Nilai Manusia dalam Perspektif
Kedalaman
Oleh: Dr. Husni Mu'az
Umumnya hampir semua orang percaya bahwa manusia terdiri atas dua
unsur: materi dan non-materi, atau jasad dan ruh (xe "kesadaran"kesadaran),
kecuali dari kelompok filosof materialis/fisikalis yang secara ontologis
melihat manusia sebagai yang bersifat monistik. Materi atau jasad adalah
dimensi luar sedangkan roh/jiwa (xe "kesadaran"kesadaran) adalah
dimensi dalam dari manusia. Unsur luar (badan) terdiri atas atom-atom yang
membentuk molekul-molekul, molekul-molekul membentuk sel-sel yang selanjutnya
membentuk organisme. Unsur luar terdiri atas materi murni (hierarki paling
rendah) yang menjadi unsur dasar dari kehidupan biologis (hierarki yang lebih
tinggi). Ciri kehidupan, menurut xe "Maturana dan Varela"Maturana dan
Varela, adalah xe "autopoiesis"autopoiesis, yaitu kemampuan xe
"living systems"xe "living systems"living systems
memproduksi (komponen-komponen) diri sebagai cara mempertahankan keberadaannya.
Kemampuan ini tidak dimiliki oleh atom atau molekul di level fisik yang lebih
rendah. Unsur dalam dari manusia bersifat non-materi, tidak memiliki bentuk dan
tidak menempati ruang. Ia ada tapi tidak di dalam ruang seperti jasad atau
materi. Unsur dalam ini mengada dan berinteraksi dengan badan. Jadi, eksistensi
manusia terdiri atas minimal tiga unsur
dari tiga level hierarki, sebagai berikut (xe "Wilber"Wilber, 1995):
level 1: physiosphere (materi/fisik);
level 2: biosphere (jiwa/kehidupan);
level 3: xe "noosphere"noosphere
(ruh/xe "kesadaran"kesadaran).
Dengan unsur-unsur dari tiga level ini manusia mengada dalam dua
dunia, dunia materi dan dunia non-materi, atau dunia luar (exterior) dan
dunia dalam (interior). Nasibnya juga akan ditentukan oleh kemampuannya
menari diantara dua dunia ini, yaitu antara dunia luar dan dunia dalam, dunia
lahir dan dunia batin, dunia kognitif dan dunia trans-kognitif, dunia material
dan dunia spiritual.
Sekalipun banyak yang percaya bahwa kita memiliki elemen
konstitutif seperti di atas (terdiri atas unsur-unsur dari level 1, 2, dan 3),
sering kita tidak sadar dan bahkan terjebak mereduksi diri seolah-olah kita
mengada hanya di level dua. Bukankah, misalnya,
kita menerima klaim para ahli ekologi bahwa kita (manusia) adalah bagian
dari sistem biologis (ekosistem biologi) dan sistem biologis adalah bagian dari
sistem alam (level 1). Siapa yang menolak klaim bahwa kita adalah bagian dari
sistem alam? Selama ini secara tidak sadar kita telah terjebak dan terperangkap
dalam dimensi keluasan, dimana di dalamnya kita hanya bisa melihat bahwa
secara kuantitas kita adalah bagian (satu jenis) dari berbagai jenis
binatang/hewan dengan ciri tertentu, dan kita secara material adalah debu
dibandingkan dengan isi dan luasnya jagad raya ini. Kita adalah bagian dari
alam dan harus menyatu dan bersahabat dengannya.
Ini adalah pendapat yang merendahkan harkat dan martabat
kemanusiaan kita. Apa yang salah di sini? Yang salah adalah bahwa, secara tidak
disadari, pendapat ini telah mereduksi diri manusia menjadi sebuah entitas
monodimensi, yaitu entitas yang hanya memiliki dimensi luar atau dimensi
material saja. Yang salah adalah karena kita terjebak dalam xe "flatland
consciousness"flatland xe "consciousness"xe
"consciousness"consciousness (xe "Wilber"Wilber, 1995),
dalam xe "kesadaran"kesadaran keluasan, dan lupa bahwa diri kita
lebih mulia dan lebih kompleks karena kita juga terdiri atas entitas yang
memiliki dimensi dalam. Agaknya Capra juga terjebak dalam cara berpikir (baca: xe
"kesadaran"kesadaran) yang sama. Manusia dalam The web of life
adalah bagian dari xe "eko-sistem"ekosistem, dan oleh karenanya
mereduksi xe "teori"teori sistem atau berpikir sistem sebagai
seolah-olah hanya mampu melihat dunia obyek, yaitu dunia yang eksternal, yang
material, yang flatland saja.
Yang hilang dalam perspektif ini adalah xe "kesadaran"kesadaran
akan dimensi dalam dalam diri manusia. Bagaimana mungkin kita bisa melihat
dan menemukan kedalaman isi yang ada dalam dimensi dalam dalam dunia luar?
Isi level 3 tidak akan kita temukan dalam level 1 atau level 2, karena isi
level 3 hanya ada dalam level 3, yang berada di atas hierarki level 1 dan level
2.
Yang kita perlukan adalah perspektif dengan dimensi kedalaman,
bukan dimensi keluasan. Dlam perspektif kedalaman kita kembali ke hierarki
atau kompleksitas kejadian kita, kompleksitas konstitutif kita. Sebagaimana
disinggung di atas, manusia mengada dengan tiga unsur yang tersusun secara
hierarkis. Material (atom, molekul) adalah unsur pembentuk yang ada pada level
1. Tanpa unsur ini (untuk mudahnya kita sebut unsur A), kehidupan biologis di
level 2 tidak mungkin terjadi. Elemen konstitutif dasar dari kehidupan (level
2) adalah A; tapi A saja tidak cukup karena A hanya akan melahirkan entitas
yang ada pada level 1 saja. Untuk kehidupan biologis di level 2 diperlukan
elemen konstitutif lain disamping A, yaitu B. AB dengan demikian adalah elemen
konstitutif kehidupan yang berada di level 2 (xe "biosphere"biosphere).
Karena xe "biosphere"biosphere tidak akan ada tanpa A, maka
merusak atau menghilangkan A sama dengan merusak atau menghilangkan AB. Tetapi
sebaliknya tidak berlaku. Sekalipun xe "biosphere"biosphere
tidak mungkin ada tanpa B, merusak atau menghilangkan B tidak akan merusak atau
menghilangkan physiosphere yang berada pada level 1. Ini karena B berada
di level hierarki yang lebih tinggi dari A (level 1).
level 1: Materi/fisik = A
level 2: Kehidupan biologis = AB
level 3: Ruh/xe "kesadaran"kesadaran =
ABC
Manusia berada di level 3, yang unsur pembentuknya disamping A dan
B, tapi juga C (xe "kesadaran"kesadaran), yaitu unsur konstitutif
baru yang menjadi ciri khas manusia. Manusia, dengan demikian, terdiri atas
unsur A, B, dan C. A dan B, sekalipun merupakan elemen konstitutif dari
manusia, bukanlah ciri khas manusia. Ciri unik manusia adalah C, yaitu unsur
ruhani atau xe "kesadaran"kesadaran yang berada di dunia dalam. Tanpa
C manusia sama dengan AB (hewan/binatang) sebagai mana juga tanpa B kehidupan
di level 2 akan sama dengan A. Akan tetapi ABC karena berada di level hierarki
yang paling tinggi tidak mungkin ada bila AB, atau B saja, atau A saja tidak
ada, karena A atau B, atau AB adalah bagian dari ABC. Entitas pada level 3
tidak akan ada bila unsur yang berasal dari level 1 atau level 2 atau level 1
dan 2 tidak ada. Merusak unsur yang berasal dari level 2 (xe
"biosphere"biosphere) sama dengan menghilangkan entitas yang ada
pada level 3, tapi sebaliknya tidak berlaku.
Sekarang problem yang muncul dalam perspektif keluasan atau xe
"flatland consciousness"flatland xe "consciousness"xe
"consciousness"consciousness yang selama ini kita tidak sadari
adalah sebagai berikut. Bila manusia, ABC, yang berada pada level 3 adalah
benar merupakan bagian (baca: elemen konstitutif) dari ekosistem biologi, AB,
yang berada pada level 2, maka ekosistem biologi tidak akan ada atau akan
hilang atau minimal rusak bila manusia tidak ada atau menghilang! Demikian juga
jagad raya ini akan hilang atau rusak bila sistem biologis hilang atau rusak,
karena, sebagaimana diasumsikan dalam xe "flatland consciousness"flatland
xe "consciousness"xe "consciousness"consciousness, xe
"biosphere"biosphere adalah bagian dari physiosphere.
Tapi ini tidak terjadi. Ekosistem alam tidak akan rusak bila manusia atau semua
sistem biologis tidak ada, atau rusak.
Bahasan di atas merujuk pada logika sederhana. ABC tidak mungkin
bisa menjadi bagian dari AB, atau bagian dari A, sebagaimana juga tidak mungkin
AB bisa menjadi bagian dari A. Yang benar adalah sebaliknya: sistem A adalah
bagian dari sistem AB, dan sistem AB adalah bagian dari sistem ABC, dan secara
transitif sistem A adalah bagian dari sistem ABC. Jadi yang salah dan bertentangan dengan
logika sederhana adalah klaim bahwa kita manusia adalah bagian dari sistem
alam, dan/atau bagian dari sistem biologi. Ini terjadi karena perspektif yang
kita gunakan selama ini adalah perspektif keluasan, perspektif flatland,
atau perspektif eksternal saja dan perspektif ini tentu tidak mampu
mengakomodir dimensi dalam dari manusia.
Yang kita perlukan adalah perspektif yang sebaliknya, yaitu
perspektif kedalaman, bukan keluasan. Dilihat dari perspektif kedalaman
manusia bukan bagian dari sistem biologis dan juga bukan merupakan bagian dari
sistem alam. Manusia melampaui ke duanya, karena unsur unsur dalam physiosphere
(A) dan xe "biosphere"biosphere (B) adalah elemen konstitutif
material dari manusia. Bukankah keseluruhan tidak bisa menjadi bagian dari
bagian-bagiannya? Jadi selama ini yang kita tidak sadari adalah adanya gap
(tidak adanya konsistensi logis) antara kompleksitas eksistensi (realitas
ontologis, yang terdiri atas ABC) dengan xe "kesadaran"kesadaran akan
kompleksitas eksistensi itu (xe "kesadaran"kesadaran epistemik
tentang realitas ontologis, yaitu xe "kesadaran"kesadaran bahwa diri
kita terdiri atas ABC). Akibatnya yang lahir adalah xe "kesadaran"kesadaran
ekologis (xe "kesadaran"kesadaran hewani/nabati) dan/atau xe
"kesadaran"kesadaran materi (xe "kesadaran"kesadaran
alami), tetapi, sebagai akibatnya, tidak lahir xe "kesadaran"kesadaran
dalam/bathin (xe "kesadaran"kesadaran nurani, atau xe
"kesadaran"kesadaran akan xe "kesadaran"kesadaran) karena xe
"kesadaran"kesadaran akan xe "kesadaran"kesadaran telah
tereduksi menjadi bagian dari xe "kesadaran"kesadaran hewani atau xe
"kesadaran"kesadaran alami.
Dalam perspektif kedalaman, saya ingin menawarkan perspektif yang
radikal tentang manusia: alam (physiosphere
dan xe "biosphere"biosphere) adalah
bagian dari ekosistem manusia, bukan sebaliknya. Manusia adalah
makrokosmos, bukan mikrokosmos sebagaimana yang terlihat dalam dimensi
keluasan. Kesadaran manusia sedari awal (primordial) adalah xe "kesadaran"xe
"kesadaran makrokosmik"kesadaran makrokosmik (xe
"trans-kognitif"xe "trans-kognitif"trans-kognitif) yang
berada di luar ruang dan waktu karena konsep ruang dan waktu adalah konsep
jagad raya yang sudah berada dalam diri manusia. Kesadaran makro-kosmik adalah xe
"kesadaran"kesadaran trans-kosmik, yaitu xe "kesadaran"kesadaran
bahwa kita selalu vis-a-vis berhadapan dengan Sang
Pencipta, bukan berhadapan dengan kosmos.
Karena alam adalah bagian konstitutif dari manusia, maka masuk
akal jika apabila alam mengalami kerusakan maka manusia juga akan binasa.
Sebaliknya, bila alam terpelihara maka manusia dan kehidupan akan terpelihara.
Tetapi terpeliharanya alam hanya akan menjamin kemungkinan terpeliharanya
dimensi luar (eksterior, atau unsur AB) atau badan dari manusia. Dunia dalam
(bathin) manusia tidak terkait secara langsung dengan terpelihara tidaknya alam
eksternal. Karena unsur C dalam diri manusia berkaitan dengan dunia dalam yang
menjadi ciri kemanusiaannya, maka sehat tidaknya C akan tergantung pada
pemenuhan kebutuhan dari C (yang pada saatnya nanti akan dielaborasi
secukupnya).
Apa implikasi dari cara pandang dengan perspektif kedalaman, yaitu
bahwa manusia adalah xe "makrokosmos"xe "makrokosmos"xe
"makrokosmos"makrokosmos, yang di dalamnya alam merupakan elemen
konstitutif atau menjadi bagian darinya? Implikasi pertama berkaitan dengan
konsep martabat manusia. Manusia atau subyek dalam perspektif ini memiliki
nilai yang sangat tinggi dan tidak bisa ditandingi atau ditukar bahkan oleh seluruh
jagad raya dengan segala isinya. Bukankah esensi dari alam (baca: physiosphere
dan xe "biosphere"biosphere) sudah terepresentasikan dalam
diri (dimensi ragawi) manusia? Seluruh alam dan isinya tidak bisa membentuk
apalagi menggantikan potensi rohaniah yang dimiliki manusia. Alam tanpa
manusia, betapapun gegantiknya, adalah obyek yang mekanistik yang akan selalu
menjadi obyek tanpa nama dan tanpa sebutan bila tidak ada manusia. Alam
memiliki makna karena manusia memberikan makna padanya. Karena nilai alam lebih
rendah dari manusia, mestinya konflik antar sesama manusia tidak boleh terjadi
semata-mata karena alam (materi), betapapun banyaknya, karena nilainya lebih
rendah dari manusia. Materi, sekali lagi betapapun banyaknya, hanya memiliki
nilai instrumental. Keluasan alam yang hampir tidak terhingga itu tidak akan
membuatnya memiliki nilai yang bersifat intrinsik. Oleh karenanya penghargaan
yang berlebihan terhadap dunia materi sehingga melahirkan kesombongan dan
egoisme adalah simtom adanya proses perendahan diri, suatu penyakit akibat
jebakan xe "kesadaran"kesadaran keluasan dalam diri seseorang.
Manusia yang bermartabat adalah manusia yang menghargai diri dan diri orang
lain (kemanusiaan) tidak berdasarkan apa yang dimilikinya, tetapi semata-mata
karena xe "kesadaran"kesadaran akan nilai intrinsik yang dimiliki
oleh diri dan setiap diri yang lain. Tetapi xe "kesadaran"kesadaran
seperti ini akan lahir bila, dalam melihat diri kita, kita menggunakan
perspektif kedalaman.
Implikasi ke dua berkaitan dengan konsep transendensi. Selama ini,
dari berbagai perspektif (tasawuf, filsafat manusia, dan lain lain), kita
mengenal bahwa kesucian manusia sangat terkait dengan kemampuannya
mentransendensikan diri dari dunia terbatas dan jangka pendek (dunia secara
literal berarti dekat, di sini), yaitu dunia material, dunia nafsu, menuju
dunia xe "non-material"non-material atau dunia spiritual yang tak
terbatas dan yang menjanjikan kehidupan yang abadi. Konsep transendensi kedengarannya
tidak saja esoteris, tapi juga sangat elitis: kesannya hanya diperuntukkan bagi
orang-orang yang khusus dan terbatas, tidak untuk orang kebanyakan, apalagi
untuk orang modern yang selalu sibuk dengan urusan-urusannya. Menurut saya
konsep transendensi adalah produk atau, setidak-tidaknya, pengaruh dari perspektif
keluasan. Karena kita mengada secara material dalam ruang dunia, maka demi
keabadian kita harus mengadakan perjalanan melampaui ruang dunia yang terbatas
ini. Dalam perspektif kedalaman konsep trasendensi tidak diperlukan, karena
secara ontologis manusia sudah mengada secara transenden. Karena alam (physiosphere
level 1 dan xe "biosphere"biosphere level 2) adalah bagian
dari konstitusi manusia, maka, tentu, ruang (dan waktu) sudah ada di dalam
(bukan di luar) diri manusia. Spacio-temporality adalah konsep keluasan,
bukan konsep kedalaman. Itulah sebabnya manusia sebenarnya, secara ontologis,
sudah transenden. Dengan perspektif ini sekarang problem manusia bisa
dirumuskan menjadi begini: bagaimana
agar minimal bisa mempertahankan diri di posisi asali itu dan tidak justru
terjatuh ke alam hewani atau lebih rendah dari itu. Dengan kata lain, problem
manusia: bukan berkaitan dengan asendensi, tetapi desendensi. Problemnya
adalah bagaimana agar manusia selalu menyadari bahwa substansi dirinya tidak
sama dengan binatang atau yang lebih rendah dari itu.
Bahasan di atas mengantar kita pada bahasan implikasi ke tiga,
yaitu yang berkaitan dengan xe "kesadaran"kesadaran dan aktivitas
manusia. Kesadaran akan substansi diri manusia yang bersifat transenden harus
secara konsisten tercermin dalam aktivitas kesehariannya. Tantangannya adalah
bagaimana kita bisa membuat semua aktivitas keseharian kita menjadi ekspresi
autentik dari nilai-nilai kemanusiaan yang sudah transenden itu. Nilai-nilai
transenden itu berkaitan dengan kebenaran, kebaikan dan keindahan.
Hidup di dunia modern ini banyak berisi pereduksian terhadap
nilai-nilai ini. Inilah dilema dunia modern. Hampir semua orang bermimpi ingin
maju, berhasil, bahkan kalau bisa menjadi yang terbaik. Untuk itu,
konsentrasi, pikiran, waktu dan tenaga kita habiskan untuk mengejar impian
impian itu. Saking sibuknya kita dengan aktivitas kemajuan itu kita sering lupa
bertanya: kemajuan dan keberhasilan yang kita kejar itu sebenarnya untuk apa
dan dalam rangka apa? Apa sebenarnya yang kita maksudkan dengan kemajuan dan
keberhasilan itu? Jawaban dari pertanyaan ini mestinya menjadi guidance
bagi kita untuk berangkat, untuk memilih jalan mana yang harus kita tempuh
(terutama ketika kita mendapati jalan yang mulai bercabang). Tetapi bila
pertanyaan ini tidak pernah kita ajukan, maka kemungkinan kita hanya akan
memilih jalan yang telah biasa dilalui banyak orang saja. Inilah the xe
"unexamined life"unexamined life, yaitu hidup tanpa mawas dan
koreksi diri. Jadinya kita berangkat dan pergi bukan karena tujuan yang dituju
sudah jelas (kemajuan dan keberhasilan seperti apa yang kita inginkan) tetapi
karena kita tidak ingin tertinggal terlalu jauh dari orang lain yang telah
berangkat lebih dahulu. Keberhasilan berarti tidak tertinggal dari orang lain
atau berarti bisa mendahului/menyalip orang lain yang telah berangkat lebih
dahulu. Di sini ukuran keberhasilan berkaitan dengan jarak antara posisi kita
dengan posisi orang lain; siapa yang berada dalam posisi lebih depan (apalagi
yang terdepan) itulah yang lebih maju, lebih berhasil. Nilai yang paling
krusial di sini berkaitan dengan nilai ruang (di posisi mana kita) dan waktu
(seberapa cepat kita berada di posisi itu). Nilai-nilai lainnya berada di bawah
nilai ruang dan waktu.
Dunia modern dengan rasionalitas dan xe "mental
models"xe "mental models"xe "mental models"mental
models ilmiah yang menjadi cirinya
yang paling menonjol adalah sebuah cerita tentang keberhasilan manusia
berinteraksi dengan alam physiosphere (A) dan xe
"biosphere"biosphere (AB). Karena kedua sphere ini adalah entitas
material maka cara kita memahaminya adalah dengan menggunakan dua prinsip
utama: distingsi (membuat perbedaan) dan kuantifikasi (sebagai ukuran untuk melihat
posisi perbedaan). Kita tidak bisa mengenal atau memahami sesuatu bila kita
tidak bisa membedakan sesuatu itu dengan yang lainnya. Seseorang dikatakan
tidak mengetahui cangkir kalau ia tidak bisa membedakannya dengan gelas,
mangkok dan lain lain. Demikian juga kuantifikasi. Entitas yang kita ketahui
adalah entitas yang menempati ruang, dan segala sesuatu yang menempati ruang
memiliki ukuran, bentuk, berat dan lain lain yang semuanya bisa didekati secara
kuantitatif. Seseorang belum dikatakan memahami sesuatu bila ia tidak mengetahui
ciri kuantitatif dari sesuatu itu. Dalam dunia modern, melalui pendidikan, kita
membangun xe "mental models"xe "mental models"xe
"mental models"mental models berdasarkan dua prinsip ini. Dan
celakanya prinsip ini kita gunakan juga waktu berinteraksi di alam xe
"noosphere"noosphere (ABC), yaitu ketika berinteraksi bukan
dengan alam/obyek tetapi dengan sesama subyek dan juga dengan Tuhan. Yang baik
adalah yang unik, yang berbeda dengan yang lain; yang baik adalah yang bisa
diukur secara kuantitatif, yang secara kuantitatif berjumlah banyak dan yang
secara kuantitatif berbeda dengan yang lainnya.
Berbeda dengan entitas-entitas yang berada pada physiosphere
dan xe "biosphere"biosphere, manusia memiliki ciri khusus yang
tidak dimiliki oleh yang non-manusia: aktivitas-aktivitas manusia adalah fungsi
dari kesadarannya. Karena ciri manusia berkaitan dengan xe
"kesadaran"kesadaran (yang bersifat xe "non-material"non-material,
ciri C), dan karena semua aktivitas yang bermakna atau tidak bermakna (sesuai
cirinya) adalah aktivitas yang lahir dari xe "kesadaran"kesadaran,
maka prinsip-prinsip yang mengatur hubungan antar sesama tentu tidak sama
dengan prinsip-prinsip yang mengatur hubungan kita dengan alam materi (physiosphere
dan xe "biosphere"biosphere, alam A atau AB). Interaksi dengan
sesama tidak bisa atau, lebih tepat, tidak mungkin bisa menggunakan pendekatan
kognisi tanpa melahirkan distorsi. Bagaimana kita bisa membedakan antara xe
"kesadaran"kesadaran kita dengan yang lainnya? Kesadaran bersifat xe
"non-material"non-material dan karenannya tidak menempati ruang
sebagaimana dunia materi. Oleh karena xe "kesadaran"kesadaran tidak
menempati ruang ia tidak memiliki ukuran, tidak memiliki bentuk yang bisa kita
identifikasi, dan oleh karenanya kita tidak bisa membuat perbedaan dalam
hubungan xe "intersubyektivitas"inter-subyektivitas. Kesamaan semua
manusia adalah fakta ontologis, bukan sebuah idealisasi.
Karena aktivitas manusia yang bermakna transenden adalah aktivitas
kesadarannya (perbuatan orang gila tidak memiliki implikasi moral) dan karena
dunia sosial adalah interaksi antar subyek yang memiliki xe
"kesadaran"kesadaran (intersubyektivitas), maka aktivitas manusia
yang berkaitan dengan interaksinya dengan sesama memiliki nilai intrinsik lebih
tinggi daripada interaksinya dengan alam. Interaksi dengan sesama diperlukan
dalam rangka konstitusi diri (xe "self-constitution"self-constitution).
Diri tidak akan pernah berkembang normal tanpa interaksi dengan diri lain: to
be is to be with. Kesadaran adalah entitas xe "non-material"non-material;
interaksi antar xe "kesadaran"kesadaran diatur berdasarkan prinsip xe
"non-material"non-material, dan hasil interaksi juga bersifat xe
"non-material"non-material (xe "self-consitution"self-consitution).
xe "Aristoteles"xe "Aristoteles"Aristoteles
membagi aktivitas manusia menjadi dua: xe "action"xe
"action"xe "action"action and xe
"production"production. Production adalah aktivitas
manusia dalam rangka transformasi obyek dari satu keadaan ke keadaan yang lain.
Misalnya aktivitas memahat, melukis, membuat mobil dan lain lain adalah
aktivitas produksi yang hasilnya bersifat ekstrinsik: patung, lukisan, dan
mobil. Semuanya adalah entitas eksternal yang berada di luar diri subyek.
Hubungan antara hasil-hasil produksi dengan subyek bersifat pemilikan, bukan
intrinsik yang tidak bisa dipisahkan dengan subyek. Action (tindakan)
adalah aktivitas subyek yang berkaitan dengan relasinya dengan subyek lain.
Tindakan bersifat moral dan memiliki nilai intrinsik dalam rangka pembentukan
diri (xe "self-constituion"self-constitution) dari
subyek-subyek yang terlibat dalam interaksi. Dalam dunia modern konsep produksi
telah berkembang menjadi konsep xe "work"work (kerja) (dan
juga labor, memburuh) (lihat xe "Hannah Arendt"Hannah Arendt dalam Human
conditions,) dan xe "relasi intersubyektivitas"relasi xe
"intersubyektivitas"intersubyektivitas berada dalam konteks kerja
atau pekerjaan.
Ciri dunia modern adalah penekanannya yang berlebihan pada konsep
kerja (xe "work"work), yaitu pada relasi antara subyek dengan
obyek untuk mendapatkan hasil-hasil yang bersifat ekstrinsik, kuantitas, dan
membedakan. Nilai-nilai turunan dari aktivitas ini adalah efisiensi, profesionalisme,
produktivitas, berdaya saing, nilai tambah, dan lain-lain. Karena semua hasil
dari aktivitas kerja berkaitan dengan pemilikian obyek konkrit seperti harta
maupun abstrak seperti kekuasaan, jabatan, dan bahkan pengetahuan, maka
memiliki semua hasil kerja tidak secara langsung terkait dengan kebaikan.
Apakah menjadi kaya, memiliki ketenaran, memiliki pengetahuan ilmiah, menjadi
pejabat dan yang sejenisnya bisa secara langsung membuat kita menjadi manusia
yang lebih baik?
Secara ontologis, misalnya, jabatan (dan banyak status status
lainnya) adalah sebuah kategori yang keberadaannya kita (manusia) ciptakan
sendiri (ontologically subjective). Dalam skema hierarki di atas, ia
termasuk kategori A yang berada pada level satu. Tanpa manusia ia tidak akan
pernah ada. Ia kita ciptakan sebagai lapangan permainan kita, bukan sebagai
tujuan hidup kita. Kalau ia sebagai tujuan maka itu sama artinya dengan
menyamakan diri kita dengan hasil karya kita atau menganggap hasil karya kita
nilainya lebih tinggi dari kita (penciptanya). Itulah sebabnya, dalam
perspektif agama, jabatan adalah amanah untuk tujuan tujuan yang lebih mulia
sesuai martabat kita, bukan sebagai tujuan dalam dirinya. Kalau sebagai tujuan
maka penyakit yang pasti kita dapatkan adalah Im my position. I
adalah subyek, position adalah obyek hasil ciptaan kita. Jadi bila
subyek sama dengan obyek, maka pasti ini adalah penyakit.
Jabatan berkaitan dengan fungsi, dan fungsi adalah placeholder
yang mengacu pada seperangkat aktivitas yang harus dilakukan sesuai tupoksi
fungsi. Jadi menerima dan memegang sebuah jabatan tiada lain adalah janji pada
publik untuk melaksanakan seluruh aktivitas tersebut dengan sebaik-baiknya.
Bila sebuah janji pada seseorang saja tidak selalu kita bisa penuhi, bagaimana
dengan janji pada publik untuk melakukan sekian banyak aktivitas, bukan pada
suatu waktu, tapi pada durasi waktu selama masa jabatan? Selama ini jabatan
banyak dilihat sebagai kata benda, sebagai property, bukan sebagai kata kerja, sebagai aktivitas. Artinya,
jabatan sering dilihat sebagai pemilikan, sehingga relasinya adalah relasi
subyek-obyek. Sebagai obyek kepemilikan, jabatan menjadi obyek buruan, yang
kalau mendapatkannya maka dianggap sukses, berhasil, dan kalau tidak dianggap
gagal, dan melahirkan rasa frustasi atau perlu dikasihani.
Jabatan dalam artian aktivitas terkait dengan relasi subyek
subyek, oleh karenanya berkaitan dengan tindakan, dengan aktivitas, bukan
dengan kepemilikan, dan bukan juga dengan hak istimewa. Itulah sebabnya dari
perspektif pengamat jabatan adalah amanah, dan dari perspektif pelaku ia adalah
janji, bahkan lebih berat lagi: sumpah! Inheren dalam jabatan adalah xe
"deontisitas"deontisitas, komitmen untuk berbuat, dan berbuat.
Belajar menjadi amanah bukan dengan cara menghafal dan memahami apa itu amanah,
tetapi dengan cara belajar menjalankan amanah. Untuk bisa menjalankan
pembelajaran ini, kita tentu harus dalam posisi sedang dalam memiliki jabatan
tertentu, sebagai sasana pembelajaran. Tanpa ini, pembelajaran akan bersifat
kognitif semata.
Secara horizontal dunia kebaikan berkaitan dengan tindakan (xe
"action"xe "action"xe "action"action) yang
konteksnya selalu bersifat intersubyektif. Orang yang baik adalah orang yang
tindakan-tindakannya terhadap sesama adalah baik. Di sini hasil tindakanya
adalah intrinsik, yaitu untuk kebaikan diri. Nilainya melampaui nilai kosmos,
bahkan nilai xe "makrokosmos"xe "makrokosmos"xe
"makrokosmos"makrokosmos. Kenapa? Karena tindakan yang baik itu tidak
didapatkan dalan relasi internal ABC. Ia adalah fungsi dari relasi antar ABC,
yaitu relasi antar makro-kosmos! Dalam konteks tindakan, konsep keberhasilan
dan kemajuan (apalagi keberhasilan menjadi yang terbaik) tidak bisa diukur
sendiri berdasarkan ukuran-ukuran kuantitatif, tetapi kemajuan itu dirasakan
oleh orang lain sehingga hubungan antar sesama terasa semakin saling berterima
(xe "mutual acceptance"mutual acceptance) dan semakin tidak
bersyarat. Dan ini adalah contoh ekspresi otentik dari dunia transenden yang
diekspresikan dalam dunia tindakan. Perspektif kedalaman melihat aktivitas
manusia yang baik bukan sebagai proses transendensi, tetapi sebagai ekspresi
dari aktivitas subyek yang secara ontologis sudah transenden dan yang tidak
atau belum terdistorsi.
Sebagai contoh kecil. Bandingkan dua aktivitas berikut. Ibu saya
meminta saya memandikan adik sebelum saya berangkat ke kantor. Tetapi kalau
saya mematuhi ibu saya akan terlambat masuk kerja. Apa pilihan saya? Dalam
perspektif kedalaman, mematuhi perintah adalah aktivitas (xe
"action"xe "action"xe "action"action) yang
langsung berkaitan dengan nilai kebaikan yang berada dalam konteks xe
"relasi intersubyektivitas"relasi xe "intersubyektivitas"intersubyektivitas,
nilai yang melampaui nilai kosmik. Mengabaikan permintaan Ibu karena motif
memburu karir dan nama baik di kantor yang sering sepenuhnya berkaitan dengan
pekerjaan (xe "work"work) tidak otomatis bisa melahirkan
kebaikan baik untuk diri maupun orang
lain. Melalaikan yang pertama (xe "action"xe "action"xe
"action"action) demi yang kedua (xe "work"work)
adalah akibat dari xe "unexamined life"unexamined life dan
hasil dari xe "mental models"xe "mental models"xe
"mental models"mental models kehidupan dunia modern yang menggunakan
perspektif keluasan. Menjadi baik mestinya lebih mudah dan bisa dimulai dari
rumah, tapi ini hanya bisa dilakukan bila xe "mental models"xe
"mental models"xe "mental models"mental models
modernitas harus dirubah sedemikian rupa sehingga kita bisa melihat nilai
tindakan (xe "relasi intersubyektivitas"relasi xe
"intersubyektivitas"intersubyektivitas) selalu memiliki nilai lebih
tinggi dari nilai kerja (relasi subyek-obyek), atau bisa melihat kerja dan
hasil-hasilnya adalah dalam rangka xe "intersubyektivitas"intersubyektivitas,
yaitu dalam rangka kemanusiaan, bukan dalam rangka subyektivitas semata.