Minggu, 22 April 2012

TAFSIR ILMIAH AL-QUR’AN

TAFSIR ILMIAH AL-QUR’AN



PENDAHULUAN

Manusia dalam kehidupannya terus-menerus mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut terjadi seiring dengan perjalanan waktu dan peredaran masa yang terus bergulir. Kemajuan-kemajuan di berbagai bidang terus bermunculan dan tumbuh dengan pesatnya. Berbagai bidang dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih mulai bermunculan.

Seiring dengan kemajuan zaman, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, permasalahan-permasalahan kontemporer pun bermunculan. Apalagi dengan makin maraknya penemuan-penemuan ilmiah di berbagai bidang, seperti ilmu pasti, ilmu falak, geologi, kimia, kedokteran, fisiologi dan fungsi organik tubuh, biologi baik hewan maupun tumbuhan, matematika, ilmu-ilmu sosial dan lain-lain.

Tidak pelak pemahaman terhadap ajaran Islam juga terus mengalami perkembangan yang signifikan. Dengan demikian, bermuncullah fenomena baru dalam Islam, yang salah satunya adalah dalam bidang ilmu tafsir, yaitu masalah penafisiran al-Qur’an dengan metode ilmiah atau yang lebih dikenal dengan tafsir ilmiah al-Qur’an. Munculnya penafsiran dengan cara ini menimbulkan perbedaaan pendapat di kalangan para ulama’ Islam. Sebagian dari mereka membolehkan penafsiran dengan cara ini dan sebagian yang lain menolak cara penafsiran tersebut. Bagaimanakah sikap para ulama’ tentang tafsir ilmiah al-Qur’an tersebut?


TAFSIR ILMIAH AL-QUR’AN

Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat memunculkan masalah-masalah baru, masalah kontemporer. Munculnya teori-teori ilmiah baru dari para ilmuan memerlukan pembuktian akan kebenaran teori-teori tersebut.

Telah diketahui bersama bahwa terori-teori ilmiah tidak akan diakui kebenarannya dan bahkan akan dilempar jauh-jauh jika tidak mempunyai dalil atau dasar yang menguatkan kebenaran teori tersebut. Kebutuhan akan dalil-dalil ataupun landasan untuk menguatkan kebenaran teori itulah yang kemudian memunculkan penafsiran al-Qur’an dengan metode ilmiah guna memperkuat teori-teori tersebut yang kemudian dikenal dengan istilah Tafsir Ilmiah Al-Qur’an.

Tafsir model ini awal mulanya muncul di kalangan para ilmuan (scientists) yang menginginkan mengambil dalil dari Al-Qur’an untuk teori-teori yang mereka lahirkan. Yang menjadi permasalahan sekarang ini apakah tafsir model ini diperbolehkan dalam Islam?

Definisi Tafsir Ilmiah Al-Qur’an

Sebelum beranjak kepada pendapat para ulama’ tentang tafsir ilmiah al-Qur’an terlebih dahulu kita definisikan dahulu maksud dari Tafsir Ilmiah Al-Qur’an. Seperti yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Qardhawi, Tafsir Ilmiah al-Qur’an adalah penafsiran Al-Qur’an dengan ilmu-ilmu alam: dari sisi kebenaran ilmiah atau teorinya, dengan tujuan untuk menerangkan tujuan sasaran dan makna-maknanya.

Adapun ilmu-ilmu alam tersebut adalah seperti ilmu kimia, Biologi, ilmu pasti, geologi, ilmu anatomi tubuh manusia, ilmu kedokteran, ilmu falak dan lain sebagainya. Bisa juga dimasukkan ilmu-ilmu social seperti sosiologi, antropologi, ekonomi, geografi dan lain-lainnya.

Orang-orang yang tertarik dengan penafsiran model ini adalah mereka yang bergelut dalam bidang ilmu pengetahuan alam, bukan dari kalangan ulama-ulama yang menekuni bidang agama dan syari’ah. Dengan demikian, terjadilah perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum tafsir model ini. Ada yang membolehkan dan adapula yang menolaknya dengan alasan-alasannya.

Pendapat Ulama’ tentang Tafsir Ilmiah Al-Qur’an

Banyak sekali ulama’-ulama’ yang menolak penafsiran model tadi. Salah seorang ulama’ yang menentang penafsiran ini adalah Imam Akbar Mahmud Syaltut. Ia dengan tegas menentang sekelompok kalangan pelajar yang menggunakan ilmu-ilmu modern atau mengambil teori-teori ilmiah dan filsafat untuk menafsirkan Al-Qur’an. Penolakan ini termaktub dalam mukaddimah buku tafsirnya, seperti yang dikutip Dr. Yusuf Qardhawi, yang berbunyi:


“Mereka meneliti apa yang ada di dalam A-Qur’an. Ternyata mereka dapatkan firman Allah SWT yang berbunyi, “Tiadalah kami alpakan sesuatu pun dari al-Kitab.”(Al-An’am: 38). Lalu mereka berusaha menakwilkan sesuai dengan apa yang terlintas dalam benak mereka untuk membuka satu medan baru dalam tafsir Al-Qur’an. Akhirnya mereka menafsirkan ayat-ayat Allah itu dengan berlandaskan pada teori-teori ilmu pengetahuan modern, lalu mereka terapkan (sesuaikan) ayat-ayatnya dengan apa yang ada di dalam kaidah-kaidah ilmu pengetahuan modern ini. Mereka mengira bahwa apa yang mereka lakukan ini merupakan merupakan salah satu bentuk pengabdian mereka pada Al-Qur’an serta mengangkat panji-panji Islam.”

Ulama’-ulama’ lain yang menolak penafsiran ilmiah ini adalah Syaikh Amin Al-Khuli, Ust. Syaikh Muhammad Al-Maraghi, Dr. Abdul Halim Mahmud, Sayyid Quthb. Alasan Sayyid Quthb menentang penafsiran ilmiah tersebut adalah adanya kandungan dalam penafsiran tersebut yang menyimpang dari Al-Qur’an. Sedikitnya ada tiga makna yang kesemuanya sama sekali tidak sesuai dengan Al-Qur’an, yaitu:

1. akan terjadi kehancuran internal, yaitu prasangka dan dugaan manusia terhadap Al-Qur’an itu sendiri, yang mana ilmu lebih dominan dari Al-Qur’an, ia (al-Qur’an hanya akan mengikuti ilmu tadi.

2. akan merusak tabiat dan misi Al-Qur’an. Dimana Al-Qur’an sebenarnya adalah hakekat final yang mutlak yang membahas pembangunan manusia yang sesuai – dengan kadar dan tabiat manusia yang relatif – dengan tabiat wujud ini serta aturan-aturan ilahi. Sehingga akan menimbulkan benturan antara manusia dengan alam yang ada di sekitarnya, bahkan dia akan bersahabat dengannya dan mampu mengetahui sebagian misteri-misterinya, serta mampu mempergunakan sebagian aturan-aturannya untuk kepentingan kekhilafahannya, yakni berupa hukum-hukum alam yang bisa disingkap melalui pemahaman, penelitian, eksperimen dan aplikasi sesuai dengan kemampuan akal yang diberikan Allah padanya agar dia mampu beramal bukan untuk menerima pengetahuan-pengetahuan yang telah siap pakai.

3. akan menimbulkan takwil yang terus-menerus – dengan nuansa yang dibuat-buat – terhadap Al-Qur’an agar kita mengalihkan makna Al-Qur’an mengikuti teori-teori spekulatif yang belum pasti, sedangkan teori-teori tersebut akan terus dan terus berkembang dan akan hilang dan tergantikan dengan kemunculan teori baru.

Dengan demikian, jelaslah bahwa alasan para ulama’ menolak penafsiran al-Qur’an secara ilmiah adalah adanya kekhawatiran akan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam menafsirkan makna al-Qur’an. Hal ini disebabkan para ilmuan tersebut menafsirkan Al-Qur’an sekehendak hatinya guna memperkuat kebenaran teori-teori ilmiah mereka yang pada akhirnya akan terlihat dominasi ilmu pengetahuan terhadap al-Qur’an (lebih mengedepankan ilmu pengetahuan dari Al-Qur’an itu sendiri).

Di sisi lain, ilmu pengetahuan akan terus dan terus berkembang. Perkembangan tersebut akan memunculkan teori-teori baru yang akan menghapus kebenaran teori sebelumnya. Sedangkan Al-Qur’an adalah kitabullah yang bersifat mutlak dan tidak akan pernah berubah oleh zaman dan tidak akan usang ditelan waktu.

Sebenarnya penggunaan ilmu pengetahuan modern untuk menafsirkan Al-Qur’an khususnya dan dan agama secara khusus sangat berguna untuk memperkuat dan memperjelas hakekat kebenaran agama Islam dan hal-hal yang ghaib yang ada di dalam Al-Qur’an pada akal manusia yang mungkin saja menganggapnya suatu yang tidak mungkin.


KESIMPULAN

Dari uraian di atas kita dapat menarik benang merah bahwa sebenarnya tafsir ilmiah Al-Qur’an itu diperbolehkan dalam Islam selama tidak menyimpang dari makna yang terkandung dalam Al-Qur’an dan bukan semata-mata untuk memperkuat teori-teori ilmiah. Penafsiran ini sangatlah diperlukan guna memperkuat hakekat kebenaran ajaran Islam yang selalu sesuai dengan perkembangan zaman. Juga untuk memperkuat dan memperkokoh keimanan kita akan kebenaran agama kita, membantu memecahkan masalah-masalahnya (agama), membantah kebohongan orang-orang yang membencinya. Ilmu-ilmu dengan pengetahuan barunya bisa memperkuat bisa memperkuat beberapa hukum yang ada di dalam syari’ah dengan menerangkan hal-hal yang mendatangkan mashlahat bagi manusia dan mencegah mafsadat dari mereka.

Wallahu a’lam bissawab

1 komentar: