A.
Pendahuluan
Kepemimpinan
dalam Islam selalu saja menarik untuk dikaji, terutama sekali masalah
kepemimpinan perempuan. Terlebih pada zaman sekarang ini muncul berbagai isu
yang ingin merusak ajaran Islam, baik dari luar, terlebih lagi dari dalam. Hal
ini semakin diperparah dengan adanya paham feminisme dan kesetaraan gender yang
didengungkan oleh orang-orang barat terutama para orientalis yang tidak senang
dengan semakin tumbuh dan berkembangnya Islam di seluruh dunia.
Islam merupakan agama yang dibawa oIeh
Nabi Muhammad SAW dan merupakan agama universal, diperuntukkan bagi seluruh
umat manusia. Ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW itu mengajarkan
kepada umat manusia untuk selalu berlaku adil dan tidak berbuat zalim serta
selalu menebarkan kedamaian dan keselamatan di muka bumi ini. Islam juga
mengajarkan untuk selalu hidup secara positif di antara sesama manusia dalam
suasana yang harmonis, persaudaraan dan tenggang rasa, tidak membeda-bedakan
derajat, status, warna kulit, jenis bahkan i’tikad ataupun agama. Hal ini
disebabkan mereka (manusia) berasal dari diri yang satu, seperti yang telah
dijelaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 1.
Sejak
14 abad yang silam, al-Qur’an telah menghapuskan berbagai macam diskriminasi
antara laki-laki dan perempuan, al-Qur’an memberikan hak-hak kepada kaum perempuan
sebagaimana hak-hak yang diberikan kepada kaum laki-laki, kecuali hak atau
kewajiban yang dikhususkan Islam untuk laki-laki berdasarkan dalil-dalil
syara’.
Yang
menarik dan selalu diperbincangkan adalah pandangan al-Qur’an terhadap
kepemimpinan perempuan. Di negara-negara Islam ataupun negara-negara dengan
mayoritas penduduknya muslim kepemimpinan perempuan ini selalu menjadi topik
yang hangat, yang selalu saja menghasilkan dua kesimpulan yang berlawanan, ada
yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkan, tentunya dengan argumen
masing-masing yang melandasi pendapat mereka.
Melihat
fenomena yang ada, penulis merasa tergugah untuk mengkaji lebih dalam tentang
kepemimpinan perempuan yang ada dalam al-Qur’an ini sehingga paling tidak ada
gambara bagi kita, khususnya penulis, serta pembaca pada umumnya. Dari hasil
kajian ini penulis berharap memberikan manfaat, baik secara teoritis,
yaitu menambah perbendaharaan karya ilmiah dan bacaan kepada masyarakat
khususnya kalangan intelektual; sedangkan manfaat praktisnya adalah
mengingatkan kembali ataupun sebagai bahan penyegaran kepada masyarakat
khususnya umat Islam bahwa ajaran Islam bersifat syamil (menyeluruh), tidak
diskriminatif terhadap semua pihak dan memberikan sesuatu sesuai dengan porsi
masing-masing.
B.
PEMBAHASAN
1.
Tafsir
Surat An-Nisa’ ayat 34
Sebelum membahas lebih jauh tentang kepemimpinan perempuan ini,
penulis terlebih dahulu mengetengahkan ayat al-Qur’an yang merupakan titik
tolak penulis dalam kajian kepemimpinan ini. Ayat tersebut adalah Surat
An-Nisa’ ayat 34 yang berbunyi:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ
عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ
أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ
لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ
أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا
كَبِيرٗا ٣٤
Artinya:
“Kaum laki-laki
itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka
wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar.”[1]
Empat belas abad sudah Islam tersebar ke seluruh
penjuru dunia. Islam yang merupakan ajaran yang bersifat universal. Salah satu
ajaran yang dibawanya adalah menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan. Islam telah mengangkat derajat perempuan dari makhluk yang dianggap
hina, kelas dua ataupun hanya sebagai pelengkap bagi laki-laki menjadi makhluk
yang terhormat, memiliki hak dan kewajiban yang sama. Jika demikian, samakah
hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin?
Sumber permasalahan ini
sebenarnya adalah perbedaan penafsiran ayat al-Qur’an, yaitu kata قَوَّٰمُونَ .
Syeikh Kholid Abdurrahman al-‘Ak dalam Shafwah al-Bayan
li Ma’aniy al-qur’an al-Karim Mudzayyilan bi Asbab Al-Nuzul li Al-Suyuthi,[2]
menyebutkan bahwa kata قَوَّٰمُونَ
berarti قيام الولاة المصلحين على الرعية,
yaitu laki-laki merupakan pemimpin bagi perempuan dengan catatan memimpin
dengan cara yang baik.
Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili[3]
menyebutkan bahwa laki-laki menjadi pemimpin bagi perempuan (dalam hal ini
bertanggungjawab atas urusannya dan menjaga perempuan) disebabkan oleh dua hal,
yaitu:
1. Karakteristik
kelaki-lakiannya serta keperkasaannya serta lebih berpengalaman daripada
perempuan (خصائص الرجولة و مقوماتها
الجسدية، وزيادة الخبرة)
2. Laki-laki
bertanggungjawab penuh untuk menafkahi keluarga, berkewajiban untuk memberi
mahar, sementara itu perempuan yang shalehah (dalam hal ini istri) yang taat
kepada Allah SWT dan suaminya, tentulah menyimpan rahasia rumah tangganya serta
memanfaatkan harta suaminya dengan sebaik-baiknya.
Dr. Abduh asy-Syahiy menjelaskan sebagai
berikut:
فإن هذه الدرجة هي
القوامة، أي الرعاية والصيانة والحفظ وليست هذه الدرجة هى درجة التشبث فى الرأي
والتحكم والسيطرة فى إدارة شئون الأسرة، أو الاستبداد قولا وعملا فى أمور الأسرة.[4]
Dari penjelasan ini jelas sekali bahwa qawamah
yang dimaksudkan pada ayat tersebut adalah pengayom (ri’ayah), dan
penolong/pelindung (shianah) dan menjaga (hifz), bukan berarti menguasai dan
mengekang seperti yang dikatakan sebagian orang.
Jika kita melihat konteks ayat di atas,
maka dapat kita simpulkan bahwa ‘seolah-olah’ perempuan berada di bawah
kekuasaan laki-laki, yang dengan demikian perempuan tidak mempunyai hak untuk
menjadi seorang pemimpin dan hanya bertanggungjawab terhadap urusan rumah
tangganya.
Menurut Dr. M. Quraish Shihab, MA,[5]
setidaknya ada tiga alasan yang sering dikemukakan sebagai larangan
keterlibatan perempuan dalam berpolitik, yaitu:
1.
Ayat Arrijalu
qawwamuna ‘alannisa’ (QS. An-Nisa’: 34)
2.
Hadis yang
menyatakan bahwa akal wanita kurang cerdas dibandingkan laki-laki
3.
Hadis Abi Bakrah
yang menyatakan tidak bahagianya/beruntungnya suatu kaum yang dipimpin oleh
perempuan.
Ayat dan hadis di atas seolah-olah
mengisyaratkan bahwa yang berhak menjadi pemimpin hanyalah untuk kaum
laki-laki, sementara perempuan harus mengakui kepemimpinan tersebut.
Al-Qurthubi dalam
tafsirnya menulis tentang makna ayat tersebut yang artinya: "Para lelaki
(suami) didahulukan diberi hak kepemimpinan, karena lelaki berkewajiban
memberikan nafkah kepada wanita dan membela mereka, juga (karena) hanya lelaki
yang menjadi penguasa, hakim, dan ikut bertempur, sedangkan semua itu tidak
terdapat pada wanita". Selanjutnya penafsir ini menegaskan bahwa:
"Ayat ini menunjukkan bahwa lelaki berkewajiban mengatur dan mendidik
wanita, serta menugaskannya berada di rumah dan melarangnya keluar. Wanita
berkewajiban menaati dan melaksanakan perintahnya selama itu bukan perintah
maksiat". Bahkan, menurut Quraish Shihab, banyak mufassir yang mengikuti
pendapat al-Qurthubi ini.[6]
Jika kita melihat
pendapat para mufassir tentang maksud ayat ini, maka kita dapat berpikir
sebaliknya, yaitu jika alasan laki-laki yang harus menjadi pemimpin itu tidak
lengkap atau tidak mencukupi, maka perempuan pun berhak menjadi pemimpin jika
memenuhi kriteria.
Dengan demikian, laki-laki harus
mengetahui bahwa derajat kepemimpinan di sini adalah derajat taklif dan
mas’uliyyah (kewajiban dan tanggung jawab). Dari sini, dapat kita ketahui bahwa
wanita mempunyai hak untuk memiliki atas segala sesuatu tanpa ada pembedaan
dengan laki-laki, ia juga berhak untuk bertransaksi, bekerja yang sesuai dengan
tuntunan syari’ah. Sehingga perempuan juga mempunyai hak untuk memberi dan
menerima wasiat serta warisan. Bahkan ia juga berhak untuk melindungi dirinya
dan hartanya dengan cara bagaimanapun selama tidak bertentangan dengan syari’at
Islam.
Demikianlah, Islam memberikan hak-hak
yang sangat istimewa kepada perempuan yang tidak pernah diberikan oleh
sistem-sistem keagamaan konstitusional yang lain. Hak dan tanggung jawab yang
diberikan Allah SWT kepada perempuan sederajat dengan yang diterima oleh
laki-laki. Kesederajatan ini tidak selalu identik. Karena secara biologis dan
psikologis perempuan diciptakan berbeda dari laki-laki. Islam telah menetapkan
hak dan tanggung jawab terhadap perempuan sesuai dengan sifatnya, memberinya
perlindungan dan keamanan penuh dari penistaan dan alur kehidupan yang tidak
menentu. Dari sinilah dapat dipahami bahwa kesetaraan itu tidak sama dengan
kesamaan. Laki-laki diciptakan Allah SWT setara dengan perempuan, tetapi tidak
sama antara laki-laki dengan perempuan.[7]
Dalam ajaran ajaran Islam, laki-laki dan
perempuan mempunyai persamaan dalam hal[8]:
1. Persamaan dalam segi kemanusiaan (al-musawah
al-insaniyah) (QS. Al-Hujurat: 13)
2. Persamaan dalam memikul beban yang diberikan Allah SWT
(al-musawah fi al-taklif) (QS. Al-Mumtahanah: 10
3. Persamaan dalam pemberian balasan/pahala atas amal
ibadahnya (al-musawah fi al-Tsawab) (QS. Al-Ahzab: 35)
4. Persamaan dalam muwalat dan saling tolong-menolong
(al-musawah fi al-muwalat wa al-tanshur) (QS. At-Taubah: 71)
Alasan yang kedua yang
menyatakan bahwa kurangnya kecerdasan perempuan sehingga ia tidak layak untuk
dijadikan pemimpin telah terbantahkan oleh al-Qur’an yang menceritakan tentang
seorang perempuan yang memerintah dengan arif dan bijaksana. Ia adalah ratu
Balqis , sang ratu negeri Saba’. Hal
ini disebutkan dalam al-Qur’an surat as-Saba’ ayat 15:
لَقَدۡ
كَانَ لِسَبَإٖ فِي مَسۡكَنِهِمۡ ءَايَةٞۖ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٖ وَشِمَالٖۖ
كُلُواْ مِن رِّزۡقِ رَبِّكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لَهُۥۚ بَلۡدَةٞ طَيِّبَةٞ وَرَبٌّ
غَفُورٞ ١٥
Artinya: Sesungguhnya bagi kaum Saba´ ada tanda
(kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah
kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu
dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya.
(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha
Pengampun."
Mengenai kecerdasan dan
kebijaksanaan ratu Balqis, telah disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Naml ayat
29-35[9]
yang menceritakan diskusinya dengan para pejabat negara, ketika menerima surat
dari nabi Sulaiman AS, yang pada waktu itu para pembesar kerajaan ingin
menyerang kerajaan nabi Sulaiman AS karena merasa mereka lebih kuat dan besar
kekuasaannya. Namun ratu Balqis malah tidak menyetujuinya dengan alasan teramat
pedih dampak dari peperangan tersebut. Hal ini akan menimbulkan kesengsaraan
dan penderitaan rakyat yang tidak bersalah.
Bahkan kecerdasan Balqis dan
berlogika dan bertauhid terlihat ketika ia melihat keindahan istana Sulaiman
yang lantainya dari marmer yang berkilauan laksana air. Dalam ketakjuban itu,
Ratu Balqis tidak menyerah begitu saja kepada Sulaiman. Tetapi ia mengatakan: “Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah
diri bersama Sulaiman kepada Allah, tuhan semesta alam.”[10]
2.
Sebab
turunnya ayat
As-Suyuthi menyebutkan bahwa sebab
turunnya ayat 34 surat An-Nisa adalah adanya seorang perempuan yang mengadu
kepada Rasulullah SAW tentang perbuatan suaminya yang menamparnya. Lengkapnya
adalah sebagai berikut:
أخرج
ابن حاتم عن الحسن قال: جاءت امرأة إلى النبي صلى الله عليه وسلم تستعدي على زوجها
أنه لطمها، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: القصاص، فأنزل الله (الرجال قوامون
على النساء) الآية، فرجعت بغير قصاص.[11]
“Ibnu Hatim meriwayatkan dari
al-Hasan, ia berkata: telah datang seorang perempuan kepada Rasulullah SAW
mengadukan perbuatan suaminya yang menamparnya, maka Rasulullah menjawab:
(hukumannya adalah) qishash (yakni ia harus menampar suaminya sebagai
balasan yang setimpal), maka turunlah ayat yang berbunyi: (الرجال قوامون على النساء), maka
pulanglah si perempuan tanpa harus meng-qishash suaminya.”
Jika kita melihat asbab an-nuzul
dari ayat 34 surat an-Nisa’ ini, maka tampak jelas terlihat bahwa perkara yang
dibahas dalam ayat ini adalah perkara rumah tangga. Makna arrijal di sini bukan
laki-laki pada umumnya, namun tidak lebih hanya bermakna suami. Hal ini cukup
beralasan, karena pada lanjutan ayat ini langsung disebutkan tentang kewajiban
laki-laki, yang dalam hal ini suami, yaitu menafkahi perempuan-perempuan
(istrinya). Terlebih lagi pada ayat selanjutnya dijelaskan masalah yang
berhubungan dengan rumah tangga.
Sementara itu, Hadits abi Bakrah
yang diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, Nasa’i dan Turmudzi yang menyatakan
ketidakberuntungan suatu kaum jika dipimpin oleh perempuan itu bersifat
temporal dan kasuistik pada bangsa Persia.[12] Bunyi
lengkap hadis tersebut adalah:
عن أبي بكرة
قال: لما بلغ رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أهل فارس ملكوا عليهم بنت كسري قال:
لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة. (رواه البخاري والنسائي والترمذي وأحمد)
Artinya:dari Abi Bakrah ia berkata:
Ketika Rasulullah mengetahui bahwa masyarakat Persia mengangkat Putri Kisra
sebagai penguasa mereka, beliau bersabda, “tidak akan sukses (beruntung) suatu
kaum yang menyerahkan (menguasakan) urusan mereka kepada seorang perempuan.” (HR. Al-Bukhari, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, dan Ahmad)[13]
Hadis ini menurut Quraish Shihab
berlaku khusus bagi masyarakat Persia pada waktu itu, bukan terhadap semua
masyarakat dan dalam semua urusan. Dengan demikian, berlaku kaidah “Pada prinsipnya hukum itu
berlaku karena kekhususan sebab bukan karena keumuman lafaz.”
berlaku karena kekhususan sebab bukan karena keumuman lafaz.”
Dengan demikian, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa tidak ada suatu ketentuan agama pun secara jelas mengatakan
bahwa perempuan tidak boleh berpolitik, ataupun membatasi ruang gerak perempuan
untuk terjun ke dunia politik dan hanya berlaku untuk laki-laki.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa kaum perempuan berhak untuk memimpin suatu negara (Presiden
atau Perdana Menteri), sebagaimana halnya kaum laki-laki, bila mereka memiliki
kriteria persyaratan sebagai pemimpin.
Jadi kalau hadits Abi Bakrah di atas
mengatakan bahwa: Tidak bahagia suatu kaum yang mengangkat pemimpin mereka
seorang perempuan, al-Qur’an justru menyebutkan sebaliknya. Al-Qur’an telah
menceritakan bagaimana kepemimpinan ratu Balqis yang dapat memimpin negerinya
dengan baik dan sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, sehingga mereka
hidup dalam kemakmuran dan berlimpah ruah.
Disebutkannya cerita ratu Balqis
sebagai penguasa negeri Saba’ memperlihatkan bahwa perempuan pun mampu untuk
menjadi pemimpin, meskipun ada sebagian yang beralasan bahwa ia menjadi pemimpin
ketika belum bertauhid kepada Allah SWT. Dan ketika telah menikah dengan
Sulaiman dan memeluk agama tauhid, ia tidak lagi menjadi pemimpin, namun
tetaplah sebagai permaisuri dari raja Sulaiman yang agung.
C.
SIMPULAN
Setelah
melalui pembahasan yang singkat dari tulisan ini penulis mencoba
menyimpulkannya dengan hasil sebagai berikut:
1.
Makna
Qawwamah dalam al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 34 lebih sebagai pemimpin rumah
tangga, pengayom, pelindung, dan penjaga, bukan penguasa sepenuhnya dalam arti
mengekang dan menguasai seperti budak;
2.
Perempuan
diperbolehkan terjun ke dunia politik, selama tidak mengganggu tugas dan
tanggungjawabnya dalam mengurus rumah tangga suaminya;
3.
Yang
tidak diperbolehkan dalam Islam adalah perempuan menjadi khalifah atau pemimpin
tertinggi yang mempunyai kekuasaan mutlak serta segala keputusan tergantung
kepadanya;
4.
Penafsiran
surat an-Nisa’ ayat 34 itu harus diposisikan sesuai dengan asbab an-nuzulnya,
yaitu tentang rumah tangga, dengan pemaknaan kata rijal dengan ‘suami’
dan nisa’ dengan ‘istri’, sedangkan menafsiran hadis dari Abi Bakrah
ditafsirkan pula sesuai asbab al-wurudnya, yaitu khusu untuk masyarakat Persia
waktu itu.
Demikianlah
simpulan yang dapat penulis kemukakan semoga bermanfaat dan wallahu a’lam
bissowab.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an
Al-Karim
al-‘Ak,
Syeikh Kholid Abdurrahman. Shafwah al-Bayan li Ma’aniy al-qur’an al-Karim
Mudzayyilan bi Asbab Al-Nuzul li Al-Suyuthi. Dimasyq: Dar al-Basyaair,
1994.
al-Barraziy,
Muhammad Fuad. Al-Huquq al-Siyasiyah li al-Mar’ah fi Zilal al-Islam, dalam
Makanat al-Mar’ah wa Huququha fi al-Islam. Kairo, Rabithah al-Jamiaat
al-Islamiyyah, 2006.
Al-Syahiy,
Abduh. Al-Huquq al-Ma’nawiyyah wa al-Adabiyyah li az-Zaujah fi Dhau’ asy-Syari’ah
al-Islamiyyah, dalam Makanat al-Mar’ah wa Huququha fi al-Islam. Kairo,
Rabithah al-Jamiaat al-Islamiyyah, 2006.
al-Zuhaili,
Wahbah. al-Tafsir al-Wajiz ‘ala Hamisy al-Qur’an al-‘Azim. Dimasyq, Dar
al-Fikr.
Muslim,
Muslihun. Kiprah dan Pemikiran Nahdlatul Wathan dari TGKH. Muhammad
Zainuddin Abdul Majid ke Dr. TGKH. Muhammad Zainul Majdi, MA. Surabaya:
Cerdas Pustaka Publisher, 2012.
Naik, Zakir, dkk.
Mereka Bertanya Islam Menjawab. Solo, PT. Aqwam Media Profetika, 2009.
Shihab, M.
Quraish. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung:
Mizan, 1996.
Taufiq,
Mohamad. Software Qur’an in Ms Word versi 2.2.00. taufiq product, 2013.
[1] Mohamad
Taufiq, Software Qur’an in Ms Word versi 2.2.00 (taufiq product, 2013).
[2] Syeikh Kholid
Abdurrahman al-‘Ak , Shafwah al-Bayan li Ma’aniy al-qur’an al-Karim
Mudzayyilan bi Asbab Al-Nuzul li Al-Suyuthi (Dimasyq: Dar al-Basyaair,
1994), 84.
[3] Prof. Dr.
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Wajiz ‘ala Hamisy al-Qur’an al-‘Azim (Dimasyq,
Dar al-Fikr), 85.
[4] Dr. Abduh
Asy-Syahiy, Al-Huquq al-Ma’nawiyyah wa al-Adabiyyah li az-Zaujah fi Dhau’ asy-Syari’ah
al-Islamiyyah, dalam Makanat al-Mar’ah wa Huququha fi al-Islam (Kairo, Rabithah
al-Jamiaat al-Islamiyyah, 2006), 44.
[5]
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat. (Bandung: Mizan,
1996), 313.
[8] Prof. Dr. Muhammad
Fuad al-Barraziy, Al-Huquq al-Siyasiyah li al-Mar’ah fi Zilal al-Islam, dalam
Makanat al-Mar’ah wa Huququha fi al-Islam (Kairo, Rabithah al-Jamiaat
al-Islamiyyah, 2006), 189-190.
[9] Bunyi ayat
tersebut adalah:
قَالَتۡ
يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمَلَؤُاْ إِنِّيٓ أُلۡقِيَ إِلَيَّ كِتَٰبٞ كَرِيمٌ ٢٩ إِنَّهُۥ
مِن سُلَيۡمَٰنَ وَإِنَّهُۥ ٣٠ أَلَّا تَعۡلُواْ عَلَيَّ وَأۡتُونِي
مُسۡلِمِينَ ٣١ قَالَتۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمَلَؤُاْ أَفۡتُونِي فِيٓ أَمۡرِي مَا
كُنتُ قَاطِعَةً أَمۡرًا حَتَّىٰ تَشۡهَدُونِ ٣٢ قَالُواْ نَحۡنُ أُوْلُواْ
قُوَّةٖ وَأُوْلُواْ بَأۡسٖ شَدِيدٖ وَٱلۡأَمۡرُ إِلَيۡكِ فَٱنظُرِي مَاذَا
تَأۡمُرِينَ ٣٣ قَالَتۡ إِنَّ ٱلۡمُلُوكَ إِذَا دَخَلُواْ قَرۡيَةً أَفۡسَدُوهَا
وَجَعَلُوٓاْ أَعِزَّةَ أَهۡلِهَآ أَذِلَّةٗۚ وَكَذَٰلِكَ يَفۡعَلُونَ ٣٤ وَإِنِّي
مُرۡسِلَةٌ إِلَيۡهِم بِهَدِيَّةٖ فَنَاظِرَةُۢ بِمَ يَرۡجِعُ ٱلۡمُرۡسَلُونَ ٣٥
[10] QS. An-Naml: 44
[12]
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an..., 314. Lihat juga Muslihun
Muslim, Kiprah dan Pemikiran Nahdlatul Wathan dari TGKH. Muhammad Zainuddin
Abdul Majid ke Dr. TGKH. Muhammad Zainul Majdi, MA (Surabaya: Cerdas
Pustaka Publisher, 2012), 77-79.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar