Rabu, 09 Mei 2012

TRADISI REBAK JANGKIH PADA MASYARAKAT SASAK (LOMBOK)

TRADISI REBAK JANGKIH PADA MASYARAKAT SASAK


a. PENDAHULUAN

Suku Sasak adalah suku bangsa yang mendiami pulau Lombok dan menggunakan bahasa Sasak. Sebagian besar suku Sasak beragama Islam, uniknya pada sebagian kecil masyarakat suku Sasak, terdapat praktik agama Islam yang agak berbeda dengan Islam pada umumnya yakni Islam Wetu Telu, namun hanya berjumlah sekitar 1% yang melakukan praktek ibadah seperti itu. Ada pula sedikit warga suku Sasak yang menganut kepercayaan pra-Islam yang disebut dengan nama "sasak Boda".

Asal nama sasak kemungkinan berasal dari kata sak-sak yang artinya sampan. Dalam Kitab Negara Kertagama kata Sasak disebut menjadi satu dengan Pulau Lombok. Yakni Lombok Sasak Mirah Adhi. Dalam tradisi lisan warga setempat kata sasak dipercaya berasal dari kata "sa'-saq" yang artinya yang satu. Kemudian Lombok berasal dari kata Lomboq yang artinya lurus. Maka jika digabung kata Sa' Saq Lomboq artinya sesuatu yang lurus. banyak juga yang menerjemahkannya sebagai jalan yang lurus.[1]

Adat istiadat suku sasak dapat anda saksikan pada saat resepsi perkawinan, dimana perempuan apabila mereka mau dinikahkan oleh seorang lelaki maka yang perempuan harus dilarikan dulu kerumah keluarganya dari pihak laki laki, ini yang dikenal dengan sebutan merarik atau selarian. Sehari setelah dilarikan maka akan diutus salah seorang untuk memberitahukan kepada pihak keluarga perempuan bahwa anaknya akan dinikahkan oleh seseorang, ini yang disebut dengan mesejati atau semacam pemberitahuan kepada keluarga perempuan. Setalah selesai makan akan diadakan yang disebut dengan nyelabar atau kesepakatan mengenai biaya resepsi.

Terdapat berbagai acara adat yang dilakukan masyarakat sasak yang terkadang di masing-masing lokasi berbeda tata cara pelaksanaannya. Di antara acara adat yang biasa dilakukan masyarakat sasak adalah tradisi Rebak Jangkih, yang penulis coba ketengahkan kepada para pembaca yang budiman.



b. PEMBAHASAN

1. Definisi Rebak Jangkih

Kata rebak jangkih, berasal dari bahasa sasak, yaitu rebak dan jangkih. Rebak artinya jatuh sedangkan jangkih artinya tungku yang digunakan untuk memasak. Maksud dari Rebak Jangkih ini adalah membalikkan tungku setelah digunakan untuk memasak.

Rebak Jangkih merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat sasak sehari setelah acara adat yang disebut begawe (pesta). Peristiwa ini sangat sakral dilakukan oleh masyarakat dengan cara yang sangat sederhana, yaitu dengan memasak masakan yang merupakan sisa dari acara begawe (pesta) tersebut setelah selesai acara tersebut (sehari setelah acara).



2. Prosesi Rebak Jangkih

Tradisi Rebak Jangkih (membalik tungku yang digunakan untuk memasak) merupakan kegiatan yang dilakukan setelah acara begawe, seperti mencuci piring, panci, membersihkan lokasi, pokoknya semua kegiatan membereskan perlengkapan ketika acara begawe selesai. Setelah itu para pekerja di acara begawe itu menyiapkan dulang (kumpulan makanan yang dikumpulkan menjadi satu untuk dimakan bersama) yang disajikan dengan cemper (nampan besar tempat menampung makanan).

Dalam tradisi ini, masakan yang merupakan sisa dari begawe/pesta tersebut dimasak menjadi sayur yang disantan maupun dibuat dengan kuah bening, seperti lauk bebalung (daging yang dimasak dan rasanya mirip seperti rawon).

Setelah semua masakan matang, tuan rumah tempat begawe (pesta) yang telah usai tersebut (tentunya tempat diadakannya acara rebak jangkih) mengundang kiayi[2], penghulu, serta tokoh-tokoh masyarakat yang lain guna melaksanakan tahlilan (zikiran) atau doa bersama/roahan.

Dalam acara roah ini, disediakan mangkuk putih yang berisi santan yang berwarna kuning (karena dicampur dengan kunyit) dan lembaran daun yang oleh masyarakat disebut dengan nama daun bikan[3].

Setelah selesai diadakan roah, mangkuk putih tersebut kemudian diambil dan santan dalam mangkuk itu dipercikkan di sekitar rumah tempat acara rebak jangkih, kemudian terakhir ditumpahkan pada jangkih (tungku) yang digunakan untuk memasak pada waktu begawe. Setelah itu, tungku pun dihancurkan dengan menggunakan alu.

Perlu diketahui bahwa pada acara rebak jangkih ini, jika dilakukan setelah acara khitanan atau dalam bahasa sasak besunat maka yang melebur/menghancurkan jangkih/tungkunya adalah kedua orang tua anak yang akan dikhitan. Sedangkan jika acara ini dilakukan setelah acara resepsi pernikahan, maka pengantin laki-laki dan perempuan yang harus menghancurkan tungku tersebut.

Adapun waktu pembuatan tungku untuk acara begawe adalah seminggu sebelum begawe dilaksanakan. Jangkih tersebut dibuat dengan menggunakan batu apung yang berukuran kepalan tangan orang dewasa, yang dicampur dengan tanah dan air secukupnya.



3. Filosofi Rebak Jangkih

Pelaksanaan tradisi rebak jangkih merupakan tradisi warisan yang turun-temurun dari nenek moyang masyarakat sasak. Tidak diketahui kapan tradisi ini bermula dan darimana asal usulnya. Yang penting tradisi ini tidak bertentangan dengan syari’at Islam yang kita anut.

Prosesi ini selalu dilakukan di setiap selesai acara begawe terutama oleh masyarakat yang masih memegang adat istiadat sasak. Pelaksanaan acara ini selalu disertai dengan menyebut asma allah, seperti berzikir, tahlil kemudian berdoa, memohon kepada yang kuasa, bahwa apa yang dilakukan selama acara adat begawe diniatkan untuk mengumpulkan keluarga, sahabat dan handai tolan, dalam hajatan itu memperolah barokah, serta tradisi rebak jangkih itu sebagai penutup acara begawe adat yang dilakukan masyarakat.

Dalam tradisi ini, yang direbak adalah jangkih yang memiliki makna bahwa:

1. Menghilangkan berbagai macam petaka di dalam mengarungi kehidupan berumah tangga.

2. Mohon kerukunan antara anak, bapak, ibu, keluarga dan warga masyarakat pada umumnya.

3. Mohon supaya memperoleh keturunan yang sholeh dan sholehah jika aca rebak jangkih dilaksanakan setelah acara resepsi pernikahan.

4. Peleburan berbagai macam masalah sehingga mencari kepada kehidupan yang baru

5. Tanah yang dilebur itu bermakna hal itu kembali kepada diri kita yang berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah.

6. Alu yang digunakan untuk menghancurkan tungku mempunyai makna yang sangat tinggi, yaitu kita diminta untuk belajar menjadi alu. Yang mana alu melebur sesuatu yang ditimpanya, ia tidak pernah meminta untuk dirawat, namun selalu membawa hasil yang baik. Bekas alu itu menjadi lembut serta bisa dimanfaatkan oleh manusia, contohnya adalah kopi. Alu selalu dilakukan untuk menumbuk, baik padi maupun kopi sebelum adanya mesin penggiling padi dan kopi. Sementara, alu yang diangkat sebagai tanda bahwa manusia juga seperti itu, terkadang berada di atas (memperoleh jabatan yang tinggi), namun terkadang ia juga berada di bawah (turun dari jabatannya).

7. Air santan, daun buikan dan mangkuk putih;

Tradisi rebak jangkih yang menggunakan santan dari sari pati kelapa sebelum menjadi minyak kemudian dicampur kunyit agar menjadi kuning warnanya melambangkan bahwa hidup itu semoga menjadi cerah setelah acara begawe dilaksanakan, selalu sehat dan meremajakan kehidupan. santan putih menandakan agar kita mensucikan diri dan wadah mangkuk putih sebagai wadah yang suci dan bersih. Sedangkan daun bikan melambangkan semoga kesuburan dan kesejahteraan bagi kehidupan yang melaksanakan rebak jangkih, agar terhindar selalu dari kekurangan dan kesusahan.

Mitos Jangkih:
Menurut kepercayaan, arah tungku (jangkih) ikut menetukan enak tidaknya masakan, misalnya jika jangkih harus menghadap barat, timur, utara dan lain-lain.
Logikanya: arah mata angin akan menentukan tekanan angin yang berhembus berbanding lurus dengan kualitas api dari kayu bakar yang dihasilkan, tungku yang terlalu panas akan membuat masakan menjadi cepat matang dan lebur, padahal masakan itu akan terus dipakai dua atau tiga hari lagi. Belum lagi kemungkinan persediaan kayu yang dipakai lebih cepat atau lebih lambat habisnya.

Rebak jangkih adalah sesi terakhir dari begawe, yaitu ketika peralatan – perlengkapan yang dipakai selama acara mulai dicuci/dibersihkan, dan tungku (semua tungku) tempat memasak dirusak kembali kembali menjadi semula sebelum gawe berlangsung.[4]



c. PENUTUP

Acara rebak jangkih merupakan kegiatan akhir dari begawae. Hal merupakan tanda syukur kepada Allah SWT bahwa masyarakat mampu untuk mengadakan pesta serta berharap dapat mempererat tali silaturrahim di antara anggota keluarga serta masyarakat pada umumnya. Hal ini tentunya merupakan tradisi yang sangat positif dan perlu dibudidayakan.

Hal ini bisa dilihat dari prosesi acara rebak jangkih. Apalagi ketika kita menilik filosofi dari acara tersebut, yang memiliki tujuan-tujuan yang mulia.

Dengan demikian, hal-hal positif seperti ini perlu dilestarikan selama tidak menyimpang dari ajaran Islam yang merupakan agama mayoritas masyarakat sasak di Lombok tercinta ini.



DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sasak diakses pada tanggal 04 Januari 2012

http://nvidida.blogspot.com/2010/08/ranmaster-koki-ala-sasak.html diakses pada tanggal 04 Januari 2012.

Wawancara dengan Rahmat Rajendi, S. Ag. Penghulu sekaligus tokoh agama dan tokoh masyarakat desa Sedau, kecamatan Narmada, Lombok Barat.

Wawancara dengan Rianto, S. Ag. Penghulu sekaligus tokoh agama dan tokoh masyarakat desa Golong, kecamatan Narmada, Lombok Barat.




[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sasak diakses pada tanggal 04 Januari 2012


[2] Kiayi menurut masyarakaat adalah tokoh agama yang dituakan yang ada di tiap desa atau kampung yang tentunya telah diangkat oleh masyarakat itu sendiri.


[3] Daun bikan adalah sejenis daun tumbuhan yang menjalar seperti daun sirih namun agak sedikit lebih tebal yang biasanya tumbuh pada pagar-pagar kebun atau batas pekarangan rumah.


[4] http://nvidida.blogspot.com/2010/08/ranmaster-koki-ala-sasak.html diakses pada tanggal 04 Januari 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar