Minggu, 25 Maret 2012

WACANA PENCARIAN HUKUM ISLAM


WACANA PENCARIAN HUKUM ISLAM KAJIAN EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM VERSI IMAM MALIK.

Dalam sebuah hadits diiwayatkan dari Nabi:
اذا صحّ الحديث فهو مذهبي “ jika sebuah hadits terbukti kesahihanya, itulah madzhabku”.  Kata Syafi’i (hlm xv). adagium ini telah menggerakan paradigma intelektual islam dalam lanskap tektualis, sehingga ditengarai turut membidani lahirnya pendapat klasik bahwa sumber hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadits. Sebab hadits adalah dokumentasi sunnah. Namun kaum revisionis barat ( orientalis ) menolak pendapat itu mentah – mentah, berdasarkan fakta sejarah bahwa hadits terbukti banyak yang palsau. Tidak dipungkiri, kemunculan hadits tidak terlepas dari kaitan sosial, politik, kultural, juga geografis yang melingkupinya. Orientalis menafikan keabsahan hadits sebagai sumber hukum islam sudah established sejak zaman nabi.
Kehadiran buku karya Yassin Dutton ini adalah sebagai representasi dari keinginannya untuk menyajikan suatu tesis akan pengungulan “ Madzhab ketiga versi Imam Malik dengan Magnum opus-nya yakni kitab Muwattha’-nya. Madzhab ketiga dalam konteks ini menegaskan pandangan tegas Imam Malik, bahwa pandangannya dalam hal hukum islam dapat dikatakan sejalan dengan pendapat klasik, yakni pendasaran hukum islam adalah pada Al-Qur’an dan Sunnah, hal mana Malik yang membedakannya sama sekali dengan konsep hadis; sunnah lebih dekat pada ‘ amal ( Tradisi ). Pendapat Imam Malik ini sekaligus juga pun bertentangan dengan para sarjana barat, khususnya Joseph Schacht, yang menafikan kedudukan sunnah sebagai salah satu sumber hukum islam ( setelah Al Qur’an).
Dalam wacana pergumulan hukum islam, khususnya dalam konteks sejarah pemikiran dan perkembangan hukum islam, Imam Syafi’i sebagai kampium nomor wahid dalam barisan ulama klasik yang berpendapat bahwa hukum islam adalah hukum yang berasal dari dua sumber otoritatif yakni Al-Qur’an dan Hadits ( atau yang sering dianggap sebagai dokumentasi lisan/tulisan baru ‘ sunnah’ tradisi nabi SAW ), selain sumber – sumber otoritatif lainnya seperti Ijma’ dan Qiyas ( Analogi). Makanya di dunia dan kalangan Sunni, dimana peran dan ketokohan Syafi’i ( dan para ulama klasik setelahnya )begitu mengakar, pencitraan dan imaji. Bahwa sumber / rujukan hukum  islam adalah Al-Qur’an dan Hadits demikian.
Kajian ini berusaha menelusuri kembali masa sebelum as- Syafi’i dan merekonstruksi gambaran tentang bagaimana pendekatan yang dipakai oleh madzhab yang paling ‘lama’ ( as- Syafi’i) dianatara madzhab – madzhab ‘lama’ lainnya,yakni madzhab Madinah terhadap masalah – masalah penerapan Al-Qur’an sebagai hukum ( hal 7).
Dalam buku ini dikatakan bahwa Imam Malik dalam Muwattha’nya sangat mengunggulkan otoritas ‘amal ahl-Madinah sebagai satu-satunya rujukan tunggal bagi seluruh pengetahuan islam, tak terkecuali dalam bidang hukum. Madinah dalam pendapat Malik adalah tempat atau “ kota rasul”, tempat paling utama, pertama dan sentral dimana wahyu islam dan keterlibatan tuhan diejawantahkan secara praktis. Maka pengetahuan Madinah, yang notabene terefleksikan dalam praktik nyata (‘amal) penduduknya niscaya diunggulkan dari pengetahuan siapa dan berasal dari daerah teritorial manapun. ( hlm xvii)  Josep Schacht dalam konteks ini menyatakan bahwa justru di Madinah-lah tema tentang sunnah yang terpelihara melalui tradisi daripada melalui hadits ( hal 7).
Kajian yang memfokuskan pada unsur Al- Qur’an secara khusus yang terdpat dalam kitab Muwattha’ Malik ini dibagi dalam tiga bagian pertama buku ini memberikan penjelasan tentang latar belakang konteks Madinah secara umum. Setting ke-Madinah-an ini memiliki signifikansi penting untuk meletakkan magnum opusnya tersebut yakni Muwattha’, serta bagaimana hubungan antara terma sunnah ( tradisi ) dan hadits sebagai sumber hukum islam. Dikatakan Dutton, bahwa seringnya Imam Malik mengutip hadits dan pendapat – pendapat dari sumber – sumber, menunjukkan penghargaannya yang cukup tinggi terhadap mereka sebagai representasi dan rujukan dari tradisi pengetahuan Madinah serta kepercayaanya yang tinggi terhadap tradisi kota tersebut.
Karena bagi Malik, sunnah tidak melulu apa saja yang terdokumentasikan dalam hadits ( dalam hal ini tentunya hadits yang berkategori shahih), tetapi ‘amal ( tradisi ) yang dipraktikkan pendudukan Madinah secara terus menerus, maka di dalam Muwattha’, sebagaimana kita lihat, bukan saja berisi teks – teks hadits rasul yang established, tetapi juga, bahkan lebih banyak praktik – praktik penduduk Madinah, lebih dari itu, teks- teks hadits Muwattha’ juga sebatas yang berkesesuaian denga ‘amal.
Peranan penting yang dimiliki Madinah disebabkan oleh adanya; pertama,  karena Madinah banyak memiliki ulama dan kedua, karena Madinah memiliki keterkaitan historis dengan nabi dan para sahabat, khususnya al-Khulafa ar-Rasydin, kota ini juga memiliki akses yang lebih luas terhadap pemikiran – pemikiran dan perkembangan – perkembangan intelektual di wilayah muslim lainya, daripada ulama yang berada di setiap pusat pengetahuan lainaya. Ini dikuatkan dengan komentar Abd’Allah, bahwa Malik sangat bergantung pada konsensus mereka melebihi 90 persen dari masanya, yang hal ini juga mengindikasikan sebuah kontinuitas yang berlangsung lama antara fikih “ tujuh fuqaha dan fikih Imam Malik ( hal 21-23).     
Adapun bagian kedua buku ini berisikan sejauh mana unsur – unsur Al-Qur’an yang terdapat dalam kitab Muwattha’ tersebut. Bab ini juga maencakup penjelasan tentang sisi tekstual dari Al-Qur’an, aspek – aspek yang lebih bersipat teknis dari penerpan. Malik terhadap Al-Qur’an dalam kitab tersebut, walaupun sering bertentangan dengan kontekstal tradisi.  masih dalam bab yang sama, Dutton juga amenjelaskan tentang hubungan penting antara tradisi pada satu sisi dan kontribusi Dinasti Umayyah terhadap perkembangan yang lebih bersipat  kronologis, yakni arti penting naskh dan arti penting asbab an- nuzul dalam penafsiran al-Qur’an. ( hal 8).
Ditegaskan bahwa dalam kitab Muwattha’ terdapat banyak rujukan dari Al-Qur’an, baik secara implisit maupun ekplisit. Kebanyakan rujukan ini berkaitan dengan tafsir terhadap masing – masing kata, atau kalimat dan terhadap juga beberapa bagian berkaitan dengan Al-Qur’an secara umum dan berkaitan secara khusus. Dengan bagaimana ia harus diamalkan dalam ritual – ritual ibadah formal seperti salat, diaman bacaan Al-Qur’an menjadi sebuah unsur esensial (hal 137).
Dari seluruh teks nash dalam Al-Qur’an kemungkinan tidak satu pun yang dipandang lebih terperinci dan jelas, dari ayat – ayat tentang warisan, dan metode penafsiran Malik yang menunjukkan keterkaitan antara Al-Qur’an dan hukum fikih, tidak terilustrasikan dengan baik kecuali pada bagian warisan.
Perkembangan kronologis ini memunculkan sebuah ‘ pelapisan’ yang definitif terhadap hukum – hukum yang terdpat dalam kitab Muwattha’ yang terepresikan dalam penggolongan ini dalam masing – masing bab dan beragam perbedaan antara term- term sunnah dan konsep amr Malik. Dikatakan bahwa yang pertama menunjukkan hukum – hukum yang berasal dari masa nabi dan yang kedua menunjukkan hukum – hukum yang berisi signifikansi ijtihad.
Adapun bagian ketiga bab ini berisikan sejumlah kesimpulan dimana aksioma yang diterima secara umum, yakni bahwa hukum islam didasarkan pada dua sumber berupa Al-Qur’an dan as-sunnah.
Dari contoh –contoh dalam bab ini akan tampak bahwa Malik dan bahkan ulama pada umumnya, telah menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar utama hukum islam yang disempurnakan, pertama sunnah dan kedua ijtihad generasi selanjutnya. Hal ini dengan jelas ditunjukkan oleh fakta – fakta bahwa pokok persoalan dari hukum islam sepenuhnya adalah persoalan formulasi Al-Qur’an itu sendiri, yang sebaliknya menjelaskan uniformitas mengagumkan dari infrastruktur  hukum islam di samping perbedaan – perbedaan doktrin yang ada; perdebatan – perdebatan dan pertentangan – pertentangan yang terjadi lebih berhubungan dengan hal – hal yang mendetail ( Furu’ Iyyah-penj) daripada mengenai konsep – konsep dasarnya ( hal 331-332).
Adapaun kesimpulan – kesimpulan utama yang dapat ditarik dari kajian ini adalah sebagai berikut:
Dalam kitab Muwattha’ terdapat banyak sekali kumpulan materi Al-Qur’an yang dinyatakan secara jelas, tetapi sebagain besar dinyatakan secara tidak langsung dan taken for granted.
Unsur Al-Qur’an merupakan sebah bagian integral dari hukum islam awal sebagimana ditunjukkan dalam kita Muwattha’ dan menjadi dalil pengesah yang dibelakangan baginya.
Dalam term – term penerapanya, Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari sunnah; tetapi al-Quran menjadi motor bagi sunnah, dan sunnah menjadi pengejawantahan dari Al-Qur’an.
Sunnah ini lebih diketahui ( ( bagi ulama Madinah ) dari ‘amal ketimbang hadits; begitu juga, ketika terdapat sebuah penafsiran terhadap teks al- Qur’an dan hadits, maka penafsiran ini lebih disandarkan pada latar belakang ‘amal dari pada semata – mata teks.
Dengan demikian hadits lebih memiliki peran ilustratif daripada otoritatif dan pemahaman yang sebenarnya terhadap al- Qur’an dan sunnah sebagai sumber hukum islam.
‘Amal  dan Sunnah tidak sama dan keduanya tidak dapat dikumpulkan dibawah terjemahan yang sama berupa praktek atau tradisi yang hidup.
Kesimpulan tambahan, bahwa perkembangan hukum islam pada abad 1-2 H, adanya dan kecendrungan – kecendrungan terjadinya perbedaan pendapat ( Ikhtilaf )  yang timbul dari ambiguitas – ambiguitas bahasa atau kemungkinan beragamanya penafsiran. Dan sebuah kecendrungan terjadinya persamaan pendapat yang tampak dari semakin termarjinalkanya pendapat – pendapat yang sazz sebelumnya.  
Sebagai penutup dari kajian buku ini, perlu ditegaskan bahwa dalam konteks ini, ada dua hal pokok yang penting ditegaskan, yakni; pertama sejumlah penulis telah mengklaim bahwa konsep Malik tentang sunnah merupakan konsep yang sempit. Tetapi dari penjelasan diatas khususnya komentarnya terhadap al- lays Ibn Sa’ad bahwa seluruh masyarakat yang berada dibawah masyarakat Madinah – telah tampak bahwa Malik tidak hanya menjelaskan praktik sunnah di Madinah sebagai fenomena lokal yang dipertahankan dan diamalkan di Madinah, tetapi menjadikanya sebagai fenomena yang secara ideal harus diamalkan oleh seluruh muslim.
Kedua, ialah praktik yang digambarkan oleh Malik dalam beberapa had, lebih merupakan sebuah praktik’ideal’ daripada sebuah praktik aktual. Dengan kalimat lain, bahwa penyebutan Malik terhadap praktik penduduk Madinah sebagai sebuah pilihan diantara sekian pilihan menunjukkan bahwa praktik ini tidak hanya merupakan konstruk teoritis dan ideal, tetapi lebih merupakan respon praktis terhadap situasi –situasi faktual. Sifat kepraktisan ini terefleksikan dari respon – respon dan kesadaran Imam Malik terhadap praktik – praktik yang ada lainnya, jika merupakan konstruk ideal, maka seseorang akan menganggapnya sebagai pendapat, bukan pilihan saja.
Sebagaimana ditegaskan dalam pendahuluan buku ini, bahwa tidak mengherankan jika dalam konteks Muwattha’, agak berseberangan dengan pendapat paradigma Syafi’i. Malik perpandangan dengan kebenaran tidak dilihat sejaumana kesesuaianya dengan bunyi literal teks (Al-Qur’an dan terutama hadits), namun seberapa besar tingkat muwafaqoh -nya dengan amal ( tradisi ), atau ‘ tradisi yang hidup’. ( istilah Josep Schacht ) yang dipraktekkan secara kontinue oleh penduduk Madinah.
Dalam perspektik pembentukan dan perkembangan hukum islam. Karya Yassin ini telah ikut menjelaskan secara jernih dan utuh tentang proses penerapan al- Qur’an sebagai sumber hukum pokok, klarifikasi antara term sunnah dan hadits yang memiliki pengaruh penting dalam perkembangan hukum, dan metode yang dipakai oleh Imam Malik dalam kitab Muwattha’ –nya beserta  proses penafsirannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar