Rabu, 07 November 2012

DOWNLOAD BUKU RIYADUS SHOLIHIN B. INDONESIA


Kitab Riyadus Shalihin adalah sebuah kitab yang sangat masyhur dalam dunia Islam. Kitab ini telah dijadikan pegangan selama ratusan tahun bagi para ulama, pelajar dan penuntut ilmu agama di belahan dunia. Di Indonesia sendiri kitab Riyadus Shalihin ini merupakan salah satu ‘kitab wajib’ bagi seluruh pesantren.
Pengarang kitab Riyadus Shalihin adalah Al Imam Al ‘Alamah al Muhaddits, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an Nawawi ad Dimasqi as Syafi’i, beliau dikenal sebagai ulama paling ‘alim pada zamannya, zuhud dan wara’, serta kuat beramal sholeh. Dilahirkan di sebuah desa bernama Nawa dekat Damsyik, Suriah pada tahun 631 H.
Bagi teman-teman yang ingin memiliki kitab ini dalam versi bahasa Indonesia (terbagi dalam 2 jilid), silahkan mendownloadnya di blog ini. 
Download link



     
      Baca Selengkapnya »      

DOWNLOAD BUKU KUMPULAN DOA SEHARI-HARI

Bagi teman-teman yang membutuhkan buku yang berisi kumpulan doa-doa harian, anda dapat mendownloadnya di blog ini.



Untuk buku yang berbentuk PDF silahkan download di sini.
Untuk buku yang berbentuk doc. silahkan download di sini.

     
      Baca Selengkapnya »      

KUMPULAN DOA SEHARI-HARI

Bagi teman-teman yang ingin memperbanyak koleksi doa-doa sehari-hari, silahkan melihat-lihat doa-doa di bawah ini,,,jangan lupa diamalkan yach...


Doa sehari-hari

Doa sebelum tidur
بِاسْمِكَ اللّهُمَّ أَحْيَا وَأَمُوْتُ

Doa sesudah tidur
الْحَمْدُ لِلهِ الَذِى أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَناَ وَإِلَيْهِ النُّشُوْرِ

Doa memakai baju
الْحَمْدُ لِلهِ الَذِى كَسَانِى هذَا الثَّوْبَ وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ وَلاَ قُوَّةٍ.

Doa mengenakan baju baru
اللّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ كَسَوْتَنِيْهِ أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهِ مَاصُنِعَ لَهُ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهِ وَشَرِّ مَا صُنِعَ لَهُ.

Doa masuk WC
باِسْمِ اللهِ اللّهُمَّ إِنِّي أّعُوْذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ.

Doa keluar WC
غُفْرَانَكَ الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِى أَذْهَبَ عَنىِّ اْلأَذَى وَعَافَنِى.

Doa setelah berwudhu/tayammum
اللهُمّ َاجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِي مِنَ المُتَطَهِّرِيْنَ.

Doa keluar rumah
بِاسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلىَ اللهِ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ باِللهِ.

Doa masuk rumah
بِاسْمِ اللهِ وَلَجْناَ وَبِاسْمِ اللهِ خَرَجْنَا وَعَلىَ رَبِّناَ تَوَكَّلْناَ.

Doa masuk masjid
اللّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ.

Doa keluar dari masjid
اللّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ مِنْ فَضْلِكَ.

Doa sujud syukur/tilawah
سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِى خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ.

Doa untuk orang yang sakit
اللّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ اِشْفِ أَنْتَ الشَّافِى لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاءُكَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُهُ سَقَماً (رواه البخارى ومسلم)

Doa setelah adzan
اللّهُمَّ رَبَّ هٰذِهِ الدَّعْوَةِ التَّآمَّةِ وَالصّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ سَيِّدِناَمُحَمَّدًا نِالوَسِيْلَةَ وَالفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدَا الَّذِى وَعَدْتَهُ إِنَّكَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيْعَادُ.

Doa ketika mimpi buruk
اللهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ َعمَلِ الشَّيْطَانِ وَسَيِّآتِ اْلأَحْلاَمِ.

Doa ketika dalam kesulitan
إِنَّ لِلّهِ مَا أَخَذَوَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلَّ شَـْئٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى فًلْتَصْبِرْ وَلْتَحْسِبْ.

Doa sebelum salam
اللهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ القَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالمْمَاَتِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ.

Doa menjelang pagi
اللهُمَّ بِكَ أَصْبَحْناَ وَبِكَ أَمْسَيْنَا وَبِكَ نَحْيَا وَبِكَ نَمُوْتُ وَإِلَيْكَ النُّشُوْرِ.

Doa menjelang malam  
اللهُمَّ بِكَ أَمْسَيْنَا وَبِكَ أَصْبَحْناَ وَبِكَ نَحْيَا وَبِكَ نَمُوْتُ وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ.
     
      Baca Selengkapnya »      

WASIAT Pengertian, Syarat dan Hukumnya (Kajian Normatif dengan pendekatan tekstual-literer)



Pendahuluan
Salah satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia dan masyarakat pada umumnya adalah yang berkaitan dengan harta. Manusia dan masyarakat, apapun alasannya, tidak mungkin dilepaskan dari aspek tersebut. Harta, menjadi salah satu dari apa-apa yang digeluti manusia. Oleh karena manusia dilengkapi hawa nafsu, maka Al-Qur'an mengingatkan bahwa harta kekayaan adalah fitnah atau cobaan. Amat banyak sekali masalah-masalah yang timbul akibat dari harta tersebut.

Menurut ajaran Islam, pemilikan seseorang terhadap harta tidak terlepas dari hubungannya dengan kepentingan-kepentingan sosial. Oleh karena itu berkaitan dengan harta, Islam membawa seperangkat hukum syari'at, yakni antara lain syari'at tentang Kewarisan, Zakat, Infaq, Shadaqah, Hibah, Wakaf dan Wasiat. Adanya syari'at Islam tentang Kewarisan, Zakat, Infaq, Shadaqah, Hibah, Wakaf dan Wasiat merupakan hal yang tidak terpisahkan dari iman dan akhlak. Hal ini menunjukkan bahwa Islam telah siap dengan sebuah konsep untuk menghadapi problema-problema dalam masyarakat, terutama yang bersangkutan dengan masalah kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.

Wasiat adalah satu dari bentuk-bentuk penyerahan atau pelepasan harta dalam syari'at Islam. Wasiat memiliki dasar hukum yang sangat kuat dalam syari'at Islam.


Pengertian Wasiat

Kata wasiat ( الوصية ) diambil dari وصيت الشيئ,أصيه  artinya : أوصلت (aku menyampaikan sesuatu). Maka orang yang berwasiat disebut al-Muushii. Dalam Al-Qur'an kata wasiat dan yang seakar dengan itu mempunyai beberapa arti di antaranya berarti menetapkan, sebagaimana dalam surat al-An'am : 144أم كنتم شهداء إذ وصاكم الله) ), memerintahkan sebagaimana dalam surat Luqman: 14,  (ووصينا الإنسان بولديه) dan Maryam: 31 وأوصانى بالصلاة) , mensyari'atkan (menetapkan) sebagaimana dalam surat An-Nisa' ayat 12 (وصية من الله).[1]

Berdasarkan kata-kata di atas dapat dipahami bahwa kata wasiat mengandung makna perintah yang harus dijalankan oleh pihak lain.

Menurut para fuqaha, wasiat adalah pemberian hak milik secara sukarela
yang dilaksanakan setelah pemberinya meninggal dunia. Pemberian hak milik ini bisa berupa barang, piutang atau manfaat.[2]

Dari pengertian-pengertian wasiat di atas kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya wasiat ialah pesan seseorang ketika masih hidup agar hartanya diberikan/disampaikan/diserahkan kepada orang tertentu atau kepada suatu lembaga, yang harus dilaksanakan setelah ia (orang yang berwasiat) meninggal dunia yang jumlahnya tidak lebih dari sepertiga dari harta yang ditinggalkannya.


Syarat, Rukun, dan Hukum Wasiat

a. Syarat-Syarat Wasiat

Syarat-syarat wasiat menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairi adalah sebagai berikut[3]:
  1. Penerima wasiat harus Muslim, berakal, dan dewasa, sebab non-Muslim dikhawatirkan menyia-nyiakan wasiat yang diserahkan kepadanya untuk diurusi; menunaikan hak, atau mengurusi anak-anak kecil.
  2. Pemberi wasiat harus berakal, bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan, dan memiliki apa yang diwasiatkan.
  3. Sesuatu yang diwasiatkan harus merupakan sesuatu yang diperbolehkan. Jadi, berwasiat pada sesuatu yang diharamkan tidak boleh dilaksanakan. Contohnya, seseorang mewasiatkan uangnya untuk disumbangkan ke gereja, atau ke bid'ah yang makruh, atau ke tempat hiburan, atau ke kemaksiatan.
4.    Penerima wasiat disyaratkan menerimanya dan jika ia menolaknya maka wasiat tidak sah, kemudian setelah itu ia tidak mempunyai hak di dalamnya.

Sedangkan syarat-syarat bagi orang yang menerima wasiat, dalam mazhab Hanafi disebutkan sebagai berikut:
  1. orang ang akan menerima wasiat itu harus sudah ada ketika wasiat itu diikrarkan;
  2. sudah ada ketika orang yang berwasiat itu meninggal dunia;
  3. bukan orang yang menjadi sebab meninggalnya orang yang berwasiat dengan cara pembunuhan; dan
  4. bukan ahli waris pemberi wasiat.

b. Rukun Wasiat

Adapun rukun wasiat itu ada empat, yaitu:
1. redaksi wasiat (shighat),
2. pemberi wasiat (mushiy),
3. penerima wasiat (mushan lahu),
4. barang yang diwasiatkan (mushan bihi).

1. Redaksi Wasiat (shighat)

Tidak ada redaksi khusus untuk wasiat. Jadi, wasiat sah diucapkan dengan redaksi bagaimanapun, yang bisa dianggap menyatakan pemberian hak pemilikan secara sukarela sesudah wafat. Jadi, jika si pemberi wasiat berkata, “Aku mewasiatkan barang anu untuk si Fulan,” maka ucapan itu sudah menyatakan adanya wasiat, tanpa harus disertai tambahan (qayd) “sesudah aku meninggal”. Tetapi jika si pemberi wasiat mengatakan, “Berikanlah” atau “Kuperuntukkan” atau “Barang ini untuk si Fulan”, maka tak dapat tidak mesti diberi tambahan “setelah aku meninggal”, sebab kata-kata tersebut semuanya tidak menyatakan maksud berwasiat, tanpa adanya tambahan kata-kata tersebut.

2. Pemberi Wasiat (mushiy)

Orang yang berwasiat itu haruslah orang yang waras (berakal), bukan orang yang gila, balig dan mumayyiz. Wasiat anak yang berumur sepuluh tahun penuh diperbolehkan (ja’iz), sebab Khalifah Umar memperbolehkannya. Tentu saja pemberi wasiat itu adalah pemilik barang yang sah hak pemilikannya terhadap orang lain.
Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa orang yang lemah akal (idiot), orang dungu dan orang yang menderita akibat sakit ayan yang kadang-kadang sadar,
wasiat mereka diperbolehkan sekiranya mereka mempunyai akal yang dapat mengetahui apa yang mereka wasiatkan.[4]
Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 194 dinyatakan bahwa orang yang berwasiat itu adalah orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan, dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain. Harta benda yang diwasiatkan itu harus merupakan hak dari pewasiat. Pemilikan barang yang diwasiatkan itu baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia. Dikemukakan pula batasan minimal orang yang boleh berwasiat adalah yang benar-benar telah dewasa secara undangundang, jadi berbeda dengan batasan baligh dalam kitab-kitab fiqih tradisional.

3. Penerima Wasiat (mushan lahu)

Penerima wasiat bukanlah ahli waris, kecuali jika disetujui oleh para ahli waris lainnya. Seorang dzimmi boleh berwasiat untuk sesama dzimmi, juga untuk seorang Muslim, sesuai dengan firman Allah:


Artinya:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.(Q.S. Al-Mumtahanah: 8)

Wasiat bagi anak yang masih dalam kandungan adalah sah dengan syarat bahwa ia lahir dalam keadaan hidup, sebab wasiat berlaku seperti berlakunya pewarisan. Dan menurut ijma’, bayi dalam kandungan berhak memperoleh warisan. Karena itu ia juga berhak menerima wasiat.

4. Barang yang Diwasiatkan (mushan bihi)

Barang yang diwasiatkan haruslah yang bisa dimiliki, seperti harta atau rumah dan kegunaannya. Jadi, tidak sah mewasiatkan benda yang menurut kebiasaan lazimnya tidak bisa dimiliki, seperti binatang serangga, atau tidak bisa dimiliki secara syar’i, seperti minuman keras, jika pemberi wasiat seorang Muslim, sebab wasiat identik dengan pemilikan, maka jika pemilikan tidak bisa dilakukan, berarti tidak ada wasiat. Sah juga mewasiatkan buah-buahan di kebun untuk tahun tertentu atau untuk selamanya.
Hukum Wasiat
Wasiat disyari'atkan dengan dalil-dalil sebagai berikut:
Allah SWT berfirman:

Artinya:
" Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang dari kalian menghadapi kematian, sedang ia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kalian." (Al-Maidah: 106).

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ

Artinya :
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri- sterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.” (QS. An Nisaa : 12)

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf.” (QS. Al Baqoroh : 180)
Melihat dari tekstualitas ayat di atas, kita dapat menarik kesimpuan bahwa wasiat tersebut wajib hukumnya bagi mayit yang berharta banyak, dan wasiat tersebut bagi kedua orang tua dan karib kerabat.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan-menafsirkan ayat di atas- bahwa wasiat itu hukumnya wajib menurut dua pendapat.[5] Begitupula ath-Thabari dalam tafsirnya mengatakan juga-menafsirkan ayat di atas-bahwa wasiat itu adalah wajib hukumnya.[6]

Sebagian ulama lainnya juga berpendapat bahwa wasiat adalah sebuah kewajiban berdasarkan ayat 180 surat al-Baqarah.



Penutup

                Dari uraian singkat tentang wasiat di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa wasiat adalah pesan seseorang ketika masih hidup agar hartanya diberikan/disampaikan/diserahkan kepada orang tertentu atau kepada suatu lembaga, yang harus dilaksanakan setelah ia (orang yang berwasiat) meninggal dunia.

Wasiat itu merupakan salah satu sarana untuk bertaqarrub kepada Allah swt guna mendapatkan kebaikan di dunia dan pahala di akherat. Wasiat juga merupakan sarana untuk memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan, menguatkan silaturahim dan hubungan kekerabatan yang bukan ahli warisnya.

Hukum wasiat jika menilik surat al-Baqarah ayat 180 adalah wajib sesuai dengan tekstualitas ayat tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim
Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir, 2003. Minhajul Muslim (Edisi Indonesia, Ensiklopedi Muslim, Penerj. Fadhli Bahri, Lc.). Jakarta: Darul Falah, cet. VI.
Ath-Thobari, Muhammad ibn Jarir, 2000. Jami’ul Bayan fi Ta’wil al-Qur’an juz 3 (tahqiq: Muhammad Syakir). Riyad: Mu’assasah ar-Risalah cet. I.
Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998. Analisa Hukum Islam Bidang Wasiat. Jakarta: Departemen Agama.
Ibnu Kastir, 1999. Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim juz 1( tahqiq: Sami ibn Muhammad Salamah). Riyad: Dar thayyibah li an-Nasyr wa at-Tawzi’, cet. 2.


[1] Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998. Analisa Hukum Islam Bidang Wasiat. Jakarta: Departemen Agama, hal 49.
[2] Ibid
[3] Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, 2003. Minhajul Muslim (Edisi Indonesia, Ensiklopedi Muslim, Penerj. Fadhli Bahri, Lc.). Jakarta: Darul Falah, cet. VI, hal. 564.
[4] Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998. Analisa Hukum Islam ….., hal 88. (lihat Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah Jilid III, Penerbit Maktabah Dar al Turas tanpa tahun, Kairo, hal. 415.
[5] Ibnu Kastir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim juz 1( tahqiq: Sami ibn Muhammad Salamah), (Riyad: Dar thayyibah li an-Nasyr wa at-Tawzi’, 1999), cet. 2, hal. 492.
[6] Muhammad ibn Jarir th-Thobari, Jami’ul Bayan fi Ta’wil al-Qur’an juz 3 (tahqiq: Muhammad Syakir), (Riyad: Mu’assasah ar-Risalah, 2000) cet. I, hal. 396.
     
      Baca Selengkapnya »      

ISLAM DAN KESETARAAN GENDER



           
A.    Pendahuluan
Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada nabi dan rasul seluruh alam, Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa ajaran yang mengangkat derajat wanita kepada derajat yang tinggi.
            Mahasuci Allah yang telah menciptakan manusia dari diri yang satu, yaitu Adam AS. Kemudian dari Adam itu Allah ciptakan makhluk yang bernama perempuan. Melalui kedua orang inilah (Adam dan Hawa) Allah menciptakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ yang artinya:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya  Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu. (Q.S. an-Nisa’: 1)

Maksud kata وخلق منها menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.[1]
Islam merupakan agama yang dibawa oIeh Nabi Muhammad SAW dan merupakan agama universal, diperuntukkan bagi seluruh umat manusia. Ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW itu mengajarkan kepada umat manusia untuk selalu berlaku adil dan tidak berbuat zalim serta selalu menebarkan kedamaian dan keselamatan di muka bumi ini. Islam juga mengajarkan untuk selalu hidup secara positif di antara sesame manusia dalam suasana yang harmonis, persaudaraan dan tenggang rasa, tidak membeda-bedakan derajat, status, warna kulit, jenis bahkan i’tikad ataupun agama. Hal ini disebabkan mereka (manusia) berasal dari diri yang satu, seperti yang telah dijelaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 1.
Isu tentang kesetaraan gender yang marak pada saat sekarang ini bermula dari adanya perubahan metode pendekatan kajian Islam yang dikatakan menggunakan titik pandang tradisional. Yang dimaksud dengan titik pandang tradisional dalam studi Islam adalah model kajian Islam yang bersifat normative, dan kurang atau bahkan menafikan aspek historis. Para alumni Studi Islam McGill, Kanada menyatakan, guna menghadapi tantangan zaman modern sekarang ini, sudah saatnya model Studi Islam yang bersifat normative diganti dengan model/metode pengkajian Islam dengan pendekatan historis. Dengan demikian, metode normative dalam pengkajian Islam harus dibuang jauh-jauh dan diganti dengan metode dengan pendekatan historis.[2] Metode pendekatan historis ini diusung oleh pendiri Studi Islam McGill, Kanada, Prof. Wilfred Cantwell Smith, yang kemudian dibawa pulang oleh sejumlah ilmuan di kalangan muslim.[3]
Di Indonesia, para alumnus McGill ini juga membawa pulang metode pengkajian Islam yang diusung oleh Wilfred Cantwell Smith ini. Mereka kemudian mensosialisasikannya ke perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam. Hal ini kemudian menyebabkan banyaknya kecaman-kecaman terhadap ajaran Islam khususnya kitab suci al-Qur’an yang merupakan dustur utama ajaran Islam. Para pengusung pendekatan historis ini sampai berani menyatakan ketidak-relevan-an sebagian dari isi al-Qur’an itu. Salah satu ajaran Islam yang dikatakan tidak relevan itu adalah tentang masalah gender yang dibarengi dengan paham Feminisme.
Melihat fenomena yang ada, penulis merasa tergugah untuk mengkaji lebih dalam tentang gender ini (khususnya kesetaraan gender) yang ada dalam al-Qur’an ini. Dari hasil kajian ini penulis berharap memberikan manfaat, baik secara teoritis, yaitu menambah perbendaharaan karya ilmiah dan bacaan kepada masyarakat khususnya kalangan intelektual; sedangkan manfaat praktisnya adalah mengingatkan kembali ataupun sebagai bahan penyegaran kepada masyarakat khususnya umat Islam bahwa ajaran Islam bersifat syamil (menyeluruh), tidak lekang oleh waktu dan masa-masa. kepada para pembaca     

B.     Pembahasan
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Allah SWT menciptakan manusia berpasang-pasangan. Ia menciptakan manusia guna menunaikan hak dan kewajibannya, bertanggungjawab terhadap kehidupannya, yang semata-mata hanya untuk menyembah kepada Allah SWT. Allah SWT dengan tegas menjelaskan hal tersebut dalam al-Qur’an surat adz-Zariyat, yang artinya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S. Adz-Dzariyat: 56)
            Ayat di atas dengan jelas menyebutkan tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah/beribadah kepada Allah SWT dengan tidak membeda-bedakan baik jenis kelamin, golongan darah, status, strata sosial, pangkat dan kedudukan, ataupun perbedaan-perbedaan yang lain. Dengan demikian tujuan Allah ini bersifat universal, berlaku untuk makhluk yang bernama jin dan manusia.

a.      Definisi
Menurut kamus pintar Bahasa Indonesia, kata “gender” berarti jenis kelamin.[4] Namun jika ditambahkan dengan kata kesetaraan, maka maknanya akan lain. Badariyah Fahyumi, et. al. mendefiniskan gender sebagai perbedaan laki-laki dan perempuan di luar sifatnya yang biologis.[5] Sedangkan pengertian paham kesetaraan gender, seperti yang dikutip Nazaruddin Umar dalam Women’s Studies Encyclopedia, dalam bukunya Argumen Kesetaraan Jender: perspektif al-Qur’an, yang dikutip oleh Henri Salahuddin, adalah “konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.[6]
Melihat definisi-definisi di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya kesetaraan gender yang menjadi wacana di masyarakat adalah kesetaraan yang berada di luar sifat biologisnya. Kesetaraan yang diinginkan adalah dari segi peran, perilaku, mental dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan. Dari sini, kita dapat mengambil 3 kata kunci, yaitu laki-laki, perempuan dan kebudayaan.
Jadi sebenarnya aspek yang ingin ditonjolkan pada isu kesetaraan gender ini adalah masalah kebudayaan, atau kalau dikaitkan dengan kajian Islam, maka pendekatan kajiannya dengan pendekatan historis yang sudah barang tentu bersinggungan dengan kebudayaan.

b.      Prinsip Gender dalam Islam
Empat belas abad sudah Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia. Islam yang merupakan ajaran yang bersifat universal. Salah satu ajaran yang dibawanya adalah menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Islam telah mengangkat derajat perempuan dari makhluk yang dianggap hina, kelas dua ataupun hanya sebagai pelengkap bagi laki-laki menjadi makhluk yang terhormat, memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Secara kodrati, terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan memiliki payudara, alat kelamin yang berbeda dari laki-laki (faraj), rahim,  bisa melahirkan, sedangkan laki-laki tidak demikian. Ia (laki-laki) memiliki sperma yang bisa membuahi ovum sel telur perempuan sehingga terbentuknya janin. Ini merupakan perbedaan asasi antara laki-laki dengan perempuan. Dari perbedaan inilah terlihat bahwa sebenarnya laki-laki dan perempuan saling membutuhkan satu sama lain demi kelangsungan hidup manusia.
Melihat perbedaan kodrati ini sayogyanyalah laki-laki hidup berdampingan dengan perempuan karena keduanya tidak ada yang lebih sempurna. Manusia telah diciptakan Allah SWT sebagai ciptaan yang paling baik (ahsanu taqwim) seperti firmanNya pada surat at-Tiin yang artinya:
Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (Q.S. at-Tiin: 4)
Sementara itu, Islam telah menentukan beberapa prinsip tentang gender.[7] Prinsip pertama, laki-laki dan perempuan adalah sama di mata Allah SWT. Yang membedakannya hanyalah ketakwaannya. Perbedaan jenis kelamin bukan penentu seorang manusia menjadi mulia. Ketakwaan itu yang menjadi tolok ukur derajatnya di sisi Allah. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an yang artinya:
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujurat: 13)
Prinsip kedua adalah bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mendapat perintah dari Allah untuk menyeru kepada yang maruf dan mencegah kepada yang munkar. Dikala laki-laki diperintahkan untuk menjaga kemaluannya, wanita pun tidak luput dari larangan itu. Firman Allah dalam surat an-Nur ayat 30-31, yang artinya:
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, . (Q.S. an-Nuur: 30-31)
Prinsip ketiga adalah bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sebanding dengan kewajibannya. Allah berfirman dalam al-Quran surat an-Nisa ayat 32, yang artinya:
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S. an-Nisa: 32)
Adapun masalah yang paling sering mencuat di publik adalah mengenai ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan  qawamat ar-rajul (kepemimpinan laki-laki) pada surat an-Nisa’ ayat 34 yang artinya:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (Q.S. an-Nisa’: 34).
            Apakah sebenarnya maksud dari qawamah ini? Dr. Abduh asy-Syahiy menjelaskan sebagai berikut:
فإن هذه الدرجة هي القوامة، أي الرعاية والصيانة والحفظ وليست هذه الدرجة هى درجة التشبت فى الرأي والتحكم والسيطرة فى إدارة شئون الأسرة، أو الاستبداد قولا وعمل فى أمور الأسرة.[8]  

Dari penjelasan ini jelas sekali bahwa qawamah yang dimaksudkan pada ayat tersebut adalah pengayom (ri’ayah), dan penolong/pelindung (shianah) dan menjaga (hifz), bukan berarti menguasai dan mengekang seperti yang dikatakan sebagian orang.
Dengan demikian, laki-laki harus mengetahui bahwa derajat kepemimpinan disini adalah derajat taklif dan mas’uliyyah (kewajiban dan tanggung jawab). Dari sini, dapat kita ketahui bahwa wanita mempunyai hak untuk memiliki atas segala sesuatu tanpa ada pembedaan dengan laki-laki, ia juga berhak untuk bertransaksi, bekerja yang sesuai dengan tuntunan syari’ah. Sehingga perempuan juga mempunyai hak untuk member dan menerima wasiat serta warisan. Bahkan ia juga berhak untuk melindungi dirinya dan hartanya dengan cara bagaimanapun selama tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
Demikianlah, Islam memberikan hak-hak yang sangat istimewa kepada perempuan yang tidak pernah diberikan oleh sistem-sistem keagamaan konstitusional yang lain. Hak dan tanggung jawab yang diberikan Allah SWT kepada perempuan sederajat dengan yang diterima oleh laki-laki. Kesederajatan ini tidak selalu identik. Karena secara biologis dan psikologis perempuan diciptakan berbeda dari laki-laki. Islam telah menetapkan hak dan tanggung jawab terhadap perempuan sesuai dengan sifatnya, memberinya perlindungan dan keamanan penuh dari penistaan dan alur kehidupan yang tidak menentu. Dari sinilah dapat dipahami bahwa kesetaraan itu tidak sama dengan kesamaan. Laki-laki diciptakan Allah SWT setara dengan perempuan, tetapi tidak sama antara laki-laki dengan perempuan.[9]
Banyak para ilmuwan terjebak dengan istilah ‘kesetaraan’ dan ‘kesamaan’. Semua orang mendambakan kesetaraan, baik kesetaraan dalam hak maupun kesetaraan dalam kewajiban. Namun, tak seorangpun yang menginginkan kesamaan.

C.    Penutup
a.       Kesimpulan
Dari uraian singkat di atas penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Islam sangat menekankan kesetaraan gender. Namun demikian tetap mengacu kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits yang merupakan sumber utama ajaran Islam.
2.      Kesetaraan yang dimaksudkan Islam bukan berarti sama/identik. Laki-laki diciptakan Allah SWT setara dengan perempuan, tetapi tidak sama antara laki-laki dengan perempuan. Karena secara biologis dan psikologis perempuan diciptakan berbeda dari laki-laki. Islam telah menetapkan hak dan tanggung jawab terhadap perempuan sesuai dengan sifatnya, memberinya perlindungan dan keamanan penuh dari penistaan dan alur kehidupan yang tidak menentu
b.      Saran
Demikian makalah singkat penulis buat, semoga bermanfaat bagi kita semua. Tentunya dalam penulisan ini terdapat bayak kekurangan dan kesalahan yang tidak mungkin penulis hindari. Kami berharap, akan banyak yang tergugah hatinya untuk menelaah kembali permasalahan gender ini sehingga pemahaman kita pada khususnya dan masyarakat pada umumnya lurus dan benar terhadap ajaran Islam beserta kitab suci Al-Qur’an yang belakangan ini di kecam dan dihujat. Wallahu a’lam bisshawab.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim
As-Sahiy, Syauqi Abduh, -. Al-Huquq al-Ma’nawiyah wa al-Adabiyah li az-Zaujah fi Dhau’casy-Syari’ah al-Islamiyah dalam Makanat al-Mar’ah wa Huququha fi al-Islam. Kairo: Rabithah al-Jami’at al-Islamiyah.
Fayumi, Badriyah, et.al., 2004. Halaqah Islam: Mengaji Perempuan, HAM dan Demokrasi. Jakarta: Ushul Press.
Husaini, Adian, 2009. Kajian Islam Historis dan Aplikasinya dalam Studi Gender, dalam Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, vol. V no.1. Jakarta, Khairul Bayan.
Khadim al-Haramain asy-Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Makkah, Khadim al-Haramain asy-Syarifain.
Naik, Zakir, dkk, 2009.  Mereka Bertanya Islam Menjawab. Solo, PT. Aqwam Media Profetika.
Salahuddin, Henri, Menelusuri Paham Kesetaraan Gender dalam Studi Islam: Tantangan terhadap Konsep Wahyu dal Ilmu dalam Islam, makalah disampaikan pada acara Kursus Pemikiran dan Peradaban Islam, pada 4 April 2009 di kantor INSIST Jakarta.


[1] Al-Qur’an dan Terjemahnya, dicetak oleh khadim al-haramain asy-syarifain, hal. 114.
[2] Adian Husaini, Kajian Islam Historis dan Aplikasinya dalam Sudi Gender, dalam Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, vol. V, no. 1, 2009, hal. 13.
[3] Ibid, hal. 13.
[4] Y. Istiyono Wahyu dan Ostaria Silaban, 2006. Kamus Pintar Bahasa Indonesia. Karisma Publishing Grup, Batam, hal. 184.
[5] Badariyah Fahyumi, et. al., 2004. Halaqah Islam: Mengaji Perempuan, HAM dan Demokrasi. Jakarta: Ushul Press, cet. I, hal. 4.
[6] Henri Salahuddin, Menelusuri Paham Kesetaraan Gender dalam Studi Islam: Tantangan terhadap Konsep Wahyu dan Ilmu Kalam dalam Islam, makalah disampaikan pada acara kursus Pemikiran dan Peradaban Islam, pada 4 April 2009 di kantor INSISTS Jakarta.
[7] Badariyah Fahyumi, et.al., Ibid, hal. 5 dan seterusnya.
[8] Dr. Abduh Asy-Syahiy, Al-Huquq al-Ma’nawiyyah wa al-Adabiyyah  li az-Zaujah fi Dhau’ asy-Syari’ah al-Islamiyya, dalam Makanat al-Mar’ah wa Huququha fi al-Islam. Rabithah al-Jamiaat al-Islamiyyah, Kairo, hal. 44.
[9] Zakir Naik, dkk, 2009. Mereka Bertanya Islam Menjawab. Solo, PT. Aqwam Media Profetika, hal. 87.
     
      Baca Selengkapnya »