Rabu, 22 Maret 2017

REKONSTRUKSI FIKIH AL-SYA’RANI: Dari Nalar Idealistik ke Realistik


REKONSTRUKSI FIKIH AL-SYA’RANI:

Dari Nalar Idealistik ke Realistik





Oleh : Miftahul Huda*





Sebagai seorang faqih terkemuka, al-Sya”rani (1492-1565) amat risau melihat mainstream pemikiran syariat pada jamannya yang menurutnya tidak lagi berorientasi pada fakta dan kebutuhan umat. Hal itu antara lain terlihat pada hal-hal sebagai berikut:

Pertama, pendekatan dan sistem episteme[1] yang digunakan para faqīh pada umumnya bersifat tunggal dan cenderung dianggap baku, padahal variasi  pemahaman terhadap syariat tidak hanya terjadi belakangan, melainkan sejak jaman sahabat, bahkan ketika Nabi masih hidup bersama mereka.

Kedua, pengembangan konsep hukum sepenuhnya bertolak dari paradigma merubah pernyataan teks syariat menjadi kenyataaan sosial melalui pendekatan yang umumnya bersifat doktriner dan ideologis.  Sehingga konsep hukum sangat normatif, kurang memperhitungkan fakta, kepentingan dan implikasinya bagi  kehidupan umat.

Ketiga, otoritas penetapan hukum bagi setiap orang diserahkan sepenuhnya kepada para mujtahid (tertentu) hingga dalam hal teknis yang sekecil-kecilnya. Oleh karena itu hukum sepenuhnya dipahami berdasarkan perspektif para ulama tersebut dengan segala kelebihan dan keterbatasannya secara intelektual, visi sosial, motif pribadi serta subyektivitas lainnya yang secara alamiah melekat pada diri mereka. Dalam hal ini, masyarakat awam sebagai komponen terbesar umat, secara tidak langsung dianggap “mati-rasa” secara moral dan intelektual, seolah-olah mereka sama sekali tidak dapat membedakan antara yang benar dan salah, serta antara yang baik dan buruk bagi mereka sendiri, hingga dalam hal yang sangat elementer sekalipun.

Keempat, konsep hukum yang ada cenderung dianggap memiliki validitas mutlak, berlaku selamanya bagi semua orang di segala waktu dan situasi.



B. Pokok-pokok Ide Rekosntruksi

Menangggapi berbagai problematika tersebut al-Sya”rani berupaya memberikan orientasi baru dalam pemikiran hukum ke arah yang lebih dekat dengan tuntutan realitas kehidupan yang sesungguhnya.

Idenya tersebut kemudian dituangkan dalam empat pokok pandangannya yang meliputi: (a) Justifikasi tiga sistem episteme (b) Penggunaan prinsip pragmatisme dalam penerapan hukum, (c) Legitimasi perubahan hukum sejalan dengan perkembangan situasi (d) Pandangannya tentang keharusan idjtihād dan larangan taqlīd dalam pengamalan hukum syariat.

Keempat pokok pandangannya tersebut akan dibahas secara lebih luas pada pembahasan berikut:

A. Justifikasi Tiga Sistem Episteme

Al-Sya”rani menolak pandangan bahwa hukum syariat hanya boleh dipahami dengan pendekatan atau sistem episteme tertentu. Menurutnya pada tahap konseptualisasi (idjtihād istinbāţi) semua sistem episteme yang berkembang dalam tradisi keagamaan umat Islam harus diterima. Dia tidak melihat argumen yang benar-benar meyakinkan, baik teks keagamaan, elaborasi rasional maupun bukti-bukti historis, yang memberikan legitimasi atas keunggulan mutlak sistem episteme tertentu terhadap lainnya, hingga harus diterapkan secara mutlak.

1. Jalan Menuju Pengetahuan tentang Syariat

al-Sya”rani  dalam al-Mīzān al-Kubrā telah mengemukakan pandangannya bahwa pengetahuan tentang hukum ajaran syariat bisa diperoleh melalui tiga cara yang bersifat hierarkis, sesuai dengan kapasitas masing-masing individu dari tingkatan paling bawah sebagai berikut:[2]

a.      Al-Taslīm wa al-Īmān

Secara etimologis istilah al-taslīm berasal dari kata sallama yang artinya menyerah, patuh atau menundukkan diri. Sedangkan al-īmān berasal dari akar kata āmana yang artinya menerima atau mempercayai dengan perasaan aman, tenteram dan kedamaian hati. Jadi, arti al-taslīm wa al-īmān adalah menerima dan   mempercayai informasi atau pandangan yang disampaikan orang lain atau diserap dari tradisi yang hidup dalam lingkungan masyarakat.[3] Dengan kata lain, ia adalah memperoleh pengetahuan lewat tradisi atau kita sebut sebagai Nalar Tradisional.

Dalam terminologi di sini, yang dimaksud Nalar Tradisional adalah menerima pendapat yang disampaikan atau diajarkan oleh orang yang dianggap otoritatif (para rāwi hadits, imam mazhab, penulis kitab Fikih, ulama, da’i, hakim agama, guru agama atau siapa saja yang dianggap otoritatif) tanpa melakukan penyelidikan dan verifikasi lebih dahulu atas kesesuaiannya dengan dalil ataupun argumen (hudjdja) yang mendasarinya. 

Dengan demikian, penerimaan, dan pengamalan hukum syariat tidak didahului proses konfirmasi (tabayyun) atau telaah kritis atas materinya, melainkan disandarkan sepenuhnya pada kredibilitas dan otoritas figur yang meyampaikan. Istilah lain yang pengertiannya kurang lebih sama dengan taslīm adalah taqlīd[4] yaitu mengikuti orang yang dipandang memiliki kompetensi tanpa melakukan pengkajian terhadap substansinya.

Tingkatan ini adalah yang paling rendah dan berlaku bagi masyarakat awam, yakni mereka yang belum memiliki kompetensi untuk menyimpulkan sendiri materi hukum syariat dari sumber-sumbernya. Mereka harus mengikuti pendapat para imam mazhab atau ulama yang mereka percayai, tanpa terlebih dahulu melakukan evaluasi atas kesahihannya. Hal itu bukan untuk membatasi kebebasan dan kemandiriannya, namun semata-mata demi menghindari ketersesatan yang tidak disadari.[5]

b. Al-Nazar wa al-Istidlāl

Secara etimologis nazar berasal dari akar kata nazara yang artinya memandang, melihat atau memikirkan. Sedangkan istidlāl (bentuk modifikasi dari kata dalla) artinya adalah melacak untuk menemukan petunjuk (dalīl). Dalam pembahasan di sini istilah tersebut diartikan sebagai penerimaan, dan pengamalan suatu konsep hukum yang didasarkan pada kesimpulan penelitian dan analisis  sumber-sumber utama ajaran Islam yaitu al-Quran dan Sunnah serta sumber penunjang lainnya. Dengan memperhatikan karakteristik utamanya, tipe episteme ini dapat kita sebut sebagai Nalar Rasional.

Posisi nalar tipe ini satu tingkat lebih tinggi dari yang disebutkan pertama kali (al-taslīm wa al-īmān), dan berlaku bagi ulama mudjtahid dan cendekiawan yang mampu menyelami sumber (dalīl) syariat serta metode-metode analisis istinbāţ-nya, baik yang dilakukan secara individual ataupun kolektif.  Dengan kapasitas intelektual dan ilmu yang memadai mereka mampu melakukan telaah atas dalil-dalil (al-Quran, Hadits dan sumber-sumber lainnya), menilai validitas dan otentisitasnya serta melakukan istidlāl guna menemukan kesimpulan hukum yang terkandung di dalamnya.

 c. Al-Kashf wa al-‘Iyān

Ini adalah tingkatan tertinggi yang secara eksklusif hanya dapat dilakukan  para ulama tertentu (khaşş) yang benar-benar pilihan. Setelah menjalani serangkaian usaha lahir batin menuju ma’rifah, para ulama khash itu akhirnya memperoleh karunia kemampuan istimewa, karena disamping basis penguasaan dalil dan piranti metodologis yang dikuasai sebelumnya, secara spiritual mereka juga memperoleh akses langsung kepada Allah swt. dan rasul-Nya untuk mendapatkan pengetahuan syariat lewat intuisi (kashf wa al-‘iyān) dengan memperoleh ilmu ladunni. Kita dapat menyebut episteme ini sebagai Nalar Spiritual.

Dalam menangkap ajaran syariat lewat kashf atau dhawq itu,[6] mereka tidak lagi memerlukan bantuan metode penalaran atau disiplin ilmu tertentu sebagaimana yang berlaku bagi kebanyakan mudjtahid,[7] namun itu hanya berlaku khusus bagi mereka yang benar-benar berkompenten. Sedangkan para mudjtahid “pemula” yang belum mencapai tingkatan dhawq tetap harus mengikuti pendapat yang paling unggul (ardjah) berdasarkan idjitihād yang mereka lakukan.

Memang pengetahuan yang diperoleh lewat kashf secara sepintas terkadang tidak sejalan dengan pemahaman kebanyakan orang, termasuk para ulama syariat (faqīh), sehingga ilmu jenis ini bisa menimbulkan kontroversi dan fitnah di tengah masyarakat. Namun bagi mereka yang mendalami Tasawuf, hal itu merupakan sesuatu yang wajar karena memang di antara sifat yang sering terdapat pada ilmu ladunni adalah munculnya penolakan oleh rasionalitas (kebanyakan orang) dan sulitnya diterima kecuali dengan jalan taslīm, karena jalan untuk mendapatkannya memang amat sulit dilewati oleh kebanyakan orang.[8]

Ketiga jalan menuju pengetahuan tentang syariat (nalar tradisional, nalar rasional dan nalar spiritual), sekalipun berada dalam posisi yang hierarkis berdasarkan subyek hukum yang mengamalkannya, namun secara moral memiliki nilai kebenaran yang sama, karena masing-masing terkait dengan individu yang sifat dan kapasitasnya memang berbeda. Jadi perbedaannya hanya dalam kerangka teoretis berdasarkan karakteristik “segmen social” sasarannya.

Dengan mengakomodasi ketiga sistem episteme tersebut, al-Sya”rani meneguhkan pendiriannya bahwa sekalipun secara konseptual ketiganya dapat dibedakan satu sama lain, namun semuanya memiliki nilai kebenaran dan peluang yang sama untuk diterima dan diamalkan oleh segenap umat Islam  Oleh karena itu, keberadaan ketiganya tidak boleh diingkari atau ditolak, melainkan justru harus diakomodasi dan dimanfaatkan.

Dengan demikian, menurut al-Sya”rani, secara teoretik hukum Islam boleh dipahami melalui metode dan pendekatan yang manapun dari ketiga sistem episteme tersebut, asalkan dilakukan oleh mereka yang benar-benar memiliki kompetensi ber-idjtihād, disertai niat tulus untuk memahami dan mengamalkan pesan Allah swt. dengan sebaik-baiknya.

Dengan konsep yang sangat mirip seorang cendekiawan  kontemporer, al-Djābiri, memetakan sistem episteme yang berkembang di dunia Islam dalam tiga kategori sebagai berikut: 

Pertama, sistem pengetahuan tekstual atau linguistik (nizām al-ma’ārif al-bayāni) yaitu sistem pengetahuan yang pada dasarnya menjadikan teks atau tradisi sebagai rujukan utama. Sistem pengetahuan ini dalam perkembangan sejarahnya mengkristal menjadi ilmu-ilmu diskursif murni khas dunia Islam yang meliputi gramatika dan sastra Arab (Nahw dan Balāgha), hukum dan teori-teorinya (Fiqh dan Uşūl al-Fiqh), Teologi (Kalām) serta ilmu-ilmu tentang al-Quran dan Hadits (‘Ulūm al-Qurān dan ‘Ulūm al-Hadīth).[9] Meskipun masing-masing memiliki ciri khas sendiri dan di dalamnya juga terjadi polarisasi ke dalam mazhab yang berbeda-beda, namun semua ilmu ini memiliki ciri umum yang sama, yaitu menjadikan teks sebagai rujukan epistemologis yang paling utama.

Kedua, sistem pengetahuan demonstratif (nizām al-ma’ārif al-burhāni)[10] yaitu sistem pengetahuan yang mengembangkan metode dan pandangan dunianya dengan mengandalkan kemampuan akal manusia dan pada prinsipnya tanpa bersandar pada kitab suci. Pendukung sistem ini antara lain para filosof peripatetik muslim yang mengembangkan sistem filsafat berdasarkan tradisi filsafat Yunani kuno, khususnya Aristotelianisme.[11]

Ketiga, sistem pengetahuan gnostik (nizām al-ma’ārif al-‘irfāni) yaitu sistem pengetahuan yang pada intinya mengklaim adanya ilmu yang lebih tinggi tingkatannya, yang hanya dapat diperoleh melalui intuisi (kashf atau ilhām). Termasuk dalam kategori ini adalah sistem pengetahuan yang dikembangkan para tokoh sufi dan kaum Syiah (baik Syiah Imamiyah maupun Syiah Isma’iliyah) serta para filosof iluminasionis.[12]



2. Hubungan antara Tradisi, Rasio dan Intuisi

Dalam bingkai kajian Islam, terdapat tiga bentuk sikap fundamental terkait dengan posisi pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi (ilhām atau kashf); Pertama, sikap menolak sepenuhnya keberadaan kashf, Kedua, sikap menerima sepenuhnya kashf sebagai argumen (hudjdja) hukum syariat sebagai dalil  independen bahkan tingkat validitasya lebih tinggi dari pada otoritas teks Ketiga, sikap moderat, yakni menerima kashf dengan syarat isinya tidak bertentangan dengan ketentuan yang diketahui lewat tradisi (naşş) dan penalaran (istidlāl).[13] 

Menurut para sufi, ilmu batin yang benar senantiasa bersandar pada syariat. Ilmu batin merupakan ilmu dhawqy[14] yang pokok-pokok isinya sesungguhnya telah tercakup dalam berbagai ketentuan syariat, baik secara tersurat (manţūq) maupun tersirat (mafhūm). Ketika seorang hamba, mengamalkan al-Kitab dan Sunnah, mematuhi aturan syariat dan menghadapkan hatinya (tawadjdjuh) kepada Allah swt. serta meniti jalan ke arah dhawq menuju hadirat-Nya, maka terbukalah baginya kemungkinan untuk mendapatkan karunia ilmu semacam itu.

Al-Sarrādj al-Ţūsi (w. 988) dalam karyanya, al-Luma’, menjelaskan bahwa sesungguhnya ilmu syariat itu hanya satu, namun di dalamnya mengandung dua elemen, riwāya dan dirāya. Jika seseorang mampu mengamalkan ajaran syariat dengan menggabungkan keduanya, maka model seperti itulah memang yang ideal, yakni ilmu yang mampu mengantar kepada kesempurnaan dalam menjalankan amal lahir dan amal batin sekaligus.[15]

Shari’a adalah ibarat susu sedangkan haqīqa adalah kejunya. Orang tidak akan mendapatkan haqīqa yang sesungguhnya jika tidak mengamalkan shari’a terlebih dahulu.  Haqīqa juga mencakup pengertian bahwa setiap orang seharusnya ikhlas (mukhliş) dalam setiap tindakan yang dilakukannya. Ibn ’Aţā‘illāh al-Iskandari (w. 1309) menyatakan, ”Semua tindakan sesungguhnya hanya sekedar bentuk (formalitas) semata, sedang esensinya adalah ikhlas”.[16]

Haqīqa merupakan buah dari (pengamalan) sharī’a. Dalam karyanya yang lain, al-Ţabaqāt al-Kubrā, al-Sya”rani menjelaskan bahwa ilmu batin adalah ilmu yang memancar dalam hati para wali ketika kehidupan mereka penuh disinari dengan pengamalan ajaran al-Kitab dan Sunnah. Sesungguhnya amalan-amalan taşawwuf merupakan kelanjutan dari amalan sharī’a.[17]  Amalan lahiriah berupa tindakan fisik, baik yang terdiri dari ibadah ritual (seperti bersuci, shalat, puasa, haji dan djihād), maupun berbagai ketentuan hukum syariat dalam lapangan sosial (seperti hudūd, ţalāq, ‘itāq, buyū’, farā’id, dan qişāş). Sedangkan amal batin adalah berupa gerak hati seperti pembenaran, imān, yaqīn, jujur, ikhlas, ma’rifa, mahabba, ridā, dhikr, shukr dan sebagainya.[18]

Dalam Risāla-nya al-Qushairi menjelaskan kaitan antara sharī’a dan haqīqa sebagai berikut:

Sharī’a adalah perintah untuk memenuhi aspek kehambaan sedangkan haqīqa adalah mushāhada (penyaksian) terhadap aspek ketuhanan. Setiap (pengamalan ajaran) sharī’a yang tidak ditopang oleh (penghayatan yang memadai terhadap) haqīqa tidak akan diterima (dihadapan Allah swt.). Dan (sebaliknya) setiap penghayatan haqīqa yang tidak diikat dengan sharī’a tidak akan mencapai tujuannya.

Sharī’a datang untuk menyampaikan perintah kepada makhluk sedangkan haqīqa mengabarkan tentang pengaturan Tuhan. Sharī’a adalah hendaknya anda beribadah sedang haqīqa adalah ketika kamu menyaksikan. Sharī’a adalah menunaikan apa yang diperintahkan sedang haqīqa adalah melihat apa yang telah ditetapkan dan ditakdirkan serta apa yang dirahasiakan dan ditampakkan (oleh-Nya).[19]



Karena secara substansial antara sharī’a dan haqīqa tidak terpisahkan, maka kashf yang otentik dan sahih selamanya tidak akan pernah bertentangan dengan ketentuan-ketentuan sharī’a.[20] Pandangan al-Qushairi tersebut, yang juga disetujui al-Sya”rani, menegaskan pentingnya mengindahkan semua aturan sharī’a jika seseorang benar-benar ingin mendapatkan kebenaran yang tertinggi.  Seberapa pun tingginya “ilmu” haqīqa dapat dicapai seseorang, hal itu sama sekali tidak akan pernah memberikan izin untuk mengabaikan atau memandang rendah sharī’a.

Para sufi bahkan sangat menekankan agar semua aktivitas mudjāhada mereka hendaknya tetap dalam ikatan ketentuan sharī’a. Abu Yazid al-Bistami (w. 874), seorang tokoh besar kaum sufi generasi awal, dengan tegas menyatakan, “Seandainya kalian melihat seseorang yang memiliki karāma hingga dapat terbang di udara, maka janganlah tertipu olehnya sampai kalian benar-benar mengetahui apa yang dilakukan terhadap perintah, larangan, batasan-batasan (hudūd) sharī’a dan (kalian juga memastikan) kesungguhannya dalam mengamalkan ajaran sharī’a.[21] Al-Qushairi menegaskan, “Setiap (amalan) sharī’a yang tidak ditopang dengan haqīqa tidak akan diterima. Dan begitu pula setiap (ilmu) haqīqa yang tidak diikat dengan ketentuan sharī’a (juga) tidak akan diterima.”.[22]

Dengan demikian ma’rifa sufi tidak bisa diperoleh kecuali lewat kejujuran dalam bermuamalah, kesucian diri dari segala akhlak yang hina serta kesungguhan menghadapkan hati (tawadjdjuh) kepada Allah swt.  Semua itu tidak akan bisa dicapai tanpa usaha yang sungguh-sungguh untuk memutuskan diri secara mutlak dari keinginan menuruti bisikan nafsu dan dorongan jahatnya. Hal itu berarti pula bahwa sesungguhnya ma’rifa juga bertujuan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (al-akhlāq al-karīma).[23]

Oleh karena itu, agar orang tidak terjerumus dalam kesesatan akibat pengetahuan yang (dipercayai) datang lewat kashf, al-Sya”rani menarik sikap tegas bahwa sekalipun (dalam pandangan subyektif kaum sufi) kashf memiliki tingkatan validitas yang lebih tinggi, namun demi menjamin kesesuaiannya dengan ketentuan sharī’a, semua materi pengetahuan yang diperoleh lewat kashf tersebut harus dibandingkan (dan dikonfirmasikan) terlebih dahulu dengan (makna zāhir) teks al-Kitab dan Sunnah.[24]  Jika sejalan dengannya, maka bisa diamalkan dan jika tidak sejalan maka haram untuk diamalkan. Sikap tersebut merupakan bentuk perlawanan al-Sya”rani terhadap sejumlah tokoh sufi yang saat itu mengibarkan klaim superioritas mutlak haqīqa (tasawuf) terhadap sharī’a (Fikih). Klaim-klaim ekstrem semacam itu akhirnya mendorong mereka menganggap remeh dan berani melanggar berbagai aturan sharī’a secara terang-terangan, yang kemudian diikuti secara luas oleh pengikut mereka.

Keberadaan kashf sebagai bagian dari sistem episteme keagamaan yang berkembang di lingkungan umat Islam memang tidak dapat diingkari, karena disamping elemen-elemen dasarnya telah memiliki sejarah panjang sejak masa-masa awal sejarah Islam, ia juga telah memberikan sumbangan yang amat besar bagi perkembangan pemikiran kaum muslimin.  Akan tetapi, menurut al-Sya”rani, karena sifatnya yang amat pribadi dan subyektif serta potensinya yang besar untuk bisa disalahgunakan, sebagaimana yang disaksikan oleh al-Sya”rani pada waktu itu, maka pengetahuan yang diperoleh lewat kashf haruslah senantiasa  “dipagari” dan disaring terlebih dahulu dengan batasan ketentuan zahir syariat agar penerapannya tidak keluar dari situ.

B. Pragmatisme dalam Penerapan Hukum

Dengan mengkaji konsep mīzān-nya lebih lanjut, secara implisit dapat diidentifikasi lagi butir lain dari pemikiran al-Sya”rani, yakni diintrodusirnya semacam prinsip Pragmatisme[25] dalam menentukan pilihan konsep hukum yang hendak diaplikasikan. Berdasarkan prinsip tersebut, untuk menilai sebuah konsep hukum yang hendak diamalkan atau diterapkan dalam kehidupan masyarakat, terlebih dahulu harus melalui dua tahapan penilaian yang terdiri dari:[26]

Pertama, penilaian sisi teoretik, yakni penilaian validitas suatu konsep hukum berdasarkan kesesuaiannya dengan sumber-sumber (dalīl) dan prinsip-prinsip umum hukum syariat.  Tahap ini dapat pula disebut sebagai tahapan verifikasi dalil, yakni langkah-langkah konfirmatif apakah suatu konsep hukum memiliki argumen yang memadai dari sudut kajian teoretik syariat, tanpa melihat metode analisa dan pola pendekatan yang digunakan dalam mengambil kesimpulan.

Dalam konteks ini, al-Sya”rani menegaskan pendiriannya yang berbeda dengan kebanyakan fuqahā’. Menurutnya, kebenaran Fikih pada level ini bersifat pluralistik dan berjenjang (terdiri dari sejumlah alternatif berdasarkan prinsip takhfīf dan tashdīd), bersifat teoretik (baru pada taraf konstruksi intelektual dan belum mengikat siapapun untuk mengamalkannya).

Jika mengacu pada konseptualisasi Terrence W Tilley,[27] maka pemikiran al-Sya”rani pada level ini sebenarnya bukan lagi pluralisme, namun telah masuk dalam kategori paralelisme, yaitu pandangan bahwa semua aliran pemikiran dan mazhab, sekalipun berbeda-beda, berliku-liku dan terlihat saling bertentangan, namun sebenarnya mempunyai titik-titik kesejajaran yang memungkinkan untuk bisa saling untuk bertemu pada batas akhir peziarahan manusia.

Guna memperjelas pandangannya tersebut, al-Sya”rani mengibaratkan posisi mazhab hukum yang satu terhadap lainnya adalah sebagaimana sederetan anak panah yang semuanya berada pada posisi sejajar menuju arah sasaran yang sama.[28] Atau ibarat anyaman jaring jala penangkap ikan yang sekalipun pada bagian pinggirnya mencakup permukaan yang cukup luas, namun pada bagian ujung semuanya terkait dengan poros yang sama.[29] Dia juga menjelaskan idenya itu dengan perumpamaan-perumpamaan yang lain.[30]  Dengan demikian kedudukan semua aliran atau mazhab hukum pada dasarnya adalah sejajar, tidak ada yang secara mutlak lebih unggul (apalagi lebih benar) dari pada yang lain, karena masing-masing mempunyai kelebihan sendiri pada sisi tertentu dan juga mengandungi kelemahan pada sisi yang lain jika dikaitkan dengan situasi tertentu.

Kedua, penilaian aspek aplikatif atau tahapan implementasi, yakni dengan melihat kesesuaian suatu konsep hukum dengan kondisi orang di mana hukum itu hendak diterapkan. Dari berbagai pandangan Fikih yang semuanya dianggap benar pada level pertama (kebenaran teoretik), pada akhirnya yang mengikat dan wajib diamalkan oleh setiap muslim hanyalah satu yaitu yang paling sesuai dengan posisi, status dan kondisinya masing-masing.  

Dari sini tampak bahwa sekalipun secara teoretik hukum syariat itu bersifat universal, namun pada tingkat aplikasinya, sesungguhnya bersifat unik sesuai dengan keunikan subyek hukum dan kondisi yang melingkupinya. Tentu saja hal ini tetap disertai pentingnya meneguhkan keyakinan dari setiap individu, bahwa mazhab hukum lain yang tidak dia amalkan juga berada dalam jalan kebenaran dan   pada suatu saat mungkin akan mengikat dirinya pada waktu dan situasi yang lain.

Pada level kebenaran aplikatif inilah al-Sya”rani baru menerapkan prinsip “tardjih versinya sendiri, sehingga sekalipun semua mazhab dianggap benar (dalam level teoretik), namun pada tingkat aplikasiya hanya ada satu saja yang “paling tepat” (bukan “paling benar”, karena semuanya telah dianggap benar) dan wajib diamalkan oleh masing-masing orang. 

Pada level pertama, hukum bisa disimpulkan melalui semua pendekatan,     baik secara tekstual (bayānī), rasional (burhānī) maupun spiritual  (‘irfānī) sesuai “pilihan” masing-masing mudjtahid. Sedangkan pada level kedua pertimbangannya adalah pragmatis oleh orang yang bersangkutan atau oleh muftī dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat dan orang yang memerlukan fatwanya.

Dengan demikian proses penerapan hukum, jika diurutkan dari tahapan penemuannya (istinbāţ) adalah sebagai berikut: (a) Istinbāţ yang menghasilkan konsep-konsep hukum (Fikih) yang beragam dan semuanya dianggap benar. (b) Stratifikasi konsep hukum dalam kerangka berpikir takhfīf dan tashdīd. (c) Verifikasi dan evaluasi situasi subyek hukum yang hendak mengamalkan. (d) Menetapkan alternatif konsep hukum yang paling relevan dengan kondisinya. (e) Penerapan (pengamalan) hukum.

Deskripsi di atas juga mengisyaratkan bahwa kewenangan untuk memilih konsep hukum yang berlaku bagi setiap individu, tidak sepenuhnya menjadi otoritas para mudjtahid, termasuk yang de facto diakui sebagai panutan masyarakat (imam mazhab).  Pada tingkat tertentu wewenang tersebut justru berada di tangan setiap individu yang hendak mengamalkan. Dalam hal ini, status para mudjtahid tidak lebih sebagai “penemu” konsep-konsep hukum yang kemudian menawarkan temuannya itu kepada publik disertai argumen-argumennya. Pada akhirnya masyarakat sendiri yang menentukan apakah akan mengikuti mudjtahid yang satu atau lainnya. Setiap individu diakui hak dan tanggung jawabnya dalam memilih konsep hukum yang paling proporsional bagi dirinya. Oleh karena itu, konsep hukum hasil idjtihād para ulama dengan semua variannya merupakan alternatif yang selalu terbuka sepanjang sejarah untuk dipilih atau tidak dipilih.

Dalam lapangan sosial yang luas, pandangan seperti itu akan dapat turut mendorong proses pemekaran tradisi keberagamaan dan pola bermazhab yang lebih “cair”, di mana keterikatan seorang individu (muqallid) terhadap imam mazhab atau ulama panutannya tidak terjadi secara apriori, primordial dan tetap selamanya, melainkan sebatas relevansinya dengan kondisi dan dinamika  religiusitasnya. Oleh karena itu, al-Sya”rani mewanti-wanti para ulama yang dipandang memiliki otoritas untuk berfatwa, agar setiap fatwa yang mereka keluarkan tidak hanya didasarkan pada keinginan (atau mazhab) sang muftī, melainkan lebih pada relevansinya dengan situasi dan kebutuhan nyata dari orang-orang yang memerlukan fatwanya itu (mustaftī). Jika tidak demikian, maka fatwa-fatwa mereka tidak akan membantu umat keluar dari berbagai problema yang mereka hadapi, namun sebaliknya akan menimbulkan persoalan baru, kesulitan dan penderitaan yang sesungguhnya tidak perlu terjadi.[31]

Ide al-Sya”rani untuk membagi seluruh ketentuan hukum ke dalam tingkatan-tingkatan (martaba) juga merupakan aspek penting dari pemikiranya. Hal itu karena para ulama pada umumnya berpandangan bahwa pada dasarnya hanya ada satu hukum “terbaik” yang disimpulkan sekali untuk selamanya dan berlaku secara general bagi setiap mukallaf.[32] Namun demikian al-Sya”rani juga menolak pandangan ulama yang sekalipun mengakui kebenaran semua ulama mudjtahid (tipe kelompok muşawwiba yaitu mereka yang membenarkan pendapat semua ulama mudjtahid), tetapi mereka berhenti pada sikap pembenaran itu hingga terkesan membiarkan setiap orang memilih sendiri pandangan hukum yang hendak diamalkan. Untuk mencegah terjadinya “anarki” dalam pengamalan hukum, menurut al-Sya”rani, sikap pembenaran semua mazhab hukum itu harus disertai suatu guideline sebagai pedoman bagi publik dalam memilih konsep hukum yang hendak mereka amalkan.

Dengan pembagian kebenaran hukum Fikih ke dalam dua level tersebut, al-Sya”rani telah mengakomodasi dua kepentingan strategis umat Islam ke dalam pemikirannya, yakni di satu sisi akan memberikan dorongan dan peluang yang lebih luas bagi pengembangan teori dan metodologi hukum di masa depan, apapun nama dan pola pendekatannya, guna menghasilkan konsep-konsep hukum alternatif (pada kebenaran level pertama atau kebenaran teoretik).

Sementara pada sisi lain, dia juga menggariskan agar penerapan setiap aturan hukum benar-benar memperhatikan relevansinya dengan kenyataan, tantangan dan kebutuhan jamannya (pada kebenaran level kedua atau kebenaran aplikatif). Hal itu menunjukkan bahwa dalam penerapan setiap aturan hukum syariat, al-Sya”rani sangat menekankan pentingnya pertimbangan sosiologis dan psikologis agar penerapan hukum bisa mengarah kepada pencapaian tujuan-tujuan idealnya (maqāşid al-ahkām).

Pemikiran al-Sya”rani tersebut akan semakin menemukan urgensinya di masa depan ketika kaum muslimin menghadapi berbagai persoalan kemanusiaan yang kian pelik. Tidak dapat disangkal bahwa nantinya, berbagai pertanyaan ilmiah mengenai perlunya tetap berpegang pada ajaran keagamaan (wahyu) akan menambah pertanyaan-pertanyaan lama yang belum sepenuhnya terjawab secara memuaskan. Sedangkan persoalan di berbagai bidang kehidupan masyarakat yang menuntut jawaban juga akan semakin banyak.

Kemampuan untuk memberikan jawaban yang tepat terhadap setiap dinamika permasalahan tersebut mutlak diperlukan demi tetap tegaknya wibawa hukum Islam dan peradaban Islam secara keseluruhan, karena setiap peradaban akan bisa tetap berdiri tegak sampai ia menghabiskan kekuatan internalnya untuk menawarkan jawaban terhadap pertanyaan dan memenuhi kebutuhan umat manusia yang terus berkembang.  Ketika ia telah menghabiskan kekuatan alamiahnya dan tidak lagi mampu memberikan jawaban yang memadai terhadap pertanyaan-pertanyaan baru, maka secara perlahan kegembiraan dan kebanggaan pengikut peradaban itu akan lenyap dan peradaban itu segera mengalami proses marginalisasi dari arus utama kehidupan menuju kepunahan dan untuk selanjutnya menjadi penghuni museum sejarah.

 


C.  Perubahan Hukum Mengikuti Perkembangan Situasi


Persoalan apakah hukum Islam tetap selamanya atau bisa berubah sesuai perkembangan situasi, merupakan isu yang telah lama diperdebatkan para ilmuwan, termasuk para pakar dari Barat.  Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa konsep Islam mengenai hukum pada dasarnya bersifat absolut dan otoritarian, sehingga tidak dapat diubah selamanya. Sebagai implikasinya, pikiran bebas manusia tidak dibenarkan mengambil peran yang menentukan dalam penyusunan konsep-konsep hukum (law making). Pandangan ini didasarkan pada dua argumen, pertama hukum Islam bersumber dari wahyu yang merupakan firman (dan kehendak) Tuhan yang disampaikan melalui Nabi. Seluruh ayat al-Quran dan Sunnah adalah sakral, final, abadi dan karenanya bersifat absolut dan tidak berubah. Dengan perspektif seperti ini sejumlah pakar melihat hukum Islam sehingga mereka memandangya sebagai hukum Tuhan (divine law).[33] 

Sejumlah pakar lain menolak pandangan tersebut dengan alasan bahwa dalam sumber pokok yang diwahyukan tersebut, penjelasan yang secara ketat menunjuk materi hukum hanya sedikit sekali jumlahnya dibanding seluruh ayat al-Quran dan teks Hadits, sehingga secara metodologis keberadaannya justru lebih dapat “diabaikan”.  Sebagian besar materi dalam dua sumber utama tersebut bukan mengenai hukum melainkan ajaran-ajaran fundamental keagamaan dan moral. Oleh karena itu, konsep-konsep hukum yang berkembang dalam tradisi keagamaan umat Islam secara umum tidak dapat dianggap sebagai representasi sepenuhnya dari wahyu yang bersifat sakral tersebut.[34]

Argumen kedua, hukum Islam tidak dapat diidentikkan dengan “hukum” dalam maknanya yang sempurna melainkan sebatas sebagai sistem aturan moral.  Argumen ini sesungguhnya hanya terkait dengan masalah definisi, karena istilah “hukum” dan “moral/etika” banyak digunakan dalam percakapan sehari-hari maupun dalam kajian akademik, sehingga wajar jika sering timbul kerancuan pemahaman. Oleh karena itu, setiap pembahasan mengenai hukum sebaiknya diawali terlebih dahulu dengan pembedaan yang jelas dan tegas antara keduanya.

Sebenarnya arah dari argumen yang memposisikan hukum Islam sebagai hukum moral adalah untuk menolak pendekatan para ahli hukum yang menganggap hukum Islam sebagai hukum dalam pengertian modern. Sedang tujuan lainnya adalah untuk mendukung pandangan bahwa dengan posisinya sebagai aturan moral itu maka hukum Islam tidak dapat diubah melalui proses legislasi. Snouck Hurgronye, sejauh ini adalah sarjana pertama yang mengembangkan argumen ini.[35] Dengan tegas dia (Hurgronye) mendefinisikan hukum Islam sebagai “Doktrin tentang kewajiban-kewajiban (Doctrine of Duties).[36]

Di antara ulama yang telah membahas masalah ini (soal perubahan aturan hukum sejalan dengan perkembangan situasi) adalah Ibn al-Qayyim (w. 751/1350). Dalam karyanya, I’lām al-Muwāqi’īn dia memulai pembahasan mengenai masalah tersebut dengan penjelasan sbb:

Bab ini mengandung manfaat yang besar karena ketidaktahuan akan hal ini akan mengakibatkan kesalahan-kesalahan dalam pemahaman sharī’a dan menimbulkan kesulitan, keberatan dan beban yang sesungguhya tidak perlu terjadi. Tujuan tertinggi sharī’a adalah kemaslahatan bagi para hamba Allah di dunia dan di akhirat. Secara keseluruhan, sharī’a adalah berasaskan keadilan, rahmat, maşlaha dan hikma bagi semua.

Segala hal yang telah keluar dari asas keadilan menuju kezaliman, dari rahmat (prinsip kasih sayang) menuju kebalikannya, dari maşlaha menuju kerusakan dan dari hikma menuju kesiasiaan, itu semua bukan merupakan bagian dari ajaran sharī’a meskipun di dalamnya mungkin telah dimasukkan unsur-unsur ta’wīl.[37]



Keragaman mazhab yang merupakan hasil olah batin (lewat pendekatan moral spiritual) serta olah pikir (lewat pendekatan rasional) dari para ulama dan telah diamalkan oleh umat Islam sepanjang sejarah harus diterima, setidak-tidaknya karena sejumlah alasan sebagai berikut:

Pertama, perbedaan tantangan yang berasal dari kondisi lingkungan alam.  Dalam kenyataan, situasi lingkungan alam memiliki pengaruh penting dalam menentukan corak pemikiran dan kehidupan masyarakat, termasuk dalam aspek keagamaan.  Tingkat kesulitan dalam menjalankan shalat misalnya, berbeda antara daerah yang memiliki persediaan air yang melimpah dan daerah yang sulit untuk memperoleh air bersih. Terlihat pula perbedaan karakteristik kehidupan keagamaan antara masyarakat di daerah pegunungan yang berhawa sejuk dengan masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir pantai yang panas.  Kondisi alam seperti itu menyebabkan perbedaan tingkat kesulitan yang dihadapi masyarakat dalam menjalani kehidupan, yang pada gilirannya juga turut menentukan corak keberagamaan di daerah tersebut.

Kedua, keragaman karakteristik sosiologis dan tahapan perkembangan sosial. Ini berkaitan dengan perbedaan suasana kehidupan masyarakat dan kompleksitas permasalahan dalam lapangan politik, perekonomian, sosial kemasyarakatan, kebudayaan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Misalnya perbedaan antara kehidupan masyarakat pedesaan dengan perkotaan, antara masyarakat yang bercorak agraris dengan yang industrial, antara masyarakat miskin dengan yang kaya, antara muslim mayoritas dengan minoritas, antara bangsa merdeka dengan bangsa terjajah dan antara masyarakat dengan tradisi tulis yang kuat dengan yang lebih kuat pada tradisi lisan. Semua perbedaan tersebut juga akan membawa perbedaan dalam corak pemikiran dan pengamalan ajaran keagamaan antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya.

Ketiga, perbedaan jalur asal-usul ajaran keagamaan yang diserap oleh masyarakat. Hal itu berkaitan dengan fakta bahwa corak ajaran keagamaan yang berkembang di suatu kawasan atau masyarakat tertentu, sangat ditentukan oleh corak pemahaman dan pola keberagamaan dari mereka (para da’i) yang dahulu menyebarkan ajaran Islam ke wilayah itu dan orientasi paham keagamaan dari institusi-institusi pendidikan yang berkembang sesudahnya.  Faktor inilah yang menjelaskan mengapa suasana keislaman di kawasan tertentu, misalnya, bercorak mistik atau yang dominan di kawasan tertentu adalah Fikih mazhab Shafi’i.

Orang-orang yang lahir, tumbuh dan besar di kawasan tertentu sudah tentu secara alamiah akan lebih banyak menyerap tradisi dan paham keagamaan khas di kawasan itu, yang mungkin jauh berbeda dengan kawasan lainnya.  Memang perkembangan kehidupan sosial dan perjumpaan dengan tradisi (mazhab) keagamaan yang berbeda nantinya akan mendorong timbulnya diskursus, akulturasi, pergeseran, modifikasi dan adaptasi pada tingkat tertentu, namun suatu generalisasi penilaian yang didasarkan pada konsep yang berasal dari tradisi di kawasan tertentu tetap tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan “vonis” hitam-putih terhadap tradisi yang berkembang di kawasan lain.

Keempat, perbedaan pemahaman keagamaan serta pandangan dunia dari masing-masing individu. Hal ini berkait dengan perbedaan  kematangan psikologis, visi sosial dan spiritual antar individu, yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti usia, jender, kelengkapan dan kemampuan fisik, intelektualitas, tingkat kesejahteraan ekonomi, posisi sosial, latar belakang pendidikan, lingkungan keluarga, pengalaman masa kecil dan pengalaman khusus lainnya. Hal-hal tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap kesimpulan hukum yang dihasilkan dari aktivitas istinbāţ terhadap sumber-sumber syariat

Semua faktor di atas secara kumulatif menimbulkan dorongan dan hambatan yang berbeda-beda antara individu satu dengan lainnya dalam menyerap bagian-bagian tertentu dari ajaran syariat serta dalam menjalankannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.  Oleh karena itu, jika terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam faktor-faktor yang tersebut, maka konsep pemikiran keagamaan (termasuk aturan hukum) yang dipahami dan yang berlaku dalam masyarakat juga akan mengalami pergeseran, modifikasi dan penyesuaian-penyesuaian.

Dengan caranya sendiri, masing-masing individu dan kelompok masyarakat  akan menjalankan ajaran agama dengan membuat prioritas-prioritas dan agenda utamanya sendiri-sendiri. Hal itulah yang membuat perkembangan pemikiran dan pengamalan hukum syariat juga senantiasa berbeda-beda antara individu yang satu dengan lainnya, antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya serta antara masyarakat yang hidup dalam periode sejarah tertentu dengan yang lainnya.

Setiap orang tentu berhak mempromosikan konsep pemahaman keagamaan yang dinilainya lebih “baik”. Setiap orang hendaknya  juga senantiasa terpanggil untuk terus meningkatkan pemahaman, penghayatan dan pengamalan syariat, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Namun, semua itu harus dilakukan dengan semangat persaudaraan (ukhuwwa) yang tulus dan pendekatan persuasif yang elegan dengan menghindari intimidasi dan vonis-vonis ekstrem, yang bersifat menghina, menyinggung perasaan dan merendahkan pihak lain.  Hal itu karena sebaik apapun pemahaman yang mereka hasilkan, semuanya tidak berasal dari pribadi-pribadi yang dijamin bebas dari kesalahan (ma’şūm).

Nilai moral dari pengamalan seseorang atas ajaran syariat seharusnya tidak dilihat secara ekstrim hanya berdasarkan pengamatan terhadap kasus per kasus atau bidang tertentu, namun sebagai keseluruhan prilakunya.  Seharusnya setiap orang tidak menilai orang lain secara hitam-putih atau benar-salah secara ekstrem, namun sebagai sebuah proses perkembangan yang dinamis dengan intensitas dan tahapan yang berbeda–beda. Pandangan seperti ini juga menjadi salah satu sikap dasar yang dipegang teguh oleh al-Sya”rani.

Berbagai konsep kategorisasi dan kerangka pemikiran hukum dengan semua elaborasinya, sesungguhnya lebih merupakan konsep teoretik yang diidealisasi guna mempermudah pengkajian secara sistematis, sementara yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tidak pernah identik sepenuhnya dengan konsep kategorisasi tersebut. Hal itu karena pengamalan hukum dalam kehidupan sosial merupakan dinamika yang tidak pernah berhenti bergerak sehingga perkembangan teori-teori itu selalu tertinggal oleh perkembangan sosial yang sesungguhnya. Di sinilah pemanfaatan konsep hukum dari berbagai lingkungan mazhab, seperti yang diusulkan al-Sya”rani, menemukan relevansinya.

Dimensi lain dari orientasi pemikiran al-Sya”rani adalah bahwa disamping didasarkan pada sumber keagamaan, seharusnya pemikiran hukum selalu dikaitkan secara simultan dengan kompleksitas problematika kehidupan dengan semangat mencari solusi. Oleh karena itu pengembangan konsep hukum tersebut harus dibarengi dengan perhitungan yang cermat atas implikasi yang akan timbul dari penerapan aturan hukum itu, baik bagi orang yang bersangkutan maupun terhadap warga masyarakat secara umum.

Jika tidak demikian, maka dinamika pemikiran hukum akan berkembang di luar konteks persoalan yang sesungguhnya.  Di satu sisi problematika kehidupan    terus berkembang semakin kompleks, sementara di sisi lain diskursus hukum yang berkembang di sudut-sudut masjid, zāwiya para sufi dan pusat-pusat studi keagamaan umat berkembang menurut alur logikanya sendiri yang terpisah dari perkembangan persoalan tersebut. Akhirnya, hasil dari setiap pembahasan itu hanya akan menjadi onggokan khazanah pemikiran yang tersimpan rapi dalam literatur-literatur Fikih dan tidak mampu menawarkan alternatif solusi bagi berbagai problema sosial yang ada.

Di sinilah masalahnya, bahwa ternyata penerapan aturan syariat tidak cukup jika dipahami hanya sebagai upaya menjadikan teks-teks (baik yang secara harfiah terdapat dalam teks-teks syariat maupun literatur karya para ulama mudjtahid) menjadi kenyataan sosial, melainkan merupakan resultan dari proses abadi  “dialog interaktif”, yang hasilnya berada pada titik keseimbangan elastis dari kekuatan tarik-menarik antara tuntutan-tuntutan yang terdapat dalam teks dengan kenyataan sosial; juga antara yang dipandang ideal dengan apa yang sungguh-sungguh bisa diupayakan secara nyata, yang diharapkan bisa memberikan jawaban terbaik bagi problem-problem sosial yang ada, serta menghasilkan dampak positif yang sungguh-sungguh dirasakan oleh warga masyarakat.

Satu hal lagi yang perlu digarisbawahi adalah bahwa dalam penerapan setiap aturan hukum, perlu mengedepankan pencapaian tujuan-tujuan hukum yang lebih fundamental dan universal, sedangkan dalam aspek-aspek teknis yang bersifat legalistik-formalistik (tidak peduli versi mazhab manapun yang hendak digunakan) harus diletakkan pada prioritas sekunder. Maksudnya, semua pandangan hukum yang berbeda-beda tersebut harus diterima tanpa kecuali, sepanjang memiliki argumentasi yang cukup memadai berdasarkan pola pendekatan manapun juga, dan tidak perlu dilakukan tardjih sejak awal untuk memilih salah satu pendapat yang dianggap benar untuk selamanya (dengan menganggap yang lain salah selamanya). Apalagi kriteria dalam menentukan versi konsep hukum yang dianggap benar itu juga sangat berkaitan dengan pilihan metodologis yang tetap mengandung sisi-sisi yang debatable.  Dengan demikian, sisi formalitas ajaran syariat dapat diterapkan secara fleksibel sesuai dengan situasi dan kondisi, sedangkan tercapainya tujuan-tujuan moral yang lebih luas tersebut selalu menjadi prioritas yang lebih utama.

Dari sudut pandang filsafat moral, apa yang didiskusikan tersebut berkaitan dengan problem universalitas nilai moral yang melekat pada suatu aturan hukum. Dalam masalah ini, secara umum ada dua sudut pandang ekstrem. Pertama, paham legalisme yang mengartikan moralitas sebagai ketaatan penuh terhadap suatu peraturan yang dianggap berlaku universal, di mana-mana dan bagi siapa saja.[38]  Kedua paham antinomisme yang justru sama sekali tidak melihat keperluan adanya prinsip atau arahan moral.

Paham antinomisme adalah Etika Situasi dalam bentuknya yang paling radikal, yang mengembalikan keputusan moral seratus persen kepada hak otonom masing-masing individu dalam situasinya.[39]  Etika situasi menolak keberadaan peraturan atau norma-norma universal yang berlaku di mana-mana dan bagi siapa saja, serta mengembalikan moralitas pada tanggung jawab inividual masing-masing orang berdasarkan panggilan yang khas untuk setiap situasi.[40] Etika situasi menjunjung tinggi prinsip otonomi moral individu dan menolak ketaatan begitu saja terhadap suatu hukum secara heteronomis. Tidak ada perbuatan yang pada dirinya baik atau buruk secara mutlak (sehingga secara moral harus selalu dilakukan atau dijauhi). Semua penilaian moral adalah tergantung pada situasi.[41] Singkatnya, menurut Etika Situasi, apa yang harus dilakukan oleh seseorang dalam situasi kongkret tidak dapat disimpulkan sekaligus dari suatu ketentuan hukum ataupun norma-norma moral yang bersifat umum, melainkan harus diputuskan berdasarkan kondisi riil yang menyertainya.[42]

Melalui mīzān, tampaknya al-Sya”rani berupaya menggeser titik berat orientasi Fikih dari yang lebih dekat dengan prinsip Etika peraturan,[43] seperti yang berkembang di masa itu, kepada prinsip yang lebih mendekati Etika situasi, sekalipun tidak dalam bentuknya yang paling ekstrem.  Dia melihat bahwa pemikiran dan pengamalan aturan hukum terlalu berorentasi pada prinsip Etika peraturan.[44] Menurut al-Sya”rani, penilaian moral atas setiap perbuatan tidak bisa begitu saja ditetapkan oleh sekelompok orang tertentu (misalnya ulama) berdasarkan ukuran-ukuran yang seragam untuk segala waktu, ruang dan situasi, tetapi sebaliknya harus dilihat secara kontekstual sesuai dengan situasi-situasi khusus yang menyertainya.



D. Idjtihād dan Taqlīd dalam Pengamalan Hukum

Sekalipun al-Sya”rani dikenal sebagai ulama yang sangat gigih dalam mengkampanyekan pentingnya mengembangkan dan mempelajari ilmu pengetahuan (khususnya mengenai syariat), namun dia tetap berpendapat bahwa tidak semua orang diwajibkan melakukan-idjtihād sendiri, karena mengharuskan semua orang ber-idjtihād dan menolak taqlīd secara mutlak bertentangan dengan kenyataan sosial, di mana tidak semua orang memiliki keahlian dan kesempatan untuk melakukan idjtihād sendiri.

Menurutnya, dari sisi tingkat kompetensi, keluasan dan kedalaman pemahamannya terhadap hukum syariat, umat Islam terbagi menjadi dua kelompok besar:  Pertama, mereka yang telah memiliki keahlian untuk mengakses pengetahuan tentang hukum syariat dari sumber-sumbernya serta memahami prosedur yang harus dilalui dalam pengambilan kesimpulan hukum itu. Al-Sya”rani menyebut mereka ini sebagai “orang-orang yang telah memiliki kompetensi dalam memahami sumber syariat yang pertama (‘ain al-sharī’a al-ūlā)”.[45]  Mereka tidak diharuskan mengikatkan diri pada mazhab atau pandangan ulama tertentu, karena mereka sendiri telah mampu melihat  keterkaitan di antara semua mazhab yang ada. Bagi mereka tidak ada mazhab yang lebih utama dari yang lain. Semua masalah hukum yang memerlukan keputusan harus selalu dikembalikan kepada (penerapan) teori dua martabat takhfīf dan tashdid sesuai dengan persyaratan-persyaratannya.[46]

Kedua, mereka yang belum memiliki kompetensi seperti kelompok pertama. Mereka ini harus mengikuti (taqlīd) pendapat ulama yang mereka percayai. Dalam hal ini al-Sya”rani menegaskan, “Orang-orang yang (pengetahuannya) masih belum mencapai sumber utama harus taqlīd kepada salah seorang imam mudjtahid yang ada. Hal ini penting agar dia tidak tersesat dan menyesatkan orang lain”.[47]

Pandangan semacam itu sejalan dengan pandangan gurunya, al-Khawwas,  yang setiap kali ditanya tentang keharusan mengikuti mazhab, dia selalu menjawab, “Kalian harus mengikuti mazhab tertentu selama kalian belum mampu melihat sumber syariat yang pertama (‘ain al-sharī’a al-ūlā) karena khawatir akan terjerumus ke dalam kesesatan dan cara itu pula yang diamalkan umat hingga sekarang ini”.[48] Pandangan senada juga pernah dikemukakan Imam Haramain (w.  478/1085), Ibnu Sam’āni, al-Ghazāli (w. 505/1111) dan al-Kiyā’ Harasi. Mereka selalu mengatakan kepada murid-murid mereka, “Kalian wajib berpegang pada mazhab imam kalian (kebetulan, yang disebutkan nama-namanya itu bermazhab Shāfi’i) dan tidak ada alasan bagi kalian untuk pindah darinya[49]

Deskripsi di atas menunjukkan keteguhan al-Sya”rani dalam berpegang pada prinsip keadilan Allah dalam setiap titah-Nya. Atas dasar prinsip keadilan itulah  Allah swt. menetapkan beban kewajiban ber-idjtihād khusus bagi para “pembesar” ulama, yakni mereka yang memang benar-benar memiliki kompetensi untuk itu,[50] sedangkan mengenai pernyataan salah seorang imam mazhab tentang larangan taqlīd dan perintah untuk mengambil hukum dari sumbernya, menurut al-Sya”rani hal itu tetap berlaku, namun khusus bagi mereka yang telah mempunyai kompetensi untuk melakukannya.[51] Pernyataan larangan taqlīd seperti itu juga bisa dipahami sebagai pesan kepada segenap kaum muslimin agar senantiasa berupaya meningkatkan kapasitas intelektualnya supaya nanti mereka mampu melakukan idjtihād sendiri.

Sebagaimana dikemukakan oleh Mahmoud Shaltout (salah seorang ulama Mesir yang pernah menduduki jabatan shaikh al-azhār), Islam tidak memberikan sejak awal kepada siapapun hak istimewa untuk melakukan interpretasi terhadap sumber-sumber ajaran syariat (al-Quran dan Sunnah) dan memaksakan hasil pemahamannya kepada seluruh umat. Sebaliknya Islam justru memberikan hak tersebut kepada setiap muslim yang memiliki kompetensi, untuk meneliti dan menarik kesimpulan sendiri dari sumber-sumber pokok tersebut.

Mereka yang tidak atau belum memiliki keahlian seperti itu wajib bertanya kepada para ahlinya, namun mereka tidak diwajibkan untuk mengikuti orang-orang tertentu saja, mengingat bahwa sesuatu dapat dianggap wajib hanyalah jika diwajibkan oleh Allah swt. dan rasul-Nya, sedangkan Allah dan rasul-Nya tidak pernah mewajibkan umat untuk mengikuti mazhab atau pendapat ahli Fikih tertentu. Oleh karena itu, menetapkan kewajiban semacam seperti itu sama saja dengan membuat syariat baru. Adapun tugas seorang ahli (ulama) yang diajukan kepadanya suatu permasalahan hukum, adalah tidak lebih dari memberikan penjelasan sejauh yang diketahuinya tanpa berhak memaksakan pendapatnya itu terhadap si penanya. Si penanya tetap bebas mengikuti pendapat tersebut atau (jika merasa belum puas) juga boleh menanyakan (lagi) kepada ulama lainnya.[52]



*Penulis adalah staf pengajar pada Fakultas Syariah IAIN Mataram
[1]Istilah Episteme berasal dari bahasa Yunani yang artinya adalah pengetahuan yang benar, pengetahuan ilmiah atau pengetahuan sistematis. Lihat Peter A. Angeles, Dictionary of Philosophy (New York: Barnes and Noble Book, 1931),  hlm. 78. 
[2]Dalam satu karyanya yang lain (al-Yawāqit wa al-Djawāhir), al-Sha’rāni membagi ilmu pengetahuan berdasarkan sumbernya ke dalam tiga kategori sebagai berikut: (a) ‘Ilm al-‘aql yaitu pengetahuan manusia yang diperoleh melalui proses  pemikiran (al-ta’ammul), analisis (al-nazar) dan pengamatan (al-iţţilā’). (b) ‘ilm al-ahwāl yaitu pengetahuan yang didapatkan seseorang lewat jalan dhawq al-sufi. (c) ‘ilmu al-asrār yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui jalan ilhām.  Perolehan ilmu asrār ini merupakan indikasi kesempurnaan status bagi mereka yang telah menempuh jalan sufi (ahl al-ţarīq), yakni ilmu ladunni yang diperoleh secara langsung dari Allah swt tanpa melalui perantaran siapapun baik lewat pengajaran dan periwayatan (naql) dari para ulama syariat atau bimbingan seorang syekh Tasawuf.  Lihat Taufiq Ţawil, Al-Taşawwuf fī Mişr Ibān al-‘Aşr al-Uthmāni.Imām al-Taşawwuf fi Mişr: al-Sha’rāni  (Kairo: al-Hai’a al-Misriyya, tt.),  juz II hlm 97.
[3]Jenis ini tidak dimasukkan dalam konteks sistematika kajian Epistemologi (al-ma’rifa)   karena yang dibahas di situ adalah sumber-sumber pengetahuan secara umum. Dengan menganggap epistemologi sufi sebagai sebuah metode maka dikenal dua jenis ma’rifa, pengetahuan diskursif  (al-ma’rifa al-istidlāliyya / connaissance discursive) dan pengetahuan intuitif  (al-ma’rifa al-hadasiyya/connaissance intuitive).  Abu al-Wafa al-Ghunaimi al-Taftazani, Dirāsāt fī al-Falsafa al-Islāmiyya (Mesir: Maktaba al-Qāhira al-Haditha, tt),  hlm., 141. 
[4]Syekh Hasan al-Banna lebih suka menggunakan istilah ittibā’ sekalipun oleh sebagian ulama lainnya diberikan arti yang berbeda. Lihat al-Qaradhawi, Fiqhul Ikhtilaf, hlm. 208.
[5]Al-Sha’rāni, Al-Mīzān al-Kubrā,  juz I  hlm 62.
[6]Dalam kajian Tasawuf yang lebih detail, kedua istilah ini (kashf dan dhawq) memang dibedakan, baik dalam rumusan definisi maupun elemen-elemen makna dasarnya, namun dalam pembahasan di sini (al-Mīzān al-Kubrā) yang dimaksudkan adalah sama, yakni perolehan pengetahuan lewat pencerahan spiritual (ma’rifa), atau cara ketiga disamping perolehan pengetahuan lewat tradisi dan rasio.
[7]Untuk memperoleh penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini al-Sha’rāni menganjurkan untuk menelaah karyanya yang lain, Mafham al-Akbād fī Mawārid al-Idjtihād.
[8]Al-Sha’rāni, Al-Mīzān al-Kubrā   juz I  hlm. 13.
[9]Al-Djabiri, Bunya al-‘Aql al-‘Arabi: Dirāsa Tahlīliyya al-Naqdiyya li al-Nuzum al-Ma’rifa fi al-Thaqāfa al-Islāmiyya (Beirut, Cassablanca: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993) hlm. 9 dan 485.  Untuk ulasan komparatif yang lebih luas dengan konsep-konsep lainnya bandingkan dengan Syamsul Anwar, “Epistemologi Hukum Islam dalam al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul Karya al-Ghazali (450-505/1058-1111)”, Disertasi (Yogyakarta: Pogram Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 2000). hlm 139-48. 
[10]Kaum Iluminasionis muslim menyebut sistem ini dengan istilah al-hikma al-bahthiyya (filsafat diskursif) untuk membedakan sistem filsafat pengetahuan yang mereka kembangkan sendiri yaitu al-hikma al-dhawqiyya (filsafat intuitif).
[11]Syamsul Anwar, “Epistemologi Hukum Islam”  hlm. 139-48.
[12]Ibid.
[13]Yusuf al-Qaradhawi, Fikih Praktis bagi Kehidupan Modern (Jakarta: Gema Insani Press, 2002)  hlm . 100.
[14]Dhawq, adalah salah satu karakteristik dalam lapangan pendidikan kaum sufi. Para sufi tidak mengingkari pentingnya peranan akal dan pengetahuan diskursif dalam kehidupan ini. Hanya mereka membedakan antara dua lapangan pengetahuan, diskursif dan intuitif. Menurut mereka untuk menangani masalah-masalah di dunia nyata ini kita harus mendayagunakan karunia indera dan akal yang kita miliki. Namun dalam menghadapi masalah perasaan yang lahir dari pengalaman religius maka yang lebih tepat adalah dengan menggunakan hati (al-qalb). Lihat al-Taftazani, “Sumbangan Tasawuf kepada Pendidikan”, dalam Johannes den Heijer dan Syamsul Anwar (eds), Islam Negara  hlm.138
[15]Al-Taftazani, Dirāsāt fi Falsafa  hlm. 154.
[16]Al-Taftazani, “Sumbangan Tasawuf kepada Pendidikan”,  hlm. 139.
[17]Seperti dikutip al-Taftazani, Dirāsāt fī al-Falsafa  hlm. 154
[18]Ibid.
[19]Ibid. hlm. 154-5.
[20]Al-Sha’rani, Al-Mīzān al-Kubrā,  Juz I  hlm 12.
[21]Ibrahim Baisuni. Nash’at al-Taşawwuf al-Islāmi (Mesir: Dar al-ma’arif, tt)  hlm 13.
[22]Al-Qushairi, Al-Risāla al-Qushairiyya  hlm. 296.
[23]Al-Taftazani, Dirāsāt fī al-Falsafa   hlm. 166.
[24]Al-Sha’rani,, Al-Mīzān al-Kubrā , juz I  hlm. 12.
[25]Secara etimologis, Pragmatisme / pragmatic berasal dari bahasa Yunani pagmata, yang berarti act, affair,bussines. Menurut Dewey pragmatic berarti peraturan berpikir reflektif yang tujuan akhirnya adalah diperolehnya hasil yang diinginkan. Pragmatisme bukan sistem metafisika yang mencari kebenaran apriori melainkan metode untuk menguji sistem-sistem yang memperlakukan konsep dan teori sebagai hipotesis yang berfungsi sebagai pedoman observasi dan eksperimen. Lihat Haniah, Agama Pragmatis: Telaah atas Konsep Agama John Dewey (Magelang: Indonesiatera, 2001),  hlm. 23.
[26]Teori lain yang dapat dibandingkan dengan ini adalah konsep pembedaan antara ijtihad istinbāţī dan idjtihād taţbīqī di mana yang pertama bersifat teoretik sedang yang kedua bersifat aplikatif. Namun dengan telaah lebih mendalam akan tampak perbedaannya dengan pemikiran al-Sha’rani. Karena menurut al-Sha’rani pada tataran teoretik hukum selalu bersifat plural berjenjang dan semuanya diakui kebenarannya. Perbedaan lainnya adalah aksentuasinya yang kuat pada prinsip personalisme Etika.
[27]Lihat kembali klasifikasi pada Bab III khususnya bagian B. 2  (mengenai respons para ulama).
[28]Al-Sha’rani, Al-Mīzān al-Kubrā,  juz I  hlm. 53.
[29]Ibid., juz I  hlm 50.
[30]Ibid., juz I  hlm 48-54.
[31]Sinyelemen al-Sha’rani mengenai kecenderungan fatwa-fatwa semacam ini dan keluhan masyarakat muslimin kepadanya antara lain dijelaskan dalam karyanya Kashf al-Ghumma ‘an Djami’ al-Umma. (khususnya bagian pendahuluan halaman 4-5).
[32]Meskipun kesimpulan tersebut masih terbuka bagi perkecualian karena pertimbangan yang bersifat situasional, akan tetapi, pada dasarnya ketentuan hukum tersebut sejak awal dipandang berlaku umum.
[33]Di antara mereka misalnya N. J. Coulson, H.A.R. Gibb, H.J. Liebesny, M. Khadduri, H. Lammens, G. Makdisi, dan (terutama) J.N.D. Anderson. Lihat Muhammad Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al-Shatibi‘s Life and Thought (Delhi: International Islamic Publushers,1989) hlm. 6-7  (bagian Pengantar)
[34]Ibid.
[35]Ibid.
[36]Th. W. Juynboll dan sejumlah sarjana Barat lainnya juga setuju dengan Hurgronye. GH Bousquet menjelaskan lebih lanjut bahwa secara keseluruhan hukum Islam memang bersifat idealistik dan kasuistik serta didasarkan pada hipotesis-hipotesis yang imaginatif, non-diskursif dan secara rasional sering kali bersifat absurd. Lihat Ibid.
[37]Seperti dikutip oleh al-Qaradhawi dalam Fikih Praktis bagi Kehidupan Modern, terj. Abdul Hayyi al-Kattani (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 87.
[38]Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika  hlm. 115.
[39]Etika situasi adalah sebuah pendekatan dalam etika yang sangat dipengaruhi oleh filasafat Eksistensialisme dan Personalisme. Eksistensialisme sangat menekankan keunikan dan tanggung jawab tiap-tiap orang, bahwa setiap orang itu khas dan tidak dapat dimasukkan dalam kerangka-kerangka, skema-skema dan norma-norma umum, melainkan harus menentukan sendiri   berdasarkan penghayatannya sendiri-sendiri yang otentik. Sedangkan Personalisme menekankan bahwa manusia adalah person bukan sekedar nomor kolektif melainkan bernilai pada dirinya sendiri, sebagai makhluk yang berakal dan berkehendak sendiri, yang memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri dan memiliki suara hati sebagai kesadaran mandiri akan apa yang merupakan tanggung jawabnya. Ibid.,  hlm.. 104-16.
[40]Ibid.,  hlm.. 105.
[41]Ibid.,  hlm. 111.
[42]Etika Situasi didasarkan pada dua anggapan fundamental. Pertama, kualitas moral dari tindakan manusia adalah tergantung situasi. Maka siapapun tidak dapat memastikan apakah suatu tindakan tertentu wajib dilakukan atau tidak kecuali setelah memperhatikan situasi konkretnya. Kedua, adalah bahwa setiap situasi itu sepenuhnya bersifat unik dan individual. Meskipun banyak situasi yang mungkin mirip, namun pada dasarnya setiap situasi itu tetap unik. Oleh karena itu tidak mungkin orang yang berada di luar situasi itu bisa menetapkan tentang bagaimana seseorang wajib bertindak.
[43]Etika peraturan adalah sistim-sistim etika yang melihat bahwa hakekat moralitas adalah terletak pada sikap patuh terhadap suatu peraturan. Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika  hlm. 102.
[44]Paham etika peraturan ini setidak-tidaknya mengidap dua kelemahan mendasar. Pertama, ia tidak menyediakan jawaban terhadap pertanyaan moral yang lebih mendasar yaitu mengapa orang harus menaati peraturan-peraturan tertentu itu dan bukan yang lain, atau mengapa ukuran moral itu yang harus dipakai. Dalam hal ini yang dituntut bukan agar kita menjujung tinggi nilai-nilai otentik tertentu melainkan agar peraturan-peraturan itu ditaati tanpa perkecualian. Tidak ada pertimbangan tentang nilai esensial yang menjadi tujuan di balik pemberlakuan aturan tersebut, sehingga moralitas akan cenderung kehilangan maknanya dan jatuh menjadi suatu bentuk beban belaka.  Kedua, karena yang dipentingkan adalah ditaatinya peraturan-peraturan yang ada itu, maka etika peraturan tidak memperdulikan akibat/hasil yang timbul dari ketaatannya terhadap peraturan-peraturan yang yang ada itu. Sehingga etika peraturan telah menyingkirkan salah satu unsur paling hakiki dalam moral yaitu paham tentang tanggung jawab.
[45]Al-Sha’rani,, Al-Mīzān al-Kubrā, juz I   hlm 35.
[46]Ibid,
[47]Ibid., juz I  hlm 22..
[48]Ibid., juz I  hlm 34.
[49]Ibid., juz I  hlm 42-3.
[50]Al-Sha’rani,  Kashf al-Ghumma juz I  hlm. 5.
[51]Dalam sebuah riwayat, al-Shafi’i pernah mengatakan, “Janganlah kalian taqlīd kepadaku dan juga jangan taqlīd kepada Malik, al-Auza’i, al-Nakhai atau lainnya. Ambillah hukum (dari sumbernya) seperti mereka mengambil”.  Lihat  al-Sha’rani, Al-Mīzān al-Kubrā, juz I   hlm.  62.
[52]Muhammad Baqir al-Habsyi. Fiqih Praktis Menurut al-Quran, as-Sunnah dan Pendapat Para Ulama (Bandung: Mīzān, 1999.),. 26-7.
     
      Baca Selengkapnya »