REKONSTRUKSI FIKIH AL-SYA’RANI:
Dari Nalar Idealistik ke Realistik
Oleh : Miftahul Huda*
Sebagai seorang faqih
terkemuka, al-Sya”rani (1492-1565) amat risau melihat mainstream
pemikiran syariat pada jamannya yang menurutnya tidak lagi berorientasi pada
fakta dan kebutuhan umat. Hal itu antara lain terlihat pada hal-hal sebagai
berikut:
Pertama, pendekatan dan sistem episteme[1]
yang digunakan para faqīh pada umumnya bersifat tunggal dan cenderung
dianggap baku, padahal variasi pemahaman
terhadap syariat tidak hanya terjadi belakangan, melainkan sejak jaman sahabat,
bahkan ketika Nabi masih hidup bersama mereka.
Kedua, pengembangan konsep hukum sepenuhnya
bertolak dari paradigma merubah pernyataan teks syariat menjadi kenyataaan
sosial melalui pendekatan yang umumnya bersifat doktriner dan ideologis. Sehingga konsep hukum sangat normatif, kurang
memperhitungkan fakta, kepentingan dan implikasinya bagi kehidupan umat.
Ketiga, otoritas penetapan hukum bagi
setiap orang diserahkan sepenuhnya kepada para mujtahid (tertentu)
hingga dalam hal teknis yang sekecil-kecilnya. Oleh karena itu hukum sepenuhnya
dipahami berdasarkan perspektif para ulama tersebut dengan segala kelebihan dan
keterbatasannya secara intelektual, visi sosial, motif pribadi serta
subyektivitas lainnya yang secara alamiah melekat pada diri mereka. Dalam hal
ini, masyarakat awam sebagai komponen terbesar umat, secara tidak langsung dianggap
“mati-rasa” secara moral dan intelektual, seolah-olah mereka sama sekali tidak
dapat membedakan antara yang benar dan salah, serta antara yang baik dan buruk
bagi mereka sendiri, hingga dalam hal yang sangat elementer sekalipun.
Keempat, konsep hukum yang ada cenderung
dianggap memiliki validitas mutlak, berlaku selamanya bagi semua orang di
segala waktu dan situasi.
B. Pokok-pokok Ide Rekosntruksi
Menangggapi berbagai problematika
tersebut al-Sya”rani berupaya memberikan orientasi baru dalam pemikiran hukum
ke arah yang lebih dekat dengan tuntutan realitas kehidupan yang sesungguhnya.
Idenya tersebut kemudian dituangkan
dalam empat pokok pandangannya yang meliputi: (a) Justifikasi tiga sistem episteme
(b) Penggunaan prinsip pragmatisme dalam penerapan hukum, (c) Legitimasi
perubahan hukum sejalan dengan perkembangan situasi (d) Pandangannya tentang
keharusan idjtihād dan larangan taqlīd dalam pengamalan
hukum syariat.
Keempat pokok pandangannya tersebut
akan dibahas secara lebih luas pada pembahasan berikut:
A. Justifikasi Tiga Sistem Episteme
Al-Sya”rani menolak pandangan bahwa
hukum syariat hanya boleh dipahami dengan pendekatan atau sistem episteme
tertentu. Menurutnya pada tahap konseptualisasi (idjtihād istinbāţi)
semua sistem episteme yang berkembang dalam tradisi keagamaan umat Islam
harus diterima. Dia tidak melihat argumen yang benar-benar meyakinkan, baik
teks keagamaan, elaborasi rasional maupun bukti-bukti historis, yang memberikan
legitimasi atas keunggulan mutlak sistem episteme tertentu terhadap
lainnya, hingga harus diterapkan secara mutlak.
1.
Jalan Menuju Pengetahuan tentang Syariat
al-Sya”rani dalam al-Mīzān al-Kubrā telah
mengemukakan pandangannya bahwa pengetahuan tentang hukum ajaran syariat bisa
diperoleh melalui tiga cara yang bersifat hierarkis, sesuai dengan kapasitas
masing-masing individu dari tingkatan paling bawah sebagai berikut:[2]
a.
Al-Taslīm wa al-Īmān
Secara
etimologis istilah al-taslīm berasal dari kata sallama yang
artinya menyerah, patuh atau menundukkan diri. Sedangkan al-īmān berasal
dari akar kata āmana yang artinya menerima atau mempercayai dengan
perasaan aman, tenteram dan kedamaian hati. Jadi, arti al-taslīm wa al-īmān
adalah menerima dan mempercayai
informasi atau pandangan yang disampaikan orang lain atau diserap dari tradisi
yang hidup dalam lingkungan masyarakat.[3] Dengan
kata lain, ia adalah memperoleh pengetahuan lewat tradisi atau kita sebut
sebagai Nalar Tradisional.
Dalam
terminologi di sini, yang dimaksud Nalar Tradisional adalah menerima
pendapat yang disampaikan atau diajarkan oleh orang yang dianggap otoritatif
(para rāwi hadits, imam mazhab, penulis kitab Fikih, ulama, da’i, hakim
agama, guru agama atau siapa saja yang dianggap otoritatif) tanpa melakukan
penyelidikan dan verifikasi lebih dahulu atas kesesuaiannya dengan dalil
ataupun argumen (hudjdja) yang mendasarinya.
Dengan
demikian, penerimaan, dan pengamalan hukum syariat tidak didahului proses
konfirmasi (tabayyun) atau telaah kritis atas materinya, melainkan
disandarkan sepenuhnya pada kredibilitas dan otoritas figur yang meyampaikan.
Istilah lain yang pengertiannya kurang lebih sama dengan taslīm adalah taqlīd[4] yaitu
mengikuti orang yang dipandang memiliki kompetensi tanpa melakukan pengkajian
terhadap substansinya.
Tingkatan ini
adalah yang paling rendah dan berlaku bagi masyarakat awam, yakni mereka yang
belum memiliki kompetensi untuk menyimpulkan sendiri materi hukum syariat dari
sumber-sumbernya. Mereka harus mengikuti pendapat para imam mazhab atau ulama
yang mereka percayai, tanpa terlebih dahulu melakukan evaluasi atas
kesahihannya. Hal itu bukan untuk membatasi kebebasan dan kemandiriannya, namun
semata-mata demi menghindari ketersesatan yang tidak disadari.[5]
b. Al-Nazar wa
al-Istidlāl
Secara
etimologis nazar berasal dari akar kata nazara yang
artinya memandang, melihat atau memikirkan. Sedangkan istidlāl (bentuk
modifikasi dari kata dalla) artinya adalah melacak untuk menemukan
petunjuk (dalīl). Dalam pembahasan di sini istilah tersebut diartikan
sebagai penerimaan, dan pengamalan suatu konsep hukum yang didasarkan pada
kesimpulan penelitian dan analisis
sumber-sumber utama ajaran Islam yaitu al-Quran dan Sunnah serta sumber
penunjang lainnya. Dengan memperhatikan karakteristik utamanya, tipe episteme
ini dapat kita sebut sebagai Nalar Rasional.
Posisi nalar
tipe ini satu tingkat lebih tinggi dari yang disebutkan pertama kali (al-taslīm
wa al-īmān), dan berlaku bagi ulama mudjtahid dan cendekiawan
yang mampu menyelami sumber (dalīl) syariat serta metode-metode analisis
istinbāţ-nya, baik yang dilakukan secara individual ataupun
kolektif. Dengan kapasitas intelektual
dan ilmu yang memadai mereka mampu melakukan telaah atas dalil-dalil (al-Quran,
Hadits dan sumber-sumber lainnya), menilai validitas dan otentisitasnya serta
melakukan istidlāl guna menemukan kesimpulan hukum yang terkandung di
dalamnya.
c. Al-Kashf wa
al-‘Iyān
Ini adalah
tingkatan tertinggi yang secara eksklusif hanya dapat dilakukan para ulama tertentu (khaşş)
yang benar-benar pilihan. Setelah menjalani serangkaian usaha lahir batin
menuju ma’rifah, para ulama khash itu akhirnya memperoleh
karunia kemampuan istimewa, karena disamping basis penguasaan dalil dan piranti
metodologis yang dikuasai sebelumnya, secara spiritual mereka juga memperoleh
akses langsung kepada Allah swt. dan rasul-Nya untuk mendapatkan pengetahuan
syariat lewat intuisi (kashf wa al-‘iyān) dengan memperoleh ilmu
ladunni. Kita dapat menyebut episteme ini sebagai Nalar
Spiritual.
Dalam
menangkap ajaran syariat lewat kashf atau dhawq itu,[6] mereka
tidak lagi memerlukan bantuan metode penalaran atau disiplin ilmu tertentu
sebagaimana yang berlaku bagi kebanyakan mudjtahid,[7] namun
itu hanya berlaku khusus bagi mereka yang benar-benar berkompenten. Sedangkan
para mudjtahid “pemula” yang belum mencapai tingkatan dhawq
tetap harus mengikuti pendapat yang paling unggul (ardjah)
berdasarkan idjitihād yang mereka lakukan.
Memang
pengetahuan yang diperoleh lewat kashf secara sepintas terkadang
tidak sejalan dengan pemahaman kebanyakan orang, termasuk para ulama syariat (faqīh),
sehingga ilmu jenis ini bisa menimbulkan kontroversi dan fitnah di tengah
masyarakat. Namun bagi mereka yang mendalami Tasawuf, hal itu merupakan sesuatu
yang wajar karena memang di antara sifat yang sering terdapat pada ilmu
ladunni adalah munculnya penolakan oleh rasionalitas (kebanyakan orang) dan
sulitnya diterima kecuali dengan jalan taslīm, karena jalan untuk
mendapatkannya memang amat sulit dilewati oleh kebanyakan orang.[8]
Ketiga jalan
menuju pengetahuan tentang syariat (nalar tradisional, nalar rasional dan
nalar spiritual), sekalipun berada dalam posisi yang hierarkis berdasarkan subyek
hukum yang mengamalkannya, namun secara moral memiliki nilai kebenaran yang
sama, karena masing-masing terkait dengan individu yang sifat dan kapasitasnya
memang berbeda. Jadi perbedaannya hanya dalam kerangka teoretis berdasarkan
karakteristik “segmen social” sasarannya.
Dengan
mengakomodasi ketiga sistem episteme tersebut, al-Sya”rani meneguhkan
pendiriannya bahwa sekalipun secara konseptual ketiganya dapat dibedakan satu
sama lain, namun semuanya memiliki nilai kebenaran dan peluang yang sama untuk
diterima dan diamalkan oleh segenap umat Islam
Oleh karena itu, keberadaan ketiganya tidak boleh diingkari atau
ditolak, melainkan justru harus diakomodasi dan dimanfaatkan.
Dengan
demikian, menurut al-Sya”rani, secara teoretik hukum Islam boleh dipahami
melalui metode dan pendekatan yang manapun dari ketiga sistem episteme
tersebut, asalkan dilakukan oleh mereka yang benar-benar memiliki kompetensi
ber-idjtihād, disertai niat tulus untuk memahami dan mengamalkan
pesan Allah swt. dengan sebaik-baiknya.
Dengan konsep yang sangat mirip seorang
cendekiawan kontemporer, al-Djābiri,
memetakan sistem episteme yang berkembang di dunia Islam dalam tiga
kategori sebagai berikut:
Pertama, sistem pengetahuan tekstual atau
linguistik (nizām al-ma’ārif al-bayāni) yaitu sistem pengetahuan
yang pada dasarnya menjadikan teks atau tradisi sebagai rujukan utama. Sistem
pengetahuan ini dalam perkembangan sejarahnya mengkristal menjadi ilmu-ilmu
diskursif murni khas dunia Islam yang meliputi gramatika dan sastra Arab (Nahw
dan Balāgha), hukum dan teori-teorinya (Fiqh dan Uşūl
al-Fiqh), Teologi (Kalām) serta ilmu-ilmu tentang al-Quran dan
Hadits (‘Ulūm al-Qurān dan ‘Ulūm al-Hadīth).[9] Meskipun
masing-masing memiliki ciri khas sendiri dan di dalamnya juga terjadi
polarisasi ke dalam mazhab yang berbeda-beda, namun semua ilmu ini memiliki
ciri umum yang sama, yaitu menjadikan teks sebagai rujukan epistemologis yang
paling utama.
Kedua,
sistem pengetahuan demonstratif (nizām al-ma’ārif al-burhāni)[10] yaitu
sistem pengetahuan yang mengembangkan metode dan pandangan dunianya dengan
mengandalkan kemampuan akal manusia dan pada prinsipnya tanpa bersandar pada
kitab suci. Pendukung sistem ini antara lain para filosof peripatetik muslim
yang mengembangkan sistem filsafat berdasarkan tradisi filsafat Yunani kuno,
khususnya Aristotelianisme.[11]
Ketiga,
sistem pengetahuan gnostik (nizām al-ma’ārif al-‘irfāni) yaitu
sistem pengetahuan yang pada intinya mengklaim adanya ilmu yang lebih tinggi
tingkatannya, yang hanya dapat diperoleh melalui intuisi (kashf
atau ilhām). Termasuk dalam kategori ini adalah sistem
pengetahuan yang dikembangkan para tokoh sufi dan kaum Syiah (baik Syiah
Imamiyah maupun Syiah Isma’iliyah) serta para filosof iluminasionis.[12]
2. Hubungan antara Tradisi,
Rasio dan Intuisi
Dalam bingkai kajian Islam, terdapat tiga bentuk sikap fundamental
terkait dengan posisi pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi (ilhām
atau kashf); Pertama, sikap menolak sepenuhnya keberadaan kashf,
Kedua, sikap menerima sepenuhnya kashf sebagai argumen (hudjdja)
hukum syariat sebagai dalil independen
bahkan tingkat validitasya lebih tinggi dari pada otoritas teks Ketiga,
sikap moderat, yakni menerima kashf dengan syarat isinya tidak
bertentangan dengan ketentuan yang diketahui lewat tradisi (naşş) dan
penalaran (istidlāl).[13]
Menurut para sufi, ilmu batin yang benar senantiasa bersandar pada
syariat. Ilmu batin merupakan ilmu dhawqy[14]
yang pokok-pokok isinya sesungguhnya telah tercakup dalam berbagai ketentuan
syariat, baik secara tersurat (manţūq) maupun tersirat (mafhūm).
Ketika seorang hamba, mengamalkan al-Kitab dan Sunnah, mematuhi aturan syariat
dan menghadapkan hatinya (tawadjdjuh) kepada Allah swt. serta
meniti jalan ke arah dhawq menuju hadirat-Nya, maka terbukalah
baginya kemungkinan untuk mendapatkan karunia ilmu semacam itu.
Al-Sarrādj al-Ţūsi (w. 988) dalam karyanya, al-Luma’,
menjelaskan bahwa sesungguhnya ilmu syariat itu hanya satu, namun di dalamnya
mengandung dua elemen, riwāya dan dirāya. Jika seseorang mampu
mengamalkan ajaran syariat dengan menggabungkan keduanya, maka model seperti
itulah memang yang ideal, yakni ilmu yang mampu mengantar kepada kesempurnaan
dalam menjalankan amal lahir dan amal batin sekaligus.[15]
Shari’a adalah ibarat susu sedangkan haqīqa
adalah kejunya. Orang tidak akan mendapatkan haqīqa yang
sesungguhnya jika tidak mengamalkan shari’a terlebih dahulu. Haqīqa juga mencakup pengertian
bahwa setiap orang seharusnya ikhlas (mukhliş) dalam setiap
tindakan yang dilakukannya. Ibn ’Aţā‘illāh al-Iskandari (w. 1309) menyatakan,
”Semua tindakan sesungguhnya hanya sekedar bentuk (formalitas) semata, sedang
esensinya adalah ikhlas”.[16]
Haqīqa merupakan buah dari (pengamalan) sharī’a.
Dalam karyanya yang lain, al-Ţabaqāt al-Kubrā, al-Sya”rani menjelaskan
bahwa ilmu batin adalah ilmu yang memancar dalam hati para wali ketika
kehidupan mereka penuh disinari dengan pengamalan ajaran al-Kitab dan Sunnah.
Sesungguhnya amalan-amalan taşawwuf merupakan kelanjutan dari amalan sharī’a.[17] Amalan lahiriah berupa tindakan fisik, baik
yang terdiri dari ibadah ritual (seperti bersuci, shalat, puasa, haji dan djihād),
maupun berbagai ketentuan hukum syariat dalam lapangan sosial (seperti hudūd,
ţalāq, ‘itāq, buyū’, farā’id, dan qişāş). Sedangkan amal
batin adalah berupa gerak hati seperti pembenaran, imān, yaqīn, jujur,
ikhlas, ma’rifa, mahabba, ridā, dhikr, shukr
dan sebagainya.[18]
Dalam Risāla-nya al-Qushairi menjelaskan kaitan
antara sharī’a dan haqīqa sebagai berikut:
Sharī’a adalah perintah untuk
memenuhi aspek kehambaan sedangkan haqīqa adalah mushāhada
(penyaksian) terhadap aspek ketuhanan. Setiap (pengamalan ajaran) sharī’a
yang tidak ditopang oleh (penghayatan yang memadai terhadap) haqīqa
tidak akan diterima (dihadapan Allah swt.). Dan (sebaliknya) setiap penghayatan
haqīqa yang tidak diikat dengan sharī’a tidak akan
mencapai tujuannya.
Sharī’a datang untuk menyampaikan
perintah kepada makhluk sedangkan haqīqa mengabarkan tentang
pengaturan Tuhan. Sharī’a adalah hendaknya anda beribadah sedang haqīqa
adalah ketika kamu menyaksikan. Sharī’a adalah menunaikan apa
yang diperintahkan sedang haqīqa adalah melihat apa yang telah
ditetapkan dan ditakdirkan serta apa yang dirahasiakan dan ditampakkan
(oleh-Nya).[19]
Karena secara substansial antara sharī’a dan haqīqa
tidak terpisahkan, maka kashf yang otentik dan sahih selamanya
tidak akan pernah bertentangan dengan ketentuan-ketentuan sharī’a.[20]
Pandangan al-Qushairi tersebut, yang juga disetujui al-Sya”rani,
menegaskan pentingnya mengindahkan semua aturan sharī’a jika
seseorang benar-benar ingin mendapatkan kebenaran yang tertinggi. Seberapa pun tingginya “ilmu” haqīqa
dapat dicapai seseorang, hal itu sama sekali tidak akan pernah memberikan izin
untuk mengabaikan atau memandang rendah sharī’a.
Para sufi bahkan sangat menekankan agar semua aktivitas mudjāhada
mereka hendaknya tetap dalam ikatan ketentuan sharī’a. Abu Yazid
al-Bistami (w. 874), seorang tokoh besar kaum sufi generasi awal, dengan tegas
menyatakan, “Seandainya kalian melihat seseorang yang memiliki karāma
hingga dapat terbang di udara, maka janganlah tertipu olehnya sampai kalian
benar-benar mengetahui apa yang dilakukan terhadap perintah, larangan,
batasan-batasan (hudūd) sharī’a dan (kalian juga
memastikan) kesungguhannya dalam mengamalkan ajaran sharī’a.[21] Al-Qushairi
menegaskan, “Setiap (amalan) sharī’a yang tidak ditopang dengan haqīqa
tidak akan diterima. Dan begitu pula setiap (ilmu) haqīqa yang
tidak diikat dengan ketentuan sharī’a (juga) tidak akan
diterima.”.[22]
Dengan demikian ma’rifa sufi tidak bisa diperoleh kecuali lewat
kejujuran dalam bermuamalah, kesucian diri dari segala akhlak yang hina serta
kesungguhan menghadapkan hati (tawadjdjuh) kepada Allah swt. Semua itu tidak akan bisa dicapai tanpa usaha
yang sungguh-sungguh untuk memutuskan diri secara mutlak dari keinginan
menuruti bisikan nafsu dan dorongan jahatnya. Hal itu berarti pula bahwa
sesungguhnya ma’rifa juga bertujuan untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia (al-akhlāq al-karīma).[23]
Oleh karena itu, agar orang tidak terjerumus dalam
kesesatan akibat pengetahuan yang (dipercayai) datang lewat kashf, al-Sya”rani
menarik sikap tegas bahwa sekalipun (dalam pandangan subyektif kaum sufi) kashf
memiliki tingkatan validitas yang lebih tinggi, namun demi menjamin
kesesuaiannya dengan ketentuan sharī’a, semua materi pengetahuan
yang diperoleh lewat kashf tersebut harus dibandingkan (dan
dikonfirmasikan) terlebih dahulu dengan (makna zāhir) teks
al-Kitab dan Sunnah.[24] Jika sejalan dengannya, maka bisa diamalkan
dan jika tidak sejalan maka haram untuk diamalkan. Sikap tersebut merupakan
bentuk perlawanan al-Sya”rani terhadap sejumlah tokoh sufi yang saat itu
mengibarkan klaim superioritas mutlak haqīqa (tasawuf) terhadap sharī’a
(Fikih). Klaim-klaim ekstrem semacam itu akhirnya mendorong mereka
menganggap remeh dan berani melanggar berbagai aturan sharī’a
secara terang-terangan, yang kemudian diikuti secara luas oleh pengikut mereka.
Keberadaan kashf sebagai bagian dari
sistem episteme keagamaan yang berkembang di lingkungan umat Islam
memang tidak dapat diingkari, karena disamping elemen-elemen dasarnya telah
memiliki sejarah panjang sejak masa-masa awal sejarah Islam, ia juga telah
memberikan sumbangan yang amat besar bagi perkembangan pemikiran kaum
muslimin. Akan tetapi, menurut
al-Sya”rani, karena sifatnya yang amat pribadi dan subyektif serta potensinya
yang besar untuk bisa disalahgunakan, sebagaimana yang disaksikan oleh
al-Sya”rani pada waktu itu, maka pengetahuan yang diperoleh lewat kashf
haruslah senantiasa “dipagari” dan
disaring terlebih dahulu dengan batasan ketentuan zahir syariat agar
penerapannya tidak keluar dari situ.
B. Pragmatisme
dalam Penerapan Hukum
Dengan mengkaji konsep mīzān-nya
lebih lanjut, secara implisit dapat diidentifikasi lagi butir lain dari
pemikiran al-Sya”rani, yakni diintrodusirnya semacam prinsip Pragmatisme[25] dalam
menentukan pilihan konsep hukum yang hendak diaplikasikan. Berdasarkan prinsip
tersebut, untuk menilai sebuah konsep hukum yang hendak diamalkan atau
diterapkan dalam kehidupan masyarakat, terlebih dahulu harus melalui dua
tahapan penilaian yang terdiri dari:[26]
Pertama,
penilaian sisi teoretik, yakni penilaian validitas suatu konsep hukum
berdasarkan kesesuaiannya dengan sumber-sumber (dalīl) dan
prinsip-prinsip umum hukum syariat.
Tahap ini dapat pula disebut sebagai tahapan verifikasi dalil,
yakni langkah-langkah konfirmatif apakah suatu konsep hukum memiliki argumen
yang memadai dari sudut kajian teoretik syariat, tanpa melihat metode analisa
dan pola pendekatan yang digunakan dalam mengambil kesimpulan.
Dalam konteks
ini, al-Sya”rani menegaskan pendiriannya yang berbeda dengan kebanyakan fuqahā’.
Menurutnya, kebenaran Fikih pada level ini bersifat pluralistik dan berjenjang
(terdiri dari sejumlah alternatif berdasarkan prinsip takhfīf dan
tashdīd), bersifat teoretik (baru pada taraf konstruksi
intelektual dan belum mengikat siapapun untuk mengamalkannya).
Jika mengacu
pada konseptualisasi Terrence W Tilley,[27] maka
pemikiran al-Sya”rani pada level ini sebenarnya bukan lagi pluralisme, namun
telah masuk dalam kategori paralelisme, yaitu pandangan bahwa semua aliran
pemikiran dan mazhab, sekalipun berbeda-beda, berliku-liku dan terlihat saling
bertentangan, namun sebenarnya mempunyai titik-titik kesejajaran yang
memungkinkan untuk bisa saling untuk bertemu pada batas akhir peziarahan
manusia.
Guna
memperjelas pandangannya tersebut, al-Sya”rani mengibaratkan posisi mazhab
hukum yang satu terhadap lainnya adalah sebagaimana sederetan anak panah yang
semuanya berada pada posisi sejajar menuju arah sasaran yang sama.[28] Atau
ibarat anyaman jaring jala penangkap ikan yang sekalipun pada bagian pinggirnya
mencakup permukaan yang cukup luas, namun pada bagian ujung semuanya terkait
dengan poros yang sama.[29] Dia
juga menjelaskan idenya itu dengan perumpamaan-perumpamaan yang lain.[30] Dengan demikian kedudukan semua aliran atau
mazhab hukum pada dasarnya adalah sejajar, tidak ada yang secara mutlak lebih
unggul (apalagi lebih benar) dari pada yang lain, karena masing-masing
mempunyai kelebihan sendiri pada sisi tertentu dan juga mengandungi kelemahan
pada sisi yang lain jika dikaitkan dengan situasi tertentu.
Kedua,
penilaian aspek aplikatif atau tahapan implementasi, yakni dengan
melihat kesesuaian suatu konsep hukum dengan kondisi orang di mana hukum itu
hendak diterapkan. Dari berbagai pandangan Fikih yang semuanya dianggap benar
pada level pertama (kebenaran teoretik), pada akhirnya yang mengikat dan wajib
diamalkan oleh setiap muslim hanyalah satu yaitu yang paling sesuai dengan
posisi, status dan kondisinya masing-masing.
Dari sini
tampak bahwa sekalipun secara teoretik hukum syariat itu bersifat universal,
namun pada tingkat aplikasinya, sesungguhnya bersifat unik sesuai dengan
keunikan subyek hukum dan kondisi yang melingkupinya. Tentu saja hal ini tetap
disertai pentingnya meneguhkan keyakinan dari setiap individu, bahwa mazhab
hukum lain yang tidak dia amalkan juga berada dalam jalan kebenaran dan pada suatu saat mungkin akan mengikat dirinya
pada waktu dan situasi yang lain.
Pada level
kebenaran aplikatif inilah al-Sya”rani baru menerapkan prinsip “tardjih”
versinya sendiri, sehingga sekalipun semua mazhab dianggap benar (dalam level
teoretik), namun pada tingkat aplikasiya hanya ada satu saja yang “paling
tepat” (bukan “paling benar”, karena semuanya telah dianggap benar) dan wajib
diamalkan oleh masing-masing orang.
Pada level
pertama, hukum bisa disimpulkan melalui semua pendekatan, baik secara tekstual (bayānī),
rasional (burhānī) maupun spiritual
(‘irfānī) sesuai “pilihan” masing-masing mudjtahid.
Sedangkan pada level kedua pertimbangannya adalah pragmatis oleh orang yang
bersangkutan atau oleh muftī dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat
dan orang yang memerlukan fatwanya.
Dengan
demikian proses penerapan hukum, jika diurutkan dari tahapan penemuannya (istinbāţ)
adalah sebagai berikut: (a) Istinbāţ yang menghasilkan konsep-konsep
hukum (Fikih) yang beragam dan semuanya dianggap benar. (b) Stratifikasi konsep
hukum dalam kerangka berpikir takhfīf dan tashdīd.
(c) Verifikasi dan evaluasi situasi subyek hukum yang hendak mengamalkan. (d)
Menetapkan alternatif konsep hukum yang paling relevan dengan kondisinya. (e)
Penerapan (pengamalan) hukum.
Deskripsi di
atas juga mengisyaratkan bahwa kewenangan untuk memilih konsep hukum yang
berlaku bagi setiap individu, tidak sepenuhnya menjadi otoritas para mudjtahid,
termasuk yang de facto diakui sebagai panutan masyarakat (imam
mazhab). Pada tingkat tertentu wewenang
tersebut justru berada di tangan setiap individu yang hendak mengamalkan. Dalam
hal ini, status para mudjtahid tidak lebih sebagai “penemu”
konsep-konsep hukum yang kemudian menawarkan temuannya itu kepada publik
disertai argumen-argumennya. Pada akhirnya masyarakat sendiri yang menentukan
apakah akan mengikuti mudjtahid yang satu atau lainnya. Setiap
individu diakui hak dan tanggung jawabnya dalam memilih konsep hukum yang
paling proporsional bagi dirinya. Oleh karena itu, konsep hukum hasil idjtihād
para ulama dengan semua variannya merupakan alternatif yang selalu terbuka
sepanjang sejarah untuk dipilih atau tidak dipilih.
Dalam lapangan sosial yang
luas, pandangan seperti itu akan dapat turut mendorong proses pemekaran tradisi
keberagamaan dan pola bermazhab yang lebih “cair”, di mana keterikatan seorang
individu (muqallid) terhadap imam mazhab atau ulama panutannya tidak
terjadi secara apriori, primordial dan tetap selamanya, melainkan sebatas
relevansinya dengan kondisi dan dinamika
religiusitasnya. Oleh karena itu, al-Sya”rani mewanti-wanti para ulama
yang dipandang memiliki otoritas untuk berfatwa, agar setiap fatwa yang mereka
keluarkan tidak hanya didasarkan pada keinginan (atau mazhab) sang muftī,
melainkan lebih pada relevansinya dengan situasi dan kebutuhan nyata dari
orang-orang yang memerlukan fatwanya itu (mustaftī). Jika tidak
demikian, maka fatwa-fatwa mereka tidak akan membantu umat keluar dari berbagai
problema yang mereka hadapi, namun sebaliknya akan menimbulkan persoalan baru,
kesulitan dan penderitaan yang sesungguhnya tidak perlu terjadi.[31]
Ide al-Sya”rani untuk membagi seluruh ketentuan hukum
ke dalam tingkatan-tingkatan (martaba) juga merupakan aspek penting dari
pemikiranya. Hal itu karena para ulama pada umumnya berpandangan bahwa pada
dasarnya hanya ada satu hukum “terbaik” yang disimpulkan sekali untuk selamanya
dan berlaku secara general bagi setiap mukallaf.[32] Namun
demikian al-Sya”rani juga menolak pandangan ulama yang sekalipun mengakui
kebenaran semua ulama mudjtahid (tipe kelompok muşawwiba
yaitu mereka yang membenarkan pendapat semua ulama mudjtahid),
tetapi mereka berhenti pada sikap pembenaran itu hingga terkesan membiarkan
setiap orang memilih sendiri pandangan hukum yang hendak diamalkan. Untuk
mencegah terjadinya “anarki” dalam pengamalan hukum, menurut al-Sya”rani, sikap
pembenaran semua mazhab hukum itu harus disertai suatu guideline sebagai
pedoman bagi publik dalam memilih konsep hukum yang hendak mereka amalkan.
Dengan pembagian kebenaran hukum Fikih ke dalam dua
level tersebut, al-Sya”rani telah mengakomodasi dua kepentingan strategis umat
Islam ke dalam pemikirannya, yakni di satu sisi akan memberikan dorongan dan
peluang yang lebih luas bagi pengembangan teori dan metodologi hukum di masa
depan, apapun nama dan pola pendekatannya, guna menghasilkan konsep-konsep
hukum alternatif (pada kebenaran level pertama atau kebenaran teoretik).
Sementara pada sisi lain, dia juga menggariskan agar
penerapan setiap aturan hukum benar-benar memperhatikan relevansinya dengan
kenyataan, tantangan dan kebutuhan jamannya (pada kebenaran level kedua atau
kebenaran aplikatif). Hal itu menunjukkan bahwa dalam penerapan setiap aturan
hukum syariat, al-Sya”rani sangat menekankan pentingnya pertimbangan sosiologis
dan psikologis agar penerapan hukum bisa mengarah kepada pencapaian
tujuan-tujuan idealnya (maqāşid al-ahkām).
Pemikiran al-Sya”rani tersebut akan semakin menemukan
urgensinya di masa depan ketika kaum muslimin menghadapi berbagai persoalan
kemanusiaan yang kian pelik. Tidak dapat disangkal bahwa nantinya, berbagai
pertanyaan ilmiah mengenai perlunya tetap berpegang pada ajaran keagamaan
(wahyu) akan menambah pertanyaan-pertanyaan lama yang belum sepenuhnya terjawab
secara memuaskan. Sedangkan persoalan di berbagai bidang kehidupan masyarakat
yang menuntut jawaban juga akan semakin banyak.
Kemampuan untuk memberikan jawaban yang tepat terhadap
setiap dinamika permasalahan tersebut mutlak diperlukan demi tetap tegaknya
wibawa hukum Islam dan peradaban Islam secara keseluruhan, karena setiap
peradaban akan bisa tetap berdiri tegak sampai ia menghabiskan kekuatan
internalnya untuk menawarkan jawaban terhadap pertanyaan dan memenuhi kebutuhan
umat manusia yang terus berkembang.
Ketika ia telah menghabiskan kekuatan alamiahnya dan tidak lagi mampu
memberikan jawaban yang memadai terhadap pertanyaan-pertanyaan baru, maka
secara perlahan kegembiraan dan kebanggaan pengikut peradaban itu akan lenyap
dan peradaban itu segera mengalami proses marginalisasi dari arus utama
kehidupan menuju kepunahan dan untuk selanjutnya menjadi penghuni museum
sejarah.
C. Perubahan Hukum Mengikuti Perkembangan Situasi
Persoalan apakah hukum Islam tetap selamanya atau bisa berubah
sesuai perkembangan situasi, merupakan isu yang telah lama diperdebatkan para
ilmuwan, termasuk para pakar dari Barat.
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa konsep Islam mengenai hukum
pada dasarnya bersifat absolut dan otoritarian, sehingga tidak dapat diubah
selamanya. Sebagai implikasinya, pikiran bebas manusia tidak dibenarkan
mengambil peran yang menentukan dalam penyusunan konsep-konsep hukum (law
making). Pandangan ini didasarkan pada dua argumen, pertama hukum
Islam bersumber dari wahyu yang merupakan firman (dan kehendak) Tuhan yang
disampaikan melalui Nabi. Seluruh ayat al-Quran dan Sunnah adalah sakral,
final, abadi dan karenanya bersifat absolut dan tidak berubah. Dengan
perspektif seperti ini sejumlah pakar melihat hukum Islam sehingga mereka
memandangya sebagai hukum Tuhan (divine law).[33]
Sejumlah pakar lain menolak pandangan tersebut dengan alasan bahwa
dalam sumber pokok yang diwahyukan tersebut, penjelasan yang secara ketat
menunjuk materi hukum hanya sedikit sekali jumlahnya dibanding seluruh ayat
al-Quran dan teks Hadits, sehingga secara metodologis keberadaannya justru
lebih dapat “diabaikan”. Sebagian besar
materi dalam dua sumber utama tersebut bukan mengenai hukum melainkan
ajaran-ajaran fundamental keagamaan dan moral. Oleh karena itu, konsep-konsep
hukum yang berkembang dalam tradisi keagamaan umat Islam secara umum tidak
dapat dianggap sebagai representasi sepenuhnya dari wahyu yang bersifat sakral
tersebut.[34]
Argumen kedua, hukum Islam tidak dapat diidentikkan dengan
“hukum” dalam maknanya yang sempurna melainkan sebatas sebagai sistem aturan
moral. Argumen ini sesungguhnya hanya
terkait dengan masalah definisi, karena istilah “hukum” dan “moral/etika”
banyak digunakan dalam percakapan sehari-hari maupun dalam kajian akademik,
sehingga wajar jika sering timbul kerancuan pemahaman. Oleh karena itu, setiap
pembahasan mengenai hukum sebaiknya diawali terlebih dahulu dengan pembedaan
yang jelas dan tegas antara keduanya.
Sebenarnya arah dari argumen yang memposisikan hukum Islam sebagai
hukum moral adalah untuk menolak pendekatan para ahli hukum yang menganggap
hukum Islam sebagai hukum dalam pengertian modern. Sedang tujuan lainnya adalah
untuk mendukung pandangan bahwa dengan posisinya sebagai aturan moral itu maka
hukum Islam tidak dapat diubah melalui proses legislasi. Snouck Hurgronye,
sejauh ini adalah sarjana pertama yang mengembangkan argumen ini.[35] Dengan
tegas dia (Hurgronye) mendefinisikan hukum Islam sebagai “Doktrin tentang
kewajiban-kewajiban (Doctrine of Duties).[36]
Di antara ulama yang telah membahas masalah ini (soal perubahan
aturan hukum sejalan dengan perkembangan situasi) adalah Ibn al-Qayyim (w.
751/1350). Dalam karyanya, I’lām al-Muwāqi’īn dia memulai pembahasan
mengenai masalah tersebut dengan penjelasan sbb:
Bab
ini mengandung manfaat yang besar karena ketidaktahuan akan hal ini akan
mengakibatkan kesalahan-kesalahan dalam pemahaman sharī’a dan
menimbulkan kesulitan, keberatan dan beban yang sesungguhya tidak perlu
terjadi. Tujuan tertinggi sharī’a adalah kemaslahatan bagi para
hamba Allah di dunia dan di akhirat. Secara keseluruhan, sharī’a
adalah berasaskan keadilan, rahmat, maşlaha dan hikma
bagi semua.
Segala
hal yang telah keluar dari asas keadilan menuju kezaliman, dari rahmat (prinsip
kasih sayang) menuju kebalikannya, dari maşlaha menuju kerusakan
dan dari hikma menuju kesiasiaan, itu semua bukan merupakan
bagian dari ajaran sharī’a meskipun di dalamnya mungkin telah
dimasukkan unsur-unsur ta’wīl.[37]
Keragaman mazhab yang merupakan hasil olah batin
(lewat pendekatan moral spiritual) serta olah pikir (lewat pendekatan rasional)
dari para ulama dan telah diamalkan oleh umat Islam sepanjang sejarah harus
diterima, setidak-tidaknya karena sejumlah alasan sebagai berikut:
Pertama, perbedaan tantangan yang berasal dari kondisi
lingkungan alam. Dalam kenyataan,
situasi lingkungan alam memiliki pengaruh penting dalam menentukan corak
pemikiran dan kehidupan masyarakat, termasuk dalam aspek keagamaan. Tingkat kesulitan dalam menjalankan shalat
misalnya, berbeda antara daerah yang memiliki persediaan air yang melimpah dan
daerah yang sulit untuk memperoleh air bersih. Terlihat pula perbedaan
karakteristik kehidupan keagamaan antara masyarakat di daerah pegunungan yang
berhawa sejuk dengan masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir pantai yang
panas. Kondisi alam seperti itu
menyebabkan perbedaan tingkat kesulitan yang dihadapi masyarakat dalam
menjalani kehidupan, yang pada gilirannya juga turut menentukan corak
keberagamaan di daerah tersebut.
Kedua, keragaman karakteristik sosiologis dan tahapan
perkembangan sosial. Ini berkaitan dengan perbedaan suasana kehidupan
masyarakat dan kompleksitas permasalahan dalam lapangan politik, perekonomian,
sosial kemasyarakatan, kebudayaan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Misalnya
perbedaan antara kehidupan masyarakat pedesaan dengan perkotaan, antara
masyarakat yang bercorak agraris dengan yang industrial, antara masyarakat
miskin dengan yang kaya, antara muslim mayoritas dengan minoritas, antara
bangsa merdeka dengan bangsa terjajah dan antara masyarakat dengan tradisi
tulis yang kuat dengan yang lebih kuat pada tradisi lisan. Semua perbedaan
tersebut juga akan membawa perbedaan dalam corak pemikiran dan pengamalan
ajaran keagamaan antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya.
Ketiga, perbedaan jalur asal-usul ajaran
keagamaan yang diserap oleh masyarakat. Hal itu berkaitan dengan fakta bahwa
corak ajaran keagamaan yang berkembang di suatu kawasan atau masyarakat
tertentu, sangat ditentukan oleh corak pemahaman dan pola keberagamaan dari
mereka (para da’i) yang dahulu menyebarkan ajaran Islam ke wilayah itu dan
orientasi paham keagamaan dari institusi-institusi pendidikan yang berkembang
sesudahnya. Faktor inilah yang
menjelaskan mengapa suasana keislaman di kawasan tertentu, misalnya, bercorak
mistik atau yang dominan di kawasan tertentu adalah Fikih mazhab Shafi’i.
Orang-orang yang lahir, tumbuh dan besar di kawasan
tertentu sudah tentu secara alamiah akan lebih banyak menyerap tradisi dan
paham keagamaan khas di kawasan itu, yang mungkin jauh berbeda dengan kawasan
lainnya. Memang perkembangan kehidupan
sosial dan perjumpaan dengan tradisi (mazhab) keagamaan yang berbeda nantinya
akan mendorong timbulnya diskursus, akulturasi, pergeseran, modifikasi dan
adaptasi pada tingkat tertentu, namun suatu generalisasi penilaian yang
didasarkan pada konsep yang berasal dari tradisi di kawasan tertentu tetap
tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan “vonis” hitam-putih terhadap
tradisi yang berkembang di kawasan lain.
Keempat, perbedaan pemahaman keagamaan serta pandangan dunia
dari masing-masing individu. Hal ini berkait dengan perbedaan kematangan psikologis, visi sosial dan
spiritual antar individu, yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti usia,
jender, kelengkapan dan kemampuan fisik, intelektualitas, tingkat kesejahteraan
ekonomi, posisi sosial, latar belakang pendidikan, lingkungan keluarga,
pengalaman masa kecil dan pengalaman khusus lainnya. Hal-hal tersebut memiliki
pengaruh yang besar terhadap kesimpulan hukum yang dihasilkan dari aktivitas istinbāţ
terhadap sumber-sumber syariat
Semua faktor di atas secara kumulatif menimbulkan dorongan dan
hambatan yang berbeda-beda antara individu satu dengan lainnya dalam menyerap
bagian-bagian tertentu dari ajaran syariat serta dalam menjalankannya dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Oleh
karena itu, jika terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam faktor-faktor
yang tersebut, maka konsep pemikiran keagamaan (termasuk aturan hukum) yang
dipahami dan yang berlaku dalam masyarakat juga akan mengalami pergeseran,
modifikasi dan penyesuaian-penyesuaian.
Dengan caranya sendiri, masing-masing individu dan kelompok
masyarakat akan menjalankan ajaran agama
dengan membuat prioritas-prioritas dan agenda utamanya sendiri-sendiri. Hal
itulah yang membuat perkembangan pemikiran dan pengamalan hukum syariat juga
senantiasa berbeda-beda antara individu yang satu dengan lainnya, antara
kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya serta antara masyarakat yang hidup
dalam periode sejarah tertentu dengan yang lainnya.
Setiap orang tentu berhak mempromosikan konsep pemahaman keagamaan
yang dinilainya lebih “baik”. Setiap orang hendaknya juga senantiasa terpanggil untuk terus
meningkatkan pemahaman, penghayatan dan pengamalan syariat, baik bagi dirinya
sendiri maupun orang lain. Namun, semua itu harus dilakukan dengan semangat
persaudaraan (ukhuwwa) yang tulus dan pendekatan persuasif yang
elegan dengan menghindari intimidasi dan vonis-vonis ekstrem, yang bersifat
menghina, menyinggung perasaan dan merendahkan pihak lain. Hal itu karena sebaik apapun pemahaman yang
mereka hasilkan, semuanya tidak berasal dari pribadi-pribadi yang dijamin bebas
dari kesalahan (ma’şūm).
Nilai moral dari pengamalan seseorang atas ajaran syariat
seharusnya tidak dilihat secara ekstrim hanya berdasarkan pengamatan terhadap
kasus per kasus atau bidang tertentu, namun sebagai keseluruhan
prilakunya. Seharusnya setiap orang
tidak menilai orang lain secara hitam-putih atau benar-salah secara ekstrem,
namun sebagai sebuah proses perkembangan yang dinamis dengan intensitas dan
tahapan yang berbeda–beda. Pandangan seperti ini juga menjadi salah satu sikap
dasar yang dipegang teguh oleh al-Sya”rani.
Berbagai konsep kategorisasi dan kerangka pemikiran
hukum dengan semua elaborasinya, sesungguhnya lebih merupakan konsep teoretik
yang diidealisasi guna mempermudah pengkajian secara sistematis, sementara yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat tidak pernah identik sepenuhnya dengan
konsep kategorisasi tersebut. Hal itu karena pengamalan hukum dalam kehidupan
sosial merupakan dinamika yang tidak pernah berhenti bergerak sehingga
perkembangan teori-teori itu selalu tertinggal oleh perkembangan sosial yang
sesungguhnya. Di sinilah pemanfaatan konsep hukum dari berbagai lingkungan
mazhab, seperti yang diusulkan al-Sya”rani, menemukan relevansinya.
Dimensi lain dari orientasi pemikiran al-Sya”rani
adalah bahwa disamping didasarkan pada sumber keagamaan, seharusnya pemikiran
hukum selalu dikaitkan secara simultan dengan kompleksitas problematika
kehidupan dengan semangat mencari solusi. Oleh karena itu pengembangan konsep
hukum tersebut harus dibarengi dengan perhitungan yang cermat atas implikasi yang
akan timbul dari penerapan aturan hukum itu, baik bagi orang yang bersangkutan
maupun terhadap warga masyarakat secara umum.
Jika tidak demikian, maka dinamika pemikiran hukum
akan berkembang di luar konteks persoalan yang sesungguhnya. Di satu sisi problematika kehidupan terus berkembang semakin kompleks,
sementara di sisi lain diskursus hukum yang berkembang di sudut-sudut masjid, zāwiya
para sufi dan pusat-pusat studi keagamaan umat berkembang menurut alur
logikanya sendiri yang terpisah dari perkembangan persoalan tersebut. Akhirnya,
hasil dari setiap pembahasan itu hanya akan menjadi onggokan khazanah pemikiran
yang tersimpan rapi dalam literatur-literatur Fikih dan tidak mampu menawarkan
alternatif solusi bagi berbagai problema sosial yang ada.
Di sinilah masalahnya, bahwa ternyata penerapan aturan
syariat tidak cukup jika dipahami hanya sebagai upaya menjadikan teks-teks
(baik yang secara harfiah terdapat dalam teks-teks syariat maupun literatur
karya para ulama mudjtahid) menjadi kenyataan sosial, melainkan
merupakan resultan dari proses abadi
“dialog interaktif”, yang hasilnya berada pada titik keseimbangan
elastis dari kekuatan tarik-menarik antara tuntutan-tuntutan yang terdapat
dalam teks dengan kenyataan sosial; juga antara yang dipandang ideal dengan apa
yang sungguh-sungguh bisa diupayakan secara nyata, yang diharapkan bisa
memberikan jawaban terbaik bagi problem-problem sosial yang ada, serta
menghasilkan dampak positif yang sungguh-sungguh dirasakan oleh warga
masyarakat.
Satu hal lagi yang perlu digarisbawahi adalah bahwa
dalam penerapan setiap aturan hukum, perlu mengedepankan pencapaian
tujuan-tujuan hukum yang lebih fundamental dan universal, sedangkan dalam
aspek-aspek teknis yang bersifat legalistik-formalistik (tidak peduli versi mazhab
manapun yang hendak digunakan) harus diletakkan pada prioritas sekunder.
Maksudnya, semua pandangan hukum yang berbeda-beda tersebut harus diterima
tanpa kecuali, sepanjang memiliki argumentasi yang cukup memadai berdasarkan
pola pendekatan manapun juga, dan tidak perlu dilakukan tardjih
sejak awal untuk memilih salah satu pendapat yang dianggap benar untuk
selamanya (dengan menganggap yang lain salah selamanya). Apalagi kriteria dalam
menentukan versi konsep hukum yang dianggap benar itu juga sangat berkaitan
dengan pilihan metodologis yang tetap mengandung sisi-sisi yang debatable. Dengan demikian, sisi formalitas ajaran
syariat dapat diterapkan secara fleksibel sesuai dengan situasi dan kondisi,
sedangkan tercapainya tujuan-tujuan moral yang lebih luas tersebut selalu
menjadi prioritas yang lebih utama.
Dari sudut
pandang filsafat moral, apa yang didiskusikan tersebut berkaitan dengan problem
universalitas nilai moral yang melekat pada suatu aturan hukum. Dalam masalah
ini, secara umum ada dua sudut pandang ekstrem. Pertama, paham legalisme
yang mengartikan moralitas sebagai ketaatan penuh terhadap suatu peraturan yang
dianggap berlaku universal, di mana-mana dan bagi siapa saja.[38] Kedua paham antinomisme yang
justru sama sekali tidak melihat keperluan adanya prinsip atau arahan moral.
Paham antinomisme
adalah Etika Situasi dalam bentuknya yang paling radikal, yang mengembalikan
keputusan moral seratus persen kepada hak otonom masing-masing individu dalam
situasinya.[39] Etika situasi menolak keberadaan peraturan
atau norma-norma universal yang berlaku di mana-mana dan bagi siapa saja, serta
mengembalikan moralitas pada tanggung jawab inividual masing-masing orang
berdasarkan panggilan yang khas untuk setiap situasi.[40] Etika
situasi menjunjung tinggi prinsip otonomi moral individu dan menolak ketaatan
begitu saja terhadap suatu hukum secara heteronomis. Tidak ada perbuatan yang
pada dirinya baik atau buruk secara mutlak (sehingga secara moral harus selalu
dilakukan atau dijauhi). Semua penilaian moral adalah tergantung pada situasi.[41]
Singkatnya, menurut Etika Situasi, apa yang harus dilakukan oleh seseorang
dalam situasi kongkret tidak dapat disimpulkan sekaligus dari suatu ketentuan
hukum ataupun norma-norma moral yang bersifat umum, melainkan harus diputuskan
berdasarkan kondisi riil yang menyertainya.[42]
Melalui mīzān,
tampaknya al-Sya”rani berupaya menggeser titik berat orientasi Fikih dari yang
lebih dekat dengan prinsip Etika peraturan,[43] seperti
yang berkembang di masa itu, kepada prinsip yang lebih mendekati Etika situasi,
sekalipun tidak dalam bentuknya yang paling ekstrem. Dia melihat bahwa pemikiran dan pengamalan
aturan hukum terlalu berorentasi pada prinsip Etika peraturan.[44] Menurut
al-Sya”rani, penilaian moral atas setiap perbuatan tidak bisa begitu saja
ditetapkan oleh sekelompok orang tertentu (misalnya ulama) berdasarkan
ukuran-ukuran yang seragam untuk segala waktu, ruang dan situasi, tetapi
sebaliknya harus dilihat secara kontekstual sesuai dengan situasi-situasi
khusus yang menyertainya.
D. Idjtihād
dan Taqlīd dalam Pengamalan Hukum
Sekalipun al-Sya”rani dikenal sebagai ulama yang sangat gigih dalam
mengkampanyekan pentingnya mengembangkan dan mempelajari ilmu pengetahuan
(khususnya mengenai syariat), namun dia tetap berpendapat bahwa tidak semua
orang diwajibkan melakukan-idjtihād sendiri, karena mengharuskan
semua orang ber-idjtihād dan menolak taqlīd secara mutlak
bertentangan dengan kenyataan sosial, di mana tidak semua orang memiliki
keahlian dan kesempatan untuk melakukan idjtihād sendiri.
Menurutnya, dari sisi tingkat kompetensi, keluasan
dan kedalaman pemahamannya terhadap hukum syariat, umat Islam terbagi menjadi
dua kelompok besar: Pertama,
mereka yang telah memiliki keahlian untuk mengakses pengetahuan tentang hukum
syariat dari sumber-sumbernya serta memahami prosedur yang harus dilalui dalam
pengambilan kesimpulan hukum itu. Al-Sya”rani menyebut mereka ini sebagai
“orang-orang yang telah memiliki kompetensi dalam memahami sumber syariat yang
pertama (‘ain al-sharī’a al-ūlā)”.[45] Mereka tidak diharuskan mengikatkan diri pada
mazhab atau pandangan ulama tertentu, karena mereka sendiri telah mampu
melihat keterkaitan di antara semua
mazhab yang ada. Bagi mereka tidak ada mazhab yang lebih utama dari yang lain.
Semua masalah hukum yang memerlukan keputusan harus selalu dikembalikan kepada
(penerapan) teori dua martabat takhfīf dan tashdid sesuai
dengan persyaratan-persyaratannya.[46]
Kedua, mereka yang
belum memiliki kompetensi seperti kelompok pertama. Mereka ini harus mengikuti
(taqlīd) pendapat ulama yang mereka percayai. Dalam hal ini al-Sya”rani
menegaskan, “Orang-orang yang (pengetahuannya) masih belum mencapai sumber
utama harus taqlīd kepada salah seorang imam mudjtahid
yang ada. Hal ini penting agar dia tidak tersesat dan menyesatkan orang lain”.[47]
Pandangan
semacam itu sejalan dengan pandangan gurunya, al-Khawwas, yang setiap kali ditanya tentang keharusan
mengikuti mazhab, dia selalu menjawab, “Kalian harus mengikuti mazhab tertentu
selama kalian belum mampu melihat sumber syariat yang pertama (‘ain al-sharī’a
al-ūlā) karena khawatir akan terjerumus ke dalam kesesatan dan cara itu
pula yang diamalkan umat hingga sekarang ini”.[48]
Pandangan senada juga pernah dikemukakan Imam Haramain (w. 478/1085), Ibnu Sam’āni, al-Ghazāli
(w. 505/1111) dan al-Kiyā’ Harasi. Mereka selalu mengatakan kepada murid-murid
mereka, “Kalian wajib berpegang pada mazhab imam kalian (kebetulan, yang
disebutkan nama-namanya itu bermazhab Shāfi’i) dan tidak ada alasan bagi
kalian untuk pindah darinya[49]
Deskripsi di
atas menunjukkan keteguhan al-Sya”rani dalam berpegang pada prinsip keadilan
Allah dalam setiap titah-Nya. Atas dasar prinsip keadilan itulah Allah swt. menetapkan beban kewajiban ber-idjtihād
khusus bagi para “pembesar” ulama, yakni mereka yang memang benar-benar
memiliki kompetensi untuk itu,[50]
sedangkan mengenai pernyataan salah seorang imam mazhab tentang larangan taqlīd
dan perintah untuk mengambil hukum dari sumbernya, menurut al-Sya”rani hal itu
tetap berlaku, namun khusus bagi mereka yang telah mempunyai kompetensi untuk melakukannya.[51]
Pernyataan larangan taqlīd seperti itu juga bisa dipahami sebagai pesan
kepada segenap kaum muslimin agar senantiasa berupaya meningkatkan kapasitas
intelektualnya supaya nanti mereka mampu melakukan idjtihād
sendiri.
Sebagaimana
dikemukakan oleh Mahmoud Shaltout (salah seorang ulama Mesir yang pernah
menduduki jabatan shaikh al-azhār), Islam tidak memberikan
sejak awal kepada siapapun hak istimewa untuk melakukan interpretasi terhadap
sumber-sumber ajaran syariat (al-Quran dan Sunnah) dan memaksakan hasil
pemahamannya kepada seluruh umat. Sebaliknya Islam justru memberikan hak
tersebut kepada setiap muslim yang memiliki kompetensi, untuk meneliti dan
menarik kesimpulan sendiri dari sumber-sumber pokok tersebut.
Mereka yang tidak atau belum memiliki keahlian
seperti itu wajib bertanya kepada para ahlinya, namun mereka tidak diwajibkan
untuk mengikuti orang-orang tertentu saja, mengingat bahwa sesuatu dapat
dianggap wajib hanyalah jika diwajibkan oleh Allah swt. dan rasul-Nya,
sedangkan Allah dan rasul-Nya tidak pernah mewajibkan umat untuk mengikuti
mazhab atau pendapat ahli Fikih tertentu. Oleh karena itu, menetapkan kewajiban
semacam seperti itu sama saja dengan membuat syariat baru. Adapun tugas seorang
ahli (ulama) yang diajukan kepadanya suatu permasalahan hukum, adalah tidak
lebih dari memberikan penjelasan sejauh yang diketahuinya tanpa berhak
memaksakan pendapatnya itu terhadap si penanya. Si penanya tetap bebas
mengikuti pendapat tersebut atau (jika merasa belum puas) juga boleh menanyakan
(lagi) kepada ulama lainnya.[52]
*Penulis
adalah staf pengajar pada Fakultas Syariah IAIN Mataram
[1]Istilah Episteme berasal dari bahasa Yunani
yang artinya adalah pengetahuan yang benar, pengetahuan ilmiah atau pengetahuan
sistematis. Lihat Peter A. Angeles, Dictionary of Philosophy (New York:
Barnes and Noble Book, 1931), hlm.
78.
[2]Dalam satu karyanya yang lain (al-Yawāqit wa al-Djawāhir),
al-Sha’rāni membagi ilmu
pengetahuan berdasarkan sumbernya ke dalam tiga kategori sebagai berikut: (a) ‘Ilm
al-‘aql yaitu pengetahuan manusia yang diperoleh melalui proses pemikiran (al-ta’ammul), analisis (al-nazar)
dan pengamatan (al-iţţilā’). (b) ‘ilm al-ahwāl yaitu
pengetahuan yang didapatkan seseorang lewat jalan dhawq al-sufi.
(c) ‘ilmu al-asrār yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui jalan ilhām. Perolehan ilmu asrār ini merupakan
indikasi kesempurnaan status bagi mereka yang telah menempuh jalan sufi (ahl
al-ţarīq), yakni ilmu ladunni yang diperoleh secara langsung dari
Allah swt tanpa melalui perantaran siapapun baik lewat pengajaran dan
periwayatan (naql) dari para ulama syariat atau bimbingan seorang syekh
Tasawuf. Lihat Taufiq Ţawil, Al-Taşawwuf
fī Mişr Ibān al-‘Aşr al-Uthmāni.Imām al-Taşawwuf fi Mişr: al-Sha’rāni (Kairo: al-Hai’a al-Misriyya, tt.), juz II hlm 97.
[3]Jenis ini
tidak dimasukkan dalam konteks sistematika kajian Epistemologi (al-ma’rifa) karena yang dibahas di situ adalah
sumber-sumber pengetahuan secara umum. Dengan menganggap epistemologi sufi
sebagai sebuah metode maka dikenal dua jenis ma’rifa, pengetahuan
diskursif (al-ma’rifa al-istidlāliyya
/ connaissance discursive) dan pengetahuan intuitif (al-ma’rifa al-hadasiyya/connaissance
intuitive). Abu al-Wafa al-Ghunaimi
al-Taftazani, Dirāsāt fī al-Falsafa al-Islāmiyya (Mesir: Maktaba al-Qāhira
al-Haditha, tt), hlm., 141.
[4]Syekh
Hasan al-Banna lebih suka menggunakan istilah ittibā’ sekalipun oleh
sebagian ulama lainnya diberikan arti yang berbeda. Lihat al-Qaradhawi, Fiqhul
Ikhtilaf, hlm. 208.
[6]Dalam
kajian Tasawuf yang lebih detail, kedua istilah ini (kashf dan dhawq)
memang dibedakan, baik dalam rumusan definisi maupun elemen-elemen makna
dasarnya, namun dalam pembahasan di sini (al-Mīzān al-Kubrā) yang
dimaksudkan adalah sama, yakni perolehan pengetahuan lewat pencerahan spiritual
(ma’rifa), atau cara ketiga disamping perolehan pengetahuan lewat tradisi
dan rasio.
[7]Untuk
memperoleh penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini al-Sha’rāni
menganjurkan untuk menelaah karyanya yang lain, Mafham al-Akbād fī
Mawārid al-Idjtihād.
[9]Al-Djabiri,
Bunya al-‘Aql al-‘Arabi: Dirāsa Tahlīliyya al-Naqdiyya li al-Nuzum
al-Ma’rifa fi al-Thaqāfa al-Islāmiyya (Beirut, Cassablanca:
al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993) hlm. 9 dan 485. Untuk ulasan komparatif yang lebih luas
dengan konsep-konsep lainnya bandingkan dengan Syamsul Anwar, “Epistemologi
Hukum Islam dalam al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul Karya al-Ghazali
(450-505/1058-1111)”, Disertasi (Yogyakarta: Pogram Pascasarjana IAIN Sunan
Kalijaga, 2000). hlm 139-48.
[10]Kaum
Iluminasionis muslim menyebut sistem ini dengan istilah al-hikma
al-bahthiyya (filsafat diskursif) untuk membedakan sistem filsafat
pengetahuan yang mereka kembangkan sendiri yaitu al-hikma al-dhawqiyya
(filsafat intuitif).
[12]Ibid.
[13]Yusuf
al-Qaradhawi, Fikih Praktis bagi Kehidupan Modern (Jakarta: Gema Insani
Press, 2002) hlm . 100.
[14]Dhawq,
adalah salah satu karakteristik dalam lapangan pendidikan kaum sufi. Para sufi
tidak mengingkari pentingnya peranan akal dan pengetahuan diskursif dalam
kehidupan ini. Hanya mereka membedakan antara dua lapangan pengetahuan, diskursif
dan intuitif. Menurut mereka untuk menangani masalah-masalah di dunia
nyata ini kita harus mendayagunakan karunia indera dan akal yang kita miliki.
Namun dalam menghadapi masalah perasaan yang lahir dari pengalaman religius
maka yang lebih tepat adalah dengan menggunakan hati (al-qalb). Lihat
al-Taftazani, “Sumbangan Tasawuf kepada Pendidikan”, dalam Johannes den Heijer
dan Syamsul Anwar (eds), Islam Negara hlm.138
[18]Ibid.
[25]Secara
etimologis, Pragmatisme / pragmatic berasal dari bahasa Yunani pagmata,
yang berarti act, affair,bussines. Menurut Dewey pragmatic
berarti peraturan berpikir reflektif yang tujuan akhirnya adalah diperolehnya
hasil yang diinginkan. Pragmatisme bukan sistem metafisika yang mencari
kebenaran apriori melainkan metode untuk menguji sistem-sistem yang
memperlakukan konsep dan teori sebagai hipotesis yang berfungsi sebagai pedoman
observasi dan eksperimen. Lihat Haniah, Agama Pragmatis: Telaah atas Konsep
Agama John Dewey (Magelang: Indonesiatera, 2001), hlm. 23.
[26]Teori
lain yang dapat dibandingkan dengan ini adalah konsep pembedaan antara ijtihad
istinbāţī dan idjtihād taţbīqī di mana yang pertama bersifat
teoretik sedang yang kedua bersifat aplikatif. Namun dengan telaah lebih
mendalam akan tampak perbedaannya dengan pemikiran al-Sha’rani. Karena
menurut al-Sha’rani pada tataran teoretik hukum selalu bersifat plural
berjenjang dan semuanya diakui kebenarannya. Perbedaan lainnya adalah
aksentuasinya yang kuat pada prinsip personalisme Etika.
[31]Sinyelemen
al-Sha’rani mengenai kecenderungan fatwa-fatwa semacam ini dan keluhan
masyarakat muslimin kepadanya antara lain dijelaskan dalam karyanya Kashf
al-Ghumma ‘an Djami’ al-Umma. (khususnya bagian pendahuluan
halaman 4-5).
[32]Meskipun
kesimpulan tersebut masih terbuka bagi perkecualian karena pertimbangan yang
bersifat situasional, akan tetapi, pada dasarnya ketentuan hukum tersebut sejak
awal dipandang berlaku umum.
[33]Di
antara mereka misalnya N. J. Coulson, H.A.R. Gibb, H.J. Liebesny, M. Khadduri,
H. Lammens, G. Makdisi, dan (terutama) J.N.D. Anderson. Lihat Muhammad Khalid
Masud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al-Shatibi‘s Life and
Thought (Delhi: International Islamic Publushers,1989) hlm. 6-7 (bagian Pengantar)
[34]Ibid.
[35]Ibid.
[36]Th. W.
Juynboll dan sejumlah sarjana Barat lainnya juga setuju dengan Hurgronye. GH
Bousquet menjelaskan lebih lanjut bahwa secara keseluruhan hukum Islam memang
bersifat idealistik dan kasuistik serta didasarkan pada hipotesis-hipotesis
yang imaginatif, non-diskursif dan secara rasional sering kali bersifat absurd.
Lihat Ibid.
[37]Seperti
dikutip oleh al-Qaradhawi dalam Fikih Praktis bagi Kehidupan Modern,
terj. Abdul Hayyi al-Kattani (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 87.
[39]Etika
situasi adalah sebuah pendekatan dalam etika yang sangat dipengaruhi oleh
filasafat Eksistensialisme dan Personalisme. Eksistensialisme sangat
menekankan keunikan dan tanggung jawab tiap-tiap orang, bahwa setiap orang itu
khas dan tidak dapat dimasukkan dalam kerangka-kerangka, skema-skema dan
norma-norma umum, melainkan harus menentukan sendiri berdasarkan penghayatannya sendiri-sendiri
yang otentik. Sedangkan Personalisme menekankan bahwa manusia adalah
person bukan sekedar nomor kolektif melainkan bernilai pada dirinya sendiri,
sebagai makhluk yang berakal dan berkehendak sendiri, yang memiliki kebebasan
untuk menentukan dirinya sendiri dan memiliki suara hati sebagai kesadaran
mandiri akan apa yang merupakan tanggung jawabnya. Ibid., hlm.. 104-16.
[42]Etika
Situasi didasarkan pada dua anggapan fundamental. Pertama, kualitas
moral dari tindakan manusia adalah tergantung situasi. Maka siapapun tidak
dapat memastikan apakah suatu tindakan tertentu wajib dilakukan atau tidak
kecuali setelah memperhatikan situasi konkretnya. Kedua, adalah bahwa
setiap situasi itu sepenuhnya bersifat unik dan individual. Meskipun banyak situasi
yang mungkin mirip, namun pada dasarnya setiap situasi itu tetap unik. Oleh
karena itu tidak mungkin orang yang berada di luar situasi itu bisa menetapkan
tentang bagaimana seseorang wajib bertindak.
[43]Etika
peraturan adalah sistim-sistim etika yang melihat bahwa hakekat moralitas
adalah terletak pada sikap patuh terhadap suatu peraturan. Franz Magnis-Suseno,
12 Tokoh Etika hlm. 102.
[44]Paham etika peraturan ini setidak-tidaknya mengidap
dua kelemahan mendasar. Pertama, ia tidak menyediakan jawaban terhadap
pertanyaan moral yang lebih mendasar yaitu mengapa orang harus menaati
peraturan-peraturan tertentu itu dan bukan yang lain, atau mengapa ukuran moral
itu yang harus dipakai. Dalam hal ini yang dituntut bukan agar kita menjujung
tinggi nilai-nilai otentik tertentu melainkan agar peraturan-peraturan itu
ditaati tanpa perkecualian. Tidak ada pertimbangan tentang nilai esensial yang
menjadi tujuan di balik pemberlakuan aturan tersebut, sehingga moralitas akan
cenderung kehilangan maknanya dan jatuh menjadi suatu bentuk beban belaka. Kedua, karena yang dipentingkan adalah
ditaatinya peraturan-peraturan yang ada itu, maka etika peraturan tidak
memperdulikan akibat/hasil yang timbul dari ketaatannya terhadap
peraturan-peraturan yang yang ada itu. Sehingga etika peraturan telah
menyingkirkan salah satu unsur paling hakiki dalam moral yaitu paham tentang
tanggung jawab.
[46]Ibid,
[51]Dalam
sebuah riwayat, al-Shafi’i pernah mengatakan, “Janganlah kalian taqlīd
kepadaku dan juga jangan taqlīd kepada Malik, al-Auza’i, al-Nakhai
atau lainnya. Ambillah hukum (dari sumbernya) seperti mereka mengambil”. Lihat
al-Sha’rani, Al-Mīzān al-Kubrā, juz I hlm.
62.
[52]Muhammad
Baqir al-Habsyi. Fiqih Praktis Menurut al-Quran, as-Sunnah dan Pendapat Para
Ulama (Bandung: Mīzān, 1999.),. 26-7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar