: Yudian Wahyudi, et., Cet: II, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1997.
Schacht, Yoseph, The Origins of
Muhammadan Jurisprudence, Oxford, 1950.
[1] Yoseph Schacht, The Origins of Muhammadan
Jurisprudence, Oxford, 1950. h. 12.
[2] Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan
Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam. Penerjemah:
Yudian Wahyudi, et., Cet: II, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1997. h. 60.
[3] Qur’an, 4 : 59.
[4] Ibid, 59 : 7.
[5] Ibid, 4 : 80.
[6] Ibid, 53 : 3-4.
[7] Muhammad Khoidduri, Islamic Jurisprudence,
Baltimore: Syafi’i’s Risalah, 1961. h. 35.
[8] Al-Qarafi. Syarh Tandih al – Fusul Fi Ikhtisar
al –Mahsul fil- Usul,( Kairo; Dar
el- Fikr wal Maktabah al-Kulliyat al – Azhariyah, 1973 ). Hal: 349.
[9] Al-
Mahalli, Syarh Matn Jami’ al –Jawani, Dicetak Bersama al – banani, Hasyiyah al- Bananai. ( Tth.
Dar- al-Fikr ) 1932. Hal: 129.
[10] Shahih Bukhari, Kitab al-Ahkam.
[11] Qur’an, 3 : 103.
[12] Muhammad Khoidduri, Islamic Jurisprudence,
Baltimore: Syafi’i’s Risalah, 1961. h. 35.
[13] Ibid, h. 39.
[14] Ibid, h. 39.
[15] Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan
Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam. Penerjemah:
Yudian Wahyudi, et., Cet: II, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1997.
izin copy ya,....
BalasHapus