PENDAHULUAN
Feminisme memandang peran perempuan tidak lagi produktif.
Ketidakprodutifannya karena perempuan masih saja beraktivitas di ranah domestik (keluarga). Indikasinya, keluarga
masih dianggap terlalu dominan mengungkung kebebasan perempuan. Lain dari itu, feminism
memandang kewajiban perempuan untuk melahirkan secara alamiah, membatasi ruang
gerak bagi perempuan. Solusi untuk
mengentaskan problem kemandulan produk, feminism mgusulkan agar para perempuan
sudah harus tidak reproduksi (melahirkaan anak) dan memindahkan kegiatan
domestic ke dalam pekerjaan sosial, supaya diperoleh upah.
Pandangan ini sangat menjadi masalah ketika masuk ke dalam
ummat Islam dan bekerja di luar rumah sebagai feminisme akan mengganggu
kebebasan perempuan dan produktifitas kerja. juga terus saja mengkampanyekan
ide reproduksi artifesial perempuan masih itu adalah jika dapat menuai pkerjaan
dan uang serta perempuan tidak lagi perlu hamil, melahirkan dan seterusnya dari
fungsi natur maupaun nurture (alamiah dan kepengasuhan). Firestone juga me benar-benar telah mendikonstruksi kesalehan
perempuan muslimah yang sekian abad telah dibangun oleh Nilai-nilai Islam.
Semenjak
Krisis global saat ini telah melanda di berbagai belahan
dunia dan hampir tak bisa dihindari oleh siapapun, terutama tekanan hidup.
Tekanan hidup yang dibangun oleh produk
sekularisme-liberalisme dan kapitalisme sudah merambah di wilayah domesik
(keluarga) kita,
hingga membuat kaum perempuan sebagai ibu sangat berat. Ibu-ibu berfikir
kualitas pendidikan anak, pada saat yang sama berfikir tentang anggaran dapur
tak tercukupi. Realitas kehidupan ini
demikian melesat memasuki seluruh
kehidupan masyarakat Indonesia ,
khususnya dalam keluarga ummat Islam. Beban seorang perempuan sekaligus Ibu
rumahtangga ini tentu tidak lepas dari system perekonomian,
ketenagakerjaan, politik will
pemerintah. Namun yang lebih dominan berpengaruh dan berbahaya adalah hegemoni
system sekularisme itu sendiri. Karena himpitan itulah, kaum perempuan
beramai-ramai mencari solusi untuk mengatasi keterpurukan tersebut, anehnya
yang dipopulerkan hanyalah ide-ide yang
menutupi gejala, bukan solusi yang menyentuh akar persoalan, dan gagasan ini
sudah lama kita dengar dengan sebutan emansipasi perempuan (tahrîrul
mar’ati) atau kebebasan perempuan.
Ruang kebebasan yang dibawa melalui isu feminisme sangat halus
sekali, Misalkan saja, agar perempuan
tidak nampak dinistakan, maka diberilah gelar professor atau supaya bisa
bargaining position dengan laki-laki, dan contoh lain seperti wanita
boleh jadi imam sholat bagi laki-laki,[1] dan lain
sebagainya. Jadi yang dipopulerkan hanya menutupi gejala saja, tidak menutupi
akar masalah yang dihadapi. Seperti isu kesetaraan gender yang selama ini
mereka jadikan sebagai pisau analis
Feminisme,[2] justru
disambut baik oleh aktivis muslimah, maka dengan sangat mudah bahkan terbantu, gerakan ini memasuki masyarakat muslim, dan
perempuan muslimah. Mereka menuntut persamaan kebebasan dalam setiap sisi
aturan agama Islam. Ibu-ibu beranggapan bahwa tugas domestik merupakan kungkungan
Islam, akhrinya tanpa memahami sejarah, ikut-ikutan membuat terminologi
seolah-olah islami. Sejatinya, tindakannya memperangkap diri sendiri yang kemudian mereka tidak lagi ingin
menunaikan kewajiban menentramkan suami, tidak mengamankan tauhid anak-anak dan
keluarganya, mereka juga merasa terhina
ketika melakukan tugas-tugas domestik karena tidak dianggap berkontribusi untuk
ekonomi bangsa, karena tidak menghasilkan income.[3] Inilah
yang membuat perempuan-perempuan meninggalkan tugas domestiknya dan berakibat
pada kehancuran institusi rumah tangga , generasi dan keturunannya. Tanpa
disadari oleh perempuan kita, telah
termakan oleh racun-racun feminisme dan gender sebagai alat liberalisme. Sebuah
strategi penghancuran ummat yang efektif, jika perempuan muslimah sudah rusak,
maka dapat dipastikan sepuluh tahun, seratus tahun generasi akan mengalami
kehancuran.[4]
Feminisme
sejak kelahirannya hingga sekarang tidak memproduk nilai apapun kecuali kehancuran
kaum perempuan untuk masa depan. Fakta ini dapat dilihat kasus akibat gerakan
emansipasi perempuan di Amerika, Jepang dan bekas Negara Uni Soviet. Perempuan
yang melakukan aborsi illegal dan legal sangat banyak. Bahwa jumlah angka
perempuan bekerja di Amerika serikat telah menjadi 2 kali lipat, di tahun 1950
sebanyak 33% dan meningkat di tahun 1990 menjadi 60% dan di tahun 2005 menjadi
77 %. Kemudian, di Inggris terjadi sejumlah 380.000 aborsi, terdaftar yang
dilakukan tahun 2006, 210.000 diantaranya dilakukan oleh wanita yang tidak
menikah. Di AS , 2 juta lebih aborsi legal yang dilakukan selama tahun 2006. Di
Jepang angka aborsi 2 kali yang ada di Amerika Serikat. Di Negara bekas Uni
Soviet, hampir ¾ kehamilan berakhir dengan aborsi.[5] Di
Indonesia, menurut data tahun 2008 sebanyak 2.5 juta dengan berbagai latarbelakang sebab.[6] Itulah
sekedar bukti kelicikan fikiran produk liberalisme.
Jika kita memahami fenomena perempuan
muslimah diatas, maka potret konspirasi global sesungguhnya sedang berlangsung
tiada henti. Dengan melihat realita di lapangan, pertanyaan yang muncul,
masihkah ada keprihatinan dalam menyaksikan kehancuran mental anak bangsa ini?
Realitanya, sikap mereka senantiasa lebih mengidolakan icon-icon Barat
sebagai atribut jahiliyah moderen daripada berbangga terhadap Islam. Seperti cara
berpakaian, cara bergaul, bertoleransi dengan pemeluk agama-agama dan lain
sebagainya. Sepertinya, segala budaya yang apresiasif dari Barat, dijadikan
oleh mereka pagan kehidupan yang membanggakan diri atau prestisius. Inilah potret kebingungan generasi ummat karena kolonialisasi
berselimut emansipasi.
Kebingungan yang tiada henti di generasi
muslimah kita, sayangnya tak pernah
disadari, untuk ini penulis mencoba
memaparkan konsep peran muslimah dalam koredor kesolehan, yang tujuan utamanya
mengembalikan kembali pemahaman kita terhadap wacana Mar’ah Sholehah.
Indikasinya, memiliki kesanggupan menghadapi arus global, tanpa harus
menjadikan peradaban barat sebagai ‘kiblat’ dalam membangun pola dan gaya hidup. Arus
feminisme yang dibawa oleh media komunikasi global perlu difahami dengan benar,
sehingga bisa menyiapkan benteng yang kuat dan menamkan pandangan hidup
(Worldviwe) yang islami
SejarahEmansipasi
dan Feminisme
Kata emansipasi bukan lagi menjadi kata yang asing di telinga
masyarakat. Kata ini menjadi lekat seiring era keterbukaan di setiap lini
kehidupan. Slogan emansipasi seakan menjadi taji bagi setiap perempuan.
Ketertindasan, keterkungkungan, keterbelakangan dan ketiadaan harkat menjadi
belenggu kaum perempuan.[7]
Kehidupan perempuan seakan terpasung di
tengah eksploitasi kaum Adam terhadapnya. Sebagian perempuan pun menjadi gamang
menatap rona kehidupan. Hilang keyakinan diri untuk menapaki laju zaman. Yang
demikian ini terjadi di Barat.
Di
tengah kepungan kemelut, perempuan Barat pun tersulut bangkit. Mendobrak
tatanan yang ada, meneriakkan slogan-slogan persamaan. Mencoba memberangus
keterpurukan. Tercatat dalam sejarah, bahwa menjelang tahun 1785 dari kelompok
masyarakat ilmiah Eropa mengadakan perkumpulan pertama kali di Meddelburg,
sebuah kota di bagian
selatan Belanda untuk memperjuangkan apa yang disebut sebagai universal
sisterhood. Semangat ini kelak dikenal dengan perjuangan kaum femina
(perempuan) dan akhirnya menjelma menjadi ideology feminisme. Kata Feminisme
sendiri dikreasikan pertama kali oleh aktifis sosialis utopis, Chales Fourier
pada tahun 1837. Kemudian center Eropa ini pindah ke Amerika dan
berkembang pesat semenjak hadirnya buku the Subject of Women karangan John
Start Mill (1869). Pada tahun inilah ditandainya awal kelahiran feminisme. Selanjutnya
merambah ke daratan Amerika Serikat setelah terjadi revolusi social dan
politik. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication
of the Right of Woman, isi buku ini tentang dasar prinsip-prinsip feminisme
di kemudian hari. Kemudian setelah berakhirnya perang dunia ke dua, dan
ditandainya Negara-negara baru yang
merdeka dari jajahan Negara-negara Eropa, mulai muncul Feminisme gelombang ke
dua pada tahun 1960. Perempuan mulai mendapatkan hak politik di Parlemen di
Perancis. Pelopornya adalah Helene Cixous,Julia Kristeva yang mengkritik
faham esensialisme. Namun di Negara-negara dunia ke tiga, pada pasca perang
dunia ke dua (1960-1970) menjadi “mangsa”
Negara-negara Barat untuk dijadikan obyek analisa yang dipisah dari sejarah
kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi social.
Di Amerika, juga rame-rame mengusung
feminisme ini dengan lahirnya buku The Feminie Mystque yang ditulis oleh
Betty Friedan di tahun 1963, sehingga mengilhami lahirnya organisasi
Perempuan yang bernama National Organization for Woman (NOW) di tahun
1966, dari gerakan ini terus menerus melahirkan Equal Right Act (1964).
Mereka menyodorkan fakta sejarah, bahwa pada periode ini terjadi marjinalisasi
peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik.
Meskipun kampanye gerakan Feminisme ini didukung oleh banyak kelompok
perempuan, namun di Amerika sendiri juga terjadi perlawanan terhadap Feminisme
ini oleh kelompok yang menamakan dirinya Woman’s Lib” pada tahun 1968. Kelompok
ini protes sangat keras adanya Miss America Pegeant yang pernah
diselenggarakan di Atlantic City ,
karena hal itu dianggapnya sebagai pelecehan terhadap kaum perempuan dan
komersialisasi tubuh perempuan.
Seiring dengan perkembangan zaman,
Feminisme mulai direspon oleh banyak Negara setelah diselenggarkan Konfrensi
Perempuan Sedunia di Mexico City pada tahun 1975 yang merekomendasikan Gender,
development dan equality. Setelah
berjalan beberpa waktu, bermunculan organisasi-organisasi kewanitaan tak semata
di Perancis, tapi menyebar ke Inggris, Jerman, dan belahan Eropa lainnya. Gaung
slogan emansipasi yang dibawa oleh kaum feminispun makin membahana.[8]
Potret Perempuan Kuno
Realita sejarah ini memberikan inspirasi, bahwa perempuan pada zaman
Yunani tidak dianggap bagian dari
komunitas manusia, akan tetapi tidak berbeda dengan barang komoditas. Gambaran
perempuan ini oleh para ahli sejarah mencatat sebagai berikut:
Perempuan di
dalam agama Yunani kuno,
Buku ”Erotisme Yunani”
(terjemahan dari ”Love, Sex and Marriage in Ancient Greece”) yang ditulis
Nikolaos A. Vrissimtzs,[9] mencatat dalam buku
ini, bahwa masyarakat Yunani telah mengkontruksi perempuan dalam 2 kategori:
Perempuan baik-baik/terhormat dan Perempuan pekerja seks. Perempuan terhormat adalah
perempuan yang tidak menampakan dirinya di publik. Bahkan jika seseorang kenal
dan dapat menceritakan tentang perempuan tersebut di publik, itu mengancam
kehormatannya. Perempuan baik-baik ini dikontruksi hanya untuk melahirkan dan
ratu rumah tangga. Tidak ada seks untuk kesenangan bagi perempuan baik-baik
kecuali untuk bereproduksi. Cinta juga tidak cukup dibutuhkan. Karena
pernikahan hanya urusan menjaga derajat keluarga dan bereproduksi.
Dari potret sosial di atas, perermpuan dianggap bagian dari
perbuatan buruk setan. Atas dasar pandangan ini, masyarakat Yunani menganggap
kaum perempuan mereka tidak memiliki hak-hak manusia. Keyakinan nenek moyang
mereka, mengatakan bahwa berbagai bencana dalam keberhasilan dan kegagalan
hanyalah datang dari kemarahan pagan (berhala) yang disembah. Maka, ketika
mereka ingin menyelesaikan persoalan yang terjadi di masyarakat, selalu
menjadikan perempuan bahan sesajen
(tumbal) yang dijadikan korban dan dihadiahkan kepada tuhan mereka, dan selalu
bergantung pada cara berfikir yang konservatif ini setiap kali mencari solusi
bencana. Sementara orang-orang Latin Yunani Athena mengijinkan bagi seorang
laki-laki untuk menikahi berapa perempuanpun tanpa batas. Berbeda dengan
kelompok Sparta ,
mereka melarang laki-laki berpoligami, tetapi mengijinkan perempuan untuk
berpoliandri (kawin dengan banyak laki-laki) sesukanya. Mereka sesungguhnya
mengabaikan prinsip-prinsip pernikahan dan tujuannya. Karena itu, budaya di
kedua kelompok ini menjadi penyebab kehancuran masyarakat.[10]
Berbeda lagi dengan perempuan Romawi. Mereka diperlakukan sebagai
instrument penggoda, perangkat menipu, penghancur hati kaum laki-laki.
Perempuan dipaksa dan ditindas oleh
system kekerasan yang tidak bisa diterima oleh akal dan oleh perasaan manusia. Dalam sejarah Romawi,
juga pernah direkomendasikan hasil konvensi Perempuan yang berisikan empat hal;
Pertama, Bahwa perempuan itu ada bukan karena kepribadian manusia, maka
ia tidak bisa untuk memperoleh hak kehidupan di akhirat. Kedua, diharuskan bagi
perempuan agar tidak makan daging, tidak ketawa dan tidak boleh berbicara. Ketiga
, karena perempuan adalah dosa menurut keyakinan Romawi, akibat perbuatan setan, maka ia memiliki cacat dan hina di
masyarakat. Dan yang keempat mewajibkan kepada perempuan agar hidupnya
dipersembahkan dan diabdikan kepada Pagan (patung). Keempat keputusan ini
intinya membatasi peran perempuan baik di dalam rumah hingga di ranah publik,
berbicarapun tidak diperbolehkan.. Para
raj-raja Romawi dan Pendeta gereja membuat undang-undang pelarangan berpoligami
bagi laki-laki Romawi, akan tetapi mereka sendiri beramai-ramai melakukan
poligami tiada batas.
Lain lagi pandangan agama-agama
tentang perempuan. Perempuan menurut agama Persi, merupakan makhluk yang hina, tak berharga dan
terhormat. Bagi orang-orang yang telah dibabtis dan fanatik kepada Zorodaste
berkeyakinan bahwa perempuan biang berkobarnya kejahatan yang harus disiksa,
maka perempuan bagi tradisi Persi Kuno, hanya sebagai kepuasan sex dan suami
memiliki hak berpoligami tanpa batas dan mempunyai hak penuh hingga
diperbolehkan membunuhnya bila tidak mentaati suami[11].
Agama
orang Israil, yaitu Yahudi. Mereka memandang perempuan sebagai pembantu
rumahtangga, budak yang kapan saja bisa perjualbelikan, perannya tidak lebih
dari pelayan laki-laki. Sedangkan dalam masyarakat arab sebelum Islam,
perempuan tidak berbeda dengan harta benda dan kekayaan, maka perempuan tidak
memiliki hak waris. Kehidupan ini banyak terjadi di Negeri Yaman kuno yang
terbiasa dengan kehidupan dengan orang-orang Israil dan Shobii. Perempuan pada
saat itu sebagaimana dikatakan Umar Bin Khotob: “ Kita pernah menganggap
perempuan tidak ada di masyarakat arab sebelum kedatangan Islam” hingga
diturunkan Allah SWT tuntunan yang
merobah kedudukan mereka.[12] . Masih
dalam catatan sejarah Arab kuno (sebelum Islam), bahwa ada prilaku buruk
masyarakat Arab terhadap anak perempuan,
yaitu bilamana meiliki anak perempuan,
maka dipandang cela dan hina. Prilaku ini mewabah diberbagai suku yang ada di
Arab pada saat sebelum datang Islam. Bila seorang Istri melahirkan anak
perempuan, maka suami harus melakukan dua hal: pertama membiarkan anak bayi perempuan di dalam rumah hingga dewasa, kemudian
diharuskan memakai jubah dari bulu domba, selanjutnya suka atau tidak harus mau
dijadikan pengembala unta dan kambing di padang pasir kaum Badui, Ini pilihan
suami yang menghendaki anaknya masih hidup hingga dewasa. Adapun pilihan kedua
adalah, mengubur hidup-hidup pada usia enam tahun[13]
Jika
boleh disebut, masa-masa tersebut adalah masa kegelapan yang tidak ada cahaya
penerang masyarkat. Kitab-kitab agama tidak lagi menjadi pedoman, bahkan sudah
didikonstruksi. Ketimpangan pandangan terhadap perempuan berlarut-larut tidak
pernah kunjung henti hingga sekarang. Hegemoni peradaban Barat jelas-jelas
menguasai kita, kaum perempuan menjadi obyek dan hamzatu wasl (sarana
Bantu) untuk menghancurkan Islam dan syariatnya. Maka Islam dihadirkan di muka
bumi ini untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang ada dalam sendi-sendi
kehidupan. Adapun upaya memperbaiki pilar-pilar Islam yang semakin rapuh karena
dimakan oleh gelombang isu emansipasi dan feminisme, tidak ada lain kecuali
kembali kepada pandanagan hidup Islam dalam membangun kaum perempuan khususnya,
sehingga konsep mar’ah sholehah senanytiasa menjadi spirit atau ruh ummat
Islam.
Beberapa Pemikiran
kaum Feminis tentang peran perempuan
Ide-ide Fiminis belakangan ini telah
menjadi kenyataan, menelusup di ruang-ruang kehidupan kita. Seperti yang
digagas oleh Feminis-radikal-Libertarian tentang Pornografi sebagaimana yang ditulis
oleh Deirdre English (1980).[14] Bahwa
perempuan katanya, dapat dan harus mempergunakan pornografi untuk membangun
nafsu seksual,. Pandangan lain yang belakangan terus digelorakan adalah
Lesbianisme separatis yang muncul sejak tahun 1970, bahwa kepuasan seksual
dapat juga diperoleh dari sesama perempuan.[15] karena
menurut mereka ‘berhubungan dengan laki-laki’ sebagai patner sekual hanya untuk
sebatas alasan psikologis.[16] Lebih
daripada itu, perempuan yang ingin melestarikan keturunan, dengan selalu
melahirkan, maka pekerjaan reproduksi merupakan penghambat produksi kapital
masyarakat.[17]
Berbeda lagi dengan pandangan Feminis
Marxis. Aliran ini menginginkan bahwa mengakhiri ketidaksejajaran laki-laki
perempuan dalam peran domestik, Sebagaimana dikatakan oleh Margaret Benston ; “
kunci pembebasan perempuan adalah sosialisasi pekerjaan rumahtangga” artinya memberikan
peluang kepada perempuan untuk memasuki industri publik secara bersamaan mensosialisasikan pekerjaan
memasak, membersihkan rumah, dan mengasuh anak. Menurut Benston, sosialisasi
pekerjaan rumahtangga dapat menggiring perempuan untuk mengerjakan pekerjaan
yang sama di luar rumah esok, sebagaimana dilakukan nya di rumah kini.
Sementara itu, tokoh feminis Marxis Mariarosa Dalla costa dan Selma James
(1969)[18] punya
pandangan lain, agar perempuan merasa tidak teropresi dalam ranah domestic, harus
menuntut upah atas pekerjaan rumahtangga (domestik), dan Negara supaya membayar
upah kepada ibu rumahtangga, karena capital pada akhirnya mengambil keuntungan
dari ekploitasi terhadap perempuan. Perempuan harus beramai-ramai meninggalkan
rumahtangga untuk urusan public.
Seiring dengan perkembangan zaman,
feminisme mengalir bagaikan Lumpur dari arah gunung, mengisi rongga-rongga bumi
yang kosong. Gerakan Feminisme juga seperti itu, dengan didukung oleh lembaga
dunia semacam PBB mengharuskan Negara-negara di dunia untuk ‘bergembira ria’ melaksanakan
pemikiran Barat yang Liberal dan skuler-kapitalis termasuk di pelataran
mayarakat perempuan Indonesia .
Kerancuan hidup kaum perempuan yang dispiriti oleh sumber informasi
(literature) dari peradaban Barat (bukan Islam) dan hingga kini mewabah menjadi
bencana sosial di negara-negara muslim, justru dicarikan solusi dari produk experiment kaum
feminis Barat Anehnya, untuk membangun peran perempuan yang ideal, feminis muslim beramai-ramai membantu dengan
cara merekonstruksi literatur-literatur Islam, yang tanpa disadri bahwa
fremwork mereka itu adalah kepanjangan
tangan dari peradaban Barat Global.[19] Sesungguhnya gaya hidup dan cara berfikir masyarakat barat
tidak lepas dari konstruksi social dari bangunan budaya masyarakat Eropa kuno
maupun sebelum kedatangan Islam, maka mengenali sejarah perempuan Barat kuno
akan dapat menjadi salah satu pisau analisa peradaban Barat modern dalam
memperlakukan perempuan.
Gerakan Feminisme di kalangan Muslim
Gerakan feminis
radikal rupanya berpengaruh juga di kalangan Muslim. Kita mengenal nama-nama
Fatima Mernissi dari Marokko (penulis buku Beyond the Veil), Nawal al-Saadawi
dari Mesir (penulis buku The Hidden Face of Eve), Riffat Hasan (pendiri yayasan
perlindungan perempuan The International Network for the Rights of Female
Victims of Violence di Pakistan), Taslima Nasreen dari Bangladesh (penulis buku
Amar Meyebela), Amina Wadud dari Amerika Serikat yang sempat membuat heboh
beberapa waktu lalu, Zainah Anwar dari Sisters In Islam Malaysia, Siti Musdah
Mulia dari Indonesia dan masih banyak lagi.[20]
Sedikitnya ada
tiga faktor yang melatarbelakangi munculnya gerakan feminisme radikal ini.
Pertama, imbas dari apa yang telah terjadi di negara-negara Barat. Kedua,
kondisi masyarakat di negara-negara Islam saat ini yang masih terbelakang dan
memprihatinkan, terutama nasib kaum wanitanya. Ketiga, dangkalnya pemahaman
kaum feminis radikal tersebut terhadap sumber-sumber Islam. Semua ini tentu sangat kita sesalkan.
Kalau
tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan Yusuf al-Qaradhawi menyeru orang untuk
kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah dalam soal gender, maka kaum feminis
radikal malah mengajak orang untuk mengabaikannya.
Bagi para
ulama, ketimpangan dan penindasan yang masih sering terjadi di kalangan Umat
Islam lebih disebabkan oleh praktek dan tradisi masyarakat setempat, ketimbang
oleh ajaran Islam. Namun bagi feminis radikal, yang salah dan harus dikoreksi
itu adalah ajaran Islam itu sendiri, yang dikatakan mencerminkan budaya
patriarkis.[21]
Di sinilah nampak kedangkalan pemahaman mereka.
Seperti kita
ketahui, tidak satu ayat pun dalam al-Qur’an yang menampakkan misogyny[22] atau
bias gender. Semua ayat yang membicarakan tentang Adam dan pasangannya, sejak
di surga hingga turun ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak dengan menggunakan
kata ganti untuk dua orang (humâ ataupun kumâ).
Disamping itu,
bukan pasangan Adam yang disalahkan, melainkan syetan yang dikatakan menggoda
keduanya hingga memakan buah dari pohon keabadian. Di muka bumi, baik laki-laki
maupun perempuan diposisikan setara. Derajat mereka ditentukan bukan oleh jenis
kelamin, tetapi oleh iman dan amal shaleh masing-masing. Sebagai pasangan
hidup, laki-laki diibaratkan seperti pakaian bagi perempuan, dan begitu pula
sebaliknya. Namun dalam kehidupan rumah-tangga, masing-masing mempunyai peran
tersendiri dan tanggung-jawab berbeda, seperti lazimnya hubungan antar manusia.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, laki-laki dan perempuan
dituntut untuk berperan dan berpartisipasi secara aktif, melaksanakan amar
ma’ruf dan nahi munkar serta berlomba-lomba dalam kebaikan.
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim,
laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang
sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah…Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Demikian firman Allah dalam al-Qur’an (al-Ahzab: 35).
Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan,
bahwa sesungguhnya perempuan itu saudara laki-laki (an-nisâ’ syaqâ’iqu
r-rijâl) (HR Abu Dâwud dan a n-Nasâ’i).
Kesalehan Perempuan:Pembendung Emansipasi Barat
Di dunia Islam, wacana
emansipasi pertama kali digulirkan oleh Syekh Muhammad Abduh (1849-1905 M).
Tokoh reformis Mesir ini menekankan pentingnya anak-anak perempuan dan kaum
wanita mendapatkan pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi, supaya
mereka mengerti hak-hak dan tanggung-jawabnya sebagai seorang Muslimah dalam
pembangunan Umat.[23]
Pandangan yang sama dinyatakan
juga Hasan at-Turabi dari Sudan .
Menurutnya, Islam mengakui hak-hak perempuan di ranah publik, seperti kebebasan
mengemukakan pendapat dan memilih, berdagang, menghadiri shalat berjama‘ah,
ikut ke medan
perang dan lain-lain.
Ulama lain yang berpandangan
kurang lebih sama adalah Syekh Mahmud Syaltut, Sayyid Qutb, Syekh Yusuf
al-Qaradhawi dan Jamal A. Badawi. Sudah barang tentu para tokoh ini mendasari
pendapatnya pada ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits.[24]
Namun ada juga yang menggunakan
pendekatan sekular, yaitu Qasim Amin. Intelektual satu ini disebut-sebut
sebagai ‘bapak feminis Arab’. Dalam bukunya yang kontroversial, Tahriru
l-Mar’ah (Kairo, 1899) dan al-Mar’ah al-Jadidah (Kairo, 1900), ia menyeru
emansipasi wanita ala Barat. Untuk itu, kalau perlu, buanglah jauh-jauh doktrin-doktrin
agama yang konon menindas dan membelenggu perempuan, seperti perintah
berjilbab, poligami, dan lain sebagainya.
Gagasan-gagasan Qasim Amin telah banyak disanggah dan
ditolak. Syekh Mahmud Abu Syuqqah dalam karya monumentalnya, Tahriru l-Mar’ah
fi ‘Ashri r-Risalah (Kuwait ,
1991), membuktikan bahwa tidak seperti yang sering dituduhkan, agama Islam
ternyata sangat emansipatoris. Setelah melakukan studi intensif atas literatur
Islam klasik, beliau mendapati bahwa ternyata kedatangan Islam telah
menyebabkan terjadinya revolusi gender pada abad ke-7 masehi.
Padahal, kehidupan perempuan
sejak Yunani kuno hingga menjelang kedatangan Islam, jelas-jelas sangat tidak
mendapatkan tempat, kurang dihargai, dan tidak mendapatkan peran sebagaimana
fitrahnya. Maka Islam datang meberikan pencerahan, membuka kegelapan menuju ke
kondisi yang mengembirakan dan terang benderang (QS.65:11).
“(dan mengutus) seorang Rasul yang
membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum)
supaya dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari
kegelapan kepada cahaya. dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan
amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya”.
Hanya saja, di era global sekarang ini kondisi sosial budaya kita
tanpa disadari adalah bangunan dari sosial Barat, termasuk ritme kehidupan
perempuan muslimah. Kultur Barat ( sekuler) membawa pandangan hidupnya untuk
merubah pandangan dan keyakinan masyarakat muslimah menjadi ragu-ragu dan samar-samar
berpedoman pada pandangan hidup Islam. Gerakan emansipasi dengan fiminismenya
meyakinkan masyarakat muslimah bahwa perbedaan prilaku laki-laki perempuan
ditentukan oleh kondisi social budaya.[25] Maka
untuk membendung derasnya pemikiran emansipasi perempuan yang dibawa oleh Barat
sebagai arus global dan wajah kolonialisme gaya baru yang tidak dapat ditolak tapi juga
tidak harus ditrima, Peran perempuan perlu diluruskan secara proporsional
berdasarkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai Islam
Dalam perspektif Islam, konsep peran
perempuan Muslimah sudah diletakkan oleh Rasulullah saw semenjak 14 abad yang
lalu. sehingga tidak ada keraguan lagi
untuk bermain peran ditengah-tengah arus global dengan membawa pandangan hidup
Islam. Bahkan, Islam cukup tinggi memberikan penghargaan kepada seorang
perempuan dengan sebutan “Mar’ah Shôlihah”, tidak ada pahala kecuali
surga. Tugas apapun tidak dilarang oleh Islam, namun islam memberikan tuntunan agar seorang
perempuan tetap terhormat, dan berharga. Kunci tugasnya adalah “beramal masih
tetap dalam koridor Kesalehan”.[26] Oleh
karenanya Islam membekali kunci-kunci berperan yang tidak saja dapat diukur
oleh parameter kapital dan hedonic tetapi lebih jauh dan lebih bermakna baik secara
horizontal maupun Vertikal, tidak saja dapat diukur secara manusiawi, tetapi
Allah SWT meridloi karena ketaatan menjalankan perintahNya. Dalam perspektif ibadah (dedicative) Islam meberikan tuntunan
kepada perempuan dewasa (dalam berkeluarga) ada tiga konsep peran .[27]
Pertama, adalah konsep Peran seorang Ibu (Wadzîfah Umumah), kedua,
konsep peran ibu rumahtangga (Wadzîfah Manzîliyyah), ketiga adalah
konsep peran perempuan dalam ranah Publik (Wadzîfah Ijtima’iyyah).
Bagaimana implementasi ketiga konsep tersebut, berikut ini penulis perbedaan
konsep Barat dan Islam dalam mengimplementasikan peran.
1) Peran Umumah/Natural Seorang Istri
Peran perempuan dalam ranah ini mencakup empat tugas,
yaitu hamil, melahirkan, menyusui dan mengasuh. Untuk ini akan kita
bahas satu persatu. Pertama, adalah Peran perempuan untuk hamil. Jika peran perempuan Barat yang diperjoangkan
oleh kaum feminis dalam kesataran sek sangat tidak menghormati perempuan.
Sebagaimana pendapat seorang feminis Liberal-radikal-Libertarian, bahwa
‘hubungan suami Istri’ hanya sebatas kebutuhan psikologis, mereka tidak
menyukai hamil. Pandangan ini sangat terbatas pada nilai materi yang tidak
membuahkan suatu prilaku ideal kecuali hanya pada sex itu sendiri. Bahkan
Pornografi dipropagandakan untuk membangun fantasi.
Berbeda dengan Islam, Islam memberikan tuntunan kepada seorang
perempuan yang berperan sebagai Istri, bahwa hubungan suami-Istri adalah
terhormat, mulia. Yang semula diharamkan berubah menjadi halal dan bepahala.
Sebab jika hal ini dilakukan tanpa pernikahan, maka hukumnya dosa. Maka
seksualitas dalam Islam tidak sekedar memenuhi kebutuhan psikologis, akan
tetapi sebagaimana yang ditulis oleh
Imam Suyuthi dalam kitab Al-amru bi-ittiba’wan-Nahyu ‘anil ‘ibtida, menukil
dari sabda Rasulullah saw, HR. bahwa ‘jima’ (sex) adalah bernilai ibadah dan sodaqoh. Ibadah adalah sikap ketaatan
jiwa, berbuat apapun termasuk bergaul suami-istri tetap dalam upaya menuju
ketaatan kepada Allah SWT, dan nilai sedekah adalah ajaran memberi. Artinya
tidak perlu ada kesataraan dalam memperoleh hak seksualitas dari antara kedua belahfihak,
justru di sini Islam memberikan ruang untuk berlomba dalam menuai kebaikan dan
pahala keridloaan dari Allah. Lalu
motivasinya adalah ingin diperoleh keturunan yang sholeh. Sebagaimana
perintah Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad[28] : “
Nikahlah maka akan berjumlah banyak populasimu, sesungguhnya aku akan bangga
dihadapaN
ummat lain besuk pada hari
kiamat. HR. Imam Ahmad. Oleh sebab itu, kebebasan perempuan muslimah dalam ranah
mengembangkan potensi ‘umumah’ (natural) yang benar, tidak harus bertentangan dengan konsep Islam.[29] Barangkali
bisi mencontoh perempuan Gaza Palestina, mereka ingin memiliki anak banyak
untuk calon syuhada (pejoang).
Dalam kajian kependudukan, selalu kita jumpai istilah fertility
control (pengendalian kemuangkinan untuk mempunyai anak), dan memang tidak
digunakan istilah birth control (pengendalian kelahiran). Pandangan Keluarga
Berencana (KB) ini dimaksudkan agar hak perempuan dan laki-laki untuk mengambil
keputusan kapasitas reproduksi mereka.[30] Maka karena
motivasi pandangan Barat semacam ini, tidak sedikit kasus aborsi perempuan di
berbagai Negara karena takut hamil, baik
yang sudah nikah, atau yang tidak nikah(lihat data di atas), lagi-lagi pihak
perempuan yang hancur, termasuk muslimah kita.
Pandangan KB semacam ini menurut Islam sangat tidak
dihalalkan dalam mencari solusi kependudukan. Dr.Abdullah Faqih, ketua dewan
Fatwa Mesir tidak menyetujui pemikiran fertility control ini, sebab Islam telah
memberikan rambu-rambu dalam al-Qur’an S.Al-Isra
:31
“ Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu
Karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga
kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”.
Sedangkan konsep Islam diperintahkannya laki-laki
perempuan menikah untuk melanjutkan generasi dengan keturunan sebanyak-banyaknya, sebagaimana
perintah Rasulullah saw, bukan sekedar mengandung janin dan menambah populasi
semata. Allah SWT berfirman dalam
al-qur’an S.Al_A’raf: 189:
“ Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan
dari padanya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka
setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan
teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat,
keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata:
"Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk
orang-orang yang bersyukur".
Kedua, Peran muslimah untuk melahirkan.
Bahwa Barat dengan gerakan Feminismenya seakan-akan memperhatikan
nasib perempuan. Namun justru sebaliknya. Coba kita perhatikan pandangan kaum
Feminis Radikal-Libertarian dalam
masalah peran Reproduksi (melahirkan anak). Mereka berpendapat; “ Perempuan
ingin setara dengan laki-laki, harus mau menggantikan modus alamiah reproduksi
dengan modus artificial (buatan) , sebab semakin perempuan terlibat di dalam
proses reproduksi, semakin banyak waktu dan tenaga yang dapat di digunakan
untuk terlibat di dalam proses produktif masyarakat (ekonomi)”. Maka pilihan
peran perempuan Barat menurut Marge Piercy yang ditulis dalam novel fiksi
ilmiahnya Woman on the Edge of Time, mengungkapkan; Perempuan
tidak perlu reproduksi secara alamiah, namun cukup reproduksi dengan cara
buatan (tabung), yang diprosesnya
melalui digestasi (dikandung) di dalam plasenta buatan.[31]
Pemeliharaan janin dan pengasuhan anak ditanggung oleh co-mother (terdiri dari
satu laki-laki dan dua perempuan atau dua laki-laki dan satu perempuan yang
dibantu oleh ‘kidbinders’( yaitu sekelompok individu yang mempunyai
kemampuan sangat tinggi, didalam fungsinya sebagai ibu bagi anak-anak buatan
artificial). Hal ini meskipun sudah mengejala di Negara-negara Barat,
ternyata juga melahirkan kritik diantara
mereka. maka Azizah al-Hibri (1984) tidak sependapat, karena dengan hal itu akan membuat perempuan
kehilangan pengalaman yang berharga, namun justru lebih menyakitkan karena tanpa disadari semakin menyuburkan
perbudakan bagi kaum perempuan.[32]
Sangat berbeda dengan prinsip Islam, bahwa pernikahan dalam Islam
dimaksudkan diantarnta untuk menambah populasi ummat Muhammad saw. sebagamana
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dan Nasai: “ Nikahilah
olehmu perempuan yang penyayang dan banyak anak (subur), sebab aku akan
membangga-banggakan jumlahmu yang banyak pada hari kiamat”[33]Banyak melahirkan anak artinya, menjadi kan anak-anak
calon-calon generasi yang pernah diproses dalam kehamilan yang suci, fithri.
Selama kehamilan sembilan bulan, seorang ibu menanti kelahiran dengan
menjaga kesehatan, memberi nutrisi spiritual kepada janin, membacakan al-quran
dan doa-doa. Tentu, generasi yang akan lahir berbeda produk, baik jiwanya,
intelektualnya maupun fisiknya. Sedangkan pandangan Barat adalah mengurangi spiesis
sebanyak-banyaknya dengan dalih demi kesejahteraan anak dan orang tua.
Strateginya dengan menebarkan berbagai isu dan propaganda dalam rangka
kesejahteraan, salah satunya sosialisasi program keluarga berencana. Lalu,
bagaimana nasib Negara yang berhasil mengurangi kepadatan penduduk dengan
program KB-nya. Jerman, singapur, dan Negara-negara maju lainnya mengalami
kehabisan generasi, kalau tidak dibilang punah. Oleh karena itu, pembatasan
kelahiran yang tidak karena ada masalah kesehatan, Islam menganjurkan untuk
melahirkan banyak anak. Jika jumlah anak ummat Islam dipersoalkan karena
kekhwatiran akan kemiskinan, maka sesungguhnya yang harus diperbaiki adalah
pemerintahan , system perekonomian, dan pendidikannya. Jadi Islam menghendaki pengaturan kelahiran,
bukan pembatasan kelahiran.
Maka
suatu kebahagian seharusnya bagi perempuan muslimah dapat melahirkan seorang
bayi dari hasil pernikahan yang baik. Simbul siklus reproduksi yang dialami
seorang perempuan calon ibu, dengan perjoangan untuk melahirkan seorang bayi
secara normal, bilamana anak lahir dan ibu mendengarkan tangisan bayi,maka
segala rasa sakit hilang, untuk itu kelahiran adalah kebanggaan fitrah yang
dimiliki perempuan.
“Dan kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya
kepada-Kulah kembalimu" ( Luqman: 14 )
Ketiga, Peran seorang ibu menyusui anak Kegiatan
menyusui merupakan tanda awal sebagai seorang Ibu. Pandangan kaum feminis Radikal-libertarian,
yang dipelopori oleh Alison M Jaggar (1983)[34]
mengatakan; “tidak seorang yang mengandung seorang anak adalah orang yang
paling tepat untuk menyusui (membesarkan), maka seorang perempuan tidak perlu
menjadi ibu Biologis, karena menyusui anak adalah beban bagi perempuan, dan
sering menuntut banyak hal dari tubuh dan energi perempuan. Bahkan ia
menambahkan, bahwa insting menjadi ibu adalah dipelajar, An Oakley aktivis
feminis Radikal menunjukan menunjukkan studi yang mempelajar 150 orang
perempuan yang baru pertama kali menjadi ibu, ternyata hanya sedikit dari
perempuan-perempuan itu yang mengetahui
cara menyusui, dan mereka yang mengetahui cara menyusui adalah mereka yang yang
telah melihat ibunya atau anggota keluarga perempuan yang yang lain ketika
mereka menyusui.
Konsep Islam tentang ibu menyusui
anak, Para fuqohak sepakat bahwa menyusui bayi
adalah memberikan hak makan kepada seorang anak sebagaimana memberi hak makan
kepada orang dewasa.Dr, Muhammad Sholeh al-Munjid membedakan peran perempuan
dengan kaum feminis di atas. Seorang ibu setelah melahirkan anak, secara fitrah
diperintahkan menyusui anaknya selama dua tahun. Rentang waktu ini adalah waktu
yang sangat efektif untuk membangun jiwa anak melalui proses menyusui, bahkan
fitrah ini sudah ditegaskan dalam al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 233
Dan Abu Yusuf Al-Qohtoni memberikan catatan keistimewaan
dan manfaat menyusui bagi anak Pertama,Air
Susu Ibu (ASI) sangat steril dari virus apaun. Kedua,ASI tidak bisa
distandarkan kwalitasnya dengan susu Sapi atau sejenisnya, Ketiga, ASI
sangat lengkap dengan kandungan vitamin, Keempat, ASI dapat membantu
pertumbuhan anak lebih cepat daripada susu botol, Kelima, Selama proses
menyusui terjadi hubungan jiwa antara Ibu dan anak. Dari kelima itu menurut beliau
yang lebih penting ada nilai berkahnya. Yang terakhir inilah yang tidak
dimiliki oleh Barat.[35]
.
Keempat,
adalah peran Ibu mengasuh anak. Pendapat sebagian kaum Feminis
radikal Ann Oakley mengatakan, bahwa ibu social sama efektifnya dengan ibu
biologis. Menurutnya banyak anak-anak yang diadopsi dapat menyesuaikan diri
seperti anak-anak yang tidak diadopsi kata dia; dan anak-anak itu tidak
membutuhkan ibu biologis atau perempuan, tetapi memerlukan orang dewasa yang
dapat menjalin hubungan dekat dengan mereka. Keyakinan feminis ini menghendaki
tercapainya kesetaraan perempuan agar dapat leluasa bekerja di luar rumah. Jadi
dalam membuat seorang perempuan disebut Ibu cukup dengan ibu pinjaman atau ibu
kontrak.[36]
Alih-alih di masa depan tidak seorang perempuan pun yang harus menghasilkan,
mengandung, atau mengasuh anak.
Pandangan Genea Corea, di masa depan yang akan terjadi, perempuan yang secara
genetik lebih baik akan menghasilkan embrio secara invitro. Maksudnya,
perempuan bertubuh kuat akan mengandung bayi tabung ini hingga waktunya
dilahirkan, dan seorang perempuan yang bertemperamen baik akan membesarkan
anak-anak yang baru lahir hingga dewasa.[37]
Tapi ideology fiminesme bagaikan
virus, yang bisa menempel di mana saja dan kapanpun. Islam memberikan jawaban
atas ketimpangan Barat dengan konsep peran kepengasuhan bagi seorang ibu.
Seorang ibu diberikan pedoman mengasuh sebagaimana ditulis dalam QS. Luqman:17.
Hai anakku,
Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah
(mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa
kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah).
Pada fase ini,
peran perempuan dan ibu beologis sangat vital. Potensi dan energi seorang ibu
diperlukan untuk mengajari anak mendirikan sholat, mengerjakan perbuatan yang
baik, mendidik mereka untuk mencegah yang mungkar. Ibupun memberi contoh
kesabaran saat ditimpa bencan. Sikap kesabaran dilukiskan oleh Shauqi Bik
penyair Mesir, bahwa kata dia;
‘Ibu bagaikan sekolah, apabila kamu persiapkan dengan baik, maka
kamu telah menyiapkan bangsa yang baik akarnya. Ibu adalah guru dari segala guru
yang paling pertama, pengaruhnya menjangkau ke seluruh penjuru dunia”
Mengingat
periode pertama anak-anak berada di rumah, dan dipelukan seorang ibu, maka
seorang ibu harus memiliki akhlak yang mulia dan kebiasaan-kebiasaan yang baik
menurut tuntunan Islam,. Hanya tuntunan Islam yang dapat menamkan rasa cinta
kepada keutamaan dan menjauhkan diri dari tempat-tempat menyesatkan dan
berpakaian yang sopan dan berwibawa.[38]
2) Peran
Manzily (Domestik)seorang perempuan/Istri
Pandangan Feminis Barat, tentang
peran domestik seorang perempuan tidak lagi mengatur rumah, memasak mendidik
anak-anak serta melayani suami. Akan tetapi diemansipasikan dari laki-laki,
maka mereka (perempuan) harus menjadi mandiri dan tidak bergantung kepada
laki-laki, yang menjadi syarat pertama bagi emansipasi perempuan adalah
masuknya kembali seluruh perempuan ke dalam industri publik dan kedua
adalah sosialisasi pengurusan rumah tangga dan pengasuhan anak.[39] Menurut
Engels, pengurusan rumahtangga tidak lagi tugas perempuan dalam rumah demikian
juga masalah kepengasuhan anak, karena seorang ibu dituntut ekonomi dan
mengharuskan keluar rumah, sementara anak (bila mempunyai) diasuhkan kepada ibu
asuh. Potret semacam ini, di Indonesia khususnya di kota-kota besar sudah
banyak menjamur sekolah-sekolah bagi anak-anak pra dua tahun. Syeh Ali Bin
Nayif As-Syuhud dalam Mausû’ahtul khitab wa ad-Dars bahwa peran
perempuan dalam ranah keluarga (usrah) sebagai institusi cinta-kasih, beliau
berargumentasi dengan mengambil ayat alqur’an Surat Ar-Rum ayat 21.. Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. Dari ayat ini beliau memberikan tafsiran bahwa usroh, keluarga dan
domestic dibangun dengan empat pilar. Pertama, Adanya saling terikat
antara suami dan Istri, dengan ini tentu keduanya saling membantu dan tolong
menolong, adanya keserasian hidup, dan tidak ada yang saling merasa dirugikan.Kedua,adanya
perasaan yang saling mencintai (mawaddah). Artinya dari keduanya melahirkan
perasaan saling mengenali, memahami kekurangan dan kelebihannya, sehingga tidak
ada saling mencacati. Ketiga, adanya tempat tinggal (rumah), hal ini
mencerminkan ketenteraman hati dan fikiran. Tempat suami istri beribadah,
mengasuh anak-anak dan tempat menjaga diri.Keempat, adanya kasih sayang
antara suami-istri. Istri selalu sayang dan taat memenuhi kewajiban sebagai
seorang istri, dan demikian juga seorang suami senantiasa memenuhi
kewajibannya. Keempat itulah sebagai
pilar konsep bangunan peran perempuan diwilayan domestik. Akan tetapi yang
sering diabaikan adalah hadist tentang ketaatan seorang Istri kepada suami,
Rasulullah saw melukiskan didalam hadisny yanf diriwayatkan oleh Tirmidzi:[40] “Seandainya
aku dapat memerintah manusia untuk bersujud kepada seseorang, tentu akan
kuperintahkan istri untuk bersujud kepada suami.
Hadist yang
diriwayatkan oleh Tirmidzi dlam
Sunan Tirmidzi digambarkan bahwa para
perawi sangat tsiqqoh seperti ahmad ibnu hambal, Abu hatim dan termasuk
termasuk kelompok hadis marfu’ yang sampai sanadnya sampai kepada Rasulullah.
3) Peran
Ijtima’iyyah ( peran Publik) Seorang Perempuan/Istri
Sebagaimana yang ditulis pada sejarah
emansipasi dan feminisme, penyebab utama perempuan ingin bebas dan meninggalkan
tugas-tugas utama rumah tangga adalah karena sejarah konstrusi budaya Barat
yang tidak menghargai perempuan termasuk gereja. Kemudian, kreasi bermunculan
untuk mencari pembebasan yang didesain oleh manusia, sampaipun direkayasa
hingga muncul deklarasi PBB tahun 1975
awal dilembagakannya isu feminisme. Kemudian tahun 1985 ide ini mulai disosialisasikan ke
Negara-negara berkembang (dunia ketiga) termasuk Indonesia . Dalam wacana peran
perempuan yang ditulis oleh beberpa orang penulis gender dalam buku Woman in
public sector kesemuanya memberikan
kesan bahwa eksistensi perempuan dipersoalkan dalam kontek peran publik, barangkali
melihat dua kenyataan dialektis. Kenyataan pertama adalah persepsi masih adanya
dominan pandangan dikotomis atas peran perempuan, yakni atas peran privat dan
public. [41]
Dalam kontek peran perempuan
muslimah, Islam juga berbicara tentang emansipasi perempuan dalam pesrpektif Islam.
Kebebasan perempuan memang menjadi hak asasi, fitrah dari Allah SWT, maka ajaran
islam tidak pernah melarang perempuan berperan di dunia publik, yang menjadi
persoalan adalah sebagaimana ketika perempuan berperan di sector privasi ,
natural, rumah tangga (domestic), dan publik tidak membawa pandangan Islam.
Jika dicontokan dari kesejarahan awal lahirnya Islam era Rasulullah saw sangat
banyak bagaimana istri-istri Rasulullah ikut membantu dakwah Islam. Menurut
Dr . ‘Athiah Shoqar
(1997) seorang mufti menulis dalam bukunya yang berjudul ‘al-Usrah tahta
ri’âyatil-Islam bahwa bekerja itu merepakan kewajiban baik laki-laki maupun
perempuan, sebab hal itu menjadi sarana dan kelangsungan hidup di dunia. Jenis
pekerjaan cukup banyak yang sesuai bagi laki-laki maupun perempuan. Menurut
beliau , pekerjaan perempuan di rumah tidak kalah pentingnya dengan pekerjaan
laki-laki di luar. Bila pekerjaan itu diniati dengan benar-untuk ibadah maka
hasilnya akan diperoleh oleh masing-masing sesuai dengan dikerjakan baik
laki-laki maupun perempuan. QS.Ali Imra:195 dan An-Nahl 97 memberikan pedoman
kepada kita bagaimana bekerja. Maka Tuhan mereka memperkenankan
permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan
amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan,
(karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain (Ali
Imran:195)
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka
kerjakan.(An-Nahl:97)
Menurut beliau,
tugas perempuan (istri)di ranah domestic, tidak kalah berat dan pentingnya
dengan tugas suami. Bagaimana seorang istri mengatur rumah sehingga mencerminkan
kedamaian, ketentraman. Bila ada anak-anak, seorang ibu menjadi guru bagi
anak-anaknya. Jika suami datang pemandangan yang paling indah hanyalah seorang
istri. Sebagai istri, selalu melakukan tugas-tugas dan kewajiban seorang Istri.
Banyak kegiatan –kegiatan perempuan
menurut para ulama fiqih dan tafsir[42] sepakat
bahwa perempuan berperan keluar rumah termasuk dibolehkan dengan syarat-syarat tertentu
dan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan fitrah. perempuan. Hal ini pernah ditulis oleh Dr.
Ahmad Bin Abdul Qodir pakar Hukum Islam dari Emerat, dalam judul Hak-hak
perempuan Menurut Alqur’an dan As-Sunnah. Bahwa, jika perempuan (seorang
Istri) ingin bekerja di luar rumah hendaknya.[43]
Perempuan karier dalam perpektif
Islam
Peran perempuan Muslimah
melebihi kewajiban tugas-tugas domestik (rumah tangga) adalah beraktivitas di
luar rumah untuk mendapatkan tambahan penghasilan atau pengaruh.Islam tidak
melarang untuk keperluan tersebut namun para ulam Fiqh membatasinya, antara
lain :
1)
Jika rumahtangga memerlukan biaya untuk
pengeluaran kebutuhan primer dan sekunder. Jika suami telah meninggal atau
sedang sakit dan rumah tangga tidak memiliki pendapatan lain selain dari suami,
serta pemerintah tidak dapat membantu rumah tangga yang kondisinya seperti itu,
seorang istri dibolehkan bekerja di luar rumah dengan pekerjaan-pekerjaan yang
dibolehkan syara’.
2)
Masyarakat memerlukan tenaga
perempuan untuk bidang-bidang yang sesuai dengan karakter perempuan. Tidak
diragukan lagi bahwa masyarakat membutuhkan tenaga wanita untuk difungsikan
sebagai dokter, guru dan dosen, serta pembimbing social. Msyarakat Islam
membutuhkan guru perempuan untuk memberi kuliah, membutuhkan dokter dan perawat
untuk melayani pasien perempuan, dan membutuhkan pembimbing social perempuan
untuk memelihara aspek-aspek social keperempuanan. Selain itu, masyarakat
Islampun membutuhkan akuntan-akuntan perempuan untuk bank-bank Islam.
Syarat-syarat
perempuan bekerja di luar rumah(sosial)
Seorang perempuan dibolehkan
beraktivitas diluar rumah, jika asa salah satu dari sejumlah keadaan yang
membolehkan perempuan bekerja di luar rumah, sehingga dikatakan bahwa perempuan
karier itu harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Dengan demikian, keluarnya
perempuan dari rumahnya untuk bekerja, bersosial tidak berakibat buruk bagi
dirinya, suaminya, anak-anaknya, dan masyarakatnya. Diantara persyaratan yang
telah ditetapkan oleh ulama fiqh bagi perempuan aktifis social dan karier
adalah:[44]
1)
Adalah hak
suami untuk menerima atau menolak keinginan istri untuk bekerja di luar rumah,
sehingga dapat dikatakan bahwa persetujuan suami bagi perempuan karier
merupakan syarat pokok yang harus dipenuhinya karena laki-laki adalah pengayom
dan pemimpin bagi perempuan. Allah SWT berfirman, QS.An-Nisa’: 34. “Kaum lelaki
itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan…” Dan Rasulullah saw bersabda: “apabila
istri salah seorang diantara kamu minta ijin (untuk pergi ke Masjid), maka
janganlah dicegah.( HR. Bukhori)
2)
Menyeimbangkan
tuntutan rumah tangga dan tuntutan kerja.
Sebagian besar perempuan muslimah yang dibolehkan bekerja di luar rumah karena tuntutan kebutuhan primer
rumah tangganya, tidak mampu menyamakan dan menyeimbangkan antara tuntutan
rumah tangga dan kerja. Adanya aturanaturan pekerjaan, baik dari segi waktu
maupun dari sehi kesanggupan, menyebabkan seorang istri mengurangi kualitas
pemenuhan kewajiban rumah tangganya atau bahkan mempengaruhi kesehatannya.
Dalam hal ini, Istri muslimah hendaknya selalu berkeyakinan bahwa sifat
bekerjanya itu hanyalah sementara, yang padasaatnya nanti akan dilepas bila
telah terpenuhinya kebutuhan. Istri tidak boleh beranggapan bahwa keluarnya
dari rumah itu merupakan hiburan atau pengisi waktu luang, atau lebih jauh lagi
karena motivasi emansipasi atau untuk dapat meraih kebebasan dalam bidang
perekonomian. Semua anggapan itu datangnya dari pemikiran-pemikiran orang Barat
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Jika keluarnya istri itu merupakan
kewajiban syara, maka pemerintah harus dapat menciptakan dan mengatur
kondisi-kondisi tertentu agar pekerjaan seorang perempuan berbeda dengan
pekerjaan laki-laki, misalnya: Bekerja setengah waktu dari waktu yang telah
dijadwalkan bagi laki-laki, sebab setengah waktu lainnya bagi seorang istri
adalah untuk melaksanakan kewajibannya di dalam rumah tangga. Bisa juga,
mendirikan rumah-rumah pembinaan anak sesuai dengan ajaran islam untuk
dijadikan lapangan kerja oleh para perempuan muslimah. Dan mempermudah sarana
transportasi bagi para perempuan muslimah
3) Pekerjaan itu tidak menimbulkan
khalwat
Yang dimaksud dengan khalwat adalah berduaannya laki-laki dan wanita
yang bukan mahram. Pekerjaan yang di dalamnya besar kemungkinan terjadi
khalwat, akan menjerumuskan seorang istri ke dalam kerusakan, seperti seorang
istri menjadi skretaris pribadi seorang direktur. Di antara alasan yang
melarang hal ini adalah sabda Rasulullah saw :
“Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan (khalwat)
kecuali setan menjadi yang nomor tiga.” (HR.Thabrani)
Di dalam sabdanya yang lain, Rasulullah saw memperingatkan,
“ Takutlah kamu memasuki para wanita. “ salah seorang
sahabat Anshar bertanya, “ Wahai Rasulullah, apakah itu termasuk hamwa (ipar
laki-laki)? Jawab Rasulullah, “ Ya, Hamwa adalah kematian. (HR.Tirmidzi)
Selain itu, istri harus dapat menjauhi pekerjaan yang di dalamnya
terdapat campur baur dengan laki-laki, sebab akan menimbulkan fitnah. Campur
baurnya perempuan dengan laki-laki dalam kantor atau tempat kerja lainnya akan
menghilangkan rasa malu dan kehormatan perempuan tersebut. Tidak sedikit
seorang perempuan harus melaksanakan tugas luar daerah, semacam ini hendaklah
bias dicegah kecuali bilamana disertai dengan mahramnya. Rasulullah bersabda
dalam hadisnya:
“ Perempuan tidak boleh bepergian kecuali
disertai dengan muhrimnya.”
(HR> Bukhori dan Muslim)
Contoh nyata akibat dari perjalanan perempuan ke luar seperti
khalwat yang dilakukan oleh Barkinson, menteri Perindustrian Inggris, yang
terjerat skandal dengan sekretarisnya hingga hamil, padahal Barkinson sudah
menikah.
3)
Menghindari
pekerjaan yang tidak sesuai dengan jiwa Perempuan
Istri dan kebanyakan perempuan, hendaknya bias menghindari pekerjaan
yang tidak sesuai dengan karakter jiwa perempuan, dan tidak selaras dengan
fitrah perempua. Seperti bekerja di lokasi diskotik, menjadi model produk
tertentu sehingga mampu memikat para pembeli. Sesungguhnya, pekerjaan ini
menipu perempuan, seakan terhormat dan membanggakan prestise, tetapi
sesungguhnya dibalik itu hakekatnya adalah menjadikan perempuan sejajar dengan
barang komuditi, nilai kemanusiaannya digadaikan dengan nilai mata uang.[45]
4)
Menjauhi
segala sumber Fitnah
Islama tidak melarang perempuan melakukan aktivitas di luar rumah,
asalkan tetap memegang rambu-rambu berikut ini :
a)
Etika
perempuan ketika bekerja di luar rumah, dianjurkan untuk mengenakan pakaian
yang sesuai dengan yang disyariatkan Islam. Sebagaimana Allah berfirman dalam
Al-Qur’an Surat Al-Ahzab: 59.
“ Hai
nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”
Dalam hal ini Rasulullah pun
menegaskan, dalam sabdanya:
“ Takutlah kamu
memasuki para wanita. “ salah seorang sahabat Anshar bertanya, “ Wahai
Rasulullah, apakah itu termasuk hamwa (ipar laki-laki)? Jawab Rasulullah, “ Ya,
Hamwa adalah kematian. (HR.Tirmidzi)
b)
Perempuan yang bekrja di luar rumah
hendaknya merendahkan volume suaranya, dan mebiasakan perkataan yang baik,
karena suara wanita adalah aurat. Aurat itu artinya aib. Sebagaimana
difirmankan oleh Allah SWT dalam QS.Al-Ahzab: 32
" Hai isteri-isteri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita
yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah
perkataan yang baik”
Ayat di atas mengandung maksud bahwa
makna tunduk di sini
ialah berbicara dengan sikap yang menimbulkan keberanian orang bertindak yang
tidak baik terhadap mereka. Sedangkan yang dimaksud dengan dalam hati mereka
ada penyakit. Yaitu : orang yang mempunyai niat berbuat serong dengan wanita,
seperti melakukan zina.
c)
Perempuan
dibolehkan bekerja diluar rumah, asalkan tidak memakai perfume atau wewangian,
sebab diantara yang membuat sumber fitnah adalah aroma perfume yang memikat
laki-laki. Perbuatan Perempuan ini diperumpamakan oleh Rasulullah saw seperti
orang yang berbuat zina. Sabda Rasulullha saw:
“Apabila
seorang perempuan memakai wewangian, kemudian lewat pada suatu tempat, maka dia
seperti perempuan yang berbuat zina.” (HR.
Tirmidzi)
d) Perempuan
karier, dalam bekerja harus menundukkan pandangan agar terhindar dari
kemaksiatan dan godaan setan. Allah telah memerintahkan perempuan dan laki-laki
untuk menundukkan pandangan. Dalam Firman Allah SWT QS. an-Nûr: 30-31
“
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci
bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".
Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau
budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Berdasarkan ayat
di atas, ulama tafsir seperti : Rasyid Ridlo, menyimpulkan bahwa menundukkan
pandangan merupakan dasar kesucian diri dan masyarakat dari kerusakan[46]. Banyak
hadits yang mendidik seorang muslim untuk menundukkan pandangan, diantaranya,
“Sesungguhnya pandangan itu merupakan panah dari panah-panah setan.
Barang siapa yang dapat meninggalkannya karena takut kepada-Ku, berarti dia
menemukan manisnya di dalam hati.” (HR.
Tobroni)
Hadis
lain menuturkan:
“Wahai Ali, janganlah engkau mengikuti pandangan
pertama dengan pandangan yang kedua, sebab pandangan pertama itu boleh bagimu
dan pandangan yang selanjutnya adalah dosa bagimu.” (HR.Tirmidzi)[47]
KESIMPULAN
Gerakan Emansipasi yang kampanyekan oleh kaum feminis dan Gender dan
tidak menyadari dalam mengutarakan gagasannya, akan membuahkan produk
pemikiran, dan pemikiran ternyata berperan penting yang akan mewarnai prilaku
kehidupan seseorang (perempuan). Maka Gerakan pemikiran Barat ini jika merasuk
dalam tubuh ummat muslimah, akan menghasilkan produk prilaku bebas tiada batas
tidak juga mengenali rambu-rambu Islam. Dari
sini, akan manjadikan perempuan-permpuan berperan diberbagai kehidupan
masyrakat, namun jiwa, pikiran dan prilakunya adalah Tholehah’
Gerakan emansipasi feminis di lingkungan Muslim hanya akan berhasil dan
sekaligus mampu membendung emansipasi Barat, dan bila tetap mengacu pada ajaran
Islam (al-Qur’an dan Sunnah), bukan sekedar menjajakan gagasan-gagasan asing
yang diimpor dari luar, yang belum tentu cocok untuk diterapkan atau bahkan
bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Maka janji Allha SWT akan berpihat pada
kita. “Allah tidak akan merobah suatu kaum, jikalau kaum itu sendiri tidak
berusaha untuk mengubahnya” . akhirnya, perempuan akan menjadi sholehah
yang pernah dilukiskan oleh Rasululla saw dalam Hadisnya:”Dinia secara
keseluruhan adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah perempuan/istri
yang Sholehah(HR.Muslim dan Ahmad) Disamping itu,
gerakan membangun perempuan di kalangan Muslim juga seyogyanya diletakkan dalam
bingkai pembangunan umat secara keseluruhan, tidak chauvinistik dan hanya
memikirkan kepentingan kaum wanita saja.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Muhammad Aqqad, Al-Mar’atu
fil-Qur’ân, (Beirut :
Mansyrat al-Maktabah al-‘Ashriyyah, tt), hal.107
Abu Nasr alhusaini, Almar’ah wa Huqûquhâ
fi-l-Islam, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1984), hal., 9
Abu Nasr, Al-Mar’atu wa huqûquha
fi-l-Islam,(Beirut: Darul Kutub al-ilmiyyah, 1984), hal 8-9)
Ahmad Bin Abdul Qodir Ghozi, Haqqul
Mar’ati fî Dhouil kitab was-Sunnah, (ed.), (Kairo: Rabitah Jamiah
Islamiyyah,2006), hal.109
Ahmad Fudholi, Perempuan dilembaran
Suci:Kritik atas Hadis-hadis Shahih, (Yogyakarta ,
Pilar Relegia, 2005), hal. 196
Alison M Jaggar, Feminist Politic and
Human Nature, (Totawa, NJ: Rowman &Allanheld, 1983), hal.256
Ann Brooks, Posfeminisme &Cultural
studies,trerj. S.Kunto Adiwibowo, (Yogyakarta ,
Jalasutra, 2004), hal. 385
Ann Koedt, The Myth of the Vaginal
Orgasm,Notes from the Scond Year: Women’s Liberation-Mayor Writing of the
Radical Feminists, ( 1970 ), hal. 41
Deirdre English, The Politics of Porn:
“Can Feminists walk the Line?”Mother Jones, ( ), hal. 20-23
Dikeluarkan oleh Iman Ahmad 3/158&245,
Abu Daud (2050), an-Nasai di dalam bab an-Nikah, ibnu majah (1846) dan al-Hakim
2/162 dalam al-Majma, 4/252 &258
Engels, The Origin of the Family,
Private Property and the state, hal. 137
Friedrich Wilhelm Nietzsche, On the
Genealogy of Moras, terj. ( New York: Vintage Books, 1969), hal. 44
Genea Corea, The mother Machine:
Reproduction technologies from Artificial Insemination to artificial Wombs, (New
York: Harper & Row, 1983), hal. 107
Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi
Pemikiran Islam,(Ponorogo: CIOS,
2008), hal. 108
http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=83&Itemid=50
Husein Syahatah, Ekonomi Rumah Tangga
Muslim, terj.(Jakarta: Gema Insani, 1998), hal. 187
Imam Ahmad, Al-hastu ‘ala –an-nikah, juz
13, no. 6310
Imam As-Shodiq al-Mahdy,al-Huqûq
al-Islâmiyyah wa-al-Insâniyyah li-al-Mar’ati,(Kairo: Maktabah as-Syurûq
ad-Dauliyyah, 2006), hal. 106
Imam Mahdi, Huqûqul Islam wal Insaniyyah
lil-Mar’ati, (Kairo: maktabah Suruq addaulah,2005), hal. 172
Kutipan dari wawancara wartawan Era Muslim
dengan Ir. Rida Salamah, Wawancara dengan Era Muslim
Manshour Fakih, Analisis Gender &
Transformasi Sosial,(Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2007), hal.xii
Muhammad Al-Bahiy, Al-fikrul Islam Al
Hadits Wa shirâtuhu bil-isti’mâril- Gharbiyy, terj. Sa’adi Sa’ad, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1986), hal. 107
Nurun Najwah, Dilema Perempuan dalam
Lintas Agama dan Budaya,(Yogyakarta ,
UIN-Sunan Kalijaga & IISEP-CIDA, 2005), hal. 17
Rasyid Ridlo, Tafsir Almannar, (Beirut : Darul Fikri,
tth), hal.
Ratna Saptari, dkk, Perempuan kerja dan
Perubahan Sosial, (Jakarta: Grafitri, 1997), hal.162
Rosemarie Putnam Tong, Feminist
Thought:Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis,
(Yogyakarta :Jalasutra,2004), hal.106
Simon De Beauvoir, The Second Sex,
transl., (New York: Vintage
Books, 1989), hal. 512
Siti Hariti Sastriyani,(editor), Woman
in Public sector, (Yogyakarta : PSW-UGM
& Tiara Wacana, 2008), hal.ix)
Syamsuddin Arif, Emansipasi Wanita, (http://www.Hidayatullah.com)
Tirmidzi, Kitab Radha’: Fi Khalqi
az-Zauj wal-Mar’ah, (Kutubut-tis’ah), no. 1079
Ukasyah Athibi, Wanita: Tadhûru
akhlakun-Nisa, (Cairo: Maktabah Turâst al-Islami,1993), hal.52
Yusuf Al-Qaradhawy, Malamih al-Mujtama
al-Muslim alladzi Nansyuduhu, (Kairo, Maktabah Wahbah, 1993 ), hal.31
[2] Manshour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial,(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), hal.xii
[3] Kutipan dari wawancara wartawan Era Muslim dengan Ir. Rida Salamah,
Wawancara dengan Era Muslim,
[4] Ibid.
[5]http://www.vhrmedia.com/vhr-news/berita,25-Juta-Perempuan-Aborsi-di-Tahun-2008--2319.html
[6] Ibid.
[7] http://www.
Feminismeislamic.org.
[8]http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=83&Itemid=50
[10] Abu Nasr alhusaini, Almar’ah wa Huqûquhâ fi-l-Islam,
(Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1984), hal., 9
[11] Abu Nasr, ibid, hal.4
[12] Ibid.
[13] Abbas Muhammad Aqqad, Al-Mar’atu fil-Qur’ân, (Beirut:
Mansyrat al-Maktabah al-‘Ashriyyah, tt), hal.107
[14] Deirdre English, The Politics of Porn: “Can Feminists walk the
Line?”Mother Jones, ( ), hal. 20-23
[15] Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam,(Ponorogo: CIOS, 2008), hal. 108
[16] Ann Koedt, The Myth of the Vaginal Orgasm,Notes from the Scond
Year: Women’s Liberation-Mayor Writing of the Radical Feminists, ( 1970
), hal. 41
[17] Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought:Pengantar Paling
Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, (Yogyakarta:Jalasutra,2004),
hal.106
[18] Friedrich Wilhelm Nietzsche, On the Genealogy of Moras, terj.
( New York: Vintage Books, 1969), hal. 44
[19] Yusuf Al-Qaradhawy, Malamih al-Mujtama al-Muslim alladzi
Nansyuduhu, (Kairo, Maktabah Wahbah, 1993 ), hal.31
[20] Syamsuddin Arif, Emansipasi Wanita, (http://www.Hidayatullah.com)
[21] Nurun Najwah, Dilema Perempuan dalam Lintas Agama dan Budaya,(Yogyakarta,
UIN-Sunan Kalijaga & IISEP-CIDA, 2005), hal. 17
[22] Ahmad Fudholi, Perempuan dilembaran Suci:Kritik atas Hadis-hadis
Shahih, (Yogyakarta, Pilar Relegia, 2005), hal. 196
[23] Muhammad Al-Bahiy, Al-fikrul Islam Al Hadits Wa shirâtuhu
bil-isti’mâril- Gharbiyy, terj. Sa’adi Sa’ad, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1986), hal. 107
[24] Syamsuddin Arif, Ibid.
[25] Hamid Fahmi Zarkasyi, Ibid, hal. 107
[26] Abu Nashr, Ibid, hal.45
[27] Abu Nashr, Ibid, hal.45
[28] Imam Ahmad, Al-hastu ‘ala –an-nikah, juz 13, no. 6310
[29] Imam As-Shodiq al-Mahdy,al-Huqûq al-Islâmiyyah wa-al-Insâniyyah
li-al-Mar’ati,(Kairo: Maktabah as-Syurûq ad-Dauliyyah, 2006), hal. 106
[30] Ratna Saptari, dkk, Perempuan kerja dan Perubahan Sosial, (Jakarta:
Grafitri, 1997), hal.162
[31] Rosemarie Putnam Tong, Ibid, hal.110
[32] Ibid,
[33] Dikeluarkan oleh Iman Ahmad 3/158&245, Abu Daud (2050),
an-Nasai di dalam bab an-Nikah, ibnu majah (1846) dan al-Hakim 2/162 dalam
al-Majma, 4/252 &258
[34] Alison M Jaggar, Feminist Politic and Human Nature, (Totawa,
NJ: Rowman &Allanheld, 1983), hal.256
[36] Simon De Beauvoir, The Second Sex, transl., (New York: Vintage Books, 1989), hal. 512
[37] Genea Corea, The mother Machine: Reproduction technologies from
Artificial Insemination to artificial Wombs, (New York: Harper & Row,
1983), hal. 107
[38] Ukasyah Athibi, Wanita: Tadhûru akhlakun-Nisa, (Cairo:
Maktabah Turâst al-Islami,1993), hal.52
[39] Engels, The Origin of the Family, Private Property and the
state, hal. 137
[40] Tirmidzi, Kitab Radha’: Fi Khalqi az-Zauj wal-Mar’ah,
(Kutubut-tis’ah), no. 1079
[41] Siti Hariti Sastriyani,(editor), Woman in Public sector, (Yogyakarta:
PSW-UGM & Tiara Wacana, 2008), hal.ix)
[42] Imam Mahdi, Huqûqul Islam wal Insaniyyah lil-Mar’ati, (Kairo:
maktabah Suruq addaulah,2005), hal. 172
[43] Ahmad Bin Abdul Qodir Ghozi, Haqqul Mar’ati fî Dhouil kitab
was-Sunnah, (ed.), (Kairo: Rabitah Jamiah Islamiyyah,2006), hal.109
[44] Ibid
[45] Husein Syahatah, Ekonomi Rumah Tangga Muslim, terj.(Jakarta:
Gema Insani, 1998), hal. 187
[46] Rasyid Ridlo, Tafsir Almannar, (Beirut: Darul Fikri, tth),
hal.
[47] Tirmidzi, bab An-Nadhrah ilâ-l-mar’ah, no. 2701
Tidak ada komentar:
Posting Komentar