SADRANAN DAN
PADUSAN
(Tradisi Masyarakat
Klaten untuk Menyambut Ramadhan)
Oleh
: Tuti AHK
A. Pendahuluan
Indonesia kaya
akan variasi tradisi/budaya, baik yang sifatnya kedaerahan, keagamaan, maupun
perpaduan keduanya. Namun seiring dengan perkembangan zaman juga pergantian
generasi, tradisi itu sudah banyak mengalami perubahan atau pergeseran dari makna
sosiologisnya yang asli. Kendati demikian, tidak sedikit suatu wilayah tertentu
masih tetap mempertahankan adatnya yang murni sebagai peninggalan nenek moyang dan
sangat protektif terhadap pengaruh luar. Pada puncaknya budaya tersebut akan
bisa menjadi ciri dan kebanggaan daerah, bahkan sering prosesi ritualnya
kemudian menjadi aset wisata.
Di Klaten,[1] ada
satu tradisi yang dinamakan dengan Sadranan dan Padusan.[2] Dua
hal dalam satu rangkaian acara yang diselenggarakan sekali setiap tahun pada
bulan Sya’ban (Ruwah dalam kalender Jawa) oleh masyarakat muslim untuk
menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.[3] Kemeriahan Sadranan hampir sama dengan
lebaran, bahkan di beberapa desa ada yang justru lebih ramai dibanding Idul
Fitri.
Menurut
pengalaman pemakalah yang lahir dan besar di Klaten, keunikan Sadranan dan
Padusan pada tiap-tiap desa cenderung tidak ditemukan adanya perbedaan, bahkan
antar kecamatan pun relatif sama. Misalnya ada beda itu terletak pada kekuatan
keyakinan masyarakat sehubungan dengan nilai mistis, aliran spiritual, dan
khusus untuk Sadranan tanggal pelaksanaannya dapat berlainan,[4]
sedangkan teknik acaranya sangat mirip.[5] Kendati
di Klaten terdapat sejumlah tradisi lokal yang menarik,[6]
namun makalah ini hanya akan menyajikan uraian singkat tentang keadaan sosiologis
terkait judul sebagaimana tersebut di atas.
B. Sadranan
Sadranan
atau sering disebut Nyadran saja
berasal dari bahasa jawa yang artinya berziarah.[7] Pada
hari itu sudah bisa dipastikan makam-makam akan dibanjiri orang. Nyadran
juga berarti membersihkan tempat makam sekaligus mengirim doa untuk leluhur di setiap
bulan Ruwah (kalender Jawa) atau Sya’ban dalam kalender Hijriyah. Kata Ruwah
sendiri memiliki akar kata arwah atau roh para leluhur. Kabarnya dari arti kata
arwah itulah yang menjadikan bulan Ruwah sebagai bulan untuk mengenang
sekaligus mendoakan para leluhur.[8]
Secara umum yang terjadi di Klaten, pada mulanya Nyadran
dilakukan ke makam tokoh masyarakat yang sangat dihormati maupun nenek moyang
keturunannya. Namun kini, beberapa masyarakat hanya berziarah ke makam famili
atau sanak saudaranya. Dalam prosesi Nyadran biasanya para peziarah
membawa tiga jenis bunga, yaitu bunga kantil, kenanga, dan mawar. Setiap bunga
memiliki makna tersendiri. Kantil agar hati peziarah terkait dengan orang yang
sudah meninggal, kenanga merupakan tanda supaya semua kenangan selalu diingat,
serta mawar sebagai permohonan semoga dosa arwah dihapuskan. Para peziarah kadang-kadang
juga membakar kemenyan yang dianggap sebuah simbol keagungan. Asap kemenyan
yang membumbung tinggi diyakini sebagai perumpamaan doa peziarah ke atas
sehingga menghubungkan diri kepada Tuhan dan itu adalah simbol perjalanan doa
peziarah mudah-mudahan bisa diterima. Selain tiga bunga tadi, biasanya prosesi Nyadran
diwarnai beberapa makanan sebagai sesajen yakni apem dan ketan.[9]
Kedua makanan ini juga memiliki makna tersendiri. Ketan menjadi lambang untuk
merekatkan hubungan persaudaraan (ketan: ikatan). Semua orang datang
bersama-sama dan merapatkan garis sosial. Sedangkan apem sebagai bentuk dari
berharap memperoleh ampunan (apem: ‘afwun;
ampunan), dan melalui ritual itu peziarah akan bisa ingat kepada Tuhan.
Kemudian acara Nyadran akan berakhir dengan makan bersama dengan saling
menukarkan makanan yang dibawa oleh setiap keluarga.[10]
Pada saat Nyadran
sesungguhnya bukan berziarah/besik saja atau tidak sesederhana itu.[11] Kendati
berziarah bisa dikatakan sebagai acara inti, namun suasana Nyadran sering
dibarengi dengan acara macam-macam dan akan menjadi terasa tidak lengkap jika
ditinggalkan. Adapun rangkaian kegiatan Nyadran yaitu:
1. Penentuan tanggal
Di
Klaten,[12] Nyadran
dilaksanakan mulai Ruwah tanggal 18 dan terakhir tanggal 29,[13] sehingga
kemudian muncul istilah Nyadran wolulas (18), Nyadran songolas
(19), Nyadran rongpuluh (20), Nyadran selikur (21),
Nyadran rorikur (22), Nyadran telulikur (23), Nyadran
patlikur (24), Nyadran selawe (25), Nyadran nemlikur
(26), Nyadran pitulikur (27), Nyadran wolulikur (28),
dan Nyadran songolikur (29). Desa yang satu dengan desa yang lain waktu Nyadran
bisa sama juga bisa berbeda-beda, yang jelas memilih salah satu hari dari 12
hari Nyadran tersebut, tetapi konon Nyadran yang terbesar adalah Nyadran
rongpuluh dan Nyadran selawe. Dan hanya sedikit desa yang dalam
waktu 12 hari tersebut melaksanakan Nyadran dua kali di hari dan tanggal
yang berbeda.
Penentuan
kapan suatu desa akan melaksanakan Nyadran hampir tidak ditemukan dasar
landasannya, kiranya semula merupakan kesepakatan dari seluruh anggota
masyarakat desa tersebut yang kemudian diteruskan secara turun-temurun. Sebagai
contoh: (1) Desa Tarubasan dan Desa Troso Kecamatan Karanganom, juga Desa
Karanggotan Kecamatan Jatinom Nyadran rongpuluh; (2) Desa Meger
Kecamatan Ceper Nyadran rorikur, demikian juga Desa Dlanggon dan Desa
Kunden Kecamatan Karanganom; (3) Desa Kadirjo Kecamatan Karanganom Nyadran
nemlikur; (4) Desa Karangan Kecamatan Karanganom, Desa Gedaren Kecamatan
Jatinom, juga Desa Tegalyoso Kecamatan Klaten Selatan Nyadran selawe;
(5) Desa Beku Kecamatan Karanganom Nyadran telulikur; (6) Desa Mudal
Kecamatan Klaten Utara Nyadran pitulikur; dan (7) Desa Wanglu Kecamatan
Trucuk Nyadran selikur.
2. Masak-memasak
Hampir semua rumah atau setiap kepala
keluarga melakukan masak-memasak yang lebih banyak dan komplit dari hari-hari
biasanya pada satu hari sebelum hari Nyadran-nya, sehingga pasar-pasar
tradisional ramai dikunjungi pembeli, dan harga-harga kebutuhan dapur pun
mengalami kenaikan. Meningkatnya permintaan konsumen diikuti dengan
membludaknya pembeli diistilahkan dengan prepegan.[14]
Fenomena itu disertai juga dengan munculnya pedagang musiman yang menjual bunga
mawar atau bahan-bahan untuk keperluan besik, bisa di dalam pasar atau
di pinggir-pinggir jalan dekat pasar.
Sebenarnya
tidak ada menu khusus yang harus dihidangkan di hari Nyadran, atau pada
dasarnya terserah pada selera saja, tetapi tanpa perjanjian rata-rata bahan
yang dimasak sama dan jenis masakannya pun seringnya sama juga. Dari segi lauk
yang hampir semua memasaknya adalah sambel goreng,[15]
ayam,[16]
telur,[17]
tahu-tempe,[18]
thontho,[19]
mie goreng, peyek,[20] dan
krupuk udang. Kemudian dari segi kue ada jadah[21] dan
apem.[22]
Selain itu, masih ada buah-buahan yang dikategorikan sebagai jajan pasar. Selebihnya
kalau ada tambahan macam menu dan aneka jenis kue itu terserah masing-masing
sesuai keinginan dan kemampuan ekonomi keluarga tersebut. Seandainya makanan-makanan
itu bermakna, maka untuk saat ini sudah sangat sulit digali maknanya, kecuali ketan dan apem seperti yang sudah
dijelaskan di atas. Dan kiranya jenis makanan tersebut menjadi bagian tradisi
yang sesuai dengan selera lidah orang Klaten saja.
3. Weweh
Selesai
memasak, kemudian di keesokan harinya (yaitu pada tanggal Nyadran yang
sudah ditetapkan di desanya) pagi-pagi ada acara weweh ke sanak saudara
atau kerabat keluarga dekat yang ada di desa lain atau kecamatan lain yang
kebetulan tanggal Nyadran-nya berbeda. Walaupun beda desa tetapi kalau tanggal
Nyadran-nya sama, maka tidak diteri atau tidak diwewehi makanan.[23] Makanan
yang di-weweh-kan sesuai dengan apa yang dimasak. Jadi, jika hari ini
suatu keluarga diteri oleh saudaranya yang di lain desa, maka di hari
lain (waktu desanya Nyadran) suatu keluarga tersebut gantian ngeteri/mewehi.[24]
Ter-teran
atau saling memberi/antar makanan tersebut sebagai bentuk sedekah guna lebih
merekatkan persaudaraan. Selain itu, menjadi tanda kerukunan dan kebersamaan
sesama saudara dalam satu keturunan/nenek moyang. Jika dua keluarga masih
bersaudara (tetapi berlainan desa dan tanggal Nyadran-nya) terlihat
tidak saling ngeteri, maka itu bisa menjadi indikasi bahwa persaudaraan
mulai renggang atau keduanya ada masalah, sehingga ada istilah pangan
nyerakke paseduluran (makanan mendekatkan pesaudaraan).
4. Besik
Besik umumnya dimulai siang hari
setelah dhuhur.[25]
Warga masyarakat berbondong-bondong pergi ke makam dan masing-masing keluarga
membawa makanan komplit (nasi, lauk-pauk, dan kue)[26]
yang disebut dengan ambeng untuk kenduren (kenduri), serta sarana
besik (bunga mawar).[27] Orang
yang datang bukan hanya warga setempat, tetapi juga dihadiri oleh warga dari
desa lain yang dulunya lahir di desa tersebut atau ada keluarganya yang
dimakamkan di situ. Dan tidak jarang orang yang tinggal di tempat jauh pun sengaja
mudik Nyadran.[28] Biasanya
sebelum acara besik bersama dimulai, tempat makam atau lazim disebut
dengan istilah sarean[29] sudah
dibersihkan secara gotong-royong oleh pemuda dan bapak-bapak di waktu paginya
atau kemarin pada saat ibu-ibu punya acara masak-memasak.
Setelah
berkumpul semua kemudian membentuk kelompok, yaitu kelompok bapak-bapak dan
para pemuda yang mengelilingi/mengepung sejumlah ambeng yang ditata
rapi, sedangkan ibu-ibu berkelompok bersama anak-anak dengan sejumlah sisa ambeng
yang dikelilingi kelompok laki-laki. Untuk minumannya biasa menggunakan teh manis
yang disiapkan oleh sejumlah warga yang ditunjuk atau sifatnya sukarela.[30] Selanjutnya
acara tahlilan bisa segera dimulai dan diikuti dengan tausiyah serta doa. Tahlilan
bersama dipimpin oleh tokoh masyarakat sekaligus yang menjadi tokoh agama di
desa tersebut. Sedangkan tausiyah dan doa bisa oleh orang lain yang sengaja
didatangkan. Tahlilan ditujukan untuk mendoakan orang-orang yang dimakamkan di sarean
setempat. Setelah selesai, semua yang hadir makan bersama dari ambeng-ambeng
yang dibawanya. Jika nantinya masih tersisa,
maka ambeng itu dibagi-bagi dan dibawa pulang oleh ibu-ibu.
Berkaitan
dengan tempat pelaksanaan tahlilan dan kenduren ada perbedaan. Suatu
desa yang lokasi sarean-nya didekat atau disamping masjid maka acara
tahlilan dan kenduren-nya ditempatkan di masjid. Namun bagi desa yang sarean-nya
jauh dari masjid, prosesi kedua acara tersebut tetap dilaksanakan di tempat
pemakaman atau didekatnya. Biasanya di depan sarean ada halaman atau
jalan yang cukup luas, sehingga mereka berkumpul di situ duduk di atas tikar.
Prosesi berikutnya setelah semuanya kenyang,
mereka masuk ke sarean mengunjungi makam atau kuburan keluarganya
masing-masing. Bagi desa yang masih mempunyai cerita yang jelas tentang sejarah
nenek moyang desanya atau di sarean tersebut masih ditemukan kuburan
kuno, maka sebelum mengunjungi makam familinya mereka berziarah ke tempat orang
yang dianggapnya sebagai pendiri desa tersebut. Tidak jarang, mereka melakukan
tahlilan kembali bersama keluarganya masing-masing di setiap tempat makam kerabatnya.
Sebelum tahlilan dan mendoakan ahli kubur keluarganya, terlebih dulu makamnya itu
dibersihkan dari rerumputan dan lain-lain serta dirapikan.[31]
Terakhir adalah dengan menaburkan bunga mawar.[32]
Di
pemakaman orang bergerombol-gerombol dengan keluarganya sendiri-sendiri. Satu
keluarga bertemu dengan keluarga lainnya, mereka saling menyapa dan saling
membicarakan tentang garis-garis keturunan mereka terkait seseorang yang sudah
meninggal. Seorang bapak berkesempatan memperkenalkan kepada anak-anaknya yang
masih kecil kepada makam-makam nenek moyangnya, dan dalam moment Nyadran
sering suatu keluarga membicarakan atau mengenang kembali tentang anggota
keluarganya yang sudah meninggal baik itu di sarean maupun setelah sesamapinya
di rumah.[33]
5. Kunjungan
Hampir
setiap rumah pada saat itu mempunyai banyak makanan, bersiap-siap juga
kalau-kalau akan ada tamu. Orang-orang dari desa lain, setelah melakukan besik
mereka melakukan kunjungan silaturrahim ke orang-orang dekat atau sanak
saudaranya di desa tersebut. Makin mempunyai banyak saudara yang berada di desa
lain biasanya makin banyak pula tamunya. Namun tidak jarang pula, satu keluarga
mengundang teman-temannya[34]
yang berbeda tanggal Nyadran-nya untuk berkunjung meskipun mereka tidak
ada keperluan besik. Dan kedepan mereka gantian nantinya untuk saling
mengunjungi di hari Nyadran-nya.
Itulah yang menyebabkan kadang-kadang Nyadran
terkesan ramainya seperti lebaran. Adapun beberapa bedanya dengan kunjungan di
hari lebaran (Idul Fitri) yaitu, kalau di Nyadran tamu disuguhi kue
seadanya tetapi kemudian harus makan nasi, sedangkan di lebaran tamu disuguhi
dengan aneka macam kue saja. Kalau di lebaran orang berkunjung untuk
mengucapkan selamat dan mengutarakan permohonan maaf, tetapi kalau di Nyadran
orang berkunjung untuk mempererat persaudaraan dan persahabatan, menanyakan
kabar, serta bisa berbincang-bincang tentang banyak hal.
C. Padusan
Setelah
semua desa selesai menyelenggarrakan Nyadran, maka dilanjutkan dengan
acara Padusan yang dilaksanakan secara serentak tepatnya satu hari
sebelum puasa Ramadhan.[35] Padusan
berasal dari kata dasar adus, yang artinya mandi. Dengan demikian
secara sederhana padusan dapat diartikan sebagai tindakan mandi dengan
maksud penyucian diri agar dapat menjalani puasa di bulan suci Ramadhan dalam keadaan
suci. Dalam keadaan suci ini, khususnya suci lahir, diharapkan tujuan puasa
untuk mencapai derajat ketaqwaan akan terkondisi dengan lebih baik.
Padusan
dilakukan dengan adus kramas, mandi besar, guna menghilangkan hadast
besar dan kecil. Pada intinya, padusan dapat dilakukan dimanapun dengan
menggunakan air suci dan yang menyucikan, sehingga banyak orang terutama
orang-orang tua atau yang merasa malu mandi di tempat padusan, mereka
melakukan padusan di rumahnya sendiri-sendiri. Namun sebagian orang
masih ada yang berpendapat untuk melakukan padusan harus di suatu belik
atau sumber air tertentu, harus memakai air tujuh sumber, dan lain-lain.
Dari itu, di Klaten ada tempat-tempat padusan seperti Umbul Cokro di
kecamatan Tulung, Umbul Ponggok di Kecamatan Polanharjo, Umbul Jolotundo di
Kecamatan Jatinom, dan masih banyak lagi. Semuanya itu adalah sumber-sumber
air. Para
warga di Klaten berkumpul di pemandian untuk bersuci menyambut bulan Ramadhan
secara bersama-sama, mereka terjun ke dalam air dan mandi bersama, tanpa
membeda-bedakan status sosial, hal ini ditujukan untuk mempererat hubungan
antar warga sekaligus sebagai ritual pensucian diri.[36]
Di
beberapa tempat, padusan memang masih menyimpan kesakralannya. Namun
di sejumlah tempat lain, terutama di daerah perkotaan, ritual padusan
telah menjadi komoditi pariwisata.[37] Masyarakat
lupa bahwa padusan itu bukan sekadar mandi dan keramas menjelang
puasa. Namun lebih kepada pembersihan raga dan jiwa sehingga benar-benar
bersih, suci, dan siap untuk berpuasa. Begitulah kata Kanjeng
Raden Tumenggung (KRT) Winarso Kalinggo, seorang budayawan di Solo, Jawa
Tengah. Tradisi padusan, lanjut Kalinggo, sudah kehilangan ruhnya.
Apalagi belakangan ini ritual padusan mulai dijual demi kepentingan
pariwisata. Bahkan banyak tempat-tempat padusan yang dilengkapi dengan
panggung dangdut. Nilai sakral mulai ditinggalkan, tetapi lebih mengejar pada jumlah
pengunjung. Semakin banyak orang datang, maka semakin banyak pula tiket yang
terjual. Tradisi padusan yang sesungguhnya merupakan tahap akhir dari
prosesi pembersihan diri sebelum puasa. [38]
D. Tanggapan Singkat
Setiap
komunitas masyarakat pasti akan selalu melahirkan sebuah budaya. Selain sebagai
kebutuhan, budaya juga merupakan konsekuensi sosiologis orang bermasyarakat.
Masyarakat di manapun di dunia ini pasti mempunyai budaya lokal. Bagaimanapun
sebuah budaya telah berhasil dihilangkan orang, maka otomatis di masyarakat
tersebut akan lahir budaya baru, begitu seterusnya. Kadang-kadang keinginan
seseorang untuk merubah suatu tradisi akan menjadi tidak bijaksana ketika tidak
dibarengi dengan budaya tandingan (budaya lain yang mapan), karena sudah tentu
akan mendapat perlawanan dari masyarakat. Dan jika perubahan cenderung
dipaksakan, dan seandainya tradisi itu kemudian berhasil dirapuhkan maka suatu
masyarakat itu relatif akan berganti dengan budaya lain yang jauh dari
kekompakan (tidak mapan). Di satu komunitas masyarakat yang budayanya tidak
solid menyebabkannya rentan terhadap perpecahan serta konflik. Sudah pasti,
masyarakat tanpa budaya dan kebersamaan akan terasa hampa dan pada akhirnya
masyarakat tersebut bisa kehilangan identitas.
Kiranya
Sadranan merupakan tradisi yang patut untuk dilestarikan, namun perlu
dan penting juga dibarengi dengan pencerahan-pencerahan spiritual keislaman
agar umat Islam tidak terjerumus pada niat dan pemaknaan yang keliru atau berbau
kesyirikan. Kendati sebagian orang beranggapan bahwa Sadranan adalah
budaya peninggalan agama Hindu, menurut pemakalah itu tidak masalah. Tidak
mudah menciptakan sebuah kerangka budaya yang mapan. Sebelum datang Islam
memang rata-rata masyarakat Indonesia (Klaten) beragama Hindu.[39]
Tidak ada salahnya jika kerangka budaya masyarakat yang kebetulan saja dulunya
beragama Hindu diambil kemudian diisi dengan nilai-nilai keislaman. Kerangka
budaya berasal dari kreasi masyarakatnya bukan oleh agamanya. Jadi kerangka
budaya terkait pada orangnya bukan Hindu-nya. Menurut pemakalah, Sadranan
pada dasarnya adalah kerangka budaya. Ketika diisi dengan ajaran Hindu maka Sadranan
menjadi bagian dari ajaran Hindu. Dan ketika diisi dengan nilai-nilai ajaran
Islam, maka Sadranan pun bisa menjadi bagian dari bentuk pengamalan
ajaran Islam.[40]
Adapun
masalah Padusan, tidak ada jeleknya juga kalau tetap dilestarikan tetapi
juga harus diikuti dengan pemahaman yang benar, sehingga Padusan bisa
berposisi sebagai sesuatu kebaikan dan bukan menimbulkan sesuatu yang
berkebalikan. Pada dasarnya masyarakat menyambut Ramadhan dengan melakukan
bersih diri, itu merupakan sebuah keinginan yang boleh dan baik dalam pandangan
Islam. Tradisi Padusan dalam maknanya yang asli yaitu menyiapkan diri
untuk memasuki Ramadhan dalam keadaan suci, kiranya merupakan bagian dari
kreatifitas pikir dan usaha masyarakat dalam keinginan mencapai kebaikan yang
optimal, karena kebersihan lahir bisa juga menuntun seseorang pada kebersihan
batin. Kondisi batin yang bersih sudah tentu relatif lebih mudah memperoleh
kekhusukan dalam peribadatan.
DAFTAR PUSTAKA
Ganug
Nugroho Adi, Tradisi Jawa yang Masih Tersisa, http://kabarsoloraya.com/2010/08/14/ny
(diunduh Desember 2011).
Wawancara
dengan Rahmah, guru agama Islam SMPN I
Karanganom, Klaten.
Redaksi
Wiki, Kabupaten Klaten, http://id.wikipedia.org/wiki/ (diunduh Desember
2011).
http://id.wikipedia.org/wiki/Pluneng,_Kebonarum,_Klaten (diunduh Desember
2011).
[1] Nama salah satu
kabupaten di Jawa Tengah yang berlokasi
antara Solo dan Jogja.
[2] Sadranan merupakan budaya Jawa terutama Jawa Tengah
yang sedikit masih berlangsung, namun di Klaten dan sebagian di Kabupaten
Boyolali tradisi tersebut masih lestari dengan baik. Lihat: Ganug Nugroho Adi, Tradisi
Jawa yang Masih Tersisa, http://kabarsoloraya.com/2010/08/14/ny (diunduh
Desember 2011).
[3] Di tempat lain mungkin
juga ada kegiatan-kegiatan khas pada waktu menjelang bulan puasa. Misalnya di
Padang ada acara Balimau yang pengertiannya hampir sama dengan Padusan.
[4] Beberapa tahun
terakhir ada sebagian masyarakat yang sudah anti Sadranan dan Padusan
disebabkan oleh paham keagamaaannya.
[5] Tidak seperti
yang terjadi di Lombok. Konon setiap
desa saja sudah mempunyai perbedaan yang cukup signifikan.
[6] Salah satunya tradisi
Yaqowiyu (sebaran apem/nama kue) oleh masyarakat Jatinom, Klaten.
[8] Adi, Tradisi Jawa
yang Masih Tersisa.
[9] Membakar kemenyan di
saat berziarah dan istilah sesajen masih banyak dilakukan oleh orang-orang Jawa
yang puritan (Islam kejawen).
[10] Informasi ini
diperoleh pemakalah dulu selama tinggal di Klaten, kemudian juga berdasarkan
wawancara via sms (Desember 2011) dengan sepupu pemakalah (Siti Rahmah, guru
agama Islam SMPN I Karanganom) yang tinggal di Polodadi, Tarubasan, Karanganom,
Klaten atau tidak jauh dari kampung halaman pemakalah. Informasi yang disampaikannya ke pemakalah dia dapatkan dari
banyak sumber yaitu melalui wawancara juga kepada orang-orang yang ada di
sekitarnya.
[11] Berziarah di hari Nyadran
disebut dengan istilah besik, karena disamping berdoa juga diikuti
dengan membersihkan makam dan merapikan atau memperbaiki kuburan-kuburan yang
rusak.
[12] Terdiri atas 26
kecamatan dan 400 kelurahan/desa. Lihat: Redaksi Wiki, Kabupaten Klaten,
http://id.wikipedia.org/wiki/ (diunduh Desember 2011).
[13] Masyarakat Klaten
terutama orang-orang tua dalam hitung-hitungan hari masih menggunakan
penanggalan Jawa.
[14] Ada prepegan
Nyadran, ada juga prepegan poso (puasa), prepegan bodo
(lebaran), dan lain-lain. Pasar tradisional yang satu dengan yang lain kadang prepegan
Nyadran-nya berbeda tergantung dari kapan masyarakat konsumennya akan
melaksanakan Nyadran.
[15] Bahan dasar sambel
goreng adalah tahu, kentang, dan krecek (kulit sapi/kerbau), dimasak dengan
santan dan dibumbui khusus untuk sambel goreng.
[16] Bisa ayam goreng,
ayam terik (dimasak dengan santan), atau ayam bacem (manis). Umumnya menu di
hajatan Nyadran cenderung lebih sederhana dibanding dengan hajatan besar
lainnya (misal: lebaran dan pernikahan), sehingga untuk kebutuhan daging cukup
dipilih daging ayam saja.
[17] Biasanya menggunakan
telur ayam negeri atau telur ayam kampung, bisa direbus saja atau dimasak
dengan kecap manis, dan jarang yang dimasak goreng.
[18] Tahu dan tempe bisa
digoreng atau dibacem manis.
[19] Dibuat dari pati
singkong dicampur dengan kedelai yang ditumbuk/diiris dan ditambah sedikit
parutan kelapa kemudian digoreng.
[20] Ada tiga jenis peyek:
peyek teri, peyek kacang tanah, dan peyek kedelai. Peyek teri bisa diganti ikan
asin yang digoreng dengan tepung beras.
[21] Dibuat dari ketan
yang dicampur dengan parutan kelapa dan sedikit garam kemudian dikukus, setelah
matang dihaluskan.
[22] Dibuat dari adonan
campuran tepung beras, tape singkong, dan gula merah, setelah itu digoreng.
[23] Diteri artinya
diantari sesuatu makanan. Sedangkan weweh maksudnya adalah
memberi/mengantarkan makanan dalam bentuk menu komplit ke orang lain. Weweh
dari kata aweh yang artinya memberi. Dan istilah weweh hanya
digunakan dalam moment hajatan.
[24] Gantian memberi.
[25] Ada juga yang dimulai
sejak pagi, dan sebagian desa ada yang menyelenggarakan tahlilan dan kenduren
di malam Nyadran-nya, sehingga besik dilaksanakan tidak serentak
tetapi sepanjang hari mulai pagi sampai sore dan paling ramai biasanya tetap
setelah dhuhur.
[26] Ditempatkan di suatu
wadah (bentuknya bebas) kemudian ditutupi dengan daun pisang cukup banyak yang
nantinya daun itu digunakan untuk makan. Namun belakangan di beberapa desa
untuk makannya sudah menggunakan piring.
[27] Tidak semua orang
bisa membawa bunga kantil dan bunga kenanga, karena kedua bunga itu di pasar
harganya mahal, sehingga kebanyakan orang kemudian membawa bunga mawar saja.
[28] Ada dua macam istilah
mudik, yaitu mudik Nyadran dan mudik lebaran. Bagi yang tempat
tinggalnya sangat jauh maka biasanya memilih mudik lebaran saja, atau misalnya
ingin mudik Nyadran maka tidak
sekeluarga.
[29] Sarean atau pesarean
berasal dari kata kerja sare (tidur), kadang juga tempat makam itu
dinamakan dengan sasono loyo.
[30] Umumnya setiap desa
mempunyai banyak gelas dan perangkat lainnya yang disimpan di salah satu warga
yang ditunjuk atau di masjid untuk keperluan hajatan bersama.
[31] Gotong-royong
membersihkan sarean oleh warga tidak sampai pada makam per makam, akan
tetapi sebatas sarean secara umum. Sedangkan pembersihan makam harus
dilakukan oleh keluarganya sendiri-sendiri, sehingga kalau akan besik sudah
biasa orang membawa peralatan seperti sapu, sabit, juga cangkul. Bagi makam yang pada saat Nyadran
tampak tidak ada bekas dibesiki keluarganya, maka makam tersebut
terancam suatu saat akan digusur atau diratakan oleh warga.
[32] Orang-orang Islam
Kejawen juga dengan membakar kemenyan, kadang-kadang juga pakai sesajen/sesaji.
Konon karena sebuah desa itu ada penunggunya yaitu danyang (roh
halus/sebangsa jin). Danyang itu tempatnya di sarean. Untuk
masalah komposisi sesajen pemakalah belum begitu mengerti, biasanya
berupa makanan macam-macam tetapi jumlahnya sedikit-sedikit.
[33] Tidak banyak ibu-ibu
bisa dijumpai di sarean, ibu-ibu dianggap prasaannya sensitif dan kurang
kuat menahan air mata jika almarhum-almarhumah dibicarakan. Sedangkan menangis
di sarean dianggap sebagai sesuatu yang tabu, sehingga seorang perempuan
boleh ke sarean dengan syarat tidak akan menangis.
[34] Bisa teman kerja,
teman sekolah, dan lain sebagainya.
[35] Bagi warga desa yang
Islamnya masih campur dengan kejawen dan terutama mereka yang tempat
tinggalnya didekat sumber air untuk padusan, mereka pada ritual padusan
membuat sesaji lagi untuk dibawanya
ke umbul/belik /sendang (sumber air) dipersembahkan kepada dan
yang yang menunggu belik tersebut. Selain itu, agar orang-orang yang padusan
di situ bisa selamat, karena tidak jarang pada waktu padusan ada saja
yang meninggal di lokasi padusan.
[37] Sebagai contoh: dulu
untuk padusan di Umbul Cokro gratis, sekarang masuk umbul tersebut harus
membayar. Dan tidak jarang di dekat beberapa umbul diselenggarakan pentas seni.
[38] Adi, Tradisi Jawa
yang Masih Tersisa.
[39] Terbukti Candi
Prambanan ada di Klaten, candi yang merupakan simbol kebesaran umat Hindu
Indonesia di masa lampau.
[40] Bisa diidentikkan
dengan cerita, sebuah bangunan dulunya adalah gereja kemudian dijadikan masjid.
Demikian pula dengan kerangka budaya, tidak lebih ibaratnya sebagai sebuah
konsep bangunan yang netral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar