KESADARAN
DAN PEMBELAJARAN
Oleh: Dr. M. Husni Mu’adz
ciri umum kesadaran adalah bahwa ia selalu terkait dengan
sesuatu di luar dirinya. Tidak ada kesadaran tanpa ada “obyek” yang disadari.
Bila saya memikirkan atau menginginkan sesuatu, maka
sesuatu itu adalah entitas yang berbeda dengan saya. Saya adalah subyek, dan
sesuatu itu bisa subyek atau bisa juga obyek. “Saya” dan ”sesuatu” berada dalam relasi tertentu—yang dalam filsafat disebut intensionalitas—diekspresikan melalui kata
verba psikologis seperti memikirkan, merasakan, menyadari, menginginkan dan
seterusnya. Kesadaran, dengan kata lain, bersifat relasional. Secara ontologis,
disadari atau tidak, kita sebagai subyek secara umum sudah mengada dan selalu
sudah (always already) mengada dalam tiga kategori relasi kesadaran, yaitu:
1. Relasi subyek dengan obyek (subject-object relation)
2. Relasi subyek dengan subyek (intersubjectivity).
3. Relasi subyek dengan Tuhan (subject–God relation).
Dari tiga bentuk relasi ini, relasi intersubyektif
merupakan titik konjungsi yang bukan saja mempengaruhi dua bentuk relasi
lainnya, melainkan juga menjadi prasyarat bagi lahirnya tindakan yang menjadi
ciri khas subyek ketika berhubungan dengan sesuatu di luar dirinya. Tindakan
adalah sesuatu yang khas dan hanya dimiliki oleh subyek, dan tidak dimiliki
oleh obyek. Tindakan dibedakan dengan kejadian karena yang pertama diatur oleh xe
"kesadaran"kesadaran dan kehendak bebas ketika berhadapan dengan
berbagai opsi tindakan. Tindakan tidak tunduk kepada xe "hukum
kausalitas"hukum kausalitas, karena penyebab setiap tindakan tidak akan
bisa ditemukan di luar subyek itu sendiri. Penyebab atau penentu tindakan
adalah kehendak yang dimiliki oleh manusia. Adapun hal-hal lain di luar subyek,
bukan sebagai sebab atau penentu yang pasti dan tetap bagi lahirnya sebuah
tindakan.
Berbeda dengan itu, kejadian adalah sesuatu yang
terjadi pada obyek, atau pada subyek bila beroperasi tanpa xe
"kesadaran"kesadaran, yang tunduk kepada xe "hukum
kausalitas"hukum kausalitas yang bersifat deterministik. Kejadian
dipastikan memiliki sebab yang bisa dilacak kepada unsur di luar dirinya.
Kejadian ini bisa berbentuk kejadian mekanik, yang penyebabnya adalah
unsur-unsur fisik, atau bisa juga berbentuk kejadian biologis yang penjelasan
mengenai sebab-sebabnya adalah dalam kerangka stimulus dan respon. Seekor
kucing bisa memunculkan ekspresi fisik-biologis tertentu karena makanan yang
didekatkan kepadanya. Akan tetapi apapun reaksi si kucing, itu bukanlah
tindakan, melainkan kejadian biologis yang bisa dijelaskan dalam kerangka
stimulus dan respon yang tunduk kepada xe "hukum kausalitas"hukum
kausalitas, yang tentunya melibatkan variabel-variabel yang lebih kompleks dari
kejadian mekanik yang bisa disebabkan karena sebab tunggal atau sebab-sebab
yang variabelnya lebih sederhana. Sistem sosial hanya bisa mewujud karena
adanya tindakan sadar dari subyek, yang menjadi komponen yang membentuk
hubungan atau relasi tertentu. Tanpa xe "kesadaran"kesadaran, xe
"sistem sosial"sistem sosial yang lahir bukan xe "sistem
sosial"sistem sosial manusia, tetapi xe "sistem sosial"sistem
sosial non-ABC .
Relasi subyek-obyek adalah relasi kita dengan obyek
material seperti mobil, rumah, dan lain lain, atau obyek abstrak, seperti ide,
konsep, dan lain lain. Hubungan subyek dengan obyek dalam relasi ini bersifat xe
"monologis"monologis, xe "one way"one way, yaitu hubungan
aktif-pasif, hubungan yang mengetahui dengan yang diketahui, atau hubungan yang
menguasai dan yang dikuasai. Obyek sendiri tidak pernah menyadari dirinya
diketahui atau dikuasai. Sebaliknya, relasi subyek-subyek adalah relasi sosial,
relasi kita dengan orang lain. Relasi antar subyek (xe
"intersubjectivity"intersubjectivity) bersifat dialogis, dua arah,
dan mutual, karena pihak pertama dan pihak kedua sama-sama berfungsi sebagai
subyek yang sejajar. Relasi ketiga, relasi subyek dengan Tuhan, adalah relasi
ketakwaan, relasi penyerahan diri (ketundukan) dan kepasrahan, yaitu relasi
Pencipta dengan yang diciptakan, relasi Yang menguasai dengan yang dikuasai.
Ketiga relasi ini menggunakan moda xe
"kesadaran"kesadaran dan fakultas mental yang berbeda-beda,
sebagaimana akan kita lihat nanti. Penggunaan fakultas mental yang tidak sesuai
dengan tipe relasi yang dibangun akan melahirkan xe "abnormalitas"abnormalitas
hubungan, yang pada tahap selanjutnya akan mengakibatkan lahirnya subyek yang
tidak normal. Fakultas yang kita gunakan untuk berhubungan dengan obyek adalah
kognisi (akal, intelek, memori dan lain lain). Hasil interaksi dengan obyek ini
adalah pengetahuan tentang obyek (pengetahuan kognitif) dan hasil yang lainnya
adalah transformasi obyek menjadi instrumen dimana obyek kita gunakan untuk
tujuan-tujuan kita. Jadi, relasi subyek-obyek melahirkan dua hal yaitu
pengetahuan dan xe "artefact"artefact. Obyek material umumnya berada
dalam ruang dan waktu dan bersifat kongkrit sehingga bisa diobservasi dan
dipersepsi oleh subyek melalui alat-alat indera. Obyek abstrak seperti konsep,
ide, dan ingatan adalah produk dari sensasi dan persepsi yang telah diolah oleh
akal dan direpresentasikan di dalam otak sehingga ia bersifat xe
"second-order"second-order.
Dari uraian relasi subyek-obyek ini kita bisa
melihat peran sentral yang dimainkan oleh subyek. Bisakah kita membayangkan apa
makna obyek-obyek yang ada di jagad raya ini bila tidak ada manusia sebagai
subyek? Subyek adalah sebuah entitas yang membuat semua obyek menjadi bermakna
atau, lebih tepatnya, lebih bermanfaat, bagi dirinya. Pertanyaan selanjutnya
adalah apa itu subyek? Apa bedanya dengan obyek? Bisakah subyek dilihat dan diperlakukan
sebagai obyek?
Subyek memiliki dua dimensi: dimensi luar (exterior)
dalam bentuk badan atau raga, dan dimensi dalam (interior) dalam wujud jiwa
atau ruh. Dimensi eksterioritas dari subyek memiliki aspek fisik dan biologis
dan diatur oleh hukum yang sama sebagaimana yang mengatur benda fisik dan
biologis lainnya di alam ini. Oleh karenanya, dimensi eksterior dari subyek
juga adalah obyek dan bisa dipersepsi dan diketahui seperti obyek-obyek yang
lainnya. Yang unik pada subyek adalah dimensi interiornya yang tidak dimiliki
oleh obyek lain di alam material. Jiwa atau ruh bersifat non-materi dan tidak
menempati ruang tertentu seperti obyek. Ia tidak berada di badan atau di otak.
Silahkan bedah otak anda, maka yang akan anda lihat adalah otak anda, bukan
jiwa anda. Otak, sekalipun berada di dalam kepala, adalah aspek eksterior dari
kita. Hubungan antara jiwa dan raga bersifat misteri dan masing-masing tidak
bisa direduksi menjadi bagian dari yang lainnya, seperti yang dibayangkan oleh
aliran matrialis. Tapi keberadaan keduanya tidak bisa diragukan. Silahkan
ragukan keberadaan jiwa anda bila bisa, maka keraguan anda adalah bukti dari
keberadaan jiwa atau xe "kesadaran"kesadaran anda. Sebab ketika anda
ragu, maka subyek yang sedang ragu itu adalah jiwa anda, seperti inilah argumen
yang diberikan Descartes. Keberadaan keduanya adalah keniscayaan dan tidak bisa
diragukan.
Bila aspek eksterior dari subyek bisa dilihat
sebagai obyek, maka aspek eksterior bukanlah ciri keunikan dari manusia, karena
ciri-cirinya bisa kita dapatkan pada obyek-obyek lainnya di alam ini. xe
"Struktur"Struktur fisik-kimia dari subyek sama dengan obyek alam
lainnya. Kebiasaan makan, minum, seks dari kita sebagai subyek, juga terdapat
pada makhluk hidup lainnya. Jadi aspek eksternal dari subyek bukanlah esensi
yang dimiliki secara unik oleh subyek. Saya bisa menunjuk, “ini tangan saya”, “ini kaki saya”, “ini muka saya”, akan tetapi tangan saya, kaki saya,
dan muka saya, tidaklah sama atau identik dengan ”saya”. Hubungan ”saya” dengan ”muka saya” adalah hubungan kepemilikan, bukan hubungan intrinsik. Dengan perkataan
lain, ”saya” dibadankan (xe "embodied"xe
"embodied"embodied) dalam/melalui badan saya; bukan ”saya” adalah ”badan saya” atau ”badan saya” adalah ”saya”. Karena xe "embodied"xe
"embodied"embodied, maka saya dengan badan saya tidak bisa
dipisahkan, setidak-tidaknya selama kehidupan di alam material ini. Bila badan
saya bukanlah saya, maka semua apa yang saya miliki, seperti kekayaan, jabatan,
dan lain-lain yang bisa dipisahkan dengan saya adalah juga tidak bersifat
intrinsik dan bukan merupakan esensi utama dari saya sebagai subyek. Ini
artinya ”saya” bukanlah ”kekayaan saya” atau ”saya” bukanlah ”jabatan saya”. Implikasi dari ini sangat dalam, terutama dalam kaitannya dengan relasi
subyek-subyek. Jika masalahnya demikian, lalu apa ciri utama subyek yang
bersifat unik itu?
Ciri utama subyek adalah berkaitan dengan dimensi
interior dari manusia. Dimensi interior berkaitan dengan jiwa/ruh/kesadaran.
Ciri interioritas yang utama dari manusia yang bisa kita akses adalah xe
"kesadaran"kesadaran (xe "consciousness"xe
"consciousness"consciousness). Kesadaran yang dimaksud di sini
bersifat ontologis, bukan psikologis. Artinya, hanya subyek yang memiliki xe
"kesadaran"kesadaran, sedangkan obyek tidak memiliki xe
"kesadaran"kesadaran. Kesadaran memiliki alat bantu yang berbentuk
fisik seperti emosi, rasa, intelek, memori dan yang lainnya yang dimanfaatkan
oleh subyek ketika ia mengalami sesuatu. Dalam keadaan tidurpun, subyek selalu
memiliki xe "kesadaran"kesadaran, karena dalam keadaan tidur, ia juga
mengalami sesuatu. Bandingkan dengan obyek seperti batu atau meja. Benda-benda
ini selamanya tidak mengalami sesuatu karena tidak memiliki xe
"kesadaran"kesadaran, sementara manusia tetap memiliki xe
"kesadaran"kesadaran walaupun ia sedang dalam keadaan tertidur.
Inilah yang saya maksudkan dengan xe "kesadaran ontologis"xe
"kesadaran"kesadaran ontologis (xe "ontological
consciousness"xe "ontological consciousness"xe "ontological
consciousness"ontological xe "consciousness"xe
"consciousness"consciousness).
Tentu terdapat perbedaan pengalaman ketika kita
sedang tidur dan ketika kita sedang terjaga. Ketika kita sedang tidur, kita
tidak ”menyadari” (xe "aware"aware) tentang apa
yang sedang kita alami, berbeda dengan ketika kita sedang terjaga. Perbedaan
pengalaman waktu jaga dan waktu tidur ini adalah perbedaan yang berkaitan
dengan xe "kesadaran psikologis"xe "kesadaran"kesadaran
psikologis. Ketika kita tertidur pulas dan kita tidak ”menyadari” apa yang sedang kita alami, kita masih tetap
memiliki xe "kesadaran"kesadaran. Dengan kata lain, keadaan kita
ketika sedang tertidur tidaklah sama dengan batu yang sama sekali tidak
memiliki xe "kesadaran"kesadaran. Jadi semua subyek, secara
ontologis, memiliki xe "kesadaran"kesadaran, berbeda dengan obyek.
Inilah keunikan subyek yang tidak dimiliki oleh obyek. Berbeda dengan obyek,
subyek dengan dimensi interiornya (xe "kesadaran"kesadaran jiwanya)
memiliki potensi untuk mengalami sesuatu: mengetahui, mengingat, merasakan,
mengharapkan, menginginkan dan lain-lain.
Karena potensi xe "kesadaran"kesadaran
inilah kenapa kita berbicara subyek sebagai titik sentral, sebagai sesuatu yang
menjadi ciri eksklusif manusia, yaitu relasi antara subyek dengan yang
lain-lainnya. Obyek, karena tidak memiliki xe "kesadaran"kesadaran,
tentu tidak akan mampu membangun relasi dengan yang lainnya kecuali secara
mekanis. Itulah sebabnya relasi yang dimiliki antar obyek bersifat mekanis yang
diatur berdasarkan xe "hukum kausalitas"hukum kausalitas. Hubungan
antar subyek dengan yang lainnya diatur berdasarkan hukum xe
"kesadaran"kesadaran, bukan berdasarkan xe "hukum
kausalitas"hukum kausalitas mekanis.
Salah satu ciri xe "kesadaran"kesadaran
adalah berkaitan dengan subyektivitas. Ketika saya mengalami rasa sakit, yang
memiliki akses terhadap rasa sakit itu adalah saya sendiri. Dokter yang sedang
memeriksa saya tidak memiliki akses terhadap apa yang saya rasakan. Ia boleh
jadi mengetahui makna sakit dan bisa memberikan diagnosa secara tepat, tetapi
apa yang ia ketahui dan alami tidaklah sama dengan apa yang saya alami.
Mengetahui sesuatu, termasuk tentang rasa sakit, tidak sama dengan mengalami
dan merasakannya. Rasa sakit yang sedang saya rasakan hanya saya sendiri yang
mengalaminya. Orang lain, termasuk dokter saya, tidak bisa mengalami apa yang
saya alami. Kesadaran (dalam hal ini rasa sakit saya) hanya bisa diakses secara
subyektif oleh yang mengalaminya. Itulah sebabnya, pengalaman batin hanya bisa
diakses oleh diri yang mengalaminya. Jadi subyek adalah agen yang memiliki xe
"kesadaran"kesadaran yang merupakan inti dari interioritas. Kesadaran
yang dimiliki subyek adalah unik dan subyektif. Tidak ada subyek lain, apalagi
obyek, yang memiliki akses terhadap xe "kesadaran"kesadaran yang dimiliki
subyek tersebut. Jadi keunikan subyek berkaitan dengan xe "kesadaran"kesadaran
yang dimilikinya yang berada dan merupakan inti dari aspek interioritas subyek.
Perlu dicatat bahwa sekalipun xe
"kesadaran"kesadaran dan pengalaman yang dilahirkan dari xe
"kesadaran"kesadaran bersifat unik dan hanya dapat diakses secara
subyektif oleh subyek, semua subyek memiliki xe "kesadaran"kesadaran
dengan ciri dan properties yang sama. Dengan xe "kesadaran"kesadaran
yang ada pada masing-masing subyek, masing-masing memiliki dimensi dan isi
interioritas yang sama. Pada level interioritas atau xe "ontological
consciousness"xe "ontological consciousness"xe "ontological
consciousness"ontological xe "consciousness"xe
"consciousness"consciousness, semua subyek adalah sama dan identik.
Karena xe "kesadaran"kesadaran adalah sesuatu yang keberadaannya
tidak bisa diragukan oleh masing-masing subyek, dan karena secara ontologis
semua xe "kesadaran"kesadaran yang menjadi ciri dan esensi utama dari
masing-masing subyek adalah sama, maka xe "kesadaran"kesadaran
bukanlah termasuk isu pengetahuan bagi masing-masing subyek. Dengan kata lain, xe
"kesadaran"kesadaran bagi subyek, bukan sesuatu yang berkaitan dengan
pengetahuannya. Pengetahuan berkaitan dengan dunia obyek, yang dilakukan oleh
subyek melalui fakultas xe "kesadaran"kesadaran kognitifnya. Jadi,
subyek dengan ciri utama xe "kesadaran"kesadaran tidak bisa dilihat
sebagai obyek. Jiwa atau xe "kesadaran"kesadaran tidak menempati
ruang, sebagaimana telah disinggung di atas, karenanya ia bukanlah obyek yang
bisa diketahui melalui indera dan intelek manusia. Untuk urusan xe
"kesadaran"kesadaran, otak manusia tidak dipersiapkan untuk
memahaminya. Menurut filosof xe "Colin McGinn"xe "Colin
McGinn"xe "Colin McGinn"xe "Colin McGinn"xe
"Colin McGinn"Colin McGinn kita dan xe "kesadaran"kesadaran
kita berada dalam ”xe "cognitive closure"xe "cognitive
closure"xe "cognitive closure"xe "cognitive closure"cognitive
closure.” Artinya, otak kita tidak dipersiapkan atau diprogram
untuk bisa memahami apa hakikat xe "kesadaran"kesadaran dan kognisi
kita hanya bisa memahami dimensi eksterioritas dari subyek. Kesadaran tidak
bisa melihat dan memahami xe "kesadaran"kesadaran; subyek tidak bisa
melihat dirinya sebagai subyek, sebab tatkala melihat dirinya, subyek yang
dilihat telah berubah menjadi subyek dan yang ditangkap oleh subyek adalah
dimensi eksternal darinya: pikiran, perasaan, emaginasi dan lain-lain.
Bila subyek tidak bisa dilihat sebagaimana obyek,
maka hakikat relasi antar atau inter subyek tidaklah sama dengan hakikat relasi
antar subyek dengan obyek. Hubungan antar subyek (intersubyektivitas) tidak
bersifat xe "monologis"monologis melainkan dialogis.
Intersubyektivitas bukanlah hubungan antara yang mengetahui dan yang diketahui,
bukan juga hubungan antara yang menguasai dan yang dikuasai, karena yang
demikian itu merupakan ciri hubungan subyek-obyek, seperti yang telah dibahas
sebelumnya. Hubungan intersubyektif adalah hubungan dialogis, bersifat dua
arah, karena yang berhubungan adalah antar dua xe "kesadaran"kesadaran
yang memiliki ciri yang sama: masing-masing tidak bisa diakses sebagai obyek.
Kesadaran yang merupakan ciri penting dari interioritas masing-masing subyek
adalah sama dan sejajar sehingga antara keduanya bersifat mutual dan dialogis. Hubungan
dialogis yang dimaksudkan di sini bukan bersifat kognitif, karena hubungan
kognitif berarti hubungan antara yang mengetahui dan yang diketahui yang selalu
bersifat xe "monologis"monologis. Hubungan antar subyek bukan
hubungan dalam rangka untuk mengetahui atau mengendalikan. Hubungan antar
subyek adalah hubungan rekognitif yaitu hubungan saling mengakui keberadaan dan
martabat masing-masing. Jadi tujuan intersubyektivitas adalah agar terjadi
proses saling mengakui dan saling menerima (xe "mutual recognition"xe
"mutual recognition"mutual xe "recognition"recognition dan
mutual acceptance).
Karena hubungan antar subyek bersifat mutual dengan
menggunakan xe "kesadaran rekognitif"xe "kesadaran"xe
"kesadaran rekognitif"kesadaran (dalam hal ini kesadaran rekognitif),
maka hakikat hubungan antar subyek adalah pengakuan imbal-balik, yaitu
pengakuan dan penghargaan akan eksistensi dan keunikan masing-masing pihak.
Karena keunikan tersebut berkaitan dengan dimensi interioritas dengan ciri
intrinsik yang sama dari masing-masing subyek, maka keunikan dari masing-masing
subyek bersifat homogen. Di sinilah terdapat paradoks dan sekaligus
non-paradoks antara konsep keunikan dan homogenitas. Unik karena nilainya tidak
bisa digantikan dengan apapun, dan homogin atau sama karena masing-masing
adalah unik dan tidak bisa digantikan oleh apapun. Berbeda dengan hubungan
subyek-obyek, hubungan subyek-subyek adalah hubungan bersifat intrinsik dan
dibutuhkan oleh masing-masing subyek demi kesempurnaan pertumbuhannya. Semua
orang akan merasa sakit bila keberadaannya tidak diterima, direndahkan, apalagi
dianggap tidak ada. Hubungan antar subyek yang tidak bersifat rekognitif,
seperti permusuhan, persaingan, peperangan dan yang lainnya adalah sebenarnya
manifestasi dari perjuangan yang gagal untuk saling mengakui (xe "mutual
recognition"xe "mutual recognition"xe "recognition"xe
"struggle for recognition"xe "struggle for recognition"struggle
for xe "recognition"recognition, meminjam istilah yang digunakan xe
"Alex Honneth"xe "Alex Honneth"xe "Alex Honneth"Alex
Honneth).
Salah satu manifestasi dari adanya relasi saling
mengakui (xe "mutual recognition"xe "mutual recognition"mutual
xe "recognition"recognition) yang merupakan esensi dari hubungan
antar subyek adalah lahirnya konsensualitas. Di atas kita telah menunjukkan
bahwa ciri xe "kesadaran"kesadaran adalah subyektivitas. Apa yang
dialami subyek selalu bersifat subyektif dimana subyek memiliki akses eksklusif
terhadap pengalaman yang dihadapi, sementara subyek lain tidak memiliki akses
langsung terhadapnya. Inilah keunikan subyek: masing-masing memiliki otonomi
penuh terhadap dirinya. Setiap subyek memiliki harapan, kebutuhan, dan
keinginan yang khas, dan masing-masing subyek memiliki kebebasan untuk
memutuskan apa yang hendak dilakukan. Itulah sebabnya kenapa setiap kerjasama
sosial harus lahir dan diputuskan secara konsensual oleh masing-masing subyek
yang terlibat. Pemaksaan berdasarkan kekuasaan bertentangan dengan prinsip
otonomi masing-masing subyek dan prinsip xe "mutual recognition"xe
"mutual recognition"mutual xe "recognition"recognition
antar subyek. Bebeda dengan hubungan antar obyek yang sepenuhnya ditentukan
berdasarkan prinsip kausalitas yang bersifat mekanistik, hubungan antar subyek
dalam rangka kerja sama sosial harus ditentukan berdasarkan persetujuan tulus
dari masing-masing subyek. Inilah implikasi dari konsep saling mengakui dan
saling menghargai, karena masing-masing subyek memiliki dimensi interioritas
otonom yang tidak bisa diakses, apalagi didominasi, oleh subyek lain.
Relasi sosial yang tidak berdasarkan prinsip
konsensualitas berarti relasi yang dibangun tidak berdasarkan xe
"kesadaran"kesadaran xe "kesadaran rekognitif"xe
"kesadaran"xe "kesadaran rekognitif"rekognitif di mana
masing-masing partisipan adalah subyek otonom, melainkan berdasarkan xe
"kesadaran"kesadaran obyek (xe "kesadaran"xe
"kesadaran kognitif"kesadaran kognitif). Karena xe
"kesadaran"xe "kesadaran kognitif"kesadaran kognitif yang
digunakan, maka dimensi subyek yang dilihat adalah dimensi ekterioritasnya saja, sehingga yang
nampak adalah apa yang dimiliki atau
melekat pada diri seseorang, seperti bentuk fisik, status, kekayaan, gelar, dan
lain-lain. Kesadaran obyek seperti ini akan membuat kita selalu
membanding-bandingkan antara apa yang kita miliki dengan apa yang dimiliki oleh
orang lain ketika kita berinteraksi dengan mereka. Inilah akar dari lahirnya
rasa persaingan, kompetisi, sikap iri dan dengki yang akan bermuara pada
berbagai macam konflik sosial. Harmoni dan kerja sama sosial tidak akan lahir
bila tidak berdasarkan prinsip konsensualitas yang lahir berdasakan xe
"kesadaran rekognitif"xe "kesadaran"xe "kesadaran
rekognitif"kesadaran rekognitif.
Dari uraian di atas, kita sampai pada kesimpulan
berikut. Karena hakikat subyek adalah kesadaran dan karena entitas yang
disadarinya tidak selalu sama, maka dimensi kesadaran (xe "realms of
consciousness"xe "realms of consciousness"realms of xe
"consciousness"xe "consciousness"consciousness) yang
beroperasi ketika subyek berinteraksi dengan obyek, ketika subyek berinteraksi
dengan subyek lainnya, dan ketika subyek berinteraksi dengan Tuhan tidaklah
sama. Medan xe "kesadaran"kesadaran dari masing-masing bisa dibedakan
sebagai berikut:
1. xe "Kesadaran kognitif"Kesadaran kognitif atau obyektif (xe
"cognitive consciousness"cognitive xe "consciousness"xe
"consciousness"consciousness) terkait dengan xe "kesadaran"kesadaran
relasi subyek dengan obyek. Kesadaran ini berkaitan dengan fakultas untuk
memahami, mengingat, atau memikirkan obyek.
2. Kesadaran rekognitif (xe "recognitive consciousness"recognitive
xe "consciousness"xe "consciousness"consciousness)
berkaitan dengan xe "kesadaran"kesadaran relasi subyek dengan subyek.
Kesadaran ini berkaitan dengan fakultas untuk membangun pengakuan, penghargaan,
empati, dan kasih sayang terhadap sesama subyek. Fakultasnya adalah hati atau
nurani.
3. Kesadaran xe "trans-(re)kognitif"trans-kognitif dan/atau
trans-rekognitif, yaitu yaitu berkaitan dengan xe "kesadaran"kesadaran
relasi subyek dengan Tuhan. Kesadaran xe "trans-(re)kognitif"ini
adalah moda moda xe "kesadaran"kesadaran yang melampaui moda xe
"kesadaran"kesadaran (1) dan (2), yaitu kesadaran yang tidak dominan melibatkan
fikiran dan ingatan kita pada objek dan pada manusia. Fakultasnya adalah hati yang
lebih dalam (ruh atau spirit). Untuk memudahkan kita sebut tipe kesadaran ini
kesadaran spiritual atau kesadaran ruhani.
Hubungan subyek-subyek atau intersubyektif, berbeda
dengan hubungan subyek-obyek. Hubungan subyek-obyek menggunakan fakultas xe
"kesadaran"xe "kesadaran kognitif"kesadaran kognitif,
sedangkan hubungan subyek-subyek menggunakan fakultas rekognitif (dengan rasa,
dengan hati). Berbeda dengan hubungan pertama dan kedua, hubungan
subyek-Subyek, hubungan subyek dengan Tuhan bersifat devotional (hubungan
penghambaan). Bila hubungan yang kedua adalah hubungan kesetaraan, dimana
segala urusan bersama harus dirancang berdasarkan persetujuan bersama (xe
"mutual agreement"mutual xe "agreement"xe
"agreement"agreement), hubungan yang ketiga bersifat asimetrik dimana
subyek secara sadar menyerahkan diri kepada Tuhan (hubungan kepasrahan). Tentu
ketiga tipe relasi ini bisa berlangsung dalam satu xe "kesadaran"kesadaran
subyek, tetapi dengan fokus dan moda yang berbeda.
Tiga perspektif ini melahirkan implikasi adanya tiga
tipe pembelajaran yang berbeda-beda, dan masing-masing tidak bisa direduksi
menjadi yang lainnya:
1. Cognitive
xe "learning"learning (untuk pembelajaran relasi subyek dengan
obyek).
2. Recognitive xe "learning"learning (untuk pembelajaran
relasi subyek dengan subyek).
3. Spiritual Learning, yaitu pembelajaran yang melampaui pembelajaran
kognitif dan rekognitif (pembelajaran membangun relasi subyek dengan Tuhan).
Relasi subyek-obyek dengan perspektif xe "the
third person"the third person mengharuskan adanya pembelajaran kognitif (xe
"cognitive learning"cognitive xe "learning"learning);
relasi subyek-subyek dengan perspektif the second-person mengharuskan adanya
pembelajaran rekognitif (xe "recognitive learning"xe
"recognitive learning"recognitive xe "learning"learning);
dan relasi subyek-Subyek dengan perspektif the first-person mengharuskan adanya
pembelajaran xe "trans-(re)kognitif"trans-(re)kognitif (xe
"trans-(re)cognitive learning"trans-(re)xe "cognitive
learning"cognitive xe "learning"learning). Output dari
pembelajaran pertama adalah pengetahuan tentang kebenaran obyek. Kata kerja
mengetahui atau tahu melahirkan kata benda pengetahuan. Pembelajaran xe
"intersubyektivitas"intersubyektivitas tidak bisa didekati dengan
pendekatan kognitif semata. Anda tidak akan pernah menjadi pemaaf atau menjadi
pengasih hanya dengan membaca buku tentang kemaafan atau tentang kasih sayang,
hanya dengan membaca atau mendengarkan ceramah tentangnya. Output pembelajaran
yang kedua tidak terkait dengan pengetahuan praktis saja (pengetahuan moral),
tetapi terutama terkait dengan kearifan, dengan xe "wisdom"xe
"wisdom"wisdom, yaitu praktik atau keterampilan hidup yang saling
berterima dengan sesama. Output pembelajaran yang ketiga terkait dengan
ketakwaan pada Tuhan (adanya kesadaran ketuhanan setiap saat). Pembelajaran
dalam rangka membangun kepasrahan dan penyerahan diri pada Tuhan secara tulus
akan melahirkan ketenangan batin. Ketenangan batin atau jiwa adalah hasil dari
pembelajaran atau pengalaman xe "trans-(re)kognitif"trans-(re)kognitif.
Pembahasan-pembahasan selanjutnya akan difokuskan
pada bagaimana pembelajaran pada ranah kedua dan ke tiga yaitu pembelajaran
intersubyektif yang memerlukan xe "kesadaran rekognitif"xe
"kesadaran"xe "kesadaran rekognitif"kesadaran rekognitif
yang memungkinkan lahirnya hubungan yang saling berterima dengan sesama yang
diharapkan nantinya akan menjadi identitas kehidupan komunitas. Namun demikian,
pembelajaran yang berkaitan dengan ranah trans-rekognitif, sekalipun relasi masing
masing subyek dengan Tuhan bersifat individual, sebagaimana akan kita lihat,
akan lebih efektif dimulai dan diperkuat melalui komitmen yang dibangun secara
bersama sama dalam komunitas untuk bersama sama memulai pembelajaran ini. Untuk
penyederhanaan, pembelajaran ranah dua dan tiga kita sebut pembelajaran gelar
hidup, yaitu pembelajaran praksis yang terkait dengan bagaimana, selama dan di
akhir kehidupan, kita bisa mendapatkan gelar hidup seperti amanah, jujur, penuh
kasih, pemaaf dan yang sejenisnya, untuk membedakannya dengan pembelajaran untuk
mendapatkan gelar di ranah kognitif.
Your Affiliate Money Making Machine is ready -
BalasHapusPlus, getting it running is as simple as 1...2...3!
Here is how it all works...
STEP 1. Choose affiliate products the system will push
STEP 2. Add PUSH BUTTON traffic (it LITERALLY takes 2 minutes)
STEP 3. Watch the affiliate system explode your list and sell your affiliate products all by itself!
Are you ready?
You can test-drive the system for yourself risk free...