A. PENDAHULUAN
Islam adalah
agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dengan al-Qur’an sebagai kitab
sucinya. Ia merupakan agama untuk seluruh umat manusia (ad-din asy-syamil),
bukan untuk perorangan atau kelompok/golongan tertentu. Ajaran-ajarannya
mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Terlebih masalah kesejahteraan
manusia tidak luput daripada ajaran Islam yang terdapat dalam kitab suci
al-Qur’an.
Meskipun
demikian, masih saja, bahkan selalu saja ada umat Islam yang tidak sejahtera
kehidupannya alias masih berada di bawah garis kemiskinan.
Memang, kemiskinan
merupakan problematika sosial yang tidak bisa dihindari. Setiap Negara di dunia
ini selalu tertimpa masalah sosial yang dinamakan kemiskinan. Rakyat-rakyat
yang berada di bawah garis kemiskinan ini sangat sulit untuk ditiadakan.
Tindakan yang bisa dilaksanakan baik pemerintah maupun rakyat itu sendiri adalah
meminimalisir kuantitas penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan ini.
Atau paling tidak, laju kemiskinan ini dapat ditekan hingga titik nol, kalaupun
itu bisa dilakukan.
Seperti yang disebutkan di atas, setiap Negara di
dunia ini hampir pasti pernah mengalami masalah kemiskinan. Negara-negara yang
tengah berjuang untuk mengembangkan diri, meningkatkan pertumbuhan ekonomi
ataupun peningkatan-peningkatan di berbagai sektor, bahkan mengalami laju
pertumbuhan tingkat kemiskinan yang tinggi. Negara-negara tersebut lebih
dikenal dengan istilah Negara-negara berkembang (developing countries).
Sementara di Negara-negara yang telah memiliki tingkat kemajuan yang tinggi,
masalah kemiskinan ini bisa ditekan meskipun sulit untuk dihapuskan.
Negara-negara yang memiliki tingkat kemajuan setingkat lebih tinggi dari
Negara-negara berkembang ini dikenal dengan Negara-negara maju (developed
countries).
Perjuangan masing-masing Negara untuk
mensejahterakan rakyatnya merupakan salah satu motivasi yang menyebabkan mereka
harus bersusah payah merancang dan merumuskan strategi guna mehilangkan masalah
kemiskinan ini. Berbagai macam teori ekonomi coba diterapkan. Pakar-pakar
ekonomi terus-menerus bermunculan. Masing-masing dari mereka mengusulkan
teori-teori ataupun metode-metode yang bisa dilakukan untuk mengentaskan
kemiskinan ini. Namun demikian, apakah problematika kemiskinan ini telah tuntas
dengan diaplikasikannya teori-teori yang telah di kemukakan para pakar ekonomi
tersebut?
Melihat kenyataan yang terjadi saat sekarang ini,
berbagai macam teori dan metode yang telah dikemukakan oleh para ekonom yang
handal itu tidak mampu menyelesaikan problematika kemiskinan ini.
Ketika keresahan mulai menyelimuti jiwa-jiwa yang
kebingungan, maka sudah sepantasnya kita menengok, kembali kepada agama kita
Islam, mendalami kitab sucinya, al-Qur’an yang suci mengharap ditemukannya
solusi tebaik yang harus diterapkan untuk mengeliminasi atau paling tidak
meminimalisir laju kemiskinan yang sang sulit dihindari ini.
Salah satu
solusi yang ditawarkan al-Qur’an adalah perintah untuk membayar zakat, bagi
orang-orang kaya yang mampu membayarnya. Namun, mengapa masih saja terjadi
kemiskinan pada diri umat Islam? Apakah al-Qur’an tidak mampu memberikan solusi
agar manusia pada umumnya, dan umat Islam khusunya hidup sejahtera, sehingga
dapat menjalankan perintah Allah dan Rasulnya dengan tenang?
Melihat fenomena di atas, penulis mencoba memaparkan
sedikit tentang salah satu strategi
al-Qur’an dalam mensejahterakan
umat, terutama kemiskinan yang selama ini selalu menjadi permasalahan dan selalu ada di setiap tempat dan
waktu, yaitu melalui
zakat.
Untuk mempermudah penulisan
karya ini, penulis memfokuskan pembahasannya pada analisis
ayat
al-Qur’an Surat At-Taubah
ayat 60, yang membahas tentang Zakat serta mustahiqnya; bagaimana cara optimalisasi
zakat untuk mengentaskan kemiskinan.
Tujuan penulis membahas permasalahan ini adalah
untuk mengetahui cara
mengoptimalisasi zakat guna mengentaskan kemiskinan,
terutama di negara kita Indonesia. Dalam tulisan ini penulis menggunakan metode analisis kritis guna
memdapatkan hasil yang diharapkan. Dengan demikian, hasilnya diharapkan mampu
memberikan sedikit sumbangsih dalam rangka mengentaskan kemiskinan, atau paling
tidak meminimalisasi kemiskinan, terutama di negara kita Indonesia.
B. PEMBAHASAN
1. Tafsir QS. At-Taubah ayat 60
۞إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ
وَٱلۡعَٰمِلِينَ عَلَيۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمۡ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَٰرِمِينَ
وَفِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ
عَلِيمٌ حَكِيمٞ ٦٠
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dalam ayat ini jelas sekali disebutkan bahwasanya
yang berhak untuk menerima zakat itu ada delapan, yaitu:
a. Fakir
b. Miskin
c. Amil
Zakat
d. Muallaf
e. Hamba
Sahaya
f. Orang
yang banyak hutang (yang tidak digunakan untuk maksiat kepada Allah SWT) yang
tidak bisa membayar hutangnya.
g. Fi
Sabilillah; dan
h. Ibnu
Sabil
a.
Pengertian Fakir
dan Miskin
Di dalam ayat ini al-Qur’an telah menyebutkan dua
istilah bagi kemiskinan ini, yaitu, fuqaraa’ yang merupakan jamak’
(plural) dari faqir; dan masaakiin yang merupakan jamak’ (plural)
dari miskin. al-Qur’an selalu menggunakan kedua istilah ini ketika
menyebutkan tentang problematika kemiskinan ini. munculnya dua istilah ini
sudah barang tentu ada perbedaan di antara kedua istilah ini.
Imam al-Thabari dalam tafsirnya menerangkan bahwa
maksud dari kata fuqaraa’ adalah orang orang sangat membutuhkan bantuan
untuk meringankan bebannya, (المحتاجون
المتعففون عن المسألة), sedangkan masaakiin ialah orang
yang keliling untuk meminta-minta (الطوافين
السائلين)
. [1]
Imam al-Suyuthi juga menjelaskan makna fuqara dengan
orang yang tidak mempunyai harta dan tidak mampu memenuhi kebutuhannya,
sedangkan makna masaakiin ialah orang yang tidak mencukupi kebutuhannya
dan hidup serba kekurangan.[2]
Definisi yang tidak jauh berbeda juga diberikan oleh Wahbah al-Zuhailiy, yaitu fuqaraa
ialah orang yang tidak mempunyai sesuatu sedikitpun, sedangkan masaakiin
ialah orang yang mempunyai harta namun tidak mencukupi kebutuhannya.[3]
Sedangkan definisi faqir dan miskin,
seperti yang dikemukakan di dalam al-Qur’an dan terjemahnya Departemen Agama
RI, yaitu:
“orang
fakir adalah orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan
tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
sedangkan orang miskin adalah
orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan”.[4]
Melihat berbagai
definisi di atas, jelaslah bahwa orang fakir adalah orang yang tidak mempunyai
daya upaya, baik berupa harta maupun tenaga yang menyebabkan ketidakmampuannya
memenuhi hajat hidupnya. Dengan begitu orang fakir inilah yang terutama harus
dibantu sebelum yang lainnya.
Sedangkan orang miskin
ini memiliki kemampuan untuk bekerja namun belum bisa mencukupi kehidupannya.
Dari itu, ia masih memerlukan uluran tangan orang-orang yang berada untuk
mencukupi kebutuhannya.
b. Pengertian Amil Zakat
Yang dimaksud dengan ‘aamilin
‘alaiha ialah orang yang berkecimpung dalam zakat, dalam artian pengelola
zakat.
Lebih lanjut dijelaskan
oleh Syeikh
Kholid Abdurrahman al-‘Ak dalam Shafwah al-Bayan li Ma’aniy al-qur’an
al-Karim Mudzayyilan bi Asbab Al-Nuzul li Al-Suyuthi,[6]
bahwa makna al-‘aamiliin ‘alaiha mencakup semua pengelola zakat, baik
yang membagi, mencatat, dan yang menjaga harta zakat tersebut. Demikian juga
definisi yang diberikan oleh Wahbah al-Zuhailiy.[7]
Imam al-Suyuthi juga
menjelaskan tentang makna al-‘aamiliin ‘alaiha dengan definisi
yang hampir sama dengan yang disebutkan oleh Syeikh Kholid
Abdurrahman al-‘Ak.[8] Demikian juga definisi yang diberikan oleh Wahbah
al-Zuhaily dalam al-Tafsir
al-Wajiz ‘ala Hamisy al-Qur’an al-‘Azim.[9]
Dengan demikian, amil
zakat itu tidak hanya terbatas pada yang membagi harta zakat saja, namun lebih
luas adalah lembaga dan badan yang menangani masalah harta zakat tersebut.
c.
Pengertian
Muallaf
Imam
At-Thabari menjelaskan maksud dari muallafati quluubuhum adalah
orang-orang yang baru masuk Islam yang hatinya masih lemah sehingga perlu untuk
dihibur sehingga semakin teguhlah ia untuk memeluk agama Islam.[10] Lebih lanjut Imam
as-Suyuthi menjelaskan pemeberian zakat bagi muallaf ini dimaksudkan untuk
mengukuhkan dan memantapkan keislaman mereka.[11]
Definisi yang serupa juga disebutkan oleh
Wahbah al-Zuhailiy dalam dalam kitab tafsirnya al-Tafsir al-Wajiz ‘ala Hamisy al-Qur’an al-‘Azim.[12]
d.
Pengertian
fi sabilillah
Pengertian
fi sabilillah ini pada awalnya adalah orang yang berjihad di jalan Allah SWT,
yaitu berperang. Namun, seiring perjalanan waktu, definisi ini menjadi luas
cakupannya, tidak hanya berperang di jalan Allah SWT, tetapi bisa juga dimaknai
dengan bantuan pendidikan, pembangunan masjid, mushalla, madrasah, dan
sarana-sarana untuk kepentingan umat, juga bisa dikategorikan sebagai fi
sabilillah.
e.
Pengertian
Ibnu Sabil
Definisi
ibn Sabil ini sudah sangat jelas, yaitu orang musafir perjalanan jauh,
yang kehabisan bekal sehingga perlu untuk dibantu. Sudah tentu perjalanannya
tidak untuk maksiat kepada Allah SWT.
Setelah
menjelaskan delapan golongan ini, Allah SWT menekankan kewajiban membayar
zakat.
2.
Analisis QS. At-Taubah ayat 60
Setelah membahas penafsiran surat At-Taubah ayat 60
ini, marilah kita analisis lebih jauh kandungannya.
Allah SWT memulai ayat ini dengan Inna, yang
mengindikasikan bahwa peruntukan zakat itu sangat jelas, tegas, dan lugas,
yaitu delapan golongan yang telah disebutkan di atas. Penekanan ini, ditambah dengan kata faridatan,
menunjukkan kewajiban zakat ini.
Analisis yang kedua adalah penyebutan langsung
peruntukan zakat, yaitu delapan golongan, seperti yang telah disebutkan pada
ayat 60 surat At-taubah tersebut secara tertib. Artinya, pemberian zakat itu
harus didahulukan bagi fakir dan miskin, kemudian amil zakat, dan seterusnya.
Mengapa demikian? Hal ini menarik untuk dikaji.
Pertanyaan yang kedua adalah, mengapa Allah SWT
mewajibkan zakat?
Jika kita merenungkan lebih jauh, urutan yang telah
disebutkan Allah SWT pada ayat ini merupakan indikasi bahwa zakat tersebut
mempunyai skala prioritas. Dan, yang paling diprioritaskan adalah fakir dan
miskin. Mengapa demikian? Ada beberapa alasan:
1.
Hal
ini dimaksudkan agar umat Islam ini khususnya, serta umat manusia pada umumnya
mempunyai kepedulian kepada orang-orang yang tidak mampu di sekitarnya;
2.
Mempererat
ukhuwwah di antara sesama manusia, terutama umat Islam;
3.
Menjaga
keberlangsungan hidup kaum dlu’afa (fakir dan miskin)
4.
Kriminalitas
biasanya terjadi akibat masalah ekonomi yang dihadapi manusia, dengan
memberikan zakat kepada yang kurang mampu, bisa mengurangi tingkat kriminalitas
di suatu daerah ataupun suatu negara;
5.
Kekurangan
ekonomi bisa menyebabkan orang perbuat apa saja, bahkan menjual imannya. Dengan
adanya zakat, yang mengutamakan orang-orang yang tidak mampu, maka iman
seseorang bisa terselamatkan.
Al-Qur’an juga mempunyai strategi bagaimana
“memaksa” umat Islam untuk mengeluarkan zakat. Adapun strategi yang disebutkan
al-Qur’an adalah:
1. Mewajibkan kaum
muslimin untuk membayar zakat, seperti yang disebutkan dalam QS. At-Taubah ayat
60.
2. Adanya perintah untuk
mengambil dari harta orang-orang kaya zakatnya guna membersihkan dan mensucikan
mereka dari dosa-dosa, yang terdapat dalam QS At-Taubah ayat 103.
خُذۡ
مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةٗ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ
عَلَيۡهِمۡۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٞ لَّهُمۡۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ١٠٣
Artinya:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.[13]
3. Perintah zakat
beriringan dengan perintah shalat, guna menguatkan kewajiban zakat ini, seperti
dalam QS. Al-Baqarah ayat 43.
وَأَقِيمُواْ
ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ ٤٣
Artinya:
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku´lah beserta orang-orang yang
ruku´.[14]
Ini
menunjukkan bahwa tingkat kewajiban zakat sama dengan shalat, sehingga
orang-orang yang tidak membayar zakat
mendapatkan hukuman (dosa) yang sama seperti orang yang meninggalkan shalat.
4. Memberikan ancaman bagi orang-orang yang enggan membayar zakat,
seperti dalam QS. Al-Ma’un, yang disebut langsung sebagai orang yang
mendustakan agama, juga dalam QS. Al-Balad; dan lain sebagainya.
Dengan demikian, baik
fakir maupun miskin kedua-duanya harus mendapatkan uluran tangan kita. Itulah
sebabnya delapan golongan penerima zakat (mustahiq zakat) seperti yang
disebutkan dalam al-Qur’an surat at-taubah ayat 60 di atas, yang diutamakan
adalah orang-orang fakir (fuqaraa’) dan orang-orang miskin (masaakiin).
3. Langkah-langkah optimalisasi zakat untuk mengentaskan kemiskinan menurut
QS. At-Taubah ayat 60
Sebelum kita membahas langkah-langkah optimalisasi
zakat guna mengentaskan kemiskinan, ada baiknya kita sebutkan anjuran yang
dirumuskan al-Qur’an untuk mengentaskan kemiskinan, seperti yang disebutkan
oleh M. Quraish Shihab[15], yaitu:
1. kewajiban setiap individu, yaitu dengan cara berusaha dan bekerja keras,
pantang berpangku tangan selama masih mempunyai kemampuan untuk memenuhi
kebutuhannya;
2. kewajiban orang lain/masyarakat, yaitu dengan memberikan bantuan kepada
orang-orang yang tidak mampu, yang salah satunya adalah dengan membayar zakat
serta mengalokasikannya kepada yang berhak menerimanya dengan skala prioritas
kaum fakir miskin; dan
3. kewajiban pemerintah, yaitu dengan cara memperhatikan kesejahteraan
rakyat dengan sumber dana dan cara yang sah, seperti dari pajak, dan tentunya
zakat dalam cakupan yang luas.
Setelah menjelaskan tiga anjuran pokok anjuran al-Qur’an yang harus
ditempuh untuk mengentaskan kemiskinan ini, maka penulis akan mencoba
memberikan solusi dengan zakat ini, kemiskinan bisa kita minimalisasi, yaitu
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Maksimalisasi pembayaran zakat, dengan cara:
a. menyerukan dan mensosialisasikan kewajiban membayar zakat bagi umat
Islam dengan penjelasan targhib wa tarhib. Ini adalah tugas para tuan
guru, muballigh, dan para alim ulama, serta pejabat yang berwenang untuk
melakukan hal tersebut. Langkah-langkah yang harus diambil, di antaranya:
·
melakukan dakwah dan sosialisasi secara
intensif;
·
mengadakan sosialisasi dengan cara yang
beraneka ragam, baik dalam pengajian-pengajian (majlis ta’lim),
diskusi-diskusi, ataupun obrolan-obrolan santai, serta dengan menggunakan
bahasa yang bisa dipahami masyarakat.
b. Membuat kader-kader di setiap dusun atau desa sebagai perpanjangan tangan
para muballigh ini, guna memberikan pemahaman kepada masyarakatnya.
2. Maksimalisasi ketepatan sasaran penerimaan zakat, dengan cara;
a. Pendataan yang akurat tentang jumlah riil fakir miskin di daerah-daerah,
terutama daerah pedusunan dan pedesaan.
b. Membentuk amil-amil zakat di dusun-dusun dan desa-desa, yang langsung
menyalurkan kepada kaum dlu’afa (fakir miskin) sehingga kemungkinan
ketidaktepatan sasaran relatif kecil.
3. Memanfaatkan masjid sebagai pusat pengelolaan zakat dengan memaksimalkan
peran ta’mir masjid, sehingga tidak hanya bertugas sebagai muazzin, dan penjaga
masjid.
4. Memberikan pelatihan kepada amil-amil zakat agar harta zakat tidak salah
sasaran sehingga bisa dinikmati orang-orang yang berhak menerimanya, utamanya
fakir miskin.
Jika langkah-langkah tersebut di atas diterapkan, penulis yakin, insya
Allah kemiskinan yang melanda umat Islam, terutama di negara kita Indonesia,
dan khususnya daerah kita Nusa Tenggara Barat tercinta.
C. Penutup
a. Simpulan
Setelah
melalui pembahasan yang singkat dari tulisan ini penulis mencoba
menyimpulkannya dengan hasil sebagai berikut:
1. Menurut QS. At-Taubah ayat 60, bahwa pembayaran zakat diprioritaskan
bagi faqir dan miskin;
2. Zakat mampu mengentaskan atau paling tidak meminimalisasi kemiskinan
umat Islam, terutama di Indonesia jika dikelola dan disalurkan dengan benar;
3. Langkah-langkah yang diperlukan untuk mengoptimalkan harta zakat adalah
dengan memperbaiki sumber daya manusianya; baik sumber daya manusia yang
membayar zakat, maupun sumber daya manusia yang pengelola zakat.
Demikianlah simpulan yang penulis buat, semoga bermanfaat. Dan akhirnya,
kepada Allahlah kita memohon petunjuk. wallahu a’lam bissowab.
b. Saran
Melalui tulisan singkat ini penulis mencoba memberikan saran kepada
setiap orang yang bergelut di bidang pengelolaan zakat untuk melakukan tugasnya
secara optimal, agar penggunaan harta zakat tepat sasaran,
Kepada akademisi, untuk mengkaji ulang tulisan ini serta
mengembangkannya agar lebih sempurna.
Saran dan masukan serta kritikan yang membangun sangat bermanfaat bagi
kita semua, terutama penulis untuk perbaikan di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
al-Karim
al-‘Ak , Syeikh Kholid Abdurrahman. Shafwah al-Bayan li Ma’aniy al-qur’an al-Karim Mudzayyilan bi Asbab
Al-Nuzul li Al-Suyuthi. Dimasyq: Dar al-Basyaair, 1994.
al-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad ibn Ahmad
al-Mahalliy dan Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakar. Tafsir al-Jalalain j.
1. CV. Pustaka Assalam, tt.
al-Thabariy,
Muhammad ibn Jarir Ibn Yazid ibn Katsir ibn Galib al-Amiliy Abu Ja’far. Jami’
al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an j. 14 (tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir). Muassasah al-Risalah, 2000.
al-Tujibiy,
Abu Yahya Muhammad ibn Shumadih. Mukhtashar min Tafsir al-Imam at-Thabariy. Kairo:
Dar al-Manar lin-Nasyr wa at-Tauzi’, tt.
al-Zuhaili, Wahbah. al-Tafsir al-Wajiz ‘ala Hamisy al-Qur’an
al-‘Azim. Dimasyq, Dar al-Fikr.
Shihab,
M. Quraish. Wawasan
Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan,
1996.
Taufiq, Mohamad. Software Qur’an in Ms Word versi 2.2.00. taufiq product, 2013.
Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya: Al-Jumanatul ‘Ali (Seuntai Mutiara yang Maha Luhur). Bandung:
penerbit J-Art, 2005.
[1] Abu Yahya Muhammad
ibn Shumadih al-Tujibiy, Mukhtashar min Tafsir al-Imam at-Thabariy (Kairo:
Dar al-Manar lin-Nasyr wa at-Tauzi’, tt), hal. 196. Lihat Juga,
Muhammad ibn Jarir Ibn Yazid ibn Katsir ibn Galib al-Amiliy Abu Ja’far
al-Thabariy, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an j. 14 (tahqiq: Ahmad
Muhammad Syakir) (Muassasah al-Risalah, 2000), 305.
[2] Jalaluddin Muhammad ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalaluddin Abdurrahman ibn
Abi Bakar al-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain j. 1 (CV. Pustaka Assalam, tt),
164.
[3] Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Wajiz ‘ala Hamisy al-Qur’an
al-‘Azim (Dimasyq, Dar al-Fikr), 197.
[4] Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya: Al-Jumanatul ‘Ali (Seuntai Mutiara yang Maha Luhur) (Bandung:
2005), penerbit J-Art, hal. 197 footnote nomor 660.
[5] Muhammad ibn Jarir Ibn Yazid ibn Katsir ibn Galib
al-Amiliy Abu Ja’far al-Thabariy, Jami’ al-Bayan...., 311.
[6] Syeikh Kholid Abdurrahman al-‘Ak , Shafwah al-Bayan li Ma’aniy
al-qur’an al-Karim Mudzayyilan bi Asbab Al-Nuzul li Al-Suyuthi (Dimasyq:
Dar al-Basyaair, 1994), 196.
[8] Jalaluddin Muhammad ibn Ahmad al-Mahalliy dan
Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakar as-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain...., 164.
[10] Muhammad ibn Jarir Ibn Yazid ibn Katsir ibn Galib
al-Amiliy Abu Ja’far al-Thabariy, Jami’ al-Bayan...., 312-313.
[11] Jalaluddin Muhammad ibn Ahmad al-Mahalliy dan
Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakar as-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain...., 164.
[14] Ibid.
[15] M.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan, 1996), 452-458.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar