KORELASI ISLAM DAN SAINS[1]:
Sebuah Kajian Awal
Mukaddimah
Islam adalah agama ilmu. Kalimat itu mungkin lebih tepat ketika ingin
melihat korelasi antara Islam dengan ilmu (al-‘ilm) dan pengetahuan (al-ma’rifah).
Karena memang Islam dan ilmu pengetahuan tak mungkin diceraikan. Keduanya bak
dua sisi mata uang. Oleh karena itu, sejak awal Allah sudah mengajarkan kepada
umat Islam konsep ilmu yang secara komprehensif.
Wahyu perdana, Iqra’ (Qs. 96: 1-5), menjadi titik awal proses Islam
membuat sejarah baru dalam bidang ilmu pengetahuan. Dimana proses baca-tulis
menjadi saudara kembar dalam menghasilkan dan melahirkan ilmu pengetahuan
Islam. Dari wahyu Iqra’ ilmu mengalir. Dari satu komunitas kecil: Arab
terbelakang menjadi komunitas peradaban yang menggemparkan dan menggegerkan
dunia. Karakter “ilmiah” ini lah yang menjadikan Islam maju luar biasa.
Dalam tulisan ini, penulis hanya memaparkan beberapa kata kunci yang ada
dalam konstruk ilmu (sains) dalam Islam. Dengan harapan ada satu titik penting
yang dapat dipahami dan ditangkap dari bangunan ilmu pengetahuan Islam tersebut
yang genuine.
A.
Sejarah Sains Dalam Islam
Istilah sains sering digunakan sebagai kata kolektif untuk menunjukkan
berbagai ilmu pengetahuan yang sistematik dan obyektif serta dapat
di-verifikasi kebenarannya. Konsekwensi dari penegrtian ini adalah dikotomi
ilmu pengetahuan yang meniscayakan terpisahnya Obyek dan Subyek. Ilmu pengetahuan
di dalam Islam tidak mengenal dikotomi Ilmu Pengetahuan dan selamanya antara
Subyek dan Obyek akan terus saling mempengaruhi dan dibimbing oleh Wahyu.
Ilmu pengetahuan termasuk bagian dari sistem peradaban. Peradaban adalah
sistem kehidupan yang terbentuk dari pola pikir (framework) yang berada
disekitar lingkungan tertentu,, terbentuknya peradaban tersebut terjadi secara
eklektik sesuai dengan prinsip-prinsip kehidupan yang telah ada. Beberapa abad
sebelum munculnya Islam, di Jazirah Arab telah mengenal peradaban lembah Nil,
Peradaban lembah Dajlah dan Furat, Peradaban Yaman, Peradaban Syam, Peradaban
Tunis, Bahrain, Persia, Mesir, Iraq,Yunani dan Romawi.[2]
Peradaban Eropa banyak dipengaruhi oleh Peradaban Anatolia, Crete dan
Yunani, namun peradaban-peradaban tersebut dapat sampai ke Eropa melalui
pemikir-pemikir Islam melalui proyek penerjemahan ke bahasa Latin yang
digunakan oleh masyarakat Eropa. Sebelum munculnya Islam, keruntuhan telah
terjadi pada perdaban-peradaban besar yang berada disekitar Jazirah Arab.
Ketika Islam muncul sebagai agama yang membawa benih-benih peradaban besar
dan secara terang-terangan mewajibkan untuk menuncari dan mengembangkan ilmu
pengetahuan sebagai jalan hidup, maka para pecinta ilmu mulai mempelajari
peradaban yang telah ada sebelumnya. Ilmu pengetahuan Islam mengalami kemajuan
yang mengesankan selama periode “abad pertengahan” melalui orang-orang kreatif
seperti Al-Kindi, Ar-Razi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibn Rusyd, dll.
Mereka telah melakukan investigasi dalam berbagai bidang ilmu penegtahuan
tetapi semua dalam framework keagamaan dan dengan metode skolastik.
Dengan metode skolastik ini, Islam dapat menghasilkan dan mengembangkan
ilmu pengetahuan dengan cepat, kreatif dan dinamis. Sementara itu beberapa
orang khalifah dan Crusader (pasukan salib) membakar perpustakaan-perpustakaan
dan membungkam para cendikiawan muslim, sedangkan yang lainnya menyalin dan
menyalurkan buku-buku untuk dijadikan perpustakaan besar dan pusat pengembangan
ilmu pengetahuan bagi masyarakat umum. Hal inilah yang kemudian umat Islam
sering dituduh reaksioner dan finalistik dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.[3]
Meskipun demikian, Islam selalu memandang dunia dan segala hal yang
melatarbelakanginya sebagai buku yang terbuka yang dapat dibaca dan dipahami
oleh semua orang dengan menghilangkan unsur-unsur fanatisme dan ortodoksi agar
ilmu pengetahuan dan perkembangannya dapat memberi pengaruh yang nyata dalam
segala aspek kehidupan. Hal ini tentunya karena dipengaruhi oleh “epistemologi
Islam” yang sudah mapan dan kukuh.
B. Epistemologi Islam
Epistemologi sejatinya merupakan teori yang berada
dalam hirarki ilmu Filsafat yang memusatkan pada pengkajian ilmu pengetahuan
yang terbenam dalam pikiran manusia. Teori ini diharapkan mampu menguji
kebenaran sebuah konsep atau gagasan. Konsep atau gagasan ini adalah ilmu
pengetahuan yang hadir dari sebuah pandangan hidup, agama, kebudayaan, dan
peradaban seorang individu. Epistemologi dibutuhkan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang ilmu pengetahuan diantaranya, ‘apakah
manusia dapat mengetahui?’, ‘darimanakah pengetahuan itu muncul?’ Di dalam
Islam, epistemologi berkaitan dengan metafisika dasar Islam. Metafisika dasar
dalam hal ini, sebagaimana dikatakan Al-Attas dalam A Commentary on the
Hujat al-Ssidiq of Nur al-Din al-Raniri yang dikutip oleh Hamid, mencakup
di dalamnya wahyu, hadits, akal, pengalaman dan intusisi.[4]
Otentisitas wahyu sebagai perkataan Tuhan dapat
dengan mudah diidentifikasi dengan menyimak dan mentadabburi kebesaran-Nya
melalui penciptaan alam semesta dan segala isinya. Nabi Muhammad s.a.w. selain
sebagai penyampai pesan-pesan wahyu, ia pun manifestasi akhlak Qur’ani dimana
tidak ada yang dapat menafikan kesempuranaan dan kemuliaannya. Perkataan dan
prilaku juga menjadi teladan yang baik (qudwah hasanah) bagi umat
manusia yang mana sudah terekam dalam catatan-catatan para sahabat, tabi’in,
dan ta’bi-tabi’in berupa hadith. Tidak sampai disitu saja, hadith-hadith nabi
yang disampaikan perlu juga di verifikasi terlebih dahulu agar terhidar dari
kepalsuan. Disinilah tokoh-tokoh perawi hadits melalui sanad akan diuji
kapabilitas dan kredibilitasnya serta isi pesan yang disampaikannya. Sedikit ada
cacat pada diri atau teksnya akan memengaruhi otentisitas hadith. Dari sini
bisa kita tegaskan bahwa epistemologi Islam tidak lahir dari suatu yang lemah
tapi terbangun dari fondasi yang kuat.
Keterkaitan dengan metafisika dasar Islam ini
ditandai dengan terbetuknya worldview Islam yang di atasnya berdiri
fondasi-fondasi epistemologi Islam yang selanjutnya diikuti lahirnya
disiplin-disiplin ilmu pengetahuan dalam tradisi intelektual Islam.[5] Lahirnya disiplin-disiplin
ilmu dalam Islam tidaklah mudah. Ada ketentuan-ketentuan yang harus ditaati
sebagai bentuk ketelitian. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah pertama,
jika tidak mustahil adanya menurut akal sehat (la yastahil
wujuduhu fi al-‘aql), kedua, jika tidak menyalahi secara
kontradiktif keterangan nash yang jelas (an la yakunaa mukhalifan li-nass
maqtu’ bihi ‘ala wajhin la yumkin al-jam’u baynahuma), dan ketiga,
jika tidak menyalahi apa yang telah disepakati oleh umat Islam (an la
yakuna mukhalifan li-ijma’ al-ummah).[6]
Dalam tradisi intelektual Islam, ilmu adalah hasil
dari pemahaman (tafaqquh) atas pesan-pesan Allah berupa wahyu yang
diterjemahkan secara langsung oleh Rasulullah kepada kaum muslimin. Di sinilah
aktivitas keilmuan Islam tidak steril dari nilai-nilai ketuhanan tapi tidak
juga mengenyampingkan peran rasionalitas. Kondisi ini menjadikan Islam memiliki
konsep keilmuan yang holistis, menyeluruh, dan mencakup kehidupan kini (dunia)
dan yang akan datang (akhirat). Konsep keilmuan inilah yang telah mendasari peradaban
Islam. Lain halnya dengan tradisi keilmuan Barat, selain disebabkan sejarah
konflik antar agama dan ilmu (sains), peradabannya berlandaskan pada
materialisme humanistis yang anti Tuhan yang pada akhirnya Barat sepakat bahwa
ilmu tidak bisa disandingkan dengan nilai.[7]
Karena wahyu menjadi starting point bagi
berkembangnya ilmu pengetahuan dalam Islam, maka konsekuensinya adalah
orientasi keilmuan Islam yang menitiberetkan pada penyerahan diri dan
ketaatan kepada ajaran Allah SWT yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW. Wan Mohd
Nor Wan Daud mengekspresikan bahwa kewajiban setiap muslim untuk mencari ilmu
pengetahunan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari aqidah Islam.[8] Oleh karena itu, Islam
menekankan pentingnya ilmu pengetahuan untuk memenuhi keperluan spiritual dan
meraih kebahagianaan. Konsep kebahagiaan ini melampaui kehidupan duniawi, yakni
kehidupan ukrawi yang disana terdapat kebahagiaan yang abadi. Hal ini jauh berbeda dalam konsep kebahagiaan dalam
peradaban Barat yang hanya sebatas pada kebahagiaan duniawi karena karakternya
yang matrealistik deterministik. Akibat dari karakter tersebut, pembacaan Barat
terhadap alam adalah objek eksplorasi tanpa memikirkan dampak global, seperti
pemanasan global atau krisis ekosistem.
Karena ilmu di tangan peradaban Barat sudah
menjadi demikian “materialistis” karena pengaruh “materalisme”, Islam
mengajukan satu konsep yang luar biasa: Islamisasi ilmu pengetahuan. Dengan
demikian, ilmu akan kembali mewujud sebagai satu yang inheren dengan Sang
Sumber Ilmu, Allah s.w.t. Dengan begitu, ilmu tidak akan menjadi sekular.
C. Islamisasi Ilmu Pengetahuan[9]
Formulasi sistematis dari islamisasi ilmu pengetahuan dicapai oleh Al-Attas
dengan hasil yang jelas pada paruh dua abad ke-20. Meskipun pada dasarnya
praktek islamisasi ilmu pengetahuan telah berlangsung sejak permulaan Islam
hingga zaman kita sekarang ini. Ayat pertama yang diwahyukan kepada Nabi jelas
menegaskan semangat islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, yaitu ketika Tuhan
menekankan bahwa Dia adalah Sumber asli Asal ilmu pengetahuan manusia.
Dalam surah Al-‘Alaq (96): 1-5, Allah memerintahkan Nabi Muhammad: Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan; Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah; Bacalah! Dan Tuhamulah Yang Maha Pemurah; Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran Qalam; Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya.”
Di sini, tampak bahwa ayat-ayat itu telah mengislamkan pandangan dunia
pra-Islam dari aspek ontologis dan epistemologis yang mendasar. Pertanyaan
ontologis yang mendasar dan isu lain yang berkaitan, seperti apakah manusia itu
sendirian di alam raya ini, dan apakah manusia harus menemukan segala sesuatu
problem, secara otomatis telah terjawab. Secara epistemologis, khususnya
isu-isu mengenai Tuhan sebagai Sumber segala ilmu pengetahuan dan sebagai Guru
umat manusia juga sangat signifikan. Yang juga penting adalah implikasi bahwa
karena Sumber ilmu pengetahuan adalah Tuhan Universal yang tidak terikat dengan
batasan nasional, etnis, atau bahkan berhubungan dengan masalah gender, maka
ilmu pengetahuan itu ketika datang dari Sumber Ilahi dengan sendirinya bersifat
universal dan tidak dirasuki oleh ciri-ciri nasional, etnik, atau gender. Perintah
untuk membaca dan tindakan membaca, yang merupakan aspek mendasar dari belajar,
harus berpijak atas Nama Allah, Yang Esa, yang pada gilirannya akan menjiwai
dan menyakralkan kegiatan membaca dan pendidikan secara umum. Jadi, yang
ditekankan di sini adalah membaca (mencerap) dan menulis (menggunakan pena)
sebagai aspek ganda komunikasi ilmu pengetahuan.[10]
Mengapa ilmu pengetahuan harus “diislamkan”, karena ilmu di tangan Barat
sudah menjadi sekular (secularized). Ilmu menurut saintis Barat tidak
dibangun di atas “wahyu”, melainkan spekulasi rasional, akal dan pengelaman
empirik.[11]
Setidaknya ada lima poin konsep ilmu Barat yang dikritik oleh Al-Attas dan
harus diislamkan: (1) peradaban Barat dimulai dari worldview metafisis;
(2) worldview tersebut dikonstruk oleh materialisme; (3) peradaban Barat
yang menekankan rasio (reason) dan menolak spiritual; (4) peradaban
Barat menolak kesatuan jasad dan ruh; dan (5) peradaban Barat menerima
“misteri” sebagai kepercayaan yang absolut.[12]
Oleh karena itu, ilmu-ilmu masa kini (modern) inilah yang pertama kali
harus mengalami islamisasi. Meskipun pada masa silam, ilmu-ilmu telah mengalami
islamisasi di tangan para ilmuan Muslim, diantaranya para filosof, seperti
Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina. Meskipun mereka disinyalir kurang berhasil
mengintegrasikan aspek-aspek tertenu dalam elemen-elemen filsafat Yunani ke
dalam pandangan hidup Islam. Yang kemudian orang semacam al-Ghazali, berusaha
menolak ide-ide ini. Ini kemudian diikuti oleh Fakhr al-Din al-Razi. Yang
paling berhasil dalam mengislamkan ilmu kontemporer pada zaman mereka, menurutt
Al-Attas, adalah para teolog dan khususnya para filosof sufi atau sufi tingkat
tinggi. Namun, yang paling menonjol dan prestasi yang masih belum tertandingi,
jika tidak digantikan, adalah kemampuan umat Islam mengembangkan ilmu-ilmu baru
yang diilhami oleh Islam, seperti ilmu tafsir Al-Qur’an dan ilmu-ilmu hukum
(fiqih) oleh Malik, Abu Hanifah, dan Syafi’i; kritik hadits oleh
tradisionis seperti Muslim dan Al-Bukhari; teologi (kalam) oleh
Al-Asy’ari dan Al-Maturidi; psikologi spiritual-kognitif dan behavioral oleh
sufi; perbandingan agama oleh Al-Biruni; Al-Syahrastani, Ibnu Hazm, dan
lain-lain; dan sosiologi-antropologi integral oleh Ibnu Khaldun dan lain-lain.[13]
Untuk menegaskan bagaimana Al-Qur’an “mengislamkan” istilah dan konsep lain
pandangan dunia pra-Islam, beberapa contoh konkret dapat diketengahkan di sini.
Kehormatan (muruwwah) dan kemuliaan (karam) adalah dua dari
sejumlah elemen penting dalam pandangan dunia dan kehidupan pra-Islam yang
maknanya berhubungan erat dengan kepemilikan banyak harta, kekayaan, dan
karakter tertentu yang dianggap mencerminkan kejantanan. Al-Qur’an mengubah ini
semua dengan suatu cara yang fundamental, yaitu dengan cara memperkenalkan
faktor kunci, yaitu takwa; dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa yang paling mulia
diantara kamu di hadapan Allah adalah yang paling bertakwa.[14]
Selanjutnya, Arab pra-Islam tidak pernah mengaitkan kemuliaan dengan
kitab-kitab, kata-kata, atau ucapana (qaul karim), meskipun mereka
memberikan apresiasi yang tinggi terhadap kemampuan untuk mengarang dan membaca
puisi (syair). Di sini, Al-Qur’an juga memengaruhi perubahan semantik dasar,
yaitu kemuliaan diasosiasikan dengan Al-Qur’an: kitab karim atau ucapan
kepada orangtua (qaul karim).[15] Contoh lain mungkin cukup
memperkuat argumen ini. Ide persaudaraan, yang merupakan fondasi bagi kekuatan
suku, kelangsungan hidup, dan kebanggaannya, pada mulanya dikaitkan dengan
hubungan darah, dan tidak pernah dikaitkan dengan sesuatu yang lain. Lagi-lagi,
Al-Qur’an mengubah ini dengan memperkenalkan ide persaudaraan (ikhwah)
berdasarkan iman, yang tinggi dari hubungan berdasarkan pertalian darah.[16]
Dengan adanya islamisasi itu maka lahirlah konsep ilmu yang merasuk ke
dalam relung hati dan jiwa. Dan pada gilirannya, ilmu itu lahir ke permukaan
sebagai amal saleh, sebagai konsekuensi yang tak terpisahkan dari buah
ilmu.
D. Dari Ilmu ke Amal
Islam tidak menjadikan ilmu hanya sebagai kumpulan fakta dan data. Ilmu
dalam Islam integral-diametral dengan “amal”. Amal adalah buah dari ilmu. Dan
ilmu harus diamalkan. Oleh karena itu, para ulama dalam Al-Qur’an adalah
orang-orang yang memiliki rasa takut (khasyyah) yang luar biasa.[17] Semakin tinggi seseorang,
semakin baik ibadah dan akhlaknya. Artinya, ilmunya semakin mendekatkan dirinya
kepada Sang Pemilik Ilmu (‘Alim, ‘Allam).
Berbeda dengan konsep ilmu di dunia Barat. Karena ilmu sudah disekularkan,
ia tak lagi memiliki hubungan yang erat dengan moralitas. Ilmu berada di satu
jurang, dan amal berada di jurang lain. Maka tidak mengherankan jika Gene Robinson
yang “homoseks” tetapi diangkat sebagai “bishop” (Uskup) dan dielu-elukan.
Karena satu hal yang membuat mereka tak sanggung menolak praktek homoseksual
karena sudah menjadi “kenyataan”.[18]
Penutup
Dari pemaparan singkat di atas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama,
Islam dan ilmu adalah satu kesatuan integral, inheren, dan tak terpisahkan.
Karena sejak kemunculannya, Islam sudah membawa konsep ilmu. Kedua, bangunan
konsep ilmu Islam sangat mapan, karena para pemikir Muslim mengetahui benar
bahwa ilmu dalam adalah satu hal yang value-laden, sarat nilai. Di
dalamnya ada pesan-pesan Tuhan (Rabb). Maka ilmu tak boleh lepas dari
nilai-nilai ketuhanan (rabbaniyyah). Untuk itulah epistemologi Islam
dalam mengembangkan ilmu tak terlepas dari wahyu. Hal ini menadikannnya berbede
dari konsep ilmu yang ada dan dikembangkan oleh Barat. Ketiga, sejak
awal, Al-Qur’an sudah membawa konsep “islamisasi ilmu pengetahuan”. Hal ini
dimulai dengan proses “membaca” dan “menulis” yang keduanya disandarkan dari
Sang Pendidik Maha Agung, Rabb. Kedua hal tersebut –tulis-baca—tidak
boleh lepas dari konsep Tuhan, sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dan terakhir,
Islam tidak mengharapkan ilmu hanya dipelajari. Karena ilmu tanpa amal laksana
pohon tanpa buah. Bahkan dalam satu riwayat disebutkan, ‘Siapa yang ilmunya
bertambah banyak, tapi menjadikannya malah jauh dari “hidayah”, maka sejatinya
dalam dirinya yang ada bukan ilmu melaikan kesesatan.”[19] Artinya, ilmu adalah
untuk mengabdi kepada Allah.
Wallahu a’lamu bi al-shawab. (Qosim, Irman, Jamil)
[1] Makalah ini disampaikan dalam diskusi “Kajian
Jum’at Malam” di Hall Centre of Islamic and Occidental Studies (CIOS) pada hari
Jum’at, tanggal 14 November 2008 yang diadakan oleh Departemen Keilmuan dan
Kerohanian Mahasiswa Institut Studi Islam Darussalam (ISID).
[2] Jaudah, MG, Abaqirah ‘Ulama’ al-Hadharah wa
Al-Islamiyah, terjemah: oleh Muhyiddin Mas Rida, Lc, (Pustaka: Al-Kautsar,
Jakarta Timur, 2007), hlm. 6.
[3] Nakosteen, Mehdi. History of Islamic Origins
of Wesstrn education A.D. 800-13250; with an Introduction to Medieval Muslim
Education, terjemahan Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah, (Risalah Gusti:
Surabya, 2003), hlm. xi.
[4] Hamid
Fahmy Zarkasyi, “Worldview Sebagai
Asas Epitemologi Islam”, ISLAMIA, Thn II No 5, April – Juni 2005
[5] Hamid menjelaskan periodik kelahiran ilmu dalam
Islam dengan, (1) Turunnya wahyu dan lahirnya pandangan hidup Islam, (2) Adanya
struktur ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an dan Hadith, (3) Lahirnya tradisi
keilmuan Islam, dan (4) Lahirnya disiplin Ilmu-ilmua Islam. Ibid. Hal.
15
[6] Imam as-Syawkani, Syarh al-Aqa’id an-Nasafiyyah,
dalam Syamsuddin Arif, “Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam”, ISLAMIA,
(Thn II No 5, April – Juni 2005), hlm.
34
[7] Anis Malik mengatakan bahwa konflik tersebut
adalah konflik tentang kebenaran, kebenaran agama (religious truth) dan
kebenaran ilmiah atau saintifik (scientific truth), “Problem Agama dan
sains di Dunia Kristen dan Barat”, ISLAMIA, (Thn II No 5, April – Juni 2005), hlm. 21
[8] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik
Pendidikan Islam Syed Naquib Al-Attas, terjemah : Hamid Fahmi Zarkasyi, M.
Arifin Ismail, dan Iskandar Amel, Mizan Bandung 2003: Cet. Pertama, Hal.
121
[9] Al-Attas mememaknai Islamisasi Pengetahuan dalam Islam
and Secularism, dengan: (1) “the isolation process from Western culture and
civilization wich brought confusion and destroyed the thought and worldview, so
knowledge free of elements and key concepts isolated are then confused with the
Islamic elements and key concepts of Islam,” dan (2) “The liberation of man
first from magical, mythological, animistic, national-cultural tradition
(apposed to Islam), and than from secular control over his reason and his
language also his modern knowledge.” (Dikutip dari Eko Nurcahyo, “Syed Muhammad
Naquib Al-Attas’ Concept of Islamization of Contamporary Knowledge”, dalam Kalimah,
(volume 6-nomor 1- Maret 2008), hlm. 70. Lihat juga, Rosnaini Hashim,
“Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah, Perkembangan, dan
Arah Tujuan”, dalam ISLAMIA, (Thn II, No. 6/Juli-September 2005), hlm.
34-35. Sejatinya, konsep “islamisasi ilmu pengetahuan” tidak hanya
diformulasikan oleh Al-Attas, di sana masih ada intelektual Muslim, Raja’i
al-Faruqi lewat bukunya yang sistematis Islamization of Knowledge: General
Principles dan Workplan”.
[10] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik
Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, terjemah: Hamid Fahmy, M. Arifin
Ismail dan Iskandar Amel, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 340.
[11] Kajian luas dan mendalam tentang perjalanan sains
di Barat hingga menjadi sekular dapat disimak dalam Adnin Armas, “Westernisasi
dan Islamisasi Ilmu”, dalam ISLAMIA, (Thn II, No. 6/Juli-September
2005), hlm. 9-12.
[12] Eko Nurcahyo, op.cit, hlm. hlm. 66-67.
[13] Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., hlm.
343-344.
[14] Qs. Al-Hujurat [49]: 13.
[15] Qs. Al-Isra’ [17]: 23 dan al-Naml [27]: 29.
[16] Wan Daud, op.cit., hlm. 341-342. Ayat
tentang ukhuwah tersebut di atas adalah: Qs. Al-Naml [27]: 29 dan Qs.
Al-Hasyr [59]: 10.
[17] “Sungguh, yang takut kepada Allah dari
hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” (Qs. Fathir: 28).
[18] Lihat: Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat:
Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: GIP, 2005),
hlm. 4-6.
[19] Lihat, al-Darimi,
Bab: al-Muqaddimah, Pasal: al-Tawbikh liman Yathlub al-‘Ilm li Ghayr
Allah, no. Hadits: 388.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar