Senin, 24 April 2017

KESADARAN DAN PEMBELAJARAN


KESADARAN DAN PEMBELAJARAN

Oleh: Dr. M. Husni Mu’adz



ciri umum kesadaran adalah bahwa ia selalu terkait dengan sesuatu di luar dirinya. Tidak ada kesadaran tanpa ada “obyek” yang disadari. Bila saya memikirkan atau menginginkan sesuatu, maka sesuatu itu adalah entitas yang berbeda dengan saya. Saya adalah subyek, dan sesuatu itu bisa subyek atau bisa juga obyek. Saya dan sesuatu berada dalam relasi tertentuyang dalam filsafat disebut intensionalitasdiekspresikan melalui kata verba psikologis seperti memikirkan, merasakan, menyadari, menginginkan dan seterusnya. Kesadaran, dengan kata lain, bersifat relasional. Secara ontologis, disadari atau tidak, kita sebagai subyek secara umum sudah mengada dan selalu sudah (always already) mengada dalam tiga kategori relasi kesadaran, yaitu:

1.  Relasi subyek dengan obyek (subject-object relation)

2.  Relasi subyek dengan subyek (intersubjectivity).

3.  Relasi subyek dengan Tuhan (subjectGod relation).



Dari tiga bentuk relasi ini, relasi intersubyektif merupakan titik konjungsi yang bukan saja mempengaruhi dua bentuk relasi lainnya, melainkan juga menjadi prasyarat bagi lahirnya tindakan yang menjadi ciri khas subyek ketika berhubungan dengan sesuatu di luar dirinya. Tindakan adalah sesuatu yang khas dan hanya dimiliki oleh subyek, dan tidak dimiliki oleh obyek. Tindakan dibedakan dengan kejadian karena yang pertama diatur oleh xe "kesadaran"kesadaran dan kehendak bebas ketika berhadapan dengan berbagai opsi tindakan. Tindakan tidak tunduk kepada xe "hukum kausalitas"hukum kausalitas, karena penyebab setiap tindakan tidak akan bisa ditemukan di luar subyek itu sendiri. Penyebab atau penentu tindakan adalah kehendak yang dimiliki oleh manusia. Adapun hal-hal lain di luar subyek, bukan sebagai sebab atau penentu yang pasti dan tetap bagi lahirnya sebuah tindakan.

Berbeda dengan itu, kejadian adalah sesuatu yang terjadi pada obyek, atau pada subyek bila beroperasi tanpa xe "kesadaran"kesadaran, yang tunduk kepada xe "hukum kausalitas"hukum kausalitas yang bersifat deterministik. Kejadian dipastikan memiliki sebab yang bisa dilacak kepada unsur di luar dirinya. Kejadian ini bisa berbentuk kejadian mekanik, yang penyebabnya adalah unsur-unsur fisik, atau bisa juga berbentuk kejadian biologis yang penjelasan mengenai sebab-sebabnya adalah dalam kerangka stimulus dan respon. Seekor kucing bisa memunculkan ekspresi fisik-biologis tertentu karena makanan yang didekatkan kepadanya. Akan tetapi apapun reaksi si kucing, itu bukanlah tindakan, melainkan kejadian biologis yang bisa dijelaskan dalam kerangka stimulus dan respon yang tunduk kepada xe "hukum kausalitas"hukum kausalitas, yang tentunya melibatkan variabel-variabel yang lebih kompleks dari kejadian mekanik yang bisa disebabkan karena sebab tunggal atau sebab-sebab yang variabelnya lebih sederhana. Sistem sosial hanya bisa mewujud karena adanya tindakan sadar dari subyek, yang menjadi komponen yang membentuk hubungan atau relasi tertentu. Tanpa xe "kesadaran"kesadaran, xe "sistem sosial"sistem sosial yang lahir bukan xe "sistem sosial"sistem sosial manusia, tetapi xe "sistem sosial"sistem sosial non-ABC .

Relasi subyek-obyek adalah relasi kita dengan obyek material seperti mobil, rumah, dan lain lain, atau obyek abstrak, seperti ide, konsep, dan lain lain. Hubungan subyek dengan obyek dalam relasi ini bersifat xe "monologis"monologis, xe "one way"one way, yaitu hubungan aktif-pasif, hubungan yang mengetahui dengan yang diketahui, atau hubungan yang menguasai dan yang dikuasai. Obyek sendiri tidak pernah menyadari dirinya diketahui atau dikuasai. Sebaliknya, relasi subyek-subyek adalah relasi sosial, relasi kita dengan orang lain. Relasi antar subyek (xe "intersubjectivity"intersubjectivity) bersifat dialogis, dua arah, dan mutual, karena pihak pertama dan pihak kedua sama-sama berfungsi sebagai subyek yang sejajar. Relasi ketiga, relasi subyek dengan Tuhan, adalah relasi ketakwaan, relasi penyerahan diri (ketundukan) dan kepasrahan, yaitu relasi Pencipta dengan yang diciptakan, relasi Yang menguasai dengan yang dikuasai.

Ketiga relasi ini menggunakan moda xe "kesadaran"kesadaran dan fakultas mental yang berbeda-beda, sebagaimana akan kita lihat nanti. Penggunaan fakultas mental yang tidak sesuai dengan tipe relasi yang dibangun akan melahirkan xe "abnormalitas"abnormalitas hu­bungan, yang pada tahap selanjutnya akan mengakibatkan lahirnya subyek yang tidak normal. Fakultas yang kita gunakan untuk berhubungan dengan obyek adalah kognisi (akal, intelek, memori dan lain lain). Hasil interaksi dengan obyek ini adalah pengetahuan tentang obyek (pengetahuan kognitif) dan hasil yang lainnya adalah transformasi obyek menjadi instrumen dimana obyek kita gunakan untuk tujuan-tujuan kita. Jadi, relasi subyek-obyek melahirkan dua hal yaitu pengetahuan dan xe "artefact"artefact. Obyek material umumnya berada dalam ruang dan waktu dan bersifat kongkrit sehingga bisa diobservasi dan dipersepsi oleh subyek melalui alat-alat indera. Obyek abstrak seperti konsep, ide, dan ingatan adalah produk dari sensasi dan persepsi yang telah diolah oleh akal dan direpresentasikan di dalam otak sehingga ia bersifat xe "second-order"second-order.

Dari uraian relasi subyek-obyek ini kita bisa melihat peran sentral yang dimainkan oleh subyek. Bisakah kita membayangkan apa makna obyek-obyek yang ada di jagad raya ini bila tidak ada manusia sebagai subyek? Subyek adalah sebuah entitas yang membuat semua obyek menjadi bermakna atau, lebih tepatnya, lebih bermanfaat, bagi dirinya. Pertanyaan selanjutnya adalah apa itu subyek? Apa bedanya dengan obyek? Bisakah subyek dilihat dan diperlakukan sebagai obyek? 

Subyek memiliki dua dimensi: dimensi luar (exterior) dalam bentuk badan atau raga, dan dimensi dalam (interior) dalam wujud jiwa atau ruh. Dimensi eksterioritas dari subyek memiliki aspek fisik dan biologis dan diatur oleh hukum yang sama sebagaimana yang mengatur benda fisik dan biologis lainnya di alam ini. Oleh karenanya, dimensi eksterior dari subyek juga adalah obyek dan bisa dipersepsi dan diketahui seperti obyek-obyek yang lainnya. Yang unik pada subyek adalah dimensi interiornya yang tidak dimiliki oleh obyek lain di alam material. Jiwa atau ruh bersifat non-materi dan tidak menempati ruang tertentu seperti obyek. Ia tidak berada di badan atau di otak. Silahkan bedah otak anda, maka yang akan anda lihat adalah otak anda, bukan jiwa anda. Otak, sekalipun berada di dalam kepala, adalah aspek eksterior dari kita. Hubungan antara jiwa dan raga bersifat misteri dan masing-masing tidak bisa direduksi menjadi bagian dari yang lainnya, seperti yang dibayangkan oleh aliran matrialis. Tapi keberadaan keduanya tidak bisa diragukan. Silahkan ragukan keberadaan jiwa anda bila bisa, maka keraguan anda adalah bukti dari keberadaan jiwa atau xe "kesadaran"kesadaran anda. Sebab ketika anda ragu, maka subyek yang sedang ragu itu adalah jiwa anda, seperti inilah argumen yang diberikan Descartes. Keberadaan keduanya adalah keniscayaan dan tidak bisa diragukan.

Bila aspek eksterior dari subyek bisa dilihat sebagai obyek, maka aspek eksterior bukanlah ciri keunikan dari manusia, karena ciri-cirinya bisa kita dapatkan pada obyek-obyek lainnya di alam ini. xe "Struktur"Struktur fisik-kimia dari subyek sama dengan obyek alam lainnya. Kebiasaan makan, minum, seks dari kita sebagai subyek, juga terdapat pada makhluk hidup lainnya. Jadi aspek eksternal dari subyek bukanlah esensi yang dimiliki secara unik oleh subyek. Saya bisa menunjuk, ini tangan saya, ini kaki saya, ini muka saya, akan tetapi tangan saya, kaki saya, dan muka saya, tidaklah sama atau identik dengan saya. Hubungan saya dengan muka saya adalah hubungan kepemilikan, bukan hubungan intrinsik. Dengan perkataan lain, saya dibadankan (xe "embodied"xe "embodied"embodied) dalam/melalui badan saya; bukan saya adalah badan saya atau badan saya adalah saya. Karena xe "embodied"xe "embodied"embodied, maka saya dengan badan saya tidak bisa dipisahkan, setidak-tidaknya selama kehidupan di alam material ini. Bila badan saya bukanlah saya, maka semua apa yang saya miliki, seperti kekayaan, jabatan, dan lain-lain yang bisa dipisahkan dengan saya adalah juga tidak bersifat intrinsik dan bukan merupakan esensi utama dari saya sebagai subyek. Ini artinya saya bukanlah kekayaan saya atau saya bukanlah jabatan saya. Implikasi dari ini sangat dalam, terutama dalam kaitannya dengan relasi subyek-subyek. Jika masalahnya demikian, lalu apa ciri utama subyek yang bersifat unik itu?

Ciri utama subyek adalah berkaitan dengan dimensi interior dari manusia. Dimensi interior berkaitan dengan jiwa/ruh/kesadaran. Ciri interioritas yang utama dari manusia yang bisa kita akses adalah xe "kesadaran"kesadaran (xe "consciousness"xe "consciousness"consciousness). Kesadaran yang dimaksud di sini bersifat ontologis, bukan psikologis. Artinya, hanya subyek yang memiliki xe "kesadaran"kesadaran, sedangkan obyek tidak memiliki xe "kesadaran"kesadaran. Kesadaran memiliki alat bantu yang berbentuk fisik seperti emosi, rasa, intelek, memori dan yang lainnya yang dimanfaatkan oleh subyek ketika ia mengalami sesuatu. Dalam keadaan tidurpun, subyek selalu memiliki xe "kesadaran"kesadaran, karena dalam keadaan tidur, ia juga mengalami sesuatu. Bandingkan dengan obyek seperti batu atau meja. Benda-benda ini selamanya tidak mengalami sesuatu karena tidak memiliki xe "kesadaran"kesadaran, sementara manusia tetap memiliki xe "kesadaran"kesadaran walaupun ia sedang dalam keadaan tertidur. Inilah yang saya maksudkan dengan xe "kesadaran ontologis"xe "kesadaran"kesadaran ontologis (xe "ontological consciousness"xe "ontological consciousness"xe "ontological consciousness"ontological xe "consciousness"xe "consciousness"consciousness).

Tentu terdapat perbedaan pengalaman ketika kita sedang tidur dan ketika kita sedang terjaga. Ketika kita sedang tidur, kita tidak menyadari (xe "aware"aware) tentang apa yang sedang kita alami, berbeda dengan ketika kita sedang terjaga. Perbedaan pengalaman waktu jaga dan waktu tidur ini adalah perbedaan yang berkaitan dengan xe "kesadaran psikologis"xe "kesadaran"kesadaran psikologis. Ketika kita tertidur pulas dan kita tidak menyadari apa yang sedang kita alami, kita masih tetap memiliki xe "kesadaran"kesadaran. Dengan kata lain, keadaan kita ketika sedang tertidur tidaklah sama dengan batu yang sama sekali tidak memiliki xe "kesadaran"kesadaran. Jadi semua subyek, secara ontologis, memiliki xe "kesadaran"kesadaran, berbeda dengan obyek. Inilah keunikan subyek yang tidak dimiliki oleh obyek. Berbeda dengan obyek, subyek dengan dimensi interiornya (xe "kesadaran"kesadaran jiwanya) memiliki potensi untuk mengalami sesuatu: mengetahui, mengingat, merasakan, mengharapkan, menginginkan dan lain-lain.

Karena potensi xe "kesadaran"kesadaran inilah kenapa kita berbicara subyek sebagai titik sentral, sebagai sesuatu yang menjadi ciri eksklusif manusia, yaitu relasi antara subyek dengan yang lain-lainnya. Obyek, karena tidak memiliki xe "kesadaran"kesadaran, tentu tidak akan mampu membangun relasi dengan yang lainnya kecuali secara mekanis. Itulah sebabnya relasi yang dimiliki antar obyek bersifat mekanis yang diatur berdasarkan xe "hukum kausalitas"hukum kausalitas. Hubungan antar subyek dengan yang lainnya diatur berdasarkan hukum xe "kesadaran"kesadaran, bukan berdasarkan xe "hukum kausalitas"hukum kausalitas mekanis.

Salah satu ciri xe "kesadaran"kesadaran adalah berkaitan dengan subyektivitas. Ketika saya mengalami rasa sakit, yang memiliki akses terhadap rasa sakit itu adalah saya sendiri. Dokter yang sedang memeriksa saya tidak memiliki akses terhadap apa yang saya rasakan. Ia boleh jadi mengetahui makna sakit dan bisa memberikan diagnosa secara tepat, tetapi apa yang ia ketahui dan alami tidaklah sama dengan apa yang saya alami. Mengetahui sesuatu, termasuk tentang rasa sakit, tidak sama dengan mengalami dan merasakannya. Rasa sakit yang sedang saya rasakan hanya saya sendiri yang mengalaminya. Orang lain, termasuk dokter saya, tidak bisa mengalami apa yang saya alami. Kesadaran (dalam hal ini rasa sakit saya) hanya bisa diakses secara subyektif oleh yang mengalaminya. Itulah sebabnya, pengalaman batin hanya bisa diakses oleh diri yang mengalaminya. Jadi subyek adalah agen yang memiliki xe "kesadaran"kesadaran yang merupakan inti dari interioritas. Kesadaran yang dimiliki subyek adalah unik dan subyektif. Tidak ada subyek lain, apalagi obyek, yang memiliki akses terhadap xe "kesadaran"kesadaran yang dimiliki subyek tersebut. Jadi keunikan subyek berkaitan dengan xe "kesadaran"kesadaran yang dimilikinya yang berada dan merupakan inti dari aspek interioritas subyek.

Perlu dicatat bahwa sekalipun xe "kesadaran"kesadaran dan pengalaman yang dilahirkan dari xe "kesadaran"kesadaran bersifat unik dan hanya dapat diakses secara subyektif oleh subyek, semua subyek memiliki xe "kesadaran"kesadaran dengan ciri dan properties yang sama. Dengan xe "kesadaran"kesadaran yang ada pada masing-masing subyek, masing-masing memiliki dimensi dan isi interioritas yang sama. Pada level interioritas atau xe "ontological consciousness"xe "ontological consciousness"xe "ontological consciousness"ontological xe "consciousness"xe "consciousness"consciousness, semua subyek adalah sama dan identik. Karena xe "kesadaran"kesadaran adalah sesuatu yang keberadaannya tidak bisa diragukan oleh masing-masing subyek, dan karena secara ontologis semua xe "kesadaran"kesadaran yang menjadi ciri dan esensi utama dari masing-masing subyek adalah sama, maka xe "kesadaran"kesadaran bukanlah termasuk isu pengetahuan bagi masing-masing subyek. Dengan kata lain, xe "kesadaran"kesadaran bagi subyek, bukan sesuatu yang berkaitan dengan pengetahuannya. Pengetahuan berkaitan dengan dunia obyek, yang dilakukan oleh subyek melalui fakultas xe "kesadaran"kesadaran kognitifnya. Jadi, subyek dengan ciri utama xe "kesadaran"kesadaran tidak bisa dilihat sebagai obyek. Jiwa atau xe "kesadaran"kesadaran tidak menempati ruang, sebagaimana telah disinggung di atas, karenanya ia bukanlah obyek yang bisa diketahui melalui indera dan intelek manusia. Untuk urusan xe "kesadaran"kesadaran, otak manusia tidak dipersiapkan untuk memahaminya. Menurut filosof xe "Colin McGinn"xe "Colin McGinn"xe "Colin McGinn"xe "Colin McGinn"xe "Colin McGinn"Colin McGinn kita dan xe "kesadaran"kesadaran kita berada dalam xe "cognitive closure"xe "cognitive closure"xe "cognitive closure"xe "cognitive closure"cognitive closure. Artinya, otak kita tidak dipersiapkan atau diprogram untuk bisa memahami apa hakikat xe "kesadaran"kesadaran dan kognisi kita hanya bisa memahami dimensi eksterioritas dari subyek. Kesadaran tidak bisa melihat dan memahami xe "kesadaran"kesadaran; subyek tidak bisa melihat dirinya sebagai subyek, sebab tatkala melihat dirinya, subyek yang dilihat telah berubah menjadi subyek dan yang ditangkap oleh subyek adalah dimensi eksternal darinya: pikiran, perasaan, emaginasi dan lain-lain.

Bila subyek tidak bisa dilihat sebagaimana obyek, maka hakikat relasi antar atau inter subyek tidaklah sama dengan hakikat relasi antar subyek dengan obyek. Hubungan antar subyek (intersubyektivitas) tidak bersifat xe "monologis"monologis melainkan dialogis. Intersubyektivitas bukanlah hubungan antara yang mengetahui dan yang diketahui, bukan juga hubungan antara yang menguasai dan yang dikuasai, karena yang demikian itu merupakan ciri hubungan subyek-obyek, seperti yang telah dibahas sebelumnya. Hubungan intersubyektif adalah hubungan dialogis, bersifat dua arah, karena yang berhubungan adalah antar dua xe "kesadaran"kesadaran yang memiliki ciri yang sama: masing-masing tidak bisa diakses sebagai obyek. Kesadaran yang merupakan ciri penting dari interioritas masing-masing subyek adalah sama dan sejajar sehingga antara keduanya bersifat mutual dan dialogis. Hubungan dialogis yang dimaksudkan di sini bukan bersifat kognitif, karena hubungan kognitif berarti hubungan antara yang mengetahui dan yang diketahui yang selalu bersifat xe "monologis"monologis. Hubungan antar subyek bukan hubungan dalam rangka untuk mengetahui atau mengendalikan. Hubungan antar subyek adalah hubungan rekognitif yaitu hubungan saling mengakui keberadaan dan martabat masing-masing. Jadi tujuan intersubyektivitas adalah agar terjadi proses saling mengakui dan saling menerima (xe "mutual recognition"xe "mutual recognition"mutual xe "recognition"recognition dan mutual acceptance).

Karena hubungan antar subyek bersifat mutual dengan menggunakan xe "kesadaran rekognitif"xe "kesadaran"xe "kesadaran rekognitif"kesadaran (dalam hal ini kesadaran rekognitif), maka hakikat hubungan antar subyek adalah pengakuan imbal-balik, yaitu pengakuan dan penghargaan akan eksistensi dan keunikan masing-masing pihak. Karena keunikan tersebut berkaitan dengan dimensi interioritas dengan ciri intrinsik yang sama dari masing-masing subyek, maka keunikan dari masing-masing subyek bersifat homogen. Di sinilah terdapat paradoks dan sekaligus non-paradoks antara konsep keunikan dan homogenitas. Unik karena nilainya tidak bisa digantikan dengan apapun, dan homogin atau sama karena masing-masing adalah unik dan tidak bisa digantikan oleh apapun. Berbeda dengan hubungan subyek-obyek, hubungan subyek-subyek adalah hubungan bersifat intrinsik dan dibutuhkan oleh masing-masing subyek demi kesempurnaan pertumbuhannya. Semua orang akan merasa sakit bila keberadaannya tidak diterima, direndahkan, apalagi dianggap tidak ada. Hubungan antar subyek yang tidak bersifat rekognitif, seperti permusuhan, persaingan, peperangan dan yang lainnya adalah sebenarnya manifestasi dari perjuangan yang gagal untuk saling mengakui (xe "mutual recognition"xe "mutual recognition"xe "recognition"xe "struggle for recognition"xe "struggle for recognition"struggle for xe "recognition"recognition, meminjam istilah yang digunakan xe "Alex Honneth"xe "Alex Honneth"xe "Alex Honneth"Alex Honneth).

Salah satu manifestasi dari adanya relasi saling mengakui (xe "mutual recognition"xe "mutual recognition"mutual xe "recognition"recognition) yang merupakan esensi dari hubungan antar subyek adalah lahirnya konsensualitas. Di atas kita telah menunjukkan bahwa ciri xe "kesadaran"kesadaran adalah subyektivitas. Apa yang dialami subyek selalu bersifat subyektif dimana subyek memiliki akses eksklusif terhadap pengalaman yang dihadapi, sementara subyek lain tidak memiliki akses langsung terhadapnya. Inilah keunikan subyek: masing-masing memiliki otonomi penuh terhadap dirinya. Setiap subyek memiliki harapan, kebutuhan, dan keinginan yang khas, dan masing-masing subyek memiliki kebebasan untuk memutuskan apa yang hendak dilakukan. Itulah sebabnya kenapa setiap kerjasama sosial harus lahir dan diputuskan secara konsensual oleh masing-masing subyek yang terlibat. Pemaksaan berdasarkan kekuasaan bertentangan dengan prinsip otonomi masing-masing subyek dan prinsip xe "mutual recognition"xe "mutual recognition"mutual xe "recognition"recognition antar subyek. Bebeda dengan hubungan antar obyek yang sepenuhnya ditentukan berdasarkan prinsip kausalitas yang bersifat mekanistik, hubungan antar subyek dalam rangka kerja sama sosial harus ditentukan berdasarkan persetujuan tulus dari masing-masing subyek. Inilah implikasi dari konsep saling mengakui dan saling menghargai, karena masing-masing subyek memiliki dimensi interioritas otonom yang tidak bisa diakses, apalagi didominasi, oleh subyek lain.

Relasi sosial yang tidak berdasarkan prinsip konsensualitas berarti relasi yang dibangun tidak berdasarkan xe "kesadaran"kesadaran xe "kesadaran rekognitif"xe "kesadaran"xe "kesadaran rekognitif"rekognitif di mana masing-masing partisipan adalah subyek otonom, melainkan berdasarkan xe "kesadaran"kesadaran obyek (xe "kesadaran"xe "kesadaran kognitif"kesadaran kognitif). Karena xe "kesadaran"xe "kesadaran kognitif"kesadaran kognitif yang digunakan, maka dimensi subyek yang dilihat adalah dimensi  ekterioritasnya saja, sehingga yang nampak  adalah apa yang dimiliki atau melekat pada diri seseorang, seperti bentuk fisik, status, kekayaan, gelar, dan lain-lain. Kesadaran obyek seperti ini akan membuat kita selalu membanding-bandingkan antara apa yang kita miliki dengan apa yang dimiliki oleh orang lain ketika kita berinteraksi dengan mereka. Inilah akar dari lahirnya rasa persaingan, kompetisi, sikap iri dan dengki yang akan bermuara pada berbagai macam konflik sosial. Harmoni dan kerja sama sosial tidak akan lahir bila tidak berdasarkan prinsip konsensualitas yang lahir berdasakan xe "kesadaran rekognitif"xe "kesadaran"xe "kesadaran rekognitif"kesadaran rekognitif.

Dari uraian di atas, kita sampai pada kesimpulan berikut. Karena hakikat subyek adalah kesadaran dan karena entitas yang disadarinya tidak selalu sama, maka dimensi kesadaran (xe "realms of consciousness"xe "realms of consciousness"realms of xe "consciousness"xe "consciousness"consciousness) yang beroperasi ketika subyek berinteraksi dengan obyek, ketika subyek berinteraksi dengan subyek lainnya, dan ketika subyek berinteraksi dengan Tuhan tidaklah sama. Medan xe "kesadaran"kesadaran dari masing-masing bisa dibedakan sebagai berikut:

1.  xe "Kesadaran kognitif"Kesadaran kognitif atau obyektif (xe "cognitive consciousness"cognitive xe "consciousness"xe "consciousness"consciousness) terkait dengan xe "kesadaran"kesadaran relasi subyek dengan obyek. Kesadaran ini berkaitan dengan fakultas untuk memahami, mengingat, atau memikirkan obyek.

2.  Kesadaran rekognitif (xe "recognitive consciousness"recognitive xe "consciousness"xe "consciousness"consciousness) berkaitan dengan xe "kesadaran"kesadaran relasi subyek dengan subyek. Kesadaran ini berkaitan dengan fakultas untuk membangun pengakuan, penghargaan, empati, dan kasih sayang terhadap sesama subyek. Fakultasnya adalah hati atau nurani.

3.  Kesadaran xe "trans-(re)kognitif"trans-kognitif dan/atau trans-rekognitif, yaitu yaitu berkaitan dengan xe "kesadaran"kesadaran relasi subyek dengan Tuhan. Kesadaran xe "trans-(re)kognitif"ini adalah moda moda xe "kesadaran"kesadaran yang melampaui moda xe "kesadaran"kesadaran (1) dan (2), yaitu kesadaran yang tidak dominan melibatkan fikiran dan ingatan kita pada objek dan pada manusia. Fakultasnya adalah hati yang lebih dalam (ruh atau spirit). Untuk memudahkan kita sebut tipe kesadaran ini kesadaran spiritual atau kesadaran ruhani.

Hubungan subyek-subyek atau intersubyektif, berbeda dengan hubungan subyek-obyek. Hubungan subyek-obyek menggunakan fakultas xe "kesadaran"xe "kesadaran kognitif"kesadaran kognitif, sedangkan hubungan subyek-subyek menggunakan fakultas rekognitif (dengan rasa, dengan hati). Berbeda dengan hubungan pertama dan kedua, hubungan subyek-Subyek, hubungan subyek dengan Tuhan bersifat devotional (hubungan penghambaan). Bila hubungan yang kedua adalah hubungan kesetaraan, dimana segala urusan bersama harus dirancang berdasarkan persetujuan bersama (xe "mutual agreement"mutual xe "agreement"xe "agreement"agreement), hubungan yang ketiga bersifat asimetrik dimana subyek secara sadar menyerahkan diri kepada Tuhan (hubungan kepasrahan). Tentu ketiga tipe relasi ini bisa berlangsung dalam satu xe "kesadaran"kesadaran subyek, tetapi dengan fokus dan moda yang berbeda.

Tiga perspektif ini melahirkan implikasi adanya tiga tipe pembelajaran yang berbeda-beda, dan masing-masing tidak bisa direduksi menjadi yang lainnya:

 1. Cognitive xe "learning"learning (untuk pembelajaran relasi subyek dengan obyek).

2.  Recognitive xe "learning"learning (untuk pembelajaran relasi subyek dengan subyek).

3.  Spiritual Learning, yaitu pembelajaran yang melampaui pembelajaran kognitif dan rekognitif (pembelajaran membangun relasi subyek dengan Tuhan).

Relasi subyek-obyek dengan perspektif xe "the third person"the third person mengharuskan adanya pembelajaran kognitif (xe "cognitive learning"cognitive xe "learning"learning); relasi subyek-subyek dengan perspektif the second-person mengharuskan adanya pembelajaran rekognitif (xe "recognitive learning"xe "recognitive learning"recognitive xe "learning"learning); dan relasi subyek-Subyek dengan perspektif the first-person mengharuskan adanya pembelajaran xe "trans-(re)kognitif"trans-(re)kognitif (xe "trans-(re)cognitive learning"trans-(re)xe "cognitive learning"cognitive xe "learning"learning). Output dari pembelajaran pertama adalah pengetahuan tentang kebenaran obyek. Kata kerja mengetahui atau tahu melahirkan kata benda pengetahuan. Pembelajaran xe "intersubyektivitas"intersubyektivitas tidak bisa didekati dengan pendekatan kognitif semata. Anda tidak akan pernah menjadi pemaaf atau menjadi pengasih hanya dengan membaca buku tentang kemaafan atau tentang kasih sayang, hanya dengan membaca atau mendengarkan ceramah tentangnya. Output pembelajaran yang kedua tidak terkait dengan pengetahuan praktis saja (pengetahuan moral), tetapi terutama terkait dengan kearifan, dengan xe "wisdom"xe "wisdom"wisdom, yaitu praktik atau keterampilan hidup yang saling berterima dengan sesama. Output pembelajaran yang ketiga terkait dengan ketakwaan pada Tuhan (adanya kesadaran ketuhanan setiap saat). Pembelajaran dalam rangka membangun kepasrahan dan penyerahan diri pada Tuhan secara tulus akan melahirkan ketenangan batin. Ketenangan batin atau jiwa adalah hasil dari pembelajaran atau pengalaman xe "trans-(re)kognitif"trans-(re)kognitif.

Pembahasan-pembahasan selanjutnya akan difokuskan pada bagaimana pembelajaran pada ranah kedua dan ke tiga yaitu pembelajaran intersubyektif yang memerlukan xe "kesadaran rekognitif"xe "kesadaran"xe "kesadaran rekognitif"kesadaran rekognitif yang memungkinkan lahirnya hubungan yang saling berterima dengan sesama yang diharapkan nantinya akan menjadi identitas kehidupan komunitas. Namun demikian, pembelajaran yang berkaitan dengan ranah trans-rekognitif, sekalipun relasi masing masing subyek dengan Tuhan bersifat individual, sebagaimana akan kita lihat, akan lebih efektif dimulai dan diperkuat melalui komitmen yang dibangun secara bersama sama dalam komunitas untuk bersama sama memulai pembelajaran ini. Untuk penyederhanaan, pembelajaran ranah dua dan tiga kita sebut pembelajaran gelar hidup, yaitu pembelajaran praksis yang terkait dengan bagaimana, selama dan di akhir kehidupan, kita bisa mendapatkan gelar hidup seperti amanah, jujur, penuh kasih, pemaaf dan yang sejenisnya, untuk membedakannya dengan pembelajaran untuk mendapatkan gelar di ranah kognitif.

1 komentar:

  1. Your Affiliate Money Making Machine is ready -

    Plus, getting it running is as simple as 1...2...3!

    Here is how it all works...

    STEP 1. Choose affiliate products the system will push
    STEP 2. Add PUSH BUTTON traffic (it LITERALLY takes 2 minutes)
    STEP 3. Watch the affiliate system explode your list and sell your affiliate products all by itself!

    Are you ready?

    You can test-drive the system for yourself risk free...

    BalasHapus