DAKWAH TRANSFORMATIF
(Persfektif
Perubahan Sosial dan Budaya Masyarakat)
Oleh : M. Abu
Arif Aini, S.Ag.,M.Pd
I
Secara
dikotomis, kita terbiasa membagi model dakwah menjadi dakwah bil liasan dan
dakwah bil hal. Masdar F. Mas'udi, menyebut yang pertama sebagai
dakwah dengan kalam yang terlalu verbal dan mengutamakan cuap-cuap yang sering
kali hanya kosong. Sedang yang kedua disebutnya dakwah dengan sikap, dengan
amaliah nyata alias action1). Repotnya, dua model dakwah yang
idealnya berjalan seimbang itu, cenderung timpang. Yang pertama berkembang
pesat di tengah umat, sementara yang kedua tertatih-tatih. Ini jelas satu
problem.
Peroblem
lainnya, ada semacam kerancauan paradigma dalam konsep dakwah kita selama ini,
baik dakwah bil lisan maupun dakwah bil hal. Yakni kecenderungan untuk
menjadikan umat sebagai obyek dakwah yang pasif, yang harus dituntun karena
kedho'ifan dan potensinya bertindak jahil, maka para da'i dan institusi dakwah,
lantas bertindak sebagai penjaga garis agar umat tetap berpijak pada jalan
lurus. Meminjam istilah Mansour Fakh, proses dakwah selama ini cenderung
mengarah pada konsep 'komunikasi ala bank'. Masyarakat diibaratkan wadah kosong
yang harus diisi dengan seperangkat keyakinan, nilai moral serta praktik
kehidupan agar disimpan dan dikeluarkan sewaktu dibutuhkan2).
Akibatnya,
para da'i jadi subyek aktif, dan umat sekedar obyek pasif. Wajar jika umat
kemudian mengidentifikasikan da'i sebagai prototype manusia ideal. Ini kemudian
diperkokoh kultur masyarakat yang cenderung paternalistik. Pola hubungan
seperti ini melahirkan tolok ukur yang serba kuantitatif dan formal. Di mana
keberhasilan dan kegagalan dakwah dilihat dari ukuran laris tidaknya da'i,
sedikit banyaknya pengunjung dan sebagainya.
Jelas yang
diuntungkan dari proses dakwah model ini adalah da'i yang secara sosial,
politik dan ekonomis menjadi elite.
Sementara umat yang menjadi obyek dakwah tetap terpuruk, sulit bangkit dan tak
mampu mengubah keadaan. Karena yang diberikan da'i kepada mereka, kata Soetjipto
Wirosardjono3), hanyalah "obat bius".
II
Pola dakwah
seperti ini akan berimplikasi kepada proses dehumanisasi, menafikan kemanusiaan
dan menguntungkan sekelompok kecil elite masyarakat. Padahal secara historis
dakwah justru mengakar pada humanisasi, praktek pengembangan kemanusiaan. Itu sebabnya, isu dakwah yang mula-mula
dicanangkan Rasulullah adalah tauhid dalam pengertian hubungan antara kelas
masyarakat kuat dan lemah, penindas dan tertindas. Tak heran bila ayat-ayat
Makkiyah tajam mengkritik segala bentuk akumulasi kekayaan dan eksploitasi
ekonomi seraya mengancam pelakunya yang tidak punya kepedulian sosial. Maka
yang diuntungkan dari sana, dengan beberapa pengecualiaan, adalah lapisan
termiskin dan terlemah dari masyarakat Makkah4).
Jelas, bahwa
gerakan dakwah yang di emban Rasulullah adalah gerakan menuju transformasi
sosial. Dakwah dijabarkan sebagai gerakan pembebasan dari eksploitasi,
dominasi, penindasan serta ketidak adilan dalam semua aspeknya. Dari sanalah
kemudian terbentuk masyarakat yang punya kecanggihan sosial dan kapasitas
politik amat modern dimasanya, yang oleh Nurcholish Madjid dengan
meminjam istilah Robert N. Bellah disebut memiliki ciri-ciri terbuka,
demokratis dan partisipatif5). Patut disayangkan, ciri-ciri
modernitas tadi berangsur-angsur lenyap pasca Rezim Umayyah yang tertutup dan
otoriter, karena belum kokohnya prasarana penopang.
Maka dalam
konteks sosio-kultural proses dakwah harus mampu mengembalikan humanisasi umat
yang telah lama runtuh dan terjebak suasana fatalistik. Proses dakwah sebagai
gerakan pemanusiaan mesti dikembalikan pada kesadaran bahwa tak seorang pun
boleh merasa berhak menjadi da'i. Sebaliknya, masyarakatlah yang harus menjadi
da'i bagi mereka sendiri. Ini jauh dari pemahaman bahwa masyarakat yang lemah
harus menjadi sasaran transfer pengetahuan dan nilai-nilai kelompok yang lebih
kuat. Sebab itu, dakwah hendaknya diarahkan menuju proses dialog untuk
menumbuhkan kesadaran akan potensi masyarakat sebagai makhluk kreatif, yang
berkemampuan mengelola diri dan lingkungannya. Dengan begitu, esensi dakwah
bukan mencoba merubah masyarakat, tetapi menciptakan kesempatan bagi masyarakat
untuk merobah diri lewat kesadaran dan pemahaman terhadap masalah yang dihadapi
mereka6). Konsep ini sejalan dengan pernyataan wahyu bahwa Allah
tidak akan merubah keadaan sebuah masyarakat sampai mereka sendiri merubahnya7).
Untuk itu
dalam rangka melahirkan masyarakat dakwah dimana masyarakat berperan sebagai
subyek bukan obyek, dibutuhkan munculnya da'i partisipatif, yang mampu
memfasilitasi masyarakat untuk memahami masalah, menyatakan pendapat,
merencanakan dan mengevaluasi transformasi sosial yang mereka kehendaki dan
akhirnya masyarakat pula yang menikmati hasilnya. Muhammad Jalauddin
al-Qosimy menilai, da'i tipe ini memegang peranan penting dalam upaya
mengentaskan masyarakat dari kejahilan dan penindasan, karena tanggungjawabnya
tak terbatas pada pribadinya saja melainkan pada masyarakatnya8).
Karakteristik
da'i tipe tersebut ditandai dengan adanya hubungan saling menghargai antara da'i
dan masyarakat. Isu sentralnya adalah masyarakat dan pengalamannya, bukan da'i
dan persepsinya. Materi dakwahpun berpijak pada pengalaman masyarakat, bukan
sesuatu yang disodorkan dari luar kepada mereka untuk diinternalisasikan9).
Dari situlah, masyarakat didorong untuk memiliki kesadaran kritis memandang
kehidupan serta memperbaiki keadaan.
III
Jika
disepakati bahwa dakwah mengarah pada proses humanisasi masyarakat secara
sosio-kultural, maka strategi yang dapat
dijadikan alternatif ialah menambahkan pendekatan peran serta (partisipatif)
untuk menyempurnakan konsep dakwah selama ini. Dengan begitu bisa diharapkan
lahirnya dakwah yang bukan sekedar tablighul ayah (penyampaian
pesan-pesan agama), melainkan bina'ul mujtama' (pembangunan masyarakat).
Dalam hal ini peran da'i hanyalah sebagai fasilitator yang mengantarkan
masyarakat agar mampu menciptakan kondisi yang mereka idamkan. Merekalah yang
bertindak merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi dan akhirnya menindaklanjuti
keseluruhan proses dakwah tersebut. Nilai-nilai yang mendasari dakwah tersebut
bukan nilai orang lain atau da'i, tetapi nilai-nilai yang hidup dilingkungan
mereka sendiri yang bersumber dari ajaran agama mereka sendiri. Dengan begitu,
mereka berperan menjadi da'i untuk diri sendiri.
Dalam konteks
melenium ketiga ini, dimana masyarakatnya sudah demikian kritis, maka yang
diperlukan ialah dakwah yang berorientasi transformasi sosio-kultural dengan
pendekatan partisipatif. Intinya adalah bagaimana mewujudkan tujuan dakwah,
yang tak lain ialah pengembangan potensi fitrah dan fungsi khilafah kemanusiaan
dalam rangka membentuk nizhamul hayat (system kehidupan sosial) yang
diridhi Allah10). Tujuan tersebut tak mustahil dicapai karena
seperti diungkapkan Cak Nur mengutip analisis Marshall G.S. Hudgson,
kemengangan Islam di Jawa khususnya dan di Indonesia umumnya, begitu sempurna
dengan adanya banyak kompromi antara ajaran-ajaran Islam dengan unsur-unsur
budaya lokal11). Dengan demikian strategi dakwah masa depan perlu mengagendakan
beberapa hal, antara lain :
Pertama, Mendasarkan proses dakwah pada pemihakan
terhadap kepentingan masyarakat. Itu berarti penolakan segala bentuk dakwah
untuk kepentingan lain.
Kedua, mengintensifkan dialog dan keterlibatan
masyarakat guna membangun kesadaran kritis untuk memperbaiki keadaan.
Ketiga, memfasilitasi masyarakat agar mampu
memecahkan masalahanya sendiri serta melakukan transformasi sosial yang mereka
kehendaki. Jadi bukan sekedar mengurai masalah masyarakat supaya dipecahkan
pihak lain.
Keempat, menjadikan dakwah sebagai media
pendidikan dan pengembangan potensi masyarakat, sehingga dengan demikian
masyarakat akan terbebas dari kejahilan dan kedha'ifan. Semoga !!!
CATATAN
1)
Masdar F. Mas'udi, "Dakwah, Membela Kepentingan
Siapa" dalam Pesantren, No. 4/Vol.IV/1987, hal. 2.
2)
Lihat, Mansour Fakih, "Dakwah : Siapa yang
diuntungkan ?" dalam Pesantren, No. 4/Vol.IV/1987, hal 9.
3)
Lihat, Soetjipto Wirosardjono, "Potensi dalam
Kesenjangan" dalam Pesantren, No.4/Vol.IV/1987, hal. 3.
4)
Fakih, Op.Cit., hal. 11.
5)
Lihat, Nurcholish Madjid, "Akar Islam beberapa
segi budaya Indonesia dan kemungkinan pengembangannya bagimasa depan
bangsa", dalam Nurchlish MAdjid, Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan,
Mizan, Bandung, 1994, hal. 63.
6)
Fakih, Op.Cit., hal. 11.
7)
Lihat, Al-Qur'an surat 13 ayat 11.
8)
Lihat, Muhammad Jalaluddin al-Qasimy, Mau'izat
al-Mu'minin, Jilid I, Dar al-Fikr, Beirut, tampa tahun, hal. 4.
9)
Fakih, Loc.Cit.
10)
Lihat, M. Nasir, "Dakwah dan Tujuannya".
Dalam Forum Dakwah, Kumpulan hasil seminar Dakwah IAIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, Pusat Dakwah Islam Indonesia, Jakarta, 1971, hal. 364.
11) Madjid, Op.Cit., hal
: 67-68.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar