PERKAWINAN ADAT DI KLU
(Kasus di Kecamatan Kayangan dan Kecamatan Bayan)
Oleh : Hamdun
PENDAHULUAN
KLU adalah sebuah singkatan dari Kabupaten Lombok Utara. Terletak
di sebelah utara pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat. berbatasan dengan
Lombok Barat (di wilayah sebelah Barat), Lombok Tengah (di Wilayah Tengah), dan
Lombok Timur (di wilayah sebelah timur).
Kabupaten Lombok Utara adalah salah satu Kabupaten baru. Berdiri
dan menjadi daerah otonom pada tanggal 22 Juli 2008, diresmikan di depan Kantor
Gubernur NTB pada tanggal 30 Desember 2008 oleh Menteri Dalam Negeri,
disaksikan oleh ratusan lapisan masyarakat KLU dari berbagai latar belakang dan
unsur yang berbeda.[1]
Pemekaran KLU sebagai Kabupaten baru mempunyai alasan logis dan
refresentatif. Beberapa diantaranya adalah; jarak ibukota kabupaten induk yang
terlalu jauh sehingga pelayanan pemerintah daerah tidak maksimal, wilayah
secara gografis dan jumlah penduduk memenuhi syarat secara konstitusional,
Sumber Daya Alam yang memadai dalam
mendukung Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) dan beberapa alasan-alasan lain yang
signifikan.
Harus diakui Sumber Daya Alam KLU yang eksotik menawarkan berbagai
macam pesona untuk menunjang sector ekonomi masyarakat secara umum. Walaupun
demikian potensi ini tidak sebanding lurus dengan potensi Sumber Daya Manusia
yang ada. Phenomena masyarakat KLU yang konserfatif, tidak mempunyai pendidikan
yang cukup, ditambah dengan angka kemiskinan yang begitu besar, menjadi
“pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan dengan berjenjang. Sehingga visi ke
depan “tioq, tata, tunaq” bukan hanya slogan dan symbol-syimbol. Tetapi
teraktualisasi dalam seluruh elemen strata social.
Sebagai bagian provinsi NTB yang notabene berpenduduk mayoritas
Muslim, KLU juga adalah bagian kemasyarakatan dengan angka prosentase penduduk
muslim mayoritas, maka tidak heran jikalau ujung barat sampai ujung timur
perbatasan daerah selalu ada masjid sebagai syimbol keberadaan ummat Islam.
Namun, sama dengan persoalan di atas, potensi keagamaan yang besar tidak
berbanding lurus dengan potensi pemahaman mereka dalam bidang agama.
Bahkan pemahaman keagamaan masyarakat sebagiannya masih kental
dalam pemikiran budaya dan tradisi lokal. Sehingga masalah-masalah masyarakat
sebagai individu dan social lebih rentan dalam menimbulkan konflik. Dan salah
satu persolan yang paling sering muncul dalam tradisi keagamaan masyarakat
adalah persoalan yang berkaitan dengan hukum keluarga atau perkawinan.
Persoalan perkawinan masyarakat KLU pada umumnya memiliki adat yang
sama mulai dari kecamatan Pemenang sampai Kecamatan Bayan.[2]
Hal ini bisa dilihat dari acara-acara perkawinan yang dilaksanakan pada 5
wilayah kecamatan tersebut. Walaupun akhir-akhir ini perkawinan adat perlahan
mulai ditinggalkan, digantikan dengan perkawinan campuran adat dan agama.
Keduanya terjadi lebih disebabkan karena akulturasi budaya yang menyebabkan
asimilasi nilai dan tata cara perkawinan. Hal ini banyak tampak terutama di
kecamatan Pemenang sampai Kecamatan Gangga. Sementara di sebagian Kecamatan
Kayangan dan Kecamatan Bayan pada saat tertentu budaya masih dipertahankan
termasuk dalam persoalan perkawinan.
Adapun perkawinan adat yang diangkat dalam makalah ini adalah
perkawinan yang berlangsung di wilayah kecamatan Kayangan dan Kecamatan Bayan.
Hal ini disebabkan karena penulis sendiri bekerja pada wilayah tersebut sebagai
Penyuluh Agama Islam sehingga sedikit banyak mengetahui tata cara perkawinan
masyarakatnya dan juga kasus-kasus yang terjadi dalam prosesi acara dan
pengaruhnya secara sosiologis.
Secara kebetulan tata cara perkawinan khas daerah ini diminta agar
diangkat dalam diskusi Sosiologi Hukum Islam. maka beberapa kejadian dalam
prosesi perkawinan adat di tempat penulis ini bersambut dengan tugas mata kuliah
sosiologi hukum Islam, sehingga bisa diangkat sebagai tugas ilmiah untuk
memberikan diskripsi singkat tentang beberapa bagian penting dari perkawinan
adat di wilayah KLU. Maka makalah ini diberi judul : PERKAWINAN ADAT DI KLU
(Kasus di Kecamatan Kayangan dan Kecamatan Bayan).
SEKILAS TENTANG KAYANGAN, BAYAN DAN WETU TELU
Secara geografis wilayah Kecamatan Kayangan dan Kecamatan Bayan
dahulunya adalah satu kecamatan; yaitu Kecamatan Bayan. Tetapi pada tahun 2004,
Kabupaten Lombok Barat (sebelum ada KLU) memekarkan wilayah ini menjadi dua
kecamatan yaitu kecamatan Bayan dan Kecamatan Kayangan.
Kecamatan Kayangan, adalah salah satu Kecamatan di Kabupaten Lombok Utara yang berlokasi antara Kecamatan Gangga dan
Kecamatan Bayan. Kecamatan Kayangan memiliki luas wilayah sekitar ±10 km arah Timur Barat
dan ±20 km arah Utara Selatan, berpenduduk sekitar 20 ribu jiwa yang terbagi
dalam delapan desa, yaitu : Desa Kayangan Desa Dangiang Desa Gumantar Desa
Selengen Desa Salut Desa Sesait Desa Pendua Desa Santong.
Sedangkan Kecamatan Bayan berlokasi disebelah timur Kecamatan
Kayangan dan wilayahnya berbatasan dengan Lombok Timur. Kecamatan Bayan
memiliki Luas 628.370 M2 dengan jumlah penduduk sekitar 45. 705 jiwa. Memiliki
9 Desa yaitu; Desa Bayan, Desa Senaru,
Desa Loloan, Desa Segenter, dan Desa Karang Bajo. Desa Anyar, Desa Suka Dana,
Desa Sambik Elen dan Desa akar-akar.[3]
Dari 5 Kecamatan di KLU Di kedua kecamatan inilah paling banyak penduduknya
berfaham Wetu Telu. Sebuah falsafah yang sangat kental dipegang oleh masyarakat
asli. walaupun perlahan luntur bersama perubahan zaman yang semakin menggelobal.
Masyarkat dua kecamatan ini (keduanya memiliki kesamaan adat karena secara adat
dua geografis ini adalah satu wilayah) tetap kokoh mempertahankan adat istiadat
mereka.
Keteguhan masyarakat adat Wetu Telu melestarikan adatnya
patut ditiru. Cukup banyak masyarakat asli di sana yang merantau ke luar
daerah, namun selalu berusaha kembali pulang ketika upacara-upacara adat
dilakukan, demi melestarikan adat. Beberapa perkampungan mereka juga masih
memegang adat dan bertahan hidup secara tradisional. Antara lain di Desa
Gumantar, Desa Sesait, Desa Salut (Kecamatan Kayangan), Desa Bayan, Desa Senaru,
Desa Loloan, Desa Segenter, dan Desa Karang Bajo. (Kecamatan Bayan).[4]
Raden Gedarip mengatakan, selama ini banyak salah
persepsi tentang adat Wetu Telu. Opini yang terbentuk akhirnya menggambarkan
bahwa Wetu Telu adalah agama Islam yang belum tuntas diajarkan, dan masih mengadopsi
ajaran agama Hindu. Misalnya sholat hanya tiga kali, berpuasa hanya tiga kali
di hari pertama, pertengahan, dan penutup. Ada juga yang menyebut penganut Wetu
Telu hanya menjalankan tiga rukun iman dalam Islam, kecuali shalat lima waktu
dan naik haji.
“Itu semua persepsi yang salah. Banyak pemangku adat
kami yang naik haji, dan shalat kami lima kali sehari. Banyak juga masyarakat
adat Wetu Telu yang menjadi pimpinan di kantor pemerintahan daerah,” kata Raden
Gedarip.
Menurut Gedarip, Wetu Telu bukan agama, tetapi
pandangan hidup yang ditinggalkan leluhur mereka. Wetu berarti batasan wilayah,
sedangkan Telu berarti tiga.
Dari sisi kehidupan, masyarakat adat Wetu Telu
diharuskan menjaga keselarasan dan keseimbangan hidup antar mahluk yang
diciptakan Allah melalui tiga jalan yakni Memanak (beranak), Menteluk
(bertelur), dan mentiu (bertumbuh).
Manusia dan hewan mamalia dilahirkan dari proses
beranak-pinak, unggas dan hewan melata tercipta dari telur, sedangkan tumbuhan
dari biji-bijian yang ditanam dan bertumbuh. Ketiganya harus selaras dan
seimbang. Makna filosofinya, manusia tidak boleh mengeksploitasi alam secara
berlebihan karena akan merusak tumbuhan, habitat hewan dan juga kemanusiaan.
Dari sisi tatanan sosial, masyarakat ada Wetu Telu
menghormati tiga unsur kepemimpinan, yakni pemusungan (dari unsur pemerintah
seperti Kades), pemangku (dari unsur adat istiadat), dan penghulu (dari unsur
Keagamaan). Ketiganya memiliki tanggungjawab sosial terhadap masyarakatnya.
Dari sisi letak geografis tempat tinggal, masyarakat
adat Wetu Telu membagi tiga wilayah yang harus dijaga kelestariannya, yakni
wilayah Gunung dan Hutan untuk penduduk di perkampungan yang dekat dengan kaki
gunung Rinjani, wilayah pertanian untuk perkampungan di dataran tengah, dan
wilayah laut untuk perkampungan yang dekat pesisir.
Misalnya untuk wilayah laut, kami tidak pernah
menangkap ikan menggunakan potasium atau bom ikan, itu dilarang secara adat
karena akan merusak keseimbangan,” katanya.
Tapi tidak cukup banyak yang bisa diceritakan Gedarip
tentang Wetu Telu, “Ada beberapa hal yang kami ketahui tetapi tak bisa kami
ungkapkan karena memang secara turun temurun dari leluhur, hal itu hanya kami
saja yang boleh tahu. Kalau diceritakan ke orang lain bisa pemaliq (bernasib
sial)”.
Untuk keislaman, masyarakat adat Wetu Telu percaya
bahwa leluhur merekalah yang pertama kali menerima ajaran Islam di Pulau
Lombok, yang dibawa Wali Songo pada abad ke 17 Masehi. Masjid kuno Bayan Beleq
adalah bukti sejarahnya yang sampai sekarang tetap berdiri di Desa Bayan.
Mereka percaya, Datu Bayan (Raja Bayan) adalah orang
pertama yang diislamkan di Lombok, disusul oleh para pemangku adat dan
masyarakat adat Bayan. Dalam acara pernikahan Secara sederhana Gedarip
menggambarkan, prosesi agama ijab kabul dilakukan di masjid atau KUA, sementara
sesudahnya prosesi adat pun dilakukan menyusul, yakni nyongkolan atau sorong
serah.
Filosofi wetu telu inilah rupanya yang menjadi semangat
masyarakat Kayangan dan Bayan khususnya dan KLU pada umumnya untuk terus
mempertahankan budaya dan nilai-nilai kehidupan yang menjadi pandangan hidup
mereka secara komprehensif. Sehingga dalam berbagai kegiatan keagamaan (Islam)
juga ada paduannya dalam kegiatan adat, seperti idul fitri adat, maulid adat
termasuk juga tata cara dalam pekawinan adat.
PERKAWINAN ADAT BAYAN
Perkawinan adat di KLU terutama di Bayan memiliki
keunikan yang tidak ditemukan di daerah lainnya. Apalagi yang menikah itu,
berasal dari keluarga bangsawan. Mereka punya tradisi khusus yang masih
terpelihara secara lestari hingga saat ini.
Perkawinan Dende Peniwarni, SE dengan Slamet Riady,
S.IP[5]
misalnya; sebenarnya sudah berlangsung tujuh tahun lalu. Pada saat itu,
perkawinan keluarga ini, hanya berupa akad nikah secara muslim. Tujuh tahun
masa perkawinannya, pasangan ini sekarang sudah dikaruniai tiga orang anak.
Namun demikian, tenggang waktu pernikahan yang cukup lama, tidak serta merta
mengabaikan pernikahan secara adat yang sudah berlangsung secara turun temurun.
Prosesi secara adat itu, baru bisa berlangsung Sabtu (27/11/2010)
lalu. Prosesinya dikenal dengan sorong serah aji krama adat yang artinya
menyerahkan sejumlah material kepada mempelai wanita. Pada prosesi adat ini,
pengantin pria menyerahkan sejumlah material yang ditetapkan dalam adat. Yakni
11 ekor sapi, 44 buah tombak, kain putih sebanyak 44 lembar masing-masing
ukuran 1 meter. Selain itu, ada juga material lainnya yang melengkapi.
Diantaranya beras, sejumlah uang dan beberapa bahan keperluan lain yang
ditetapkan dalam perkawinan adat Bayan.
Penyerahan seserahan kepada keluarga perempuan itu
berlangsung di kampu (rumah tempat berlangsungnya ritual adat Bayan). Keluarga Dende
Peniwarni (Nyakranom) menjelaskan, saat dipersunting oleh suaminya pada 1 Juni
2003 lalu ia setuju kapan saja diadakan upacara perkawinan adat asalkan
dipenuhi tuntutan adat Bayan. Seperti gayung bersambut tuntutan itu disanggupi
oleh Slamet Riady, karyawan BPM KLU. Kegiatan itu berlangsung di Bayan Timur,
Desa Bayan Beleq. ‘’Kapan mampu bayar adat, itu tidak dipaksakan. Yang
kawin belakangan juga diberlakukan adat yang sama,’’jelas Nyakranom.[6]
Saat acara itu berlangsung, banyak kerabat dan keluarga
Dende Peniwarni dan Slamet Riady menyaksikan ritual itu. Prosesi ritual itu
berlangsung sesuai dengan yang direncanakan. Sebelas ekor sapi dan bahan
lainnya yang diserahkan ke kampu dibawa sejumlah warga dipimpin oleh pembayun
atau utusan pihak laki bersama sejumlah rombongan.
Keluarga Besar adat Bayan Raden Nyakranom menerangkan
kegiatan ini merupakan proses adat perkawinan di Bayan yang masih dipertahankan
sampai kini. Menurut Nyakranom, jika yang bersangkutan belum membayar tampah
wiring (seserahan seperti 11 ekor sapi) mereka belum bisa mengikuti ritual di
kampu.[7]
Jika misalnya ritual adat tak bisa dilaksanakan, maka
dedosan atau denda yang dikenakan. Dalam perkawinan adat jika ada pelanggaran
yang dilakukan, perempuan yang memulang/ selarian akan dihitung berapa kali
yang dilewati saat ia meninggalkan rumah.
Tiap dusun di Bayan besarnya dedosan berbeda. Yang
menentukan dedosan bukan orang tua perempuan melainkan oleh keluarganya sesuai
ketentuan adat setempat. Menurut R. Sawinggih syarat perkawinan adat Bayan
memang berat, sehingga kawin cerai jarang terjadi. ‘’Bisa dibandingkan dengan
di tempat lain, di Bayan jarang ditemukan laki-laki sering kawin. Ini karena
adat yang kuat,’’jelas Sawinggih.[8]
PEMBAYUN
Salah satu adat yang sangat melekat pada prosesi perkawinan adat Bayan
KLU adalah Adat dan budaya kepembayunan pada upacara sorong serah
dalam adat perkawinan.
Menurut Rianom, kata pembayan berasal dari dua suku kata yaitu
pemban dan ayun, yang berarti pengajeng atau pemuka. Dalam upacara sorong serah
terutama dalam pemulangan atau perkawinan, pembayun bertugas sebagai pemimpin
rombongan dalam membawa harta yang merupakan gegawan atau bawaan dari pihak
keluarga laki ke pihak keluarga perempuan. Dan biasanya rombongan ini
berjumlah 20 sampai 30 orang.[9]
Pembayun selain bertugas sebagai duta (utusan) yang diberikan
mandat oleh keluarga laki-laki, juga bertugas menyampaikan amanat dalam
menyelesaikan pelaksanaan adat, tata cara dan tertib dalam perkawinan.
Karenanya, seorang pembayun dalam menjalankan tugasnya harus mengetahui
beberapa hal, antara lain; mengetahui tata cara adat istiadat, menguasai
bahasa yang dipergunakan dalam acara sorong serah, menjaga ketertiban dalam
rombongan dan bertanggungjawab atas keberhasilan tugas yang diemban.
Karena tugas pembayun adalah tugas profesi, lanjut Rianom, dalam
upacara penyelesaian adat perkawinan, tentu tidak sembarang orang dapat
ditugaskan sebagai wakil mutlak dari pihak keluarga laki, kecuali harus
dilakukan oleh orang yang terdidik terutama pada persoalan adat pemulangan.
Rianom mengakui, sebagai seorang pembayun, bukan saja
dituntut memelihara tata tertib, tapi juga harus menjadikan diri lebih,
baik dari sisi penampilan, pakaian, tutur bahasa maupun kecakapannya dalam
menyampaikan segala sesuatu dari pihak keluarga laki-laki.
Dalam menjalankan tugas, sang pembayun terdiri dari beberapa orang,
yaitu pembayun itu sendiri yang bertugas sebagai juru bicara dan panji sebagai
pengiringnya yang sewaktu-waktu dapat dimintai pendapat oleh pembayun. Dan para
pembayun sedapat mungkin menggunakan pakaian adat dan sebilah keris, karena
dari segi pakaian, dapat mempengaruhi keluarga perempuan selaku pihak penerima.
Disamping itu perilaku kepembayunan juga harus difahami dengan baik seperti
cara menyampaikan pesan harus tahu tata cara nyokor dimana seorang pembayun tidak
boleh berdiri atau pun bergerak sebelum dipersilahkan oleh keluarga mempelai
perempuan. Jika sudah dipersilahkan maka seorang pembayun bergerak tidak
sembarangan tetapi tetap dalam posisi nyokor (jalan dengan tidak berdiri).
Pakaian yang digunakan pembayun terdiri dari ikat kepala (sapuk),
dodot atau leang, baju kemeja (pegon), kain sarung panjang dan dilengkapi
dengan sebilah keris yang diselipkan di pinggang. “Pakaian ini, memang sebagian
orang belum memahaminya, karena belum pernah mendapat pendidikan tentang cara
memakai pakaian adat yang rapi. Soal warna pakaian rombongan boleh saja
berwarna warni, yang penting rapi, sebab pakaian yang dikenakan oleh pembayun
tentu berbeda dengan pakaian dinas atau seragam sekolah”.
Sebelum berangkat ke rumah keluarga perempuan, rombongan ini
terlebih dahulu melakukan urun rembug dengan pihak keluarga laki, Kepala Dusun
atau Kepala Desa untuk dimintai nasehatnya, sebagai bekal untuk menjalankan
tugas kepembayunan. Sebab pembayun merupakan utusan untuk menyampaikan dan
memutuskan kepada si keluarga perempuan. “Jadi kalau mereka (pembayun) itu
sudah berangkat menjalankan tugas, maka semua tanggungjawab berada di
pundaknya”.
Pembayun bisa dilakukan pada beberapa tahapan, yaitu
“mesejati” yakni mengabarkan kepada keluarga perempuan, bahwa anak
gadisnya sudah diambil oleh anak dari orang tua penganten laki-laki. Dan ini
dilakukan paling tidak sehari setelah si gadis memulang atau kawin. Dalam
hal ini keluarga laki-laki bisa langsung menggunakan pembayun atau mengutus petugas
di tingkat dusun. Adapun tata caranya ada yang unik dimana dalam menyampaikan
pesan pembayun harus
Mesejati ini kemudian dilanjutkan dengan runtut sejati yang
tujuannya untuk memepertegas mesejati yang telah dilakukan terdahulu, dan biasa
tenggang waktunya tida hari setelah mesejati. Biasanya setelah pihak perempuan
mendapat mesejati dan runtut sejati, akan langsung mengumpulkan ahli waris atau
kadang jari untuk mengadakan gundem membahas besar-kecilnya aji karma. Dan
setelah selesai, hasilnya itupun disampaikan kepada pembayun selaku duta yang
kemudian diteruskan kepada keluarga pengantin laki-laki.
Tenggang waktu yang diberikan pihak perempuan kepada pihak keluarga
laki-laki paling lama 10 hari. Dan setelah itu barulah dilakukan selabar yakni
mengabarkan tentang diterimanya apa yang dibebankan kepada pihak keluarga
laki yaitu aji krama. Dan yang terakhir adalah sorong serah aji karma
pada saat hari yang telah ditentukan bersama antara kedua belah pihak pada saat
melakukan peradang. Dalam penyarahan piranti adat ini, disaksikan oleh semua
keluarga pengantin wanita.
ISLAM DAN PERKAWINAN DI KLU (dalam Perspektif Sosio-Historis)
Islam secara teologis, merupakan sistem nilai dan ajaran yang
bersifat Ilahiyah dan transenden. Sedangkan dari aspek sosiologis, Islam
merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial dalam kehidupan
manusia. Dialektika Islam dengan realitas kehidupan sejatinya merupakan
realitas yang terus menerus menyertai agama sepanjang sejarahnya. Sejak awal
kelahirannya, Islam tumbuh dan berkembang dalam suatu kondisi yang tidak hampa budaya.
Realitas kehidupan ini diakui atau tidak memiliki peran yang cukup signifikan
dalam mengantarkan Islam menuju perkembangannya yang aktual sehingga sampai
pada suatu peradaban yang mewakili dan diakui oleh masyarakat dunia.
Aktualisasi Islam dalam lintasan sejarah telah menjadikan Islam
tidak dapat dilepaskan dari aspek lokalitas, mulai dari budaya Arab, Persi,
Turki, India sampai Melayu. Masing-masing dengan karakteristiknya sendiri, tapi
sekaligus mencerminkan nilai-nilai ketauhidan sebagai suatu unity sebagai
benang merah yang mengikat secara kokoh satu sama lain. Sejarah Islam yang
beragam merupakan penerjemahan Islam universal ke dalam realitas kehidupan umat
manusia.[10]
Relasi antara Islam sebagai agama dengan adat dan budaya lokal
sangat jelas dalam kajian antropologi agama. Dalam perspektif ini diyakini,
bahwa agama merupakan penjelmaan dari sistem budaya.[11]
Berdasarkan teori ini, Islam sebagai agama samawi dianggap merupakan penjelmaan
dari sistem budaya suatu masyarakat Muslim. Hal ini kemudian dikembangkan pada
aspek-aspek ajaran Islam, termasuk aspek hukumnya. Para pakar antropologi dan
sosiologi mendekati hukum Islam sebagai sebuah institusi kebudayaan Muslim.
Pada konteks sekarang, pengkajian hukum dengan pendekatan sosiologis dan
antrologis sudah dikembangkan oleh para ahli hukum Islam yang peduli terhadap
nasib syari’ah. Dalam pandangan mereka, jika syari’ah tidak didekati secara
sosio-historis, maka yang terjadi adalah pembakuan terhadap norma syariah yang
sejatinya bersifat dinamis dan mengakomodasi perubahan masyarakat.
Islam sebagai agama, kebudayaan dan peradaban besar dunia sudah
sejak awal masuk ke Indonesia pada abad ke-7 dan terus berkembang hingga kini.
Ia telah memberi sumbangsih terhadap keanekaragaman kebudayaan nusantara. Islam
tidak saja hadir dalam tradisi agung bahkan memperkaya pluralitas dengan
islamisasi kebudayaan dan pribumisasi Islam yang pada gilirannya banyak
melahirkan tradisi-tardisi kecil Islam. Berbagai warna Islam dari Aceh, Melayu,
Jawa, Sunda, Sasak, Bugis, dan lainnya, riuh rendah memberi corak tertentu
keragaman, yang akibatnya dapat berwajah ambigu. Ambiguitas atau juga disebut
ambivalensi adalah fungsi agama yang sudah diterima secara umum dari sudut
pandang sosiologis.
Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat
Lombok Utara. Seseorang baru dianggap sebagai warga penuh dari suatu masyarakat
apabila ia telah berkeluarga. Dengan demikian ia akan memperoleh hak-hak dan
kewajiban baik sebagai warga kelompok kerabat atau pun sebagai warga
masyarakat. Sebagaimana perkawinan menurut Islam dikonsepsikan sebagai jalan
mendapatkan kehidupan berpasang-pasangan, tenteram dan damai (mawaddah
warahmat) sekaligus sebagai sarana pelanjutan generasi (mendapatkan keturunan),
maka perkawinan bagi masyarakat KLU juga memiliki makna yang sangat luas,
bahkan menurut orang Bayan, perkawinan bukan hanya mempersatukan seorang
laki-laki dengan seorang perempuan saja, tetapi sekaligus mengandung arti untuk
mempersatukan hubungan dua keluarga besar, yaitu kerabat pihak laki-laki dan
kerabat pihak perempuan. Itulah sebabnya aturan dan tata caranya harus
mencerminkan hal tersebut. Inilah salah satu makna filosofis dari adat sorong
serah aji kerama dan kepembanyunan yang berlangsung turun temurun sebagai
budaya adat perkawinan di KLU.
Berdasarkan tujuan besar tersebut, maka terdapat tiga macam
perkawinan dalam masyarakat di KLU, yaitu:
1.
Perkawinan
antara seorang pria dengan seorang perempuan dalam satu kadang waris yang
disebut perkawinan menempur menasa (misan dengan misan/cross cousin).
2.
Perkawinan
antara pria dan perempuan yang mempunyai hubungan anak jari (ikatan keluarga)
disebut perkawinan sambung urat benang (untuk memperkuat hubungan
kekeluargaan); dan
3.
Perkawinan
antara pihak laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan perkadangan
(kekerabatan) disebut perkawinan menggaluhang gumi (memperluas daerah/wilayah).
Dengan demikian, maka semakin jelas bahwa tujuan perkawinan menurut
adat KLU adalah untuk melanjutkan keturunan (penerus generasi), memperkokoh
ikatan kekerabatan dan memperluas hubungan kekeluargaan. Dalam hal ini tentunya
tidak menyimpang dari konsep perkawinan dalam hukum Islam.[12]
Untuk menjunjung tujuan perkawinan ini maka dalam sejarahnya
diciptakan aturan atau tata nilai yang mengakomodir tuntutan agama Islam (asal
tidak menyimpang) dan adat atau tradisi setempat oleh penyebar agama Islam yang
dipercaya masyarakat KLU di mulai dari Bayan. Kemudian pandangan dan tradisi ini
kemudian turun temurun di amalkan sampai saat ini di KLU yang kemudian dikenal sebagai
perkawinan adat.
Namun dengan perubahan zaman yang semakin canggih dan modern maka
secara perlahan pola perkawinan adat tergeser menyesuaikan dengan kondisi dan
zaman saat ini. Di KLU perkawinan campuran (dengan memadukan adat dan agama)
menjadi tata cara yang baru. Contoh; akad nikah dalam perkawinan dilakukan
dengan tata cara Islam tetapi beberapa bagian prosesi penyelesaian perkawinan
seperti nyongkolan dengan kecimol/kecodak, ji karma atau pisuka sudah menyatu
dalam budaya dan persepsi masyarakat KLU. Dan mungkin kedepan akan terus
berubah menjadi adat baru dalam budaya perkawinan generasi KLU dimasa yang akan
datang.
KESIMPULAN
Berdasarkan beberapa narasi di atas maka bisa disimpulkan bahwa :
1.
Adat
perkawinan yang ada di KLU memiliki tata cara yang sama. Tetapi paling tampak
menonjol dilaksanakan di Kecamatan Kayangan dan Bayan, sementara di tiga
Kecamatan lainnya banyak yang berubah menjadi perkawinan campur antara adat dan
agama.
2.
Adat
perkawinan yang khas berupa sorong serah aji kerama adat dan kepembayunan.
3.
Tata
cara perkawinan adat murni masih ada dan terdapat dibeberapa tempat seperti di
segenter atau gumantar. Walaupun secara perlahan juga ditinggalkan karena sebagian tata cara masih menyimpang dari
ajaran Islam seperti; mendiamkan perempuan di rumah laki-laki sampai acara
sorong serah resmi dilaksanakan. Hal ini bisa memakan waktu berbulan-bulan,
baru dinikahkan secara adat atau agama. Kemudian acara perkawinan dilengkapi
dengan acara nyadek (meminum blo’).
Demikian beberapa tata cara perkawinan kami sampaikan secara diskriptif. Semoga menambah wawasan kita dan
bermanfaat untuk menambah bahan diskusi dalam komparasi hukum Islam dan hukum
adat secara sosiologis.
Segala masukan dan perbaikan
sangat diharapkan.
DAFTAR RUJUKAN
1. Wawancara
dengan amaq Masnun, salah satu orang tua yang tinggal di Dusun Kr. Gelebeg Desa Pemenang Barat pada tanggal 9 Nopember
2011
2.
Data
di KUA Kecamatan Kayangan dan Kecamatan Bayan Tahun 2010
3. Wawancara
dengan Raden Gedarip. Tokoh Wetu Telu Bayan pada Tanggal, 29 Oktober 2011
4. Wawancara
dengan Raden Nyakranom, Keluarga Besar Adat di KUA Kecamatan Bayan pada Tanggal
8 Nopember 2011
5. wawancara
dengan ust. Tauhid seorang da’I di Dusun Segenter Tinggal di Segenter
berasal dari Kediri Lombok Barat, Tahun
2010
6. Suara
Komunitas Panorama FM, wawancara dengan Rianom, S.Sos, ketua Pranata Adat
Karang Bajo Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara di Dusun Ancak Timur Desa
Karang Bajo, selasa 22 Juni 2011.
7. Bassam Tibbi, Islam
and Cultural Accommodation of Social Change, San Francisco: Westview Pres,
1991. Hal. 88. (google books)
[1]
Penulis ikut hadir pada acara tersebut sebagai undangan mewakili tokoh agama
masy. Kecamatan
Pemenang
[2]
Empat puluh tahun lalu hampir semua masyarakat di dayan gunung (KLU) mempunyai
adat dan tata cara yang sama dalam perilaku kehidupan termasuk perkawinan.
Karena mereka adalah keturunan dan dari nenek moyang yang sama. Hampir disemua
tempat kita bisa menyaksikan pola hidup wetu telu. Namun sekitar tahun 1970-an
banyak orang tua menyerahkan anaknya ke teben (mataram dan sekitarnya) untuk
mengaji atau memperdalam agama Islam. dari generasi inilah yang kemudian banyak
membawa perubahan pada masyarakat KLU hingga sekarang. (wawancara dengan amaq
Masnun, salah satu orang tua yang tinggal di Dusun Kr. Gelebeg Desa Pemenang Barat pada tanggal 9 Nopember
2011)
[3]
Data di KUA Kecamatan Kayangan dan Kecamatan Bayan Tahun 2010
[4]
Wawancara dengan Raden Gedarip. Tokoh Wetu Telu Bayan pada Tanggal, 29 Oktober
2011
[5]
Dende Peniwarni adalah karyawan/staf Dinas Pendapatan
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah
(PPKAD) KLU dan Slamet Riady adalah karyawan/staf
BPM KLU
[6]
Wawancara dengan Raden Nyakranom, Keluarga Besar Adat di KUA Kecamatan Bayan
pada Tanggal 8 Nopember 2011.
[7]
Wawancara dengan Raden Nyakranom, Keluarga Besar Adat di KUA Kecamatan Bayan
pada Tanggal 8 Nopember 2011.
[8]
Wawancara dengan Raden Sawinggih, keluarga besar adat Bayan pada Tanggal 8
Nopember 2011
[9] Suara Komunitas Panorama FM, wawancara dengan Rianom, S.Sos, ketua
Pranata Adat Karang Bajo
Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara di
Dusun Ancak Timur Desa Karang Bajo, selasa 22 Juni 2011
[10] Bassam Tibbi, Islam and Cultural
Accommodation of Social Change, San Francisco: Westview Pres, 1991. Hal.
88. (google books)
[11] Bassam Tibbi, Islam and Cultutral
Accommodation of Social Change Hal. 89
[12]
Terlepas dari beberapa kebiasaan menyimpang yang menyertainya. Seperti; mendiamkan
perempuan di rumah laki-laki sampai acara sorong serah resmi dilaksanakan. Hal
ini bisa memakan waktu berbulan-bulan, baru dinikahkan secara adat atau agama
atau minum blo’ (arak yang disimpan berbulan-bulan) pada acara begawe atau
pestanya. (wawancara dengan ust. Tauhid seorang da’I di Dusun Segenter Tinggal
di Segenter berasal dari Kediri Lombok
Barat, Tahun 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar