Diskursus Seputar Makna
Ittiba’ al-Sunnah
Oleh: Miftahul Huda[1]
A. Hadits dan Sunnah
Sebagai narasi mengenai sejumlah
sisi kehidupan Rasulullah SAW keberadaan Hadits amat penting dalam kehidupan
umat Islam. Hal itu antara lain terlihat pada deskripsi al-Quran sebagai
berikut:
a. Rasulullah SAW bertugas menjelaskan tentang isi kitabullah[2]
b. Rasulullah SAW adalah figur yang harus diteladani dan diikuti [3]
c. Rasulullah SAW adalah figur yang harus ditaati [4]
d. Rasulullah SAW diberi wewenang oleh Allah SWT untuk menetapkan
peraturan dan menjelaskan makna ayat-ayat al-Quran [5]
Berdasarkan
ayat-ayat al-Quran tersebut, para ulama menyimpulkan bahwa mengamalkan ajaran
Islam hanya berdasarkan al-Quran saja (tanpa Sunnah rasul sama sekali) adalah
tidak mungkin dan tidak dibenarkan. Oleh karena itu menurut Imam Syafii orang
yang menerima hukum yang ditetapkan Allah harus pula menerima sunnah rasul-Nya dan
menerima ketetapan hukum yang ada di dalamnya. Dan sebaliknya menerima sunnah
rasul berarti juga menerima perintah Allah[6].
Dengan kata lain mengikuti perintah dan jejak rasulullah SAW merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
kepatuhan kepada Allah SWT.
Setelah
rasulullah SAW wafat, kepatuhan kepadanya diwujudkan dengan cara mengikuti
keteladanan hidupnya (uswah/sunnah) yang dapat diketahui melalui
ayat-ayat al-Quran dan informasi mengenai kehidupan nabi.. Oleh karena itu umat Islam sejak awal telah sepakat
untuk menerima dan mengamalkan sunnah-sunnah rasul itu. Hukum-hukum yang mereka
amalkan di samping disimpulkan dari ayat-ayat al-Quran juga didasarkan pada
ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam sunnah.[7]
Menurut para
ulama hadits (muhadditsin), pengertian Hadits adalah semua informasi tentang sabda, perbuatan, ketetapan
atau sifat (watak budi atau jasmani) Nabi Muhammad SAW, baik sebelum diutus
Allah menjadi rasul-Nya (bi’tsah) maupun sesudahnya. Berdasarkan
pengertian ini sejumlah ulama berpandangan bahwa dari segi makna, istilah Sunnah
adalah sinonim dengan Hadits[8]
Namun
demikian, untuk keperluan penajaman analisis dan sistematisasi pembahasan,
seharusnya dibedakan dengan jelas antara keduanya. Hadits adalah narasi
literal para sahabat mengenai kehidupan nabi yang berisi reportase mengenai
sabda (hadits qauly), perbuatan (hadits fi’ly), ketetapan (hadits
taqriry) atau sifat-sifat nabi baik watak budi maupun jasmani (hadits
shifaty) Narasi tersebut ditransmisikan (riwayah) secara berantai
dari generasi ke generasi, secara lisan, tulisan atau keduanya, Sedangkan Sunnah adalah pandangan,
teladan hidup dan inti pesan moral yang diajarkan oleh nabi, yang isinya
disimpulkan dari ayat-ayat al-Quran dan informasi mengenai kehidupan nabi,
termasuk hadits.
Dengan
demikian sunnah memiliki cakupan makna yang lebih luas dari sekedar
kegiatan lahiriah harian sebagaimana yang tercatat dalam teks hadits, karena
sunnah juga mencakup keyakinan/akidah, pandangan dunia, peinsip-prinsip moral/akhlaq,
perbuatan konkret: (ritual dan sosial), perjuangan dan cita-cita
sosio-moral nabi. Sumber-sumber untuk memahami Sunnah meliputi al-Quran,
Hadits (Qauli, Fi’li, Taqririe,
sifati), Sirah Nabawiyah, Sejarah, dan Ilmu Pengetahuan.
Sekalipun
secara prinsip umat Islam sepakat untuk menggunakan hadits rasulullah SAW
sebagai bagian dari sumber hukum Islam yang utama, namun dalam memahami pesan sunnah
dan uswah yang terkandung dalam suatu teks hadits terdapat perbedaan
pandangan di antara para ulama, yang sekurang-kurangnya dalam dua aspek:
a.
Aspek kriteria penilaian atas validitas suatu teks hadits,
dan penerimaannya sebagai dasar hukum (hujjah).
b.
Aspek pola apresiasi dan metode
pemahaman terhadap pesan moral dan hukum (istinbath al-ahkam) yang
terjandung dalam suatu teks hadits yang telah dianggap valid/sahih.
Perbedaan
pandangan tersebut menyebabkan banyak perbedaan kesimpulan hukum di berbagai
cabang kajian Fikih, dan acap kali mendorong munculnya persaingan dan
klaim-klaim kebenaran eksklusif oleh kelompok-kelompok kaum muslimin, sekalipun
masing-masing sama-sama mengklaim berpegang kepada sunnah.
B. Validitas dan Akseptabilitas Teks Hadits
Masalah cara pendekatan dan
metode untuk menilai apakah sebuah teks hadits valid (sahih) atau tidak,
telah melahirkan perpektif dan cara pandang yang berbeda-beda di antara para
ulama, yang secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam dua pola yaitu
metode kritik sanad dan metode kritik matan.
Metode krtik sanad
adalah metode yang digunakan untuk menilai kesahihan teks hadits berdasarkan
kuantitas dan kualitas orang-orang yang meriwayatkannya (rawi) dan kebersambungan (iitishal)
rangkaian rawi tersebut dari generasi ke generasi secara berantai sejak
masa sahabat nabi.
Berdasarkan kuantitas rawi-nya
di semua tingkatan (thabaqat) dalam rangkaian sanad-nya, hadits
dapat dibedakan menjadi hadits mutawatir yang memiliki nilai validitas
paling tinggi dan hadits ahad.
Kemudian hadits ahad dibagi lagi secara berurutan berdasarkan
kuantitas rawi-nya rmenjadi hadits-hadits masyhur, ‘aziz dan
gharib. Sedangkan kualitas para rawi
tersebut ditentukan oleh keberadaan sifat tsiqah (terpercaya) yang
mengandung dua elemen sifat yakni integritas pribadi (al-‘adl) dan kekuatan daya ingat (al-dhabth). Di samping kuantitas para rawi-nya
kualifikasi suatu teks hadits juga ditentukan oleh kebersambungan (ittishal)
semua mata rantai rawi tersebut dari generasi ke generasi dan sejumlah
kriteria lainnya.
Kemudian berdasarkan “nilai
kumulatif” menurut semua kriteria tersebut hadits ahad dikelompokkan
berdasarkan tingkatan kualitasnya menjadi
shahih, hasan atau dha’if, sementara hadits mutawatir berada pada
tingkatan yang tertinggi. Para ahli hadits (muhadditsin) amat berjasa
dalam melakukan inventarisasi, seleksi dan kodifikasi (pembukuan) teks-teks
hadits melalui pendekatan ini, namun demikian para ulama ahli hadits tersebut
juga tidak sepenuhnya sepakat mengenai kriteria yang lebih detail dalam
penilaian melalui kritik sanad ini.[9]
Sedangkan metode kritik matan.adalah cara
menilai kesahihan suatu teks hadits tidak berdasarkan kualifikasi orang-orang
yang meriwayatkannya tetapi berdasarkan susunan kalimat dan isi pesan yang
terkandung di dalamnya. Dengan membandingkan susunan redaksional dan isi pesan
suatu hadits dengan makna ayat-ayat al-Quran, teks-teks hadits yang lain dan
prinsip-prinsip syariah secara umum kemudian disimpulkan apakah suatu teks
hadits dianggap sahih atau tidak.
Jika makna hadits tersebur sejalan dengan ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits
lainnya maka secara substansial hadits tersebut dianggap sahih dan dapat
diterima sebagai hujjah hukum namun jika bertentangan maka hadits
tersebut dutolak.
Perbedaan pola pendekatan dan
kriteria penilaian pada masing-masing metode tersebut pada gilirannya akan
membuka banyak peluang munculnya perbedaan kesimpulan di antara para ulama
mengenai status dan kualitas suatu hadits. Misalnya suatu teks hadits yang
menurut ulama tertentu dinilai sahih boleh jadi dinilai hasan
oleh ulama lainnya, karena pengkajian dan penilaian tersebut juga merupakan bagian
dari ranah ijtihad
Di samping itu para ulama juga
berbeda pendapat mengenai kualifikasi minimal dari hadits yang dapat digunakan
sebagai dasar (hujjah) dalam penetapan hukum syariat. Para ulama pada
umumnya sepakat dalam penggunaan hadits mutawatir dan hadits shahih
sebagai dasar (hujjah) bagi ketentuan hukum syariat. Namun mereka
berbeda pandangan dalam hal penggunaan hadits hasan dan dha’if antara
yang menolak sepenuhnya, menerima dengan persyaratan dan batasan yang ketat
hingga yang menerima dengan persyaratan yang cenderung agak longgar..[10]
Ada juga perbedaan pendapat
mengenai status hadits qauly dan lainnya. Tokoh ulama mazhab zahiriyah,
Ibnu Hazm dalam karyanya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, misalnya berpendapat bahwa yang dapat dianggap sebagai
hujjah yang nyata hanyalah ucapan-ucapan nabi. (hadits qauly).
Karena nabi diperintahkan menyampaikan perintah-perintah Allah maka tabligh
itu pada dasarnya dilakukan melalui ucapan. Tindakan-tindakan nabi (hadits
fi’ly) pada dasarnya sebatas uswah
hasanah , sedangkan sikap dan ketetapan nabi (hadits taqriry) nabi sebatas isyarat pembolehan (ibahah). [11]
Ada kalanya juga suatu hadits
yang telah dinilai sahih dari sisi sanad tidak bisa diterima (ghair
maqbul) sebagai dasar hukum (hujjah) atas suatu masalah. Misalnya hadits sahih yang isinya
sudah dihapuskan (mansukh), dikalahkan (marjuh) oleh teks hadits
lain atau dalil lain yang lebih kuat (al-rajih) atau yang isinya tidak
relevan dengan masalah yang tengah ditangani. Masalah ini juga menjadi faktor
yang lain lagi bagi kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat karena masalah nasakh,
keharusan tarjih, metode dan kriteria yang digunakan untuk menilainya
juga menjadi topik perbedaan pendapat di antara para ulama..
C. Pola Apresiasi Terhadap Teks Hadits Sahih
Suatu hadits yang teksnya telah disepakati validitasnya (shahih) tidak dengan sendirinya disepakati pula oleh semua ulama mengenai isi ajaran, pesan moral dan kesimpulan hukum dan kandungan sunnah yang terkandung di dalamnya. Hal itu karena adanya perbedaan perspektif mengenai hal-hal berikut:
1. Lingkup aspek yang harus diikuti
Aspek ini
terkait dengan pertanyaan apakah isi suatu teks hadits merupakan bagian dari
esensi ajaran/pesan utama syariat atau hanya merupakan deskripsi atas fakta
sosial, kultural atau kecenderungan/selera pribadi yang secara substansial
tidak mengandung pesan syariat (konsep al-Sunnah al-Muttaba’ah).
Misalnya perbedaan pandangan mengenai teks-teks Hadits tentang mencukur kumis,[12]
memanjangkan jenggot, kepemimpinan orang Quraisy[13],
kepemimpinan wanita[14],
mengenakan cincin perak di jari manis,[15]
warna pakaian, selera makanan, pola menyisir rambut, [16] dan
sebagainya. yang ditemukan dalam kitab-kitab sahih.
Sekalipun dari
sisi sanad banyak teks hadits sahih mengenai hal-hal tersebut,
namun para ulama berbeda pendapat apakah kandungan makna hadits-hadits seperti
itu termasuk dalam kategori sunnah yang wajib selalu dipatuhi dan
dilaksanakan oleh segenap kaum muslimin atau tidak. Jika isi semua teks hadits
yang sahih dianggap sebagai bagian dari sunnah maka makna yang
terkandung dalam teks-teks hadits
tersebut juga termasuk di dalamnya dan harus diamalkan oleh segenap kaum
muslimin karena menjadi bagian dari syariat dan uswah yang wajib
diteladani.
Sebaliknya
jika lingkup hadits yang diambil hanya yang berkaitan secara langsung dengan
masalah keagamaan (al-masa’il al-diniyyah) maka hadits-hadits
sebagaimana yang dicotohkan tersebut tidak harus diamalkan secara ketat. Hanya
saja, dalam konteks ini diperlukan
pembedaan yang jelas dan sistematis antara aspek-aspek kehidupan mana yang
termasuk dalam urusan keagamaan dan urusan dunia, serta konsep penerapan hadits
di kedua bidang tersebut. Tanpa konsep pembedaan tersebut lagi-lagi akan banyak
terjadi perbedaan pandangan dalam penerapan teks hadits di dalam kehidupan
sosial.
2.
Penempatan hadits dalam kehidupan
Masalah ini
berkaitan dengan perspektif tentang bidang kehidupan yang menjadi fokus
perhatian suatu hadits. Hal itu karena
banyak teks hadits yang ternyata dapat digunakan sebagai dalil untuk menangani
masalah yang berbeda-beda. Para ulama muhadditsin membukukan hadits
dengan menempatkan teks-teks hadits pada bab-bab pembahasan tertentu
berdasarkan pilihan tema dan sistematika hasil ijtihad mereka masing-masing.
Oleh karena itu tidak mengherankan jika ada
teks hadits yang dibukukan dalam kitab yang satu tetapi tidak dibukukan dalam kitab yang lain atau
teks hadits sama ternyata ditempatkan pada bab pembahasan yang berbeda antara
literatur hadits yang satu dengan lainnya.
Sebagai
contoh, misalnya dalam Shahih Muslim terdapat
sebuah teks hadits yang diriwayatkan oleh
‘Aisyah (ummul mu’minin) RA. sbb.:
Sungguh, suatu ketika, di hadapan Rasulullah SAW.
pernah dihadirkan sejumlah bocah (bayi), lalu beliau mendoakan dan melakukan
tahniek atas mereka (mengunyah kurma lalu menyuapkan ke mulut bayi sambil
mendoakan). Kemudian salah satu di antara mereka diberikan (untuk beliau
pangku). Lalu bocah tersebut buang air kecil di pakaian beliau. Rasulullah SAW
minta diambilkan air untuk dicipratkan (disemprotkan) ke pakaian beliau tanpa
(melepas dan) mencucinya.”
Dalam Shahih
Muslim, teks hadits tersebut diletakkan di bawah judul bab “Ketentuan hukum air seni bayi dan tata
cara membersihkanya”,[17] yang
kemudian menghasilkan konsep mengenai najis
mukhaffafah yang diterima oleh sejumlah besar ulama Fikih, yakni najis
yang paling ringan di mana cara mensucikannya tidak perlu disiram atau dicuci
melainkan cukup diciprati air bersih sekalipun tidak sampai mengalir. Dari
hadits tersebut muncul pemikiran dari sejumlah ulama bahwa yang termasuk di
antara najis jenis ini adalah air seni bayi laki-laki yang usianya belum
genap dua tahun dan belum mengkonsumsi apapun selain air susu ibunya.
Namun jika
dikaji dari perspektif lain, sebenarnya teks hadits tersebut bisa saja
“diabaikan” khusus dalam konteks kajian mengenai kebersihan (thaharah)
dengan memilih teks-teks lain (baik al-Quran maupun teks hadits) yang lebih
menekankan perintah menjaga kebersihan. Dalam riwayah tersebut bisa saja
dikatakan bahwa dalam hadits tersebut sebenarnya rasulullah SAW tidak sedang
menyampaikan ajaran tentang thaharah karena beliau tidak menyatakannya
secara eksplisit, melainkan tema yang lain.
Dengan kata lain hadits tersebut tetap dipergunakan tetapi bukan dalam
masalah thaharah melainkan ditempatkan pada bidang lain.
Apalagi jika
dilihat konsep kriteria najis mukhaffafah yang dikembangkan para Fuqaha,
mengapa harus bayi dengan jender laki-laki, dari mana munculnya batas
usia dua tahun atau persyaratan hanya mengonsumsi air susu ibu ?.
Rumusan kriteria seperti itu tentu saja merupakan hasil rasionalisasi dan
konstruksi historis yang muncul sesudahnya karena teks haditsnya tidak
menyebutkan hal itu secara tegas.
Dengan
perspektif yang berbeda teks hadits tersebut sebenarnya bisa saja tetap
digunakan namun diletakkan di bawah judul bab yang berbeda, misalnya bab
mengenai “politik” sehingga menghasilkan pesan bahwa pemimpin umat harus
senantiasa menjaga kedekatan dan memberikan perhatian serius terhadap nasib
seluruh rakyatnya termasuk para fakir miskin, wanita dan anak-anak balita.
Sedangkan dalam konteks thaharah dipilih teks hadits lain yang lebih
sesuai dengan perintah menjaga lebersihan dan kesehatan.
Ilustrasi diatas menggambarkan bahwa dalam
bentuknya yang ada sekarang ini, literatur
yang berisi teks-teks hadits yang menjadi salah satu sumber utama ajaran
syariat sesungguhnya telah mengalami proses metamorfosis historis yang panjang
dan berliku-liku. Fakta tersebut juga menegaskan kembali pengertian bahwa
makna-makna yang secara harfiah termuat dalam teks-teks hadits tidak bisa
dianggap sebagai representasi sepenuhnya dari ajaran dan misi risalah
Muhammad SAW.
3.Sunnah: Makna Literal Hadits sepenuhnya atau tidak
Masalah
berikutnya adalah bagaimana caranya memahami pesan-pesan sunnah yang
terdapat dalam teks-teks hadits. Sebagian ulama membatasi makna sunnah
pada makna literal teks-teks hadits
Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali menyatakan: “Sunnah adalah jalan
yang dilalui, termasuk di dalamnya adalah berpengaruh pada apa yang diajarkan
oleh rasulullah SAW dan para al-khulafa al-rasyidun berupa keyakinan,
amalan dan ucapan itulah bentuk sunnah yang sempurna”. [18]
Syaikhul Islam
Ibnu Taymiyah juga menyatakan Sunnah adalah yang ditegaskan di atas
dalil syariat yakni ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya baik itu perbuatan
beliau atau perbuatan yang belum pernah beliau lakukan dan tidak pula pernah
dilakukan di masa di masa hidup beliau karena pada masa itu tidak ada hal yang
mengharuskan itu dilakukan atau karena ada hal yang menghalanginya. Dengan pengertian itu, (sunnah) berarti mengikuti jejak
rasulullah SAW lahir dan batin dan mengikuti jalan hidup orang-orang yang
mendahului dari generasi awal umat ini dari kalangan muhajirin dan anshar.[19]
Berdasarkan
penjelasan tersebut pengertian sunnah dibatasi pada makna literal teks-teks hadits; yakni hal-hal yang
disebutkan secara eksplisit dalam kalimat-kalimat redaksi (matan) hadits
baik melalui perkataan maupun perbuatan nabi. Mengamalkan sunnah artinya
melakukan apa saja yang secara eskplisit disebutkan dalam suatu teks Hadits,
baik yang menyangkut masalah akidah, prinsip moral maupun perbuatan-perbuatan
konkret. Dengan demikian hal-hal yang tidak tercakup dalam pengertian tersebut
(baik berupa kepercayaan, perkataan, perbuatan dan sikap), semuanya tidak dapat
dimasukkan dalam pengertian sunnah, atau
biasanya disebut dengan istilah bid’ah.
Pola pemikiran
tersebut bertolak dari paradigma bahwa semua ketentuan hukum harus bersumber
dari apa yang diturunkan oleh Allah dan melalui firman-firman dan keteladanan
rasul-Nya, Allah telah memberikan penjelasan secara sempurna atas semua sisi
ajaran syariat, baik yang terkait dengan prinsip-prinsip akidah dan etika
fundamentalnya maupun konsep implementasinya dalam kehidupan sosial sehingga
tidak lagi memerlukan pengembangan konsep dan akomodasi elemen apapun dari
luar. [20]
Sedangkan para
ahli hukum lainnya cenderung memahami teks-teks hadits (dan juga
ayat-ayat al-Quran) lebih luas dari makna literalnya dengan melakukan
pengembangan konsep, baik pada tataran konsep teortik intelektual maupun
implementasinya dalam kehidupan sosial.
Metode-metode Qiyas, Istihsan, Mashlahah al-Mursalah, dll.
merupakan contoh-contoh metode yang digunakan oleh para ulama untuk
“memperluas” cakupan pengertian sunnah terhadap masalah-masalah yang t
secara eksplisit-literal idak disebutkan dalam ayat-ayat al-Quran dan teks-teks
hadits. Misalnya para ulama menyimpulkan
ketentuan hukum wajib zakat bagi pemilik peternakan kerbau, sekalipun hal itu tidak
disebutkan secara eksplisit dalam al-Quran dan hadits. Ketentuan tersebut
mereka simpulkan dari spirit syariat secara umum (maqashid al-syariah)
untuk mendorong terciptanya keadilan sosial, sedangkan dalam aturan
implementasinya secara teknis mereka samakan dengan ketentuan zakat bagi pemilik
sapi dengan menggunakan metode Qiyas.
Pola pemikiran
seperti ini bertolak dari pandangan fundamental bahwa sekalipun sang Penentu
syariat (al-Syari’) telah menjelaskan semua ajaran syariat, namun untuk
memahaminya secara komprehensif, meraih tujuan-tujuan moralnya yang utama dan
menerapkannya secara efektif dalam kehidupan sosial di masa sekarang dan di
masa depan diperlukan ikhtiar-ikhtiar untuk pengembangan konsep, sistematisasi
pemikiran dan penyesuaian-penyesuaian pada batas-batas tertentu sesuai dengan konteks kebutuhan,
tantangan dan tahapan perkembangan sosial di masing-masing lingkungan
masyarakat.
Di samping itu
jika tidak dilakukan pengembangan konsep dan penyesuaian tertentu dalam
implementasinya, teks syariat yang jumlahnya terbatas tidak akan dapat menjawab
semua permasalahan hidup umat manusia yang jumlahnya sangat banyak dan terus
berkembang. Melalui pola pemahaman ini juga, berbagai kekayaan kultural dan
modal sosial (social capital) yang sudah ada di setiap lingkungan sosial
tetap dapat dipertahankan dan dimanfaatkan dalam setiap ikhtiar pengembangan
sosial sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental syariat.
Perbedaan pola
berpikir tersebut menyebabkan perbedaan cara pandang pada kebermaknaan
pernyataan-pernyataan literal dalam banyak teks hadits. Misalnya mengenai keharusan membuat barisan
shalat yang rapat hingga bahu dan telapak kaki para jamaah saling bersentuhan
satu sama lain seperti yang disebutkan dalam suatu hadits.[21] Jika
pendekatan literal diterapkan secara konsisten maka ketentuannya memang harus
demikian (hingga bahu dan telapak kaki mereka saling bersentuhan satu sama
lain), Namun jika pendekatan yang dipilih tidak terlalu literal, maka yang
penting adalah barisan (shaf) dibuat cukup rapat sehingga antara
orang satu dengan yang berada di sebelahnya tidak cukup untuk ditempati seorang
jamaah lagi di tengahnya, hal itu sudah bisa dianggap cukup sekalipun kaki
mereka tidak saling menginjak dan bahu mereka pun tidak saling bersentuhan.
Apalagi dalam hadits tersebut tidak memuat pernyataan rasulullah SAW secara
langsung.
4. Masalah pilihan dan korelasi antar teks syariat
Pengkajian
atas makna suatu teks syariat seringkali berhadapan dengan masalah keragaman (ta’addud)
dan pertentangan (ta’arudl) teks syariat yang sama-sama dianggap valid
dan akseptabel tetapi berbeda-beda arah pengertiannya, baik karena memang
ditemukan teks yang makna literalnya berbeda atau karena perbedaan sudut
pandang. Perbedaan itu bisa terjadi antar ayat al-Quran, antara teks hadits
dengan ayat al-Quran atau antar sesama teks hadits yang sama-sama dianggap
sahih. Apalagi jika teks-teks tersebut
sama-sama tidak menjelaskan masalah yang dikaji secara eksplisit.
Menghadapi
keragaman teks syariat tersebut para ulama memiliki sikap yang berbeda-beda. Menurut sejumlah besar ulama (jumhur)
masalah tersebut harus ditangani melalui tiga pilihan pendekatan secara
berurutan; yaitu mengamalkan semua dalil tersebut dan mengkompromikannya dengan
cara mencari pengertian/makna yang dapat mengakomodasi semuanya (al-jam’u wa
al-taufiq), memilih salah satu dalil yang menurut kriteria tertentu lebih
unggul (al-tarjih), dan mengambil dalil yang dari sisi kronologi
kesejarahan (al-tartib al-tarikhy)
datang lebih belakangan dengan asumsi dalil tersebut menghapuskan
dalil-dalil yang datang lebih dahulu (al-nasakh). Para ulama Hanafiyah
menawarkan pola yang mirip tetapi berbeda dalam urutannya. Menurut meneka
masalah ini ditangani dengan urutan nasaklh,
tarjih, al-jau wa al-taufiq. Jika tidak dapat dilakukan maka yang ditempuh
adalah mengabaikan semua dalil tersebut (tasaquth al-dalilain) dengan
mencari dalil lainnya.
Misalnya
pandangan para ulama mengenai status hukum melakukan langkah-langkah medis
untuk mencegah kehamilan dalam program keluarga berencana (KB / family
planning) khususnya penggunaan IUD (Intra Uterine Device) sebagai
alat kontrasepsi. Sebagian ulama menfatwakan hukum haram berdasarkan ayat
al-Quram[22]. dan sejumlah
hadits. Namun para ulama lainnya yang
justru menganjurkan atau minimal membolehkan juga menggunakan dasar ayat
al-Quran[23] dan teks hadits pilihan
mereka sendiri.
Demikian pula
hadits mengenai doa qunut apakah dilakukan sebelum ruku’atau
sesudahnya. Imam Bukhari membukukan hadits-hadits mengenai hal ini di bawah
judul bab “qunut sebelum ruku’ dan sesudahnya” (bab al-qunut qabl
al-euku’ wa ba’dahu) dengan mengkodifikasikan hadits-hadits yang menguatkan
kedua-duanya [24]. Masih banyak lagi hadits mengenai
bacaan-bacaan doa dan zikir tertentu dan
mengenai berbagai masalah keagamaan dan
masalah sosial lainnya yang sama-sama memiliki dasar teks syariat,
sehingga penyelesaiannya lebih merupakan masalah pilihan dari pada penilaiaan
sistematis yang diterapkan secara konsisten.[25]
5 Perspektif Mengenai Intensitas Perintah dan Larangan dalam Hadits
Masalah ini
berkaitan dengan intensitas dari suatu perintah (apakah menghasilkan kesimpulan
hukum wājib atau sunnah) dan larangan (apakah mengarah pada hukum
harām atau makrūh) yang terdapat dalam teks hadits dan
signifikasinya terhadap suatu masalah hukum. Misalnya hadits tentang
“keharusan” adanya wali dalam pernikahan terdapat di semua kitab hadits sahih
sehingga para ulama tidak meragukan kesahihannya. Namun mereka berbeda pendapat
apakah keberadaan wali nikah itu merupakan keharusan yang menjadi bagian dari rukun
(yang menentukan sahnya nikah) atau sebatas elemen penyempurnaan saja (sehingga
tanpa keberadaan wali pun nikah tetap sah sekalipun kurang sempurna).
Demikian pula
ketentuan hukum mengenai shalat berjamaah dan mandi pada hari Jumat. Imam
Bukhari menempatkan hadits mengenai shalat berjamaah di bawah judul “bab kewajiban
shalat berjamaah” (bab wujub shalat al-jama’ah)[26] dan Imam Muslim
dalam shahih-nya meletakkan hadits mengenai mandi di bawah judul “bab kewajiban
mandi Jumat” (bāb wujūb ghusl al-Jum’ah)[27] Sekalipun para ulama sepakat bahwa shalat
berjamaah dan mandi pada hari Jumat diperintahkan oleh rasulullah SAW
berdasarkan kandungan hadits tersebut, namun ternyata sebagian besar mereka
tidak menyatakan hukum wajib pada kedua hal tersebut (sebagaimana judul
bab pada Shahih Bukhari dan Shahih Muslim), melainkan sebatas
hukum sunnah yang amat dikuatkan (sunnah mu’akkadah). [28]
D. Implementasi Sunnah dalam Kehidupan Sosial
Perbedaan
perspektif mengenai berbagai aspek tersebut di atas dengan sendirinya
berpotensi menimbulkan perbedaan-perbedaan kesimpulan hukum di antara para
ulama mengenai berbagai masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Banyak sekali
ragam aktivitas keagamaan dan kemasyarakatan yang oleh ulama tertentu dipandang
sebagai bagian dari sunnah yang seharusnya dilaksanakan dan dikembangkan
namun justru dipandang menyimpang atau bid’ah oleh kelompok lainnya,
karena masing-masing menggunakan pilihan dalil teks atau sudut pandang yang
berbeda. Kurangnya sikap toleransi pada sebagian kaum muslimin, menyebabkan
keragaman pemikiran seperti itu masih sering menimbulkan klaim kebenaran eksklusif,
persaingan, serta menyimpan potensi ketegangan di antara kaum muslimin sendiri
dan antara sejumlah kelompok kaum muslmin dengan komunitas di luar mereka.
Jika kajian
kemudian diarahkan pada fakta implementasinya dalam kehidupan umat Islam maka
pengamalan sunnah akan tampak semakin variatif lagi. Dalam realitas
sosial yang sesungguhnya, fenomena saling pinjam dan terjadinya kombinasi
secara tidak sistematis diantara berbagai pendapat yang berbeda sebenarnya
telah menjadi hal yang biasa. Seseorang yang secara teoretik, pada ranah wacana, berpegang teguh pada pola
pemikiran tertentu pada umumnya tidak mengamalkan pola pemahamannya itu secara
konsisten dalam semua aspek kehidupan mereka dan dalam kehidupan keluarga mereka,
baik karena kemauan sendiri ataupun karena adanya hambatan-hambatan sosiokultur
di sekitarnya.
Banyak faktor
yang mempengaruhi hal ini seperti lingkungan alamiah, lingkungan sosial, latar
belakang keilmuan, perkembangan IPTEK, tekanan ekonomi, format tatanan politik,
dan perkembangan kebudayaan. Di samping itu dinamika perjalanan hidup
masing-masing individu dan situasi kehidupan keluarganya juga amat berpengaruh.
Berbagai
faktor tersebut secara kumulatif menjadikan pengamalan sunnah dalam
kehidupan kaum muslimin berjalan secara relatif otonom menurut alur logikanya sendiri dan tidak sepenuhnya
berjalan paralel dengan wawasan dan pandangan teoretik dari masing-masing
individu. Hal itu karena penerapan suatu
konsep pemikiran dalam kehidupan sosial selalu memerlukan waktu, ruang, kesempatan, momentum dan dukungan yang
memadai dari faktor-faktor eksternal.
Dari kajian
ini juga dapat diketahui bahwa ternyata pendapat-pendapat yang saling berbeda
tidak selalu dapat dilihat secara jelas dengan kaca mata hitam-putih,
benar-salah, atau sunnah- bid’ah sepenuhnya, karena banyak perbedaan
pendapat yang sesungguhnya lebih merupakan masalah ijtihadiyyah yang
disebabkan oleh perbedaan pilihan teks, perspektif dan metodologi dalam
berijtihad.
Terdapat
kecenderungan kuat pada setiap individu dan komunitas untuk memilih
pendapat-pendapar yang dari sudut pandangnya masing-masing lebih menguntungkan,
menenangkan batin atau membenarkan dirinya. Oleh karena itu sebanarnya tidak
ada dalam kehidupan masa kini, satu pun pribadi, gerakan, kelompok, lingkungan sosial
dan bahkan suatu negara, yang secara khusus dapat mengklaim dirinya sebagai
representasi sepenuhnya dari pemahaman dan implementasi nilai-nilai moral sunnah
yang benar-benar ideal. Suatu telaah yang mendalam akan selalu memperlihatkan
adanya sisi-sisi yang dapat dianggap sebagai kelebihan dan sisi kekurangannya
sebagai manusia pada masing-masing kelompok umat tersebut.
Dalam suasana
kehidupan yang semakin majemuk seperti
sekarang ini, terdapat pula keperluan yang kian mendesak untuk mengembangkan
konsep-konsep pemiaknaan dan pengamalan sunnah di berbagai aspek
kehidupan yang tidak hanya dapat dijelaskan secara teoretik dari sisi
sumber-sumbernya dan logika istinbath-nya, tetapi secara praktis sedapat
mungkin juga dapat diterapkan dalam kehidupa nyata, berdampingan dengan tatanan
sosial yang sudah ada demi mempertahankan suasana damai dan harmoni dalam
kehidupan sosial yang dibutuhkan oleh segenap warga masyarakat.
E. Penutup
Deskripsi di
atas menggambarkan secara garis besar bahwa faktor penyebab perbedaan pemahaman
atas sunnah dapat diklasifikasi dalam dua aspek. Pertama, aspek
penilaian atas validitas (shihhah) teks hadits dan akseptabilitasnya (qabul)
sebagai dasar hukum (hujjah). Kedua, aspek pola pendekatan dan
metode pemahaman terhadap pesan moral dan hukum (istinbath al-ahkam)
yang terkandung dalam teks hadits yang dianggap valid/shahih.
Pada ranah
implementasinya dalam kehidupan sosial, faktor lain yang amat menentukan adalah
konteks sosiologis dengan semua elemennya (ekonomi, politik, kebudayaan,
pendidikan, ekologi dll) yang melatari proses penerapannya di setiap lingkungan
sosial. Hal ini menyebabkan peta sosial dalam implementasi sunnah tidak
sepenuhnya paralel dengan peta sosial dalam ranah wacana dan diskursus
keilmuan.
Dalam
menyikapi perbedaan pendapat semacam itu, dua hal yang perlu digarisbawahi
adalah. Pertama urgensi mengembangkan sikap saling toleransi diantara
kaum muslimin yang pendapatnya berbeda. Kedua, dalam memahami dan
mengamlkan sunnah di samping aspek legal-formalnya, amat penting pula
memperhatikan aspek sosio-moral serta tujuan-tujuan syariat yang lebih
substansial. Dengan demikian keragaman
pendapat tidak menjadi gangguan dalam hubungan dan ukhuwwah melainkan
menjadi motivasi untuk membangun harmoni sosial dan kemajuan bersama.
Daftar Pustaka
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Matn al-Bukharii (Jeddah: Ak-Haramain,
tt) juz III,
Abu Husain Muslim bbin Hajjaj, Sahih
Muslim,(Mesir: Dar al-Fikr, tt) juz
I
Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (tt: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah
Indonesia)
Mahmud al-Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits Beiriut, tt).
MM Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali
Musthafa Ya’qub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994).
Muhammad ‘Awwamah, Atsar al-Hadits al-Syarif fi Ikhtilaf al-Aimmah
al-Fuqaha Radliyya Allah anhum, (tt: Dar al-Salam);
Muhammad Abu Zaheah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, (Beirut:
dar al-Fikr al-‘Araby, tt)
Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim ( tt. Dar Ihya al-Kutub
al-‘Arabiyyah) juz II
Musthafa Muhammad Imarah, Jawahir al-Bukhari (tt: Dar Ihya
al-Kutub al-Arabiyyah Indonesia, 1371 H)
Rahman Alwi dalam Metode Ijtihad Mazhab Zahiri Alternatif Meyongsong
Modernitas, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2005)
Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama (Jakarta: Pustaka Tarbiyah,
cetakan ke-37, 2006) jilid I, II, III dan IV.
Syaikh bin Wahf al-Qahthani,
dalam Putihnya Sunnah Hitamnya Bid’ah, terj. Abu Umar Bsyir,
(Klaten: Wafa, 2009)
[1]Penulis adalah staf pengajar pada Fakultas Syariah IAIN Mataram-NTB.
[2]Qs al-Nahl 44.
[3]Qs al-Ahzab
21
[4]Qs al-Anfal 20, al-Nisa’ 59, 60 dan 80
[5]Qs.al-A’raf : 157-8
[6]MM Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali
Musthafa Ya’qub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994) ,
27-33
[7]Ibid: 32-3
[8]bid 14. Dalam kajian Musthalah
al-Hadits yang lebih rinci terdapat
versi pendapat yang membedakan definisi Hadits
dan Sunnah namun dalam konteks
kepentingan memahami substansi tema tulisan ini, konsep-konsep pembedaan
definisi tersebut tidak mengandung urgensi sama sekali. Deskripsi mengenai defuisi-definisi tersebut
antara lain dapat dilihat dalam Mahmud al-Thahhan, Taysir Musthalah
al-Hadits Beiriut, tt) 5-7.
[9]Lihat Muhammad ‘Awwamah, Atsar al-Hadits al-Syarif fi Ikhtilaf
al-Aimmah al-Fuqaha Radliyya Allah anhum, (tt: Dar al-Salam); 152-4
[10]Muhammad Abu Zaheah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah,
(Beirut: dar al-Fikr al-‘Araby, tt)
60-63
[11]Seperti dikutip Rahman Alwi dalam Metode Ijtihad Mazhab Zahiri
Alternatif Meyongsong Modernitas, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2005), 76
[12]Musthafa Muhammad Imarah, Jawahir al-Bukhari (tt: Dar Ihya
al-Kutub al-Arabiyyah Indonesia, 1371 H)
456
[13]Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim ( tt. Dar Ihya al-Kutub
al-‘Arabiyyah) juz II
122
[14]Musthafa Muhammad Imarah, Jawahir al-Bukhari 367
[15]Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Matn al-Bukharii (Jeddah: Ak-Haramain,
tt) juz III, 36
[16]Musthafa Muhammad Imarah, Jawahir al-Bukhari 458
[17]Abu Husain Muslim bbin
Hajjaj, Sahih Muslim,(Mesir: Dar al-Fikr, tt) juz I hlm 135.
[18]Seperti dikutip oleh Syaikh bin Wahf al-Qahthani, dalam Putihnya Sunnah Hitamnya Bid’ah,
terj. Abu Umar Bsyir, (Klaten: Wafa, 2009), 14
[20]Di antara argumen yang digunakan dasar dalam pemikiran ini adalah
sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh “Aisyah RA bahwa rasulullah SAW pernah
bersabda;” Barangsiapa membuat hal-hal baru dalam urusan saya ini dengan
sesuatu yang tidak termasuk di dalamnya, maka ditolak”. Mushthafa Muhammad Imarah, Jawahir
al-Bukhari (tt: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah Indonesia) 307
[21]al-Bukhari, Matn
al-Bukharii Juz I , 133
[22]Misalnya Surat 17 (al-Isra) 31
[23]Misalnya Surat 4 (al-Nisa) : 9
[24]al-Bukhari, Matn
al-Bukharii Juz I , 177
[25]Lihat juga sebagai perbandingan Sirajuddin Abbas, 40 Masalah
Agama (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, cetakan ke-37, 2006) jilid I, II, III dan
IV.
[26]al-Bukhari, Matn
al-Bukharii Juz I , 119
[27]Muslim, Sahih Muslim, juz I : 337
[28]Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (tt: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah
Indonesia) juz I 103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar