ISLAM DAN DEMOKRASI
Oleh
: M. Abu Arif Aini, S.Ag., M.Pd.
I
Sepintas, mencari keterkaitan antara Islam
dan demokrasi tidaklah mudah, sebab demokrasi berlandaskan pada otoritas
masyarakat sebagai penentu kebijakan dan hukum, sementara Islam mempunyai
doktrin bahwa otoritas dan kebijakan di tangan Tuhan. Islam juga mempunyai ajaran
yang mengharuskan setiap pemeluknya untuk menerapkan hukumnya di manapun dan
kapanpun. Islam adalah sebuah agama, demokrasi adalah
idiologi. Agama dan idiologi merupakan dua entitas yang berbeda, meskipun bisa
terjadi akulturasi nilai-nilai antara keduanya. Sementara itu, ada dua problem tentang
hubungan antara agama dan demokrasi. Pertama, masalah filosofis yakni
jika klaim agama terhadap pemeluknya sedemikian total maka akan menggeser
otonomi dan kemerdekaan manusia yang berarti juga menggeser prinsip-prinsip
demokrasi. Kedua, masalah historis-sosiologis, ketika kenyataannya peran
agama tidak jarang digunakan oleh penguasa untuk mendukung kepentingan
politiknya. Kedua masalah tersebut sering terjadi secara bersamaan, hanya saja masalah
yang kedua bisa saja terjadi dalam hal apapun, sebab yang namanya legitimasi
bisa diperoleh dengan cara apapun termasuk dengan menggunakan agama dan
simbol-simbol lainnya. Yang cukup krusial dibicarakan adalah masalah kedua,
sebab hal ini tidak hanya menyangkut transformasi pemahaman dan kesadaran
keagamaan, tetapi juga kultur dan prilaku politik umat. Jika spekrum masalah masih muncul ketika mengkaitkan
agama dengan demokrasi, dikalangan sebagian umat Islam, Jelas ini satu problem.
Problem berikutnya adalah masih terdapat
varian sikap dan beragam perspektif terhadap nilai-nilai demokrasi, yang
berintikan kedaulatan rakyat. Mengingat terkadang rakyat sendiri tidak
menyadari bahwa di tangannya itu ada kedaulatan, seperti kebanyakan rakyat
negara-negara feodal. Masih terdapat rakyat yang tidak lagi memandang perlunya
kedaulatan yang ada di tangannya, kerena apa yang menjadi kepentingannya toh sudah terpenuhi, seperti terjadi pada sebagian
cukup besar kalangan menengah bawah di Amerika dan negara-negara Barat lainya. Ada
banyak rakyat semakin tidak percaya
bahwa kedaulatan yang ada di tangannya bisa punya arti bagi perbaikan nasibnya,
seperti terjadi juga di Amerika untuk kalangan kelas bawah jelata. Jika di Amerika sendiri ---yang mengklaim
sebagai negara kampium demokrasi--- "wajah" demokrasi dan kesadaran
sebagian rakyatnya belum merefleksikan bagaimana demokratisasi yang das
sollen, bagaiman halnya dengan Indonesia ?
Belum lagi, bila secara filosofis dipertanyakan
: siapa rakyat yang dimaksud ? Jawaban teoritis, "semua warga negara
adalah rakyat", tapi pada tataran empirik selalu saja akan terbentur pada
kenyataan bahwa rakyat itu ada yang di lapis atas yang kuat dan dekat dengan
pusat kekuasaan, ada yang di bawah yang lemah dan jauh dari pusat pengambilan
keputusan, di samping itu tentu ada yang di tengah menjadi yang tidak dekat
tetapi juga tidak terlalu jauh. Dalam ungkapan seharai-hari, "warteg
warung rakyat, bis kota angkutan rakyat" jelas yang dimaksud dengan kata-kata rakyat
adalah mereka yang ada di lapis bawah.Tapi ketika diucapkan "kekayaan
alam, bumi dan laut dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat", yang dimaksud dengan rakyat ternyata berbeda dengan yang
tersebut diatas.
Kalau diamati secara elaboratif, Islam
sebagai ajaran normatif dalam banyak hal mempunyai singgungan terhadap nilai
fundamental dari demokrasi, sehingga interaksi antara keduanya bisa saling
mendukung. Terdapat nilai-nilai Islam yang juga menjadi prinsip-prinsip dasar
demokrasi, kerenanya keberadaan Islam bisa menjadi inspirasi bagi
demokratisasi. Paparan berikut, mencoba menjelaskan fotret pemahaman umat Islam
tentang nilai-nilai demokrasi serta keterkaitannya dengan nilai-nilai Islam.
II
Isu dan diskursus demokrasi mencuat secara
mondial hampir bersamaan waktunya dengan munculnya revolusi industri. Hal ini
barangkali bukan kebetulan, karena adanya revolusi industri telah menimbulkan
berbagai perubahan ---baik dalam lingkup keluarga, hubungan kerja, kehidupan
menjadi lebih bersifat individualistik--- yang memerlukan tatanan sosial baru
yang harus dikembangkan berdasarkan nilai-nilai humanistik. Demikian pula ada
hubungan perubahan yang sistematis antara pelaksanaan demokrasi dan tingkat
kemakmuran suantu bangsa. Semakin makmur suatu bangsa, semakin demokratis
bangsa tersebut.
Asal usul demokrasi dapat ditelusuri
historisnya pada zaman Yunani yang mencoba membentuk negara untuk menjawab
pertanyaan bagaimana suatu sistem politik harus diorganisir sehingga bisa
mensejahterakan warganya. Pada era modern, demokrasi terkenal bersamaan
meletusnya revolusi Prancis untuk membebaskan rakyat dari sistem politik
otoriter, dengan semboyannya : liberte, egalite, dan fraternite.
Semboyan tersebut memberi inspirasi bagi
perkembangan demokrasi sesudahnya ke berbagai
penjuru dunia. Di Amerika Serikat, sosok demokrasi menjadi lebih jelas dengan
semboyannya : government of the people, by the people, and for the people.
Dalam perkembangan lebih lanjut, muncul berbagai varian demokrasi yang
menunjukkan bahwa demokrasi itu sendiri merupakan konsep universal tetapi
tumbuh berkembangan secara dinamis berakulturasi dengan nilai-nilai lokal dan
sesuai kondisi setempat. Misalnya, demokrasai libral di negara-negara kapitalis,
demokrasi sosialis pada masyarakat komunis, dan di Indonesia sendiri menjadi demokrasi
terpimpin pada zaman orla dan demokrasi pancasila di era orba.
Demokrasi sendiri mengandung nilai-nilai
universal yang sebenarnya juga terkandung dalam idiologi dan ajaran manapun,
seperti persamaan, keadilan, HAM, toleransi dan pluralisme. Hanya
saja dalam tataran praktek, demokrasi yang mempunyai akar historis dari Barat,
sering kali harus dibenturkan dengan Islam. Benturan itu terjadi disamping karena
dipandang ada perbedaan otoritas dan sumber legitimasi, juga karena sudah
terbangun konstruk pemikiran dikotomis antara Islam dan Barat di kalangan sebagian
umat Islam sendiri. Watak holistik Islam menyebabkan umat Islam begitu yakin
atas keharusan Islam menjadi alternatif yang paling unggul dari ajaran dan
idiologi lain, termasuk dalam hal sistem politik.
Permasalahannya kemudian terletak pada corak
pemikiran umat Islam mana yang dapat mengantarkan pada hubungan yang harmonis
antara Islam dan demokrasi. Pada wilayah inilah pemahaman umat Islam akan
teruji, terutama pensikapannya terhadap tiga pilar demokrasi, yakni kebebasan,
keadilan dan musyawarah. Yang dimaksud kebebasan di sini adalah terbukanya
peluang kepada semua orang dan berarti pula hak untuk mengatur ekonomi atau
kemandirian diri orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya sendiri sesuai
apa yang dia yakini. Keadilan,
berarti pemberlakuan secara sama terhadap individu atau pun kelompok dihadapan
kekuasaan negara, atau jaminan hak-hak individu warga negara atau hak kolektif
dari masyarakat dihadapan hukum. Adapun musyawarah
(syura) berarti bentuk atau cara memelihara kebebasan dan memperjuangkan
keadilan itu lewat jalur permusyawaratan.
Pemaknaan yang paling sederhana terhadap
demokrasi, khususnya Indonesia, adalah pengembangan sikap dan pemikiran moderat
dan toleran. Karenanya mengharuskan umat Islam Indonesia mempunyai
prinsip-prinsip yang dipegangi, yaitu prisip berada di tengah-tengah (tawassuth),
sikap keseimbangan (tawazun), toleran (tasammuh)
dan adil (i'tidal). Prinsip-prinsip ini harus dipegangi dan
menjadi anutan sehingga dapat menunjukkan kepada tindakan-tindakan yang lebih
baik dalam kehidupan. Cara pandang toleran dan moderat perlu menjadi pegangan
karena segala kebaikan itu pasti terdapat diantara dua ujung ekstrimitas (tatharruf).
Prinsip toleransi menjadi kata kunci bagi
kultur demokrasi, khusunya toleransi terhadap perbedaan pendapat, baik dalam masalah
keagamaan maupun kemasyarakatan dan kebudayaan. Hal ini pada gilirannya akan
bermuara pada sikap amar makruf nahi munkar yang di sini didefinisikan
sebagai "selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik,
berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, menolak dan mencegah semua hal
yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan". Sikap
moderat merupakan ajaran Islam dan Islam tidak membenarkan ekstremisme dan
sikap berlebih-lebihan. Penyimpangan dari karakteristik tawassuth dan i'tidal
inilah yang menimbulkan aliran sempalan , yakni aliran-aliran dalam Islam yang
keluar dari kesepakatan bersama. Islam juga menekankan arti penting
persaudaraan, baik persaudaraan seiman (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan
sesama warga negara (ukhuwah wathaniyah) dan persaudaraan antar sesama manusia
(ukhuwah basyariyah).
Demokrasi sebagai sebuah gagasan yang mengusung
prinsip kebebasan, kesetaraan dan kedaulatan manusia dalam penentuan keputusan prihal
urusan bersama, secara mendasar sejalan dengan ajaran Islam. Hal tersebut
diukur dari dua hal, pertama, pada Islam terdapat ajaran tentang nilai-nilai
kehidupan yang harus dijadikan acuan, yaitu (1) al-musawwah, atau
persamaan derajat manusia dihadapan Allah, bahwa yang membedakan seseorang dari
yang lain adalah amal perbuatannnya (QS. 49 :13), (2) al-hurriyyah, kemerdekaan atau
kebebasan, atau atas nama pertanggungjawaban moral dan hukum oleh setiap
individu ditegakkan, baik di dunia maupun di akhirat (QS. 52 : 21), (3) al-ukhuwah,
persaudaraan sesama manusia sebagai suatu spesies yang diciptakan dari bahan
yang sama dan terlahir dari ibu dan bapak yang sama (QS. 2 : 213), (4) al-'adalah, keadilan yang
berintikan kepada pemenuhan hak-hak mansuia sebagai individu maupun sebagai
warga masyarakat/negara (QS. 16 : 90); (5) al-syura, dimana setiap
warga masyarakat berhak atas partisipasi dalam urusan publik yang menyangkut
kepentingan bersama (QS. 42 : 38).
Kedua,
kompatibilitas Islam dan demokrasi juga dilihat pada ajaranya tentang hak-hak fundamental
yang harus diusahakan pemenuhannya oleh diri sendiri maupun negara yang
meliputi :
a. Hak hidup (
(حفظ النفس
Merupakan jaminan dasar akan keselamatan
warga masyarakat atas tindakan badani di luar ketentuan hukum. Jaminan akan
keselamatan fisik warga msyarakat mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan
hukum, dengan perlakuan adil terhadap semua warga masyarakatnya tampa kecuali,
sesuai dengan hak masing-masing. Hanya dengan kepastian hukum lah sebuah
masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antara sesama
warganya, sedangkan kedua jenis persamaan itulah yang menjamin terwujudnya
keadilan sosial dalam arti sebenar-benarnya.
b. Hak beragama atau
berkeyakinan (حفظ
الدين)
Merupakan jaminan dasar akan keselamatan keyakinan
agama masing-masing, tampa ada paksaan untuk berpindah agama. Jaminan dasar
atas keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat
melandasi hubungan antar warga masyarakat atas dasar sikap saling hormat
menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya krangka sikap tenggang rasa dan
saling pengertian yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan
sejarah dengan penindasan, kesempitan
pandangan dan kezaliman terhadap kelompok minoritas yang berbeda keyakinan
agamanya dari kelompok mayoritas. Sejarah umat manusia membuktikan bahwa
sebenarnya toleransi adalah bagian inherent dari kehidupan manusia. Sikap toleransi lah yang mendorong terjadinya
transformasi sosial dalam skala massif sepanjang sejarah. Bahkan sejarah agama
membuktikan munculnya agama sebagai dobrakan moral atas kungkungan ketat dari
pandangan yang dominan, yang berwatak menindas, seperti dibuktikan oleh Islam
dengan dobrakannya atas ketidakadilan wawasan hidup jahiliyah yang dianut
mayoritas orang Arab waktu itu. Dengan tauhid, Islam menegakkan penghargaan
terhadap perbedaan pendapat dan heteroginitas keyakinan. Jika perbedaan
pendapat dapat ditolerir dalam hal yang paling mendasar seperti keimanan,
tentunya sikap tenggang rasa lebih lagi diperkenankan dalam mengelola perbedaan
pandangan politik dan idiologi.
c. Hak untuk berfikir dan
berprofesi ((حفظ
العقل
Jaminan akan kebebasan berfikir sebagai konsekuensi
dari jaminan akan pilihan bebas untuk menganut agama sesuai keyakinan. Demikan
pula halnya dengan kebebasan dalam menentukan profesi sesuai skill, peluang dan
pengetahuannya, merupakan refleksi dari kebebasan berfikir. Penghargaan kepada
kebebasan memilih profesi berarti kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan
atas resiko sendiri, mengenai keberhasilan yang ingin diraih dan kegagalan yang
membayanginya. Itu berarti peluang untuk menentukan arah hidup lengkap dengan
tanggung jawabnya sendiri, tentunya tetap dalam bingkai alur umum kehidupan
masyarakat. Artinya, harus tetap ada keseimbangan antara hak-hak individu dalam
menentukan profesinya, berdasarkan kebebasan berfikir dan berkeyakinan, dengan
kebutuhan masyarakat.
d. Hak milik individu ((حفظ
المال
Jaminan dasar akan keselamatan hak milik
diletakkan secara proporsional dalam kaitannya dengan hak-hak kolektif
masyarakat. Masyarakat dapat menetapkan kewajiban-kewajiban kolektif bagi
setiap individu sampai batas terjauh kemampuan mereka dan tampa menghilangkan
hak-hak yang melekat bagi setiap diri masing-masing warga masyarakat. Dengan
demikian warga masyarakat secara perorangan memiliki peluang dan sarana untuk
mengembangkan diri melalui cara dan pola yang dipilihnya sendiri, namun tetap
dalam krangka alur umum kehidupan masyarakat.
e. Hak untuk memiliki garis keturunan dan
keutuhan keluarga ((حفظ
النسل
Kesucian dan keutuhan keluarga harus
dilingdungi oleh adanya kepastian hukum, karena keluarga merupakan ikatan
sosial paling dasar. Keluarga tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam
bentuk apapun oleh sistem kekuasaan yang
ada. Dalam kelompok masyarakat lebih besar, selalu ada kecenderungan untuk
melakukan formalisasi ajaran secara berlebihan, sehingga menindas kebebasan
individu dan mempersempit ruang gerak individu warga masyarakat dalam melakukan
eksperimentasi dengan pandangan hidupnya sendiri dan untuk menguji garis batas
kebenaran keayakinan. Islam memberikan
kebebasan untuk melakukan upaya perbandingan antara berbagai keyakinan,
termasuk keimanan kita, untuk membuktikan keampuhan konsep keimanan sendiri. Disamping
kebenaran yang dapat diraih melalui pengalaman esoteris, Islam juga memberi
peluang bagi pencapaian kebenaran melalui proses dialektis. Justru proses
dialektis inilah yang memerlukan derajat
toleransi sangat tinggi dari pemeluk suatu keyakinan, dan Islam
memberikan wadah untuk itu, yaitu lingkungan masyarakat terkecil yang bernama
keluarga.
III
Bertolak dari komitmen untuk melindungi
hak-hak kemanusiaan inilah, Islam mencanangkan keseluruhan syari'at dan
aturan-aturan normatif dan etiknya. Dari masing-masing hak dasar tersebut,
tentunya dapat dipahami kemestian adanya hak-hak lain yang sangat erat terkait
yang menyertainya. Perlindungan hak hidup atau keselamatan fisik tidaklah
mungkin dipenuhi tampa dukungan oleh hak membela diri, hak bebas dari ancaman,
hak bebas dari penyiksaan sewenang-wenang, hak atas lingkungan yang sehat dan
sebagainya. Juga hak kebebasan berfikir sangat erat terkait dengan hak
memperoleh pendidikan dan informasi, hak mengemukakan pendapat dan seterusnya.
Demikian pula hak atas kepemilikan pribadi secara eksistensial terkait erat
dengan hak memperoleh pekerjaan dengan upah yang layak dan adil, hak bebas dari
penggusuran sewenag-wenang dan sebagainya.
Pemberlakuan hak-hak tersebut dalam pandangan
Islam terbuka untuk semua pihak yang berkepentingan tampa melihat perbedaan
agama, budaya, suku bangsa, adat dan sebagainya, karena Islam sendiri datang
sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin). Dengan demikian tidak ada konsep dan pandangan
yang paling demokratis dan humanistik selain pandangan Islam mengenai kebebasan,
keadilan, persamaan, HAM, toleransi, pluralisme dan musyawarah, juga
jaminan Islam tentang lima hak-hak fundamental manusia, yakni hak hidup, hak
beragama dan berkeyakinan, hak berfikir bebas dan memilih profesi, hak milik
pribadi, serta hak untuk memiliki keturunan dan keutuhan keluarga. Tinggal
soal bagaimana fotret implementasinya di lapangan, mari kita diskusikan.
BAHAN BACAAN
1)
Al-Ahkam
Al-Sulthaniyah karya Imam Almawardi
2)
Al-Mustasyfa
karya Imam Gazali
3)
Kontekstulisasi
dokterin Islam dalam sejarah editor Nurcholish Madjid.
4)
Agama,
demokrasi dan transformasi sosial editor M. Masyhur Amin dan M. Nadjib.
5)
Islam
Indonesia menatap masa depan
terbitan P3M Jakarta.
6)
Humanisme
dalam Islam karya Marcel A. Boisard
7)
Islam
doktrin dan peradaban karya Nurcholish
Madjid
8)
Membumikan
Islam oleh M. Syafi'i Ma'arif
9)
Kontekstualisasi
Al-Qur'an oleh K.H. Umar Syihab.
10)
Fikih Sosial
oleh K.H. Sahal mahfudz.
11)
Agama di
tengah kemelut editor Hasan M. Noer.
12)
Rekonstruksi
dan renungan relegius Islam editor
Muhammad Wahyuni Nafis.
13)
Islam
tradisi di tengah kancah dunia modern
kerya Sayyed Hossein Nasr.
14)
Agama di
tengah sekulerisasi politik oleh Donald Eugene Smith.
15)
Rekayasan
masa depan peradaban muslim oleh
Ziauddin Sardar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar