Sistem Perkawinan Sasak
‘Merarik’
Fenomena Sosial: Adat yang
Mulai Ditinggalkan
Oleh: H.A. Masriadi Faishal
A. Pendahuluan
Dalam perjalanan proses tata kehidupan
masyarakat, sering kali terjadi tarik ulur antara hukum adat dan hukum agama
(baca: syariat). Terkadang dalam suatu masyarakat hukum adat yang dominan, dan
di masyarakat yang lain hukum agama yang lebih berperan, sehingga terlihat
meski agama sama, tata kehidupan sosial masyarakat yang satu dengan masyarakat
yang lain cenderung berbeda. Tata kehidupan masyarakat muslim Indonesia
misalnya, tentu tidak sama dengan tata kehidupan masyarakat muslim Timur Tengah
atau Afrika. Dalam konteks yang lebih kecil, muslim jawa tidaklah sama dengan
muslim Sulawesi atau muslim Sasak (Lombok).
Di dalam satu komunitas masyarakat pun,
hukum adat dan agama tak berhenti untuk saling tarik ulur dalam setiap sendi
kehidupan. Terkadang dalam satu sendi terlihat kehidupan masyarakat begitu religius,
namun di sendi yang lain adat yang dikedepankan.
Dalam satu sendi kehidupan suatu
masyarakat itu juga, misalnya proses perkawinan, tarik ulur ini masih dan terus
terjadi. Di suatu waktu misalnya proses perkawinan suatu masyarakat sangat
kental dengan aturan adat, namun di waktu yang lain pada masyarakat yang sama,
proses perkawinan lebih manut terhadap hukum agama.
Demikian halnya dengan masyarakat
Sasak, tarik ulur dalam tata kehidupan masyarakat sasak antara agama dan adat
jelas terlihat dan masih tetap berlangsung. Meski mayoritas suku sasak ini
menganut agama Islam, namun tidak serta merta setiap sendi kehidupan masyarakat
sasak bercorak Islami. Contohnya pada proses perkawinan sasak yang sangat
dipengaruhi adat.
Perkawinan pada masyarakat sasak pada
umumnya tidak diawali dengan pinangan (khitbah) sebagaimana yang diajarkan
hukum agama, namun dengan suatu proses adat yang disebut ‘merarik’ atau
melarikan anak gadis orang, hal yang oleh para tokoh agama diakui tidak sesuai
dengan ajaran agama Islam, namun tetap hidup berkembang di masyarakat sasak
karena merupakan adat budaya atau kearifan lokal. Di sisi ini pada masyarakat
sasak, hukum agama terlihat dikalahkan oleh hukum adat.
Namun kekalahan hukum agama dari hukum
adat pada masalah ini tidak berlaku selamanya. Tarik ulur antara hukum adat
dengan hukum agama masih berjalan. Ini terbukti dengan fenomena yang terjadi
akhir-akhir ini pada masyarakat sasak, khususnya dalam hal perkawinan. Sebagian
dari mereka sudah mulai meninggalkan adat ‘merarik’ ini, dan mulai berpindah
ke ‘khitbah’. Fenomena sosial inilah yang ingin penulis angkat pada
makalah kecil ini.
B. Sekilas tentang Pulau
Lombok (Suku Sasak) dan Kepercayaan masyarakatnya.
Pulau Lombok merupakan salah satu
pulau yang membentuk Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penduduk asli pulau Lombok disebut
suku Sasak. Mereka adalah kelompok etnik mayoritas yang berjumlah tidak kurang
dari 89% dari keseluruhan penduduk Lombok. Sedangkan kelompok-kelompok etnik
lainnya seperti Bali, Jawa, Arab, dan Cina adalah pendatang.[1] Orang-orang Sasak menyebar di hampir
seluruh daratan Lombok. Sedangkan para pendatang, tinggal di daerah-daerah
tertentu. Sebagian besar orang Bali tinggal di Lombok Barat dan Lombok Tengah.
Orang Sumbawa bermukim di Lombok Timur dan orang Arab di Ampenan. Orang Cina
yang umumnya yang bekerja sebagai pedagang tinggal di pusat-pusat kota seperti
Cakranegara, Ampenan dan Praya. Demikian juga di Lombok terdapat pemukiman
orang Jawa yang disebut Kampong Jawa.[2]
Sebagian besar penduduk pulau Lombok
beragama Islam dan hanya sebagian kecil yang beragama non Islam. Agama Islam dipeluk
oleh sebagian besar etnik Sasak, sedangkan agama non Islam seperti Hindu, Budha
atau Kristen dipeluk oleh sebagian besar pendatang dari kelompok-kelompok etnik
seperti Bali dan Cina.[3]
Ajaran agama Islam bagi masyarakat
Sasak mendapatkan tempat sangat tinggi dalam menjalankan kehidupan keagamaannya
sehari-hari sesuai dengan doktrin keagamaan yang dianut. Kuatnya tradisi
keagamaan Islam ini dapat dilihat dengan jumlah-jumlah tempat ibadah (Masjid)
yang ribuan jumlahnya sampai-sampai Pulau Lombok dijuluki Pulau Seribu Masjid. Begitu
juga dengan fenomena selalu bertambahnya kuota jamaah haji di tiap tahun yang
menjadi indikator keseriusan ibadah masyarakat Sasak[4],
terlepas dari motivasi-motivasi mereka melaksanakan ibadah haji tersebut.
Islam merupakan faktor utama dalam masyarakat
Sasak. Seorang etnografis bahkan mengatakan bahwa “menjadi Sasak berarti menjadi
muslim”. Meskipun pernyataan ini tidak seluruhnya benar (karena pernyataan ini
mengabaikan populasi Sasak Boda).[5] Namun sentimen-sentimen itu dipegangi bersama oleh
sebagian besar penduduk Lombok karena identitas Sasak begitu erat kaitannya
dengan identitas mereka sebagai muslim.
Islam sebagaimana ia dipraktekkan dan
dipahami di Lombok menampilkan sejumlah variasi yang signifikan. Dalam tradisi keislaman
masyarakat Sasak akan ditemukan dua varian Islam yaitu “Islam Wetu Telu (Waktu
Tiga)” dan “Islam Waktu Lima”.[6]
Secara sederhana, Wetu Telu adalah
orang sasak yang meskipun mengaku sebagai muslim, masih sangat percaya terhadap
ketuhanan animistik leluhur (ancestral animistic deitis) maupun benda-benda antropomorfis
(anthropomorphised inanimate objects). Sebaliknya, waktu lima adalah orang muslim
sasak yang mengikuti ajaran syari’ah secara lebih keras sebagaimana diajarkan
oleh al-Qur’an dan Hadis.
Sekilas terlihat dikotomi pola
keberagamaan orang Sasak menjadi Waktu Lima dan Waktu Telu mungkin seperti
dikotomi pola keberagaman orang jawa Islam Santri dan Islam Abangan. Erni Budiwanti
mengatakan bahwa Islam Waktu Telu sebenarnya lebih mirip dengan Islam Abangan
yang sering juga disebut sebagai secara formal, berdasarkan KTP semata atau
Islam statistik. Sedangkan Waktu Lima mirip dengan Islam Santri yang taat menjalankan
ibadah mahdah.[7] Namun tentu saja Islam Waktu telu di
Sasak tidaklah sama persis dengan Islam Abangan di Jawa. Menurut hemat penulis,
mungkin yang dimaksud kemiripan oleh Erni di sini adalah mirip atau samanya
kedua varian Islam ini dalam hal lebih mengedepankan adat budaya lokal dalam
pri kehidupan bermasyarakat maupun personal ketimbang ajaran syariat Islam yang
murni. Sedangkan dalam detail pelaksanaan operasional tata kehidupan masyarakat
Islam Waktu Telu Sasak berbeda jauh dengan Islam Abangan di Jawa. Jadi bisa
dikatakan bahwa Islam Waktu Telu adalah khas adanya di Lombok, dan tidak ada di
tempat lainnya.
C. Tarik Ulur Adat dan Syariat
Proses asimilasi (pembauran) antara
ajaran agama Islam dan adat budaya lokal (Sasak) pada masyarakat sasak
memberikan hasil yang tidak seragam untuk tiap-tiap sebaran wilayah Pulau
Lombok. Di suatu wilayah misalnya, adat terasa kental sekali, namun didaerah
yang lain adat mulai terpinggirkan, baik oleh arus modernitas, maupun oleh budaya lain, terutama ajaran agama -dalam hal
ini agama Islam.
Untuk memetakan hasil asimilasi (tarik
ulur) pada masyarakat sasak secara lengkap dan detail tentu sulit sekali,
karena seluas penyebaran masyarakat sasak yang merata di seluruh penjuru Pulau
Lombok, seluas itu pula perbedaan pri kehidupan sosialnya. Di daerah A misalnya
dalam satu bidang, tata kehidupan sosialnya sama dengan daerah B dan berbeda
dengan daerah C, namun di bidang yang lain malah daerah A sama dengan C, tetapi
berbeda dengan daerah B, demikian seterusnya.
Namun secara sederhana, pemetaan umum
dapat dilakukan sesuai dengan pen-dikotomi-an Islam sasak menjadi Islam Waktu
Lima dan Islam Waktu Telu. Waktu telu dalam pelaksanaan operasional kehidupan
sosial masyarakat sangat menjunjung adat yang sangat terpengaruh oleh budaya
Hindu-Budha. Sampai-sampai siapa yang melihat tata kehidupan sosial masyarakat
waktu telu, khususnya dalam ritual ibadah dan budayanya, jika tidak didahului
oleh pengetahuan, tentu akan mengira bahwa masyarakat ini bukan penganut agama
Islam.
Berbeda dengan Waktu Lima yang sedikit
banyak ajaran Islam sudah menyerap ke segenap sendi kehidupan sosial dan
personal mereka, meski tentu saja tidak paripurna, sebagaimana umumnya
masyarakat muslim manapun di dunia ini dewasa ini.
Membaca dari apa yang ditulis sejarah,
antara penganut Waktu Lima dan Waktu Telu selalu terlibat konflik. Masnun Tahir[8]
menyebutkan bahwa Konflik ini mulai meruncing pada masa penjajahan Belanda.
Gerakan pembaharuan Islam Waktu Lima mendapat perlawanan keras dari pribumi
Sasak penganut Waktu Telu. Konflik ini semakin parah karena campur tangan
Belanda. Setelah kemerdekaan RI (1950-1955), sebagian pengikut Waktu Telu yang
berada di bawah naungan PKI dan sebagian lainnya berada di bawah naungan PIR
(Partai Indonesia Raya) mendapat tekanan hebat dari pengikut Waktu Lima yang berada
di bawah naungan Masyumi. Karena kedua kubu ini selalu berkonflik, maka setelah
peristiwa G30 S PKI, Waktu Telu dinyatakan dilarang sebagai varian agama Islam
oleh pemerintah. Maka secara hukum, sejak saat itu penganut Waktu Telu telah habis.
Namun di beberapa tempat secara sembunyi-sembunyi praktik Waktu Telu masih
dijalankan. Perkembangan terakhir menyebutkan bahwa Waktu Telu mengalami
reinterpretasi. Waktu Telu tidak lagi berfungsi sebagai varian agama, namun
hanya sebagai adat semata.
Jika dalam perkembangannya, Waktu Telu
mengalami proses stagnasi, maka sebaliknya, Waktu Lima mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Bahkan tidak berlebihan dikatakan bahwa hampir semua orang
Islam Sasak sekarang ini adalah pengikut Waktu Lima, sehingga apabila dikatakan
“orang Islam” tidak lain yang dimaksud adalan varian yang terakhir ini. Sebagai
kelompok minoritas Islam Wetu Telu, baik secara langsung maupun tidak langsung
keberadaannya semakin ditekan oleh tiga lapis “penindasan” sekaligus, yakni
arus modernitas, penetrasi aktif dakwah Islamiyah yang tak kunjung surut, dan implikasi
massif dari kebijakan politik khususnya program transmigrasi. Mereka yang
tersisa kini kian terpencil diri komunitas besar etnis Sasak dan distigma
sebagai segmen masyarakat yang “ketinggalan zaman” dan secara teologis “sesat” dan
karenanya perlu didakwah.[9]
D. ‘Merarik’ Sebagai Hasil
Asimilasi antara Adat Sasak dan Islam
Bagi masyarakat Sasak, perkawinan
bukan hanya ikatan antara dua individu dengan tugas dan tanggung jawab baru
bagi pasangannya, tetapi juga terdapat
tanggung jawab sosiologis, yaitu tanggung jawab kedua orang yang mengikat tali
perkawinan terhadap masyarakatnya. Oleh karena itu, perkawinan sebagaimana di
masyarakat lain, bagi orang Sasak dianggap sebagai hal yang suci, sehingga
dalam pelaksanaannya dilaksanakan dengan penuh hikmat, sakral dan pesta yang meriah.
Salah satu bentuk perkawinan yang umum berkembang di masyarakat Sasak adalah ‘merarik’
(kawin lari).
Kata ‘merarik’ (melarikan) dalam
gramatika bahasa Sasak dimaknai dan digunakan sebagai kata dengan pengertian
yang sama dengan perkawinan atau pernikahan. Pada masyarakat Sasak secara umum
menggunakan kata "melarikan" sebagai identifikasi bagi status
perkawinan itu sendiri. Begitu kuat eksistensi budaya "kawin lari"
ini, sehingga sudah menjadi bahasa baku yang digunakan sehari-hari oleh
masyarakat Sasak di seluruh lapisan sosial. Sampai di sini, terlihat dengan
jelas seakan-akan laku budaya kawin lari telah menjadi kearifan lokal bagi komunitas
Sasak.[10]
Kawin Lari dalam pengertian pelarian
diri atau mencuri gadis dari pengawasan wali dan lingkungan sosialnya sudah terbentuk
sebagai warisan budaya turun temurun bagi masyarakat Sasak secara umum. Sebagian
masyarakat meyakini bahwa dengan melarikan diri atau mencuri si gadis dari
pengawasan walinya, merupakan bukti nyata kesungguhan bajang (pemuda) Sasak
untuk mempersunting si gadis.
Ada pertanyaan yang tersisa dari
respon dan keyakinan masyarakat Sasak dalam adat perkawinannya ini. Bahwa apa hanya
dengan lari bersama saja atau dengan mencuri si gadis dari pengawasan walinya
saja, sebagai alternatif untuk membuktikan kelaki-lakian, keberanian,
keseriusan untuk menjalankan hubungan dan jalinan bahtera rumah tangga
nantinya?. Jawaban bagi pertanyaan ini direspon dengan narasi yang cukup
humoris dan diplomatis bila dipertanyakan kepada orang Sasak atau kaum tua yang
ada di Lombok saat ini. Kebanyakan dari mereka akan menjawab bahwa
ketersinggungan luar biasa bagi mereka bila seorang lelaki yang ingin
mempersunting anaknya dengan diminta atau dilamar (Sasak: lako’). Mereka
menganalogikan perkawinan dengan melamar atau peminangan dirasakan sebagai penghinaan
karena meminta anak gadisnya sama dengan meminta anak ayam atau barang saja.
Dalam hubungan ini, Bartholomew menulis sebagai berikut:
”Pelarian diri kadang-kadang dianggap sebagai sebuah
intisari praktik adat Sasak, meskipun sebenarnya praktik ini dipinjam dari
orang-orang Bali. Pelarian diri merupakan praktik yang dihormati di
daerah-daerah tertentu yang menekankan pelarangan meminta kepada seorang secara
langsung atas anak perempuannya untuk dinikahi karena hal ini akan dianggap
sebagai penghinaan terhadapnya, anak wanitanya dan keluarganya. Seorang laki-laki
tua mengatakan kepada saya bahwa permintaan semacam itu nadanya sama dengan
meminta seekor ayam.”[11]
Budaya kawin lari merupakan salah satu
kultur tradisional bagi suku bangsa Sasak dari hasil asimilasi dan dialektika
kebudayaan. Penjelasan yang mungkin diberikan dan penunjang popularitas tradisi
ini adalah berkaitan dengan kenyataan bahwa raja-raja Bali pasca aneksasi dan
orang-orang lain yang sangat berkuasa sering mengambil perempuan-perempuan Sasak
sebagai gundik. Dengan melihat fenomena waktu itu, antisipasi para
keluarga-keluarga Sasak sering mendorong anak wanitanya untuk lari bersama
(melarikan) dengan laki-laki Sasak yang dicintainya. Secara psikologis gerak antisipatif
masyarakat Sasak waktu itu tidak jauh dari upaya mempertahankan relasi
endogamis ketimbang menjadi alat pemuas kekuasaan bagi perempuan Sasak waktu
itu.[12]
Pemangku adat atau masyarakat Sasak
umumnya menyatakan bahwa praktik budaya kawin lari merupakan hasil adopsi dari praktik
budaya Bali. Bedanya adalah kemampuan suku bangsa Sasak untuk membuat inovasi
baru bagi budaya kawin lari itu sendiri menjadi sebentuk identitas baru
kebudayaan Sasak berdasar pada polesan ajaran Islam. Bila pada masyarakat Bali,
pada prosesi melarikan gadis secara otomatis menjadi akad perkawinan bagi pasangan,
sedangkan pada masyarakat Sasak proses itu hanya menjadi awal rentetan prosesi dari
perkawinan, karena pelaksanaan akad nikah ala Islam menjadi keharusan untuk
dilaksanakan. Selanjutnya, masyarakat Sasak menjalankan setiap rentetan
seremoni perkawinan dilaksanakan dengan penuh hidmat dalam bingkai keislaman.[13]
E. Pudarnya Pesona ‘Merarik’
Sebelum Islam masuk ke Lombok,
kepercayaan yang berkembang adalah Boda dengan kebudayaan yang sangat
terpengaruh oleh budaya Bali, termasuk dalam hal perkawinan.[14]
Kemudian Islam masuk ke Pulau Lombok yang kemudian mewarnai budaya yang telah
ada di Lombok. Untuk dapat dterima oleh masyarakat suku Sasak, mengenai budaya
Islam tidak prontal melarang dan merubah secara drastis budaya lokal saat itu,
tetapi Islam memasukkan nilai-nilainya secara bertahap. Terhadap budaya yang
tidak bertentangan nilai Islam, meskipun tidak di kenal dalam dunia Islam
sebelumnya, Islam tidak membiarkannya tetap ada dalam masyarakat. Terhadap
budaya yang bertentangan dengan nilai Islam, jika tidak memungkinkan untuk
dapat langsung menghilangkannya, Islam berusaha masuk mewarnai budaya itu dan
berusaha meminimalisir hal-hal yang tidak sesuai ajaran Islam dengan
menggantinya dengan corak yang Islami. Ini dapat dilihat misalnya acara kumpul
sembilan malam dari meninggalnya seorang warga yang dulunya diisi dengan minum
minuman keras, berjudi, dan berbagai kegiatan terlarang lainnya, oleh Islam
Sasak adat ini dipertahankan, hanya kegiatan yang dilakukan malam itu
digantikan dengan membaca Surat Yasin, Zikir dan doa bersama untuk mayit.
Demikian pula dalam hal proses
perkawinan ‘kawin lari’ yang sudah terlalu mengakar pada masyarakat Sasak,
Islam tidak bisa langsung melarangnya, hanya berusaha memasukkan nilai-nilai
Islam dalam proses perkawinan itu. Maka jadilah ‘merarik’ sebagai hasil
dialektika kebudayaan antara Islam dengan kebudayaan Sasak yang sebelumnya diadopsi
dari adat Bali.
Sebagai hasil dari dialektika
kebudayaan, merarik tentu belum final. Tarik ulur masih akan terus berlangsung
seiring perkembangan zaman, bukan hanya antara adat dan Islam sebagaimana pada
awalnya, tetapi juga dengan unsur-unsur lain seperti modernitas, teknologi dan
ilmu pengetahuan. Hal ini terbukti dengan mulai maraknya warga masyarakat suku
Sasak, terutama di kota-kota dan yang terpelajar, mulai meninggalkan tata cara
perkawinan kawin lari (merarik) ini.
Berdasarkan pengamatan, dalam
pandangan masyarakat dewasa ini tentang perkawinan ‘merarik’, penulis
mengklasifikasikan masyarakat sasak mnjadi tiga golongan, yakni:
Pertama, golongan yang masih setia memegang
teguh tradisi kawin lari ini, dan akan sangat marah dan tidak terima apabila
anak gadis atau keluarganya diminta (dilamar).
Kedua, golongan yang sama sekali
meninggalkan tradisi kawin lari, dan beralih ke cara melamar (khitbah).
Ketiga, golongan pertengahan, yaitu mereka
yang menggunakan kedua cara, yaitu khitbah dan kawin lari, dalam arti telah
terjadi pembicaraan dan persetujuan keluarga kedua belah pihak untuk
melangsungkan perkawinan, tetapi untuk menghormati adat dan masyarakat, sebelum
terjadi akad si pemuda membawa si gadis pergi dari lingkungannya seolah-olah
dilarikan.
F. Faktor-faktor yang
Menyebabkan ‘Merarik’ Mulai Ditinggalkan
Ada beberapa hal -menurut penulis-
yang bertanggung jawab dalam hal mulai ditinggalkannya sistem perkawinan
‘merarik’ oleh warga Sasak. Diantaranya:
-
adanya fatwa atau dakwah tokoh agama
(tuan guru) yang menentang system
perkawinan merarik,
-
meningkatnya kesadaran beragama
masyarakat Sasak dan keinginan untuk melaksanakan syariat Islam di setiap lini
kehidupan,
-
meningkatnya jumlah kaum terpelajar
dan pendidikan,
-
masuknya modernitas ke Lombok,
-
banyaknya suku luar Lombok yang
menetap di Lombok,
-
banyaknya orang Sasak yang merantau ke
luar,
-
kesadaran masyarakat akan sisi
negative kawin lari (merarik).
Pengaruh Tuan Guru dan Fatwanya
Terhadap Sistem Perkawinan ‘Merarik’
Masyarakat Sasak adalah masyarakat
religius, yang kehidupan sehari-harinya dibalut oleh semangat keagamaan. Horison
ini, pada gilirannya mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap realitas di
sekitarnya. Misalnya masyarakat lebih percaya pada institusi sosial yang
berbasiskan keagamaan seperti ulama (Tuan Guru) dibandingkan lainnya.
Eksistensi tuan guru sebagai tokoh dan
pilar stabilitas pembangunan di pulau Lombok memainkan peran yang sangat signifikan.
Mereka terkenal karena kontribusi dan keterlibatannya yang sangat intensif baik
dalam pengembangan dakwah maupun permainan politik kekuasaan (sebelum dan
sesudah kemerdekaan). Para Tuan Guru mendapatkan pengakuan kuat di
tengah-tengah kehidupan masyarakat karena pengabdian dan perjuangan mereka
dalam membumikan Islam di Lombok, baik lewat jalur tasawuf, dakwah bi lisan
(tablig), pengembangan pesantren maupun pergerakan sosial lainnya.
Kemudian pada perkembangannya, para
tuan guru tidak hanya mendapatkan posisi penting pada aspek spiritual, tetapi
juga pada aspek adat duniawi. Para tuan guru oleh masyarakat memiliki legitimasi
untuk memberikan wejangan, petunjuk dan petuah dalam segala aspek kehidupan masyarakat,
tidak ketinggalan pada ranah kebudayaan dan bahkan komitmen politik.
Dengan eksistensinya golongan elit
keagamaan (tuan guru) pada masyarakat Sasak, sistem sosial barupun muncul
dengan tuan guru sebagai agen petuah dan penunjuk bagi pola budaya dan tingkah laku
yang harus dilakukan oleh masyarakat Sasak dalam menjalankan rutinitas
kehidupannya. Tokoh-tokoh agama memberikan pencerahan baru bagi perubahan
pemahaman masyarakat dalam memaknai dan memposisikan adat dalam prikehidupan
mereka. Adat menurut tuan guru dan tokoh agama merupakan artikulasi
interpretasi nilai-nilai agama yang termaktub dalam sumber ajaran Islam dan
ijtihad-ijtihad ulama fiqh Islam. Interpretasi baru adat ini sedikit tidak
menyebabkan reposisi kompetensi tokoh adat dalam mengatur tata kehidupan bermasyarakat
sehingga ketergantungan kuat terhadap tokoh adat menjadi berkurang dan
memunculkan dialektika yang dinamis antar individu dan kelompok masyarakat.
Dalam konteks dinamika sosial
masyarakat Sasak, para tuan guru hadir tidak hanya memainkan peran sebagai
“makelar budaya" (cultural broker), tetapi lebih jauh juga berperan
sebagai kreator aktif bagi perubahan sosial, yakni tuan guru memperkenalkan
anasir sistem luar dan menggerakkan perubahan dalam masyarakat. Sebagai makelar
budaya, berupaya mengaitkan dunia kecil pesantren atau komunitas atau diri dengan
dunia luar. Mereka mengawasi (juga melangsungkan) parochialization atas
nilai-nilai universal yang merambah dunia kecil dan melakukan universalisasi
atas nilai-nilai lokal ke dunia luar. Sementara sebagai aktor kreatif dari
dinamika sosial, para tuan guru secara relatif efektif menjadi figur panutan
atau patron masyarakat. Untuk hal terakhir ini, mereka benar-benar tampil sebagai
penentu cetak-biru (blue-print) wacana keagamaan di Lombok.[15]
Menurut Jhon Ryan Bartholomew,
sejumlah ahli etnografi dan sejarawan yang melakukan penelitian di Lombok lebih
dari tiga puluh tahun yang lalu mencatat kekuasaan tuan guru di Lombok.
Wawancara-wawancara yang dilakukan kepada pemerintah dan para pengembang swasta
tanpa terkecuali menyatakan bahwa semua proyek pembangunan haruslah disetujui
oleh tuan guru bila ingin segala sesuatunya berjalan dengan baik. Tuan guru
secara tipikal menggunakan symbol-simbol kekuasaan Sasak sebagai penopang
pengikut dan klaim legitimasinya.[16]
Melihat begitu krusialnya posisi Tuan
Guru di tengah kehidupan masyarakat Sasak, maka tentu tidak mengherankan bila
fatwa-fatwanya ikut mewarnai corak kehidupan kebudayaan masyarakat sasak.
Demikian juga dalam hal perkawinan, fatwa dari para Tuan Guru ikut bertanggung
jawab dalam hal mulai ditinggalkannya praktik system perkawinan merarik ini.
Mungkin yang pertama kali secara tegas
melarang praktik kawin lari (merarik) lewat fatwanya adalah TGH. Saleh Hanbali
Bengkel. Beliau yang menganggap kawin lari ini sebagai
manifestasi Hinduisme (Bali), serta tidak sesuai
dengan ajaran Islam.[17]
Menurut Masnun Tahir, pertimbangan para
tuan guru untuk menyatakan bahwa praktik kawin lari Sasak tersebut dari
perspektif hukum Islam tidak benar adalah diantaranya praktik kawin lari lebih
cenderung untuk berpotensi tidak baik dan kurang menguntungkan serta mengandung
bahaya yang dapat mengancam jiwa dan menimbulkan permusuhan baik antara pelaku
pelarian dengan keluarga perempuan ataupun dengan para beraye. Oleh karena itu
keberadaannya juga perlu dikaji ulang untuk menutup atau sekurang-kurangnya memperkecil
peluang bagi terjadinya berbagai perbuatan yang dapat mengancam kemaslahatan.
Dalam perspektif hukum Islam, permasalahan hukum seperti ini disebut sadd
al-zari'ah. Sadd alzari'ah dalam tradisi hukum Islam biasa diterjemahkan dengan
meniadakan atau menutup suatu jalan (sarana) yang dapat membawa kepada
perbuatan yang dilarang. Dalam hukum Islam, sadd al-zari'ah dipandang sebagai
salah satu sumber hukum Islam.[18]
Selain itu, ajaran Islam yang mengatur
tentang pernikahan secara eksplisit menyatakan bahwa seorang laki-laki harus
melakukan peminangan (khitbah) secara resmi kepada ayah gadis bila ingin menikahinya.
Karena alasan ini saja merarik adalah tidak Islami.
Pengaruh Meningkatnya Kesadaran
Keagamaan Masyarakat Sasak.
Seperti halnya kebanyakan orang Islam
di Indonesia, umat Islam Sasak umumnya -terlepas dari komunitas Watu Telu-,
mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang mengenal syariat Islam dari sudut
pandang fiqh menggunakan fiqh Syafi’iyah, dan dari tinjauan tauhid menganut teologi
Asy’ariyah. Umat Islam Sasak, seperti juga kebanyakan orang Islam, sering
diasosiasikan sebagai tradisionalis yang bercorak formalis-simbolis dan
formal-ritual karena lebih menekankan ibadah formal atau ritual dalam arti
sempit (ibadah mahdah) sebagai standar utama dalam mengukur kadar keberagamaan,
kesalehan dan bahkan keimanan seseorang. Ini berlawanan dengan Islam yang bercorak
substantif-fungsional yang melihat Islam secara lebih komprehensif dan tidak
terbatas pada ibadah dalam arti sempit. Asumsi ini diperkuat oleh Muhammad Husni
yang mengatakan bahwa aspek syari’ah (hukum Islam) yang dihayati dan diamalkan
masyarakat Islam Lombok, tampaknya masih sangat terbatas pada segi-segi ajaran
agama yang bersifat seremonial, sehingga tampaknya mereka berpandangan bahwa
itulah keseluruhan agama. Akibatnya adalah lahirnya berbagai kepincangan dalam
tata pergaulan masyarakat, baik yang berkaitan dengan hukum Islam maupun yang
berkaitan dengan aspek-aspek ajaran Islam lainnya.[19]
Dari sisi ini, harus diakui bahwa
proses mengislamkan masyarakat Islam Sasak memang belum maksimal dan belum
paripurna. Tugas para tuan guru, cendikiawan dan para pendakwahlah untuk
menyempurnakan pemahaman masyarakat terhadap Islam, supaya tidak hanya
dipandang sebatas ritual seremonial, tetapi menyangkut segenap aspek kehidupan,
termasuk dalam proses perkawinan.
Banyaknya tuan guru dan bejibunnya
pondok pesantren di Lombok, serta maraknya majlis taklim dan
pengajian-pengajian umum di masyarakat, sedikit tidak tentu akan memberi bekas
pada pemahaman keagamaan masyarakat sasak. Dalam hal perkawinan merarik
misalnya, mungkin tidak dapat merubah masyarakat mau meninggalkannya secara
signifikan, tetapi setidaknya lama kelamaan akan melunturkan fanatisme
masyarakat terhadap kawin lari ini.
Dalam perkembangan terakhir,
konstruksi kesadaran beragama umat Islam di Lombok banyak dipengaruhi oleh elitnya
yaitu tuan guru. Sebagai elit terdidik di masyarakat, tuan guru memberikan
pengetahuan Islam kepada masyarakat, di samping itu juga diyakini memiliki
otoritas yang sangat besar dan kharismatik. Hal ini, karena tuan guru adalah
orang suci yang dianugerahi “berkah”, tipe otoritas ini berada “di luar” dunia kehidupan
rutin dan profan sehari-hari. Otoritas tuan guru dalam hubungannya dengan
masyarakat telah dibentuk oleh kepedulian dan orientasinya pada
kepentingan-kepentingan umat Islam. Tipe kharismatik yang melekat pada diri
kyai adalah karunia yang diperoleh dari kekuatan Tuhan.[20]
Melihat begitu fanatiknya masyarakat
sasak terhadap tuan gurunya, meminta pendapatnya dalam segenap masalah akhirat
dan dunianya, sudah barang tentu jika para tuan guru tidak setuju dengan system
perkawinan merarik, dan ini ditularkan lewat pengajian-pengajian mereka kepada
masyarakat luas, maka masyarakat sasakpun sedikit demi sedikit akan mengikuti
pola fikir dari tuan gurunya. Ini dapat dilihat di desa Bengkel setelah TGH.
Salih Hanbali melarang praktik perkawinan merarik ini.
Pengaruh Meningkatnya Jumlah Kaum
Terpelajar dan Berpendidikan
Banyaknya pondok pesantren yang
berkembang di Lombok di satu sisi, dan dorongan pemerintah dalam meningkatkan
sektor pendidikan di sisi lain, melahirkan generasi muda yang berpendidikan.
Generasi yang punya pola fikir berbeda dengan generasi sebelumnya yang sangat
terikat adat. Generasi yang alam cakrawala berpikirnya telah berkembang dan
terbuka terhadap ide-ide dan pemikiran luar, yang tentunya sedikit tidak akan
berpengaruh terhadap pandangan mereka terhadap budaya sendiri, termasuk
terhadap tata cara perkawinan.
Kaum terpelajar yang dimaksud di sini
bukan hanya yang menguasai Ilmu Agama, tetapi secara umum yang telah mengecap
pendidikan tinggi di semua bidang pendidikan. Karena yang terlihat lebih banyak
mulai meninggalkan adat merarik dalam perkawinannya adalah mereka-mereka yang
sudah mengecap pendidikan tinggi (para sarjana) di samping para ustadz dan para
da’i.
Jika hal ini terus berlangsung ke masa
depannya, generasi berganti, kaum tua yang erat memegang adat telah berkurang
dan bahkan habis, digantikan kaum muda terpelajar yang tidak lagi fanatik
terhadap adat, maka bisa diprediksikan eksistensi dari perkawinan merarik ini
akan berkurang, bahkan bisa jadi akan punah.
Pengarauh Masuknya Arus Modernisasi ke
Lombok
Tidak dapat disangkal lagi bahwa arus
modernisasi yang melanda dunia sangat besar andilnya dalam member perubahan
pada budaya semua daerah di seluruh dunia termasuk terhadap Suku Sasak di
Lombok. Pengaruh yang ditimbulkan bisa berupa pengaruh positif dan juga
pengaruh negatif.
Sebagai unsur modernitas, tayangan
televisi, internet dan alat informasi modern lainnya sangat memberi bekas pada
masyarakat. Ini dapat dilihat pada pola hidup masyarakat sekarang dibandingkan
dengan masyarakat dulu, dari hal cara berpakaian, cara bergaul, sampai
nilai-nilai moral masyarakat. Jika ada yang tidak terpengaruh dalam kegiatan
hidup sehari-hari, tetapi paling tidak hal ini memberi bekas pada pandangan
mereka terhadap budaya peninggalan nenek moyang mereka, termasuk dalam hal tata
cara perkawinan.
Pengaruh Migrasi Suku Luar ke Lombok dan
sebaliknya
Dari sejak zaman dahulu, perpindahan
penduduk dari satu daerah ke daerah lainnya sudah lumrah terjadi. Dewasa ini
mobilitas migrasi penduduk ini semakin intens disebabkan tempat tugas, lapangan
kerja, atau lainnya.
Seseorang yang migrasi ke daerah lain,
biasanya akan membawa budaya asalnya ke daerah barunya, apalagi kalau sudah
membentuk suatu komunitas masyarakat, seperti Kampong Jawa, Kampung Arab, atau
Pecinan. Budaya yang dibawa ini ketika berbenturan dengan budaya lokal maka
akan terjadi tarik ulur, yang akan menimbulkan akulturasi, asimilasi atau
sintesis budaya.[21]
Banyaknya suku-suku luar yang memilih
Lombok sebagai tempat tinggal mengakibatkan berbaurnya budaya Sasak dengan
budaya luar yang pada akhirnya tentu akan berdanpak pada budaya sasak itu
sendiri, termasuk pada system perkawinan.
Dalam sistem perkawinan, berbaurnya
suku-suku mengakibatkan tarik ulur antar dua budaya tidak mungkin dihindari,
terlebih jika terjadi perkawinan antar suku yang berbeda adat istiadatnya,
misalkan suku Sasak dengan suku Jawa. Kompromi budaya tidak bisa tidak harus
terjadi. Dan hal ini pada akhirnya akan membawa imbas pada sistem perkawinan
sasak merarik.
Demikian juga dengan banyaknya orang
sasak yang merantau keluar, tinggal cukup lama di daerah luar, menyaksikan dan
kadang-kadang ikut terjun melaksanakan budaya luar tersebut, tentu hal itu akan
berpengaruh terhadap cara pandangnya terhadap budaya sendiri. Dan ketika dia
pulang kembali ke Lombok, cara pandang ini akan ia tularkan ke masyarakat
sekitar, atau paling tidak terhadap anggota keluarganya sendiri.
Pengaruh Timbulnya Kesadaran
Masyarakat akan Dampak Negatif Kawin Lari
Menurut penulis, faktor inilah
sebenarnya yang paling penting dalam masalah mulai ditinggalkannya tradisi
kawin lari (merarik) oleh sebagian warga sasak. Sedangkan fatwa tuan guru,
tingginya jenjang pendidikan, pengaruh pembauran kebudayaan dan lainnya hanya
menjadi penyebab bagi terciptanya kesadaran masyarakat Sasak akan dampak
negatif kawin lari ini, disamping dampak positifnya.
Pada awalnya kawin lari ‘merarik’
terkesan menjadi sebentuk simplifikasi pilihan dalam sikap yang menggunakan
legalitas adat sebagai instrumen pencapaian keinginan. Karena pilihan yang lain
seperti perkawinan dengan meminang atau belako’ terkadang cukup
memberatkan dan membutuhkan modal dan kesiapan psikologis yang harus ditanggung
oleh calon mempelai pria. Kemungkinan lamaran ditolak dan tidak disetujui oleh
wali perempuan, perbedaan status sosial (kafa’ah), syarat-syarat
persetujuan dan lainnya yang harus dipenuhi oleh pelamar tidak kalah sering
terasa memberatkan pihak laki-laki, maka lari bersama menjadi pilihan tepat
bagi satu pasangan. Di samping mudah dalam penyelesaian masalah-masalah dalam
proses perkawinan, juga mempermudah persetujuan wali (bila tidak ada ketentuan
adat yang mengikat).
Hal ini disebabkan karena dalam adat
perkawinan Sasak bila dua pasangan sudah melarikan diri akan menjadi keharusan
bagi pihak wali perempuan untuk menyetujuinya. Bila tidak maka akan menjadi aib
bagi keluarga yang dikesankan menyalahi adat.
Mungkin hal inilah yang menjadi dampak
fositif dari tradisi kawin lari (merarik) bagi suku Sasak. Namun jika ditelisik
lebih dalam, justru dibalik kesan positif inilah terdapat hal-hal negative yang
perlu dikaji untuk dijadikan bahan pertimbangan. Pertama, dikatakan
perkawinan dengan tradisi kawin lari relative lebih ringan dibandingkan dengan
meminang yang cukup memberatkan dan membutuhkan modal dan kesiapan psikologis
yang harus ditanggung calon mempelai pria. Menurut penulis, justru disinilah
kekurangan kawin lari, karena pernikahan dianggap suatu yang gampangan, yang
bisa dilaksanakan tanpa modal dan kesiapan matang, hal yang bertanggung jawab
penuh pada ketidakharmonisan rumah tangga nantinya. Kekurangsiapan kedua
mempelai dalam membina rumah tangga inilah yang mengakibatkan banyak rumah
tangga di Lombok berakhir dengan perceraian, yang akan menyisakan
persoalan-persoalan baru yang bersifat sosiologis maupun psikologis.
Kedua, dikatakan kawin lari akan
mempermudah persetujuan wali karena wali dianggap menyalahi adat jika tidak
menyetujui pernikahan anak perempuannya yang sudah dibawa lari oleh seorang
lelaki. Menurut penulis, ini juga bentuk kelemahan dari kawin lari, karena persetujuan
wali untuk mengawinkan anak (mauliyah)-nya adalah didasari keterpaksaan dan
bukan atas kerelaan hati. Apalagi jika calon mempelai pria sebenarnya tidak
disukai oleh keluarga perempuan dikarenakan tabiat dan tingkah lakunya yang
tidak sesuai moral atau agama. Perkawinan yang tidak berdasarkan restu secara
tulus ini akan mengakibatkan retaknya hubungan antara pengantin dengan pihak
keluarga perempuan maupun pihak keluarga pria. Perkawinan yang semestinya tidak
hanya mengikat dan mempersatukan kedua mempelai tetapi juga mempersatukan kedua
kelaurga besar dari mempelai, malah menjadi benih permusuhan dan perpecahan
diantara kedua keluarga besar mempelai.
Gambaran di atas memperlihatkan bahwa
meskipun dalam beberapa hal kawin lari Sasak memperlihatkan adanya kesesuaian dengan
ketentuan syara’ sebagi buah dari kompromi adat Sasak dulu yang mengadopsi adat
Bali dengan ketentuan agama Islam, namun dimensi pertentangannya baik dari
sudut normatif ataupun kemaslahatan juga tidak sedikit.
G. Masa Depan ‘Merarik’
Melihat phenomena perubahan sosial
masyarakat sasak dan semakin menggeliatnya faktor-faktor penyebab ‘merarik’
mulai ditinggalkan dalam proses perkawinan suku sasak, jika tidak ada usaha
untuk melestarikan tradisi ini, baik oleh pemerintah maupun dewan adat, tidak
menutup kemungkinan ‘merarik’ hanya akan tinggal kenangan generasi selanjutnya,
atau hanya tersisa dalam catatan buku sejarah.
Usaha yang mungkin bisa dilakukan
untuk mempertahankan eksistensi adat ‘merarik’ atau setidaknya memperlambat
proses tereliminasinya dari corak kehidupan masyarakat sasak pada umumnya
adalah dengan memperhatikan dan menjaga desa-desa adat sebagai cagar budaya
atau museum adat.
Namun menurut penulis, usaha apapun
yang dilakukan tidak akan sanggup untuk membendung perubahan yang mesti
terjadi, sebentar atau lama perubahan itu pasti akan datang, dan usaha yang
dilakukan hanya berfungsi memperlambat proses perubahan dan bukannya
menghalanginya.
H. Simpulan
Tradisi perkawinan ‘merarik’ merupakan
sistem perkawinan yang umum dilakukan masyarakat suku Sasak di Lombok. Tradisi
‘merarik’ merupakan hasil proses asimilasi kebudayaan Sasak yang diadopsi dari
suku Bali dengan ajaran syariat Islam. Meskipun begitu, oleh para pemuka agama
Islam, praktik merarik dianggap masih bertentangan dengan aturan Islam, baik
dari sudut normatif maupun maslahat.
Belakangan ini tradisi ‘merarik’ mulai
ditinggalkan oleh sebagian warga suku Sasak dikarenakan fatwa para tuan guru
yang melarang, meningkatnya kesadaran keagamaan
dan pendidikan masyarakat sasak, pengaruh modernitas, migrasi penduduk
dan adanya sisi negative dari kawin lari.
*** *** ***
Daftar Pustaka
Abd. Syakur, Ahmad, Islam
dan Kebudayaan; Akulturasi Nilai-Nilai Islam dalam Budaya Sasak, Yogyakarta:
Adab Press, 2006.
Bartholomew, John Ryan,
Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, terj. Imron Rosyadi, Yogyakarta: Tiara
wacana, 2001.
Budiwanti, Erni, ”The
Impact of Islam on the Religion of the Sasak in Bayan, West Lombok” dalam
Kultur Volume I, No.2/2001.
Budiwanti, Erni, Islam
Sasak; Wetu Telu Versus Waktu Lima, Yogyakarta: LKiS, 2000.
Husni, Muhammad,
"Kajian terhadap Kebudayaan Lombok Dewasa Ini: Tinjauan dari Perspektif
Hukum Islam", makalah diskusi perdana Forum Studi dan Komunikasi Mahasiswa
Lombok (FOSKOMAL), di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 5 November 1990
Noor, Muhammad, Muslihan
Habib dan Muhammad Harfin Zuhdi, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran
dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004.
Tahir, Masnun, Tuan Guru
dan Dinamika Hukum Islam di Pulau Lombok Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008
Taisir, M., Kawin Lari
dalam Masyarakat Sasak Perspektif Hukum Islam, Tesis tidak diterbitkan pada
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
Turner, Bryan S., Sosiologi
Islam: Suatu Telaah Analisa atas Tesa Sosiologi Weber, Jakarta: Rajawali, 1984.
Wikipedia, ensiklopedia bebas (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya)
[2] Masnun Tahir, Tuan Guru dan Dinamika Hukum Islam di
Pulau Lombok, Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I , 2008, 86. (ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/jurnal/05-masnun.pdf)
[4] Muhammad Noor, Muslihan
Habib dan Muhammad Harfin Zuhdi, Visi Kebangsaan Religius Refleksi Pemikiran
dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004), 79.
[5] Boda merupakan kepercayaan
asli orang Sasak sebelum kedatangan pengaruh asing. Orang Sasak pada waktu itu,
yang menganut kepercayaan ini, disebut Sasak Boda. Agama Sasak Boda ini
ditandai oleh Animisme dan Panteisme. Pemujaan dan Penyembahan roh-roh leluhur
dan berbagai dewa lokal lainnya merupakan fokus utama dari praktek keagamaan
Sasak Boda. Lihat Erni Budiwanti,”The Impact of Islam on the Religion of the
Sasak in Bayan, West Lombok” dalam Kultur Volume I, No.2/2001, 30.
[6] John Ryan Bartholomew, Alif
Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, terj. Imron Rosyadi, (Yogyakarta: Tiara
wacana, 2001), 86.
[9] Dalam tulisannya Masnun tidak begitu setuju dengan
segala usaha untuk memurnikan syariat Watu Telu, termasuk dengan berdakwah. Menurutnya
keyakinan Islam yang bernuansa lokal ini harus dipertahankan dari
keter-marginalkan, karena itulah bukti pluralitas keagamaan dalam Islam. Meski
kemudian dalam kalimat selanjutnya dia
menulis “…beralihnya Orang Sasak dari
Boda (sinkretisme Hindu-Budha) menjadi Islam, kemudian dari muslim sinkretis
dan nominal –disebut Wetu Telu- menjadi Islam yang sempurna – Waktu Lima- …”. Sesuatu
yang secara tidak langsung mengakui ketidak sempurnaan Islam Wetu telu. Dan
jika tidak sempurna, bukankah kewajiban semua muslim untuk menyempurnakannya?.
(Lihat Masnun Tahir, Tuan Guru…., 90-91)
[13] M. Taisir, Kawin Lari
dalam Masyarakat Sasak Perspektif Hukum Islam, Tesis tidak diterbitkan pada
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 45.
[14] Lihat Erni Budiwanti, The
Impact of Islam on the Religion of the Sasak in Bayan, West Lombok, dalam
Kultur Volume I, No.2/2001, 30.
[17] Ahmad Abd. Syakur, Islam
dan Kebudayaan; Akulturasi Nilai-Nilai Islam dalam Budaya Sasak, (Yogyakarta:
Adab Press, 2006), 184.
[19] Muhammad Husni, Kajian
terhadap Kebudayaan Lombok Dewasa Ini: Tinjauan dari Perspektif Hukum Islam,
makalah diskusi perdana Forum Studi dan Komunikasi Mahasiswa Lombok (FOSKOMAL),
di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 5 November 1990, 4.
[20] Bryan S. Turner, Sosiologi
Islam: Suatu Telaah Analisa atas Tesa Sosiologi Weber (Jakarta: Rajawali,
1984), 168-169.
[21] Akulturasi
adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa
menghilangkan unsur kebudayaan asli. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan
sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis
adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah
kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli. Lihat
wikipedia, ensiklopedia bebas (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar