Minggu, 22 April 2012

KONSEP SUNNAH DALAM ISLAM

KONSEP SUNNAH DALAM ISLAM


A. Pendahuluan

Umat Islam berpandangan bahwa hukum Islam bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah Nabi, Konsensus (Ijma’) dan Analogi (Qiyas). Maka dari itu,[1] sejak dari awal kemunculan dan perkembangan Islam, kaum muslimin bersepakat bahwa segala perkara mereka harus berpegang pada pedoman Kitab Suci utama, yakni Al-Qur’an. Namun sementara Al-Qur’an melengkapi dengan garis-garis besar pandangan etis dan satu dua memberi preskripsi konkrit, namun ia tidak mencakup rincian yang menyeluruh. Maka desakan kepada perlunya sistem pemikiran dan penjabaran hukum telah mendorong gerakan pemikiran keagamaan, yakni segi-segi legalnya.[2]

Hadits atau Sunnah al-Nabawiyah telah disepakati oleh ‘Ulama Salaf al-Salih sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Namun dalam penjabarannya, mendudukkan hadits pada posisi tersebut tidaklah semulus yang semestinya. Sejarah Islam mencatat, keraguan akan otentisitas hadits dan fungsi hadits pernah dipertanyakan dalam wacana pemikiran ulama di pertengahan abad ke-2 dan kembali diperdebatkan di awal abad ke-5.[3]

Yang pada akhirnya aktifitas pemikiran mengenai pemahaman dan kebenaran konsep sunnah menjadi lebih penting dengan tujuan mendapatkan kembali ide-ide dasar mengenai prinsip ajaran agama dan relevansinya dengan perkembangan serta tuntutan perkembangan masyarakat.

B. Konsep Sunnah menurut Imam Syafi’i

Imam Syafi’i bernama lengkap Muhammad bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syati’ bin Saib al-Qurasyi (150-204 H/767-812 M). Dari Imam Malik, Imam Syafi’i mengambil tentang sunnah. Justru Imam Syafi’i-lah yang memberi perumusan sistematik dan tegas bahwa sunnah yang harus dipegang bukanlah setiap bentuk sunnah, akan tetapi hanya yang berasal langsung dari Nabi. Konsekuensinya adalah bahwa kritik terhadap sunnah dalam bentuknya sebagai laporan dan cerita tentang generasi terdahulu harus dilakukan, dengan penyaringan mana yang benar-benar dari Nabi SAW, dan mana yang hanya klaim –sebagai dari Nabi sedangkan sebenarnya buatan alias palsu belaka.[4]

Kebesarannya terletak pada sikap menyeimbangkan antara pendukung hadits dengan pendukung pendapat (ra’yu). Ia mencoba mengikuti sikap tengah antara dua tendensi yang bertentangan dengan prinsip menyetujui hanya yang benar yang bersumber pada Nabi. Baginya hadits bisa diterima atau tidak tergantung pada Isnad atau rangkaian pembawa cerita.[5]

Tema yang dominan dalam ajaran Syafi’i adalah membatasi penggunaan bebas pendapat pribadi dan menekankan otoritas hadits sebagai penentu hukum:[6] “Ta’atlah kepada Tuhan dan Rasul”,[7] “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, ambillah, sebaliknya apa yang ia larang, tinggalkanlah”,[8] “Barangsiapa takut kepada Rasul berarti ta’at kepada Tuhan”.[9]

Allah telah mewajibkan manusia agar patuh kepada kitab dan sunnah sesuai dengan kewajiban patuh yang dituliskan ke dalam hukum-Nya, yakni bahwa manusia harus tunduk kepada kehendak-Nya tanpa ada yang kuasa mengubah hukum-Nya. Dengan sunnahnya, Rasulullah SAW telah menunjukkan arti yang tepat dari kitab Allah atau wahyu lain yang diperoleh daripada-Nya yang tak satupun dibiarkan tanpa keterangan dan wajib untuk menerima penjelasan-penjelasan Nabi SAW itu.[10]

Setelah Al-Qur’an, Syafi’i menekankan Sunnah Nabi. Ia mengatakan bahwa ayat Al-Qur’an dapat di-nasakh oleh ayat Al-Qur’an yang lain, dan Al-Qur’an tidak dapat menasakh sunnah, begitu juga sebaliknya. Benar adanya, ia selalu berpendapat bahwa sunnah dapat diganti dengan ayat Al-Qur’an, namun selama sunnah tidak nasakh terlebih dahulu oleh sunnah yang lain yang telah disabdakan oleh Nabi.[11]

Teorinya tentang hadits paling baik dipahami melalui teks risalah:

Setiap hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang dapat dipercaya yang bersumber pada Nabi adalah otoritatif dan dapat ditolak hanya jika ada hadits otoritatif lain dari Nabi yang menentangnya..........jika keduanya sama-sama dapat dipercaya maka yang lebih sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabilah yang dipilih........ .[12]
C. Konsep Sunnah menurut Joseph Schacht

Joseph Schacht memang seorang intelektual yang luar biasa. Betapa tidak, orientalis yahudi kelahiran Silisie, Jerman pada tahun 1902 ini telah meraih gelar doktor dari Universitas Barslauw ketika ia berumur 21 tahun. Dan ketika berusia 27 tahun ia dikukuhkan menjadi Guru Besar di Universitas Fribourg.[13]

Kendati ia seorang pakar Hukum Islam, namun karya-karya tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Namun karya tulisnya yang paling monumental dan melambungkan namanya adalah “The Origins of Muhammadan Jurisprudence” yang terbit pada tahun 1959, kemudian bukunya “An Introduction to Islamic Law” yang terbit pada tahun 1960. dalam dua karyanya inilah ia menyajikan hasil kajiannya tentang hadits Nabawi, dimana ia berkesimpulan bahwa Hadits Nabawi, terutama yang berkaitan dengan hukum Islam adalah buatan para ‘Ulama abad kedua dan ketiga Hijriah.[14]

Dibanding dengan pendahulunya, Ignaz Goldziher, Joseph Schacht memiliki “keunggulan”, karena Ignaz Goldziher hanya sampai pada peringkat meragukan otentisitas hadits-hadits Nabawi, sedangkan Joseph Schacht sampai pada peringkat meyakinkan bahwa tidak ada hadits yang shahih terutama hadits-hadits Hukum.[15]

Sepanjang hidupnya ia mengabdikan dirinya kepada kajian historis pemikiran Hukum Islam awal.[16] Tidak mengherankan sama sekali bahwa kesimpulan Schacht dalam beberapa tahun sesudahnya telah cukup mengejutkan sebagian besar kaum muslim, terutama sekali pada pertama kali kesimpulan tersebut dilontarkannya, karena Schacht menunjukkan bahwa sebagian besar hukum Islam, termasuk sumber-sumbernya merupakan akibat dari sebuah proses perkembangan historis.[17]

Sunnah Nabi merupakan wilayah yang di dalamnya Schacht mengalamatkan penelitiannya. Salah satu dari kesimpulannya yang paling penting –sebuah kesimpulan yang menyakitkan seorang muslim yan saleh– adalah pernyataannya yang mengatakan bahwa: “Rujukan kepada hadits-hadits dari para sahabat merupakan prosedur yang lebih tua, dan teori tentang otoritas hadits-hadits dari Nabi yang lebih berkuasa adalah sebuah inovasi”.[18]

Bagian sentral thesis Schacht bergantung pada penggunaan dan konsep kata Sunnah. Secara ringkas, dia berpendapat[19] bahwa:
Konsep awal sunnah adalah kebiasaan atau praktik yang disepakati secara umum, yang disebutnya “tradisi yang hidup”. Untuk sampai pada kesimpulan ini di mengikuti D.S. Margoliouth dan mengutip Ibn al-Muqaffa’, yang menurutnya, mendapatkan istilah itu digunakan pada awal abad kedua untuk kepentingan regulasi administratif pemerintahan Bani Umayyah.[20]
Konsep Sunnah Nabi pada asal-usulnya relatif terlambat, dibuat oleh orang-orang Irak pada sekitar abad kedua.[21]
Bahkan penggunaan “Sunnah Nabi” tidak berarti Sunnah yang sebenarnya berasar dari Nabi SAW, ia sekedar “tradisi yang hidup” dari madzhab yang ada diproyeksikan ke belakang hingga ke lisan Nabi SAW.[22]

Yang paling menyesatkan, selama Schacht bersandar pada Margoliuth berasal dari paruh pertama abad pertama. Jika Schacht menerima otentisitas referensi-referensi ini mestinya dia juga harus menerima fakta bahwa ungkapan “Sunnah Nabi” telah digunakan secara luas seratus tahun sebelum masa yang dia percayai.[23]

Ringkasnya, analisis historis yang diterapkan Schacht dalam thesisnya menunjukkan kelemahan thesis itu sendiri, yang mana Azami telah mengatakan bahwa khususnya akan disangkal penggunaan materi sumber secara sewenang-wenang yang cenderung terlalu menggeneralisir dan membiarkan inkonsistensi internal berada pada thesisnya.[24]

Yang akhirnya konsep Sunnah versi Schacht ini mendapat kecaman dan sanggahan dari para pemikir Islam, dan tidak menutup kemungkinan konsep sunnahnya Schacht ini menimbulkan semangat bangkitnya pemikiran dalam Dunia Islam untuk menggali lebih dalam konsep sunnah, khususnya dan konsep Islam pada umumnya, serta memperkokoh dan mempertahankan keaslian sumber-sumber ajaran Islam. Yaa Robb.

D. Konsep Sunnah menurut Fazlur Rahman

Rahman adalah seorang tokoh intelektual muslim yang memiliki latar belakang yang menarik. Ia memiliki latar belakang tradisi keilmuan yang bertentangan: keilmuan madrasah India-Pakistan yang tradisional dan keilmuan Barat yang liberal. Keduanya kuat berpengaruh dalam membentuk intelektualismenya. Rahman lahir di Lahore, Pakistan tahun 1919 dan meninggal pada 26 Juni 1988.[25]

Kontroversinya dan gerakan oposisi semakin hebat dengan diterjemahkannya buku karya Rahman –Islam, 1966 yang mengandung beberapa penafsiran seorang modernis yang tidak dapat diterima oleh para pemimpin Islam tradisional.[26]

Evolusi historis dari Sunnah Nabi menjadi hadits digambarkan oleh Rahman sebagai berikut,[27] “Adalah suatu kenyataan bahwa Sunnah Nabi telah melewati proses yang panjang sebelum ia dibakukan menjadi riwayat-riwayat hadits. Pada saat itu yakni ketika hadits belum dibukukan, pada sahabat dan tabi’in, khususnya mereka yang berprofesi sebagai hakim, ahli hukum, teoretisi, politikus dan lain-lain, berusaha menjabarkan dan menafsirkan Sunnah Nabi demi kepentingan kaum muslimin pada saat itu. Hasil penjabaran dan pemahaman tersebut juga dianggap sebagai sunnah”.[28]

Sunnah Nabi menurut Rahman berarti “tingkah laku yang merupakan teladan”. Pengertian ini didasarkan pada kitab Jawharat karya Ibnu Duraid yang mengartikan Sunnah dengan “Shawwara” artinya “to fashion a thing or produce it as a model”.[29] Dengan pengertian sebagai praktik yang disepakati bersama atau “sunnah yang hidup”.

Tampaknya bahwa evolusi konsep sunnah Nabi menjadi “sunnah yang hidup” terjadi melalui interaksi ijtihad, yakni upaya penjabaran dan penafsiran sunnah Nabi menjadi sunnah yang hidup.[30]

Sepanjang mengenai evolusi dan perkembangan muatan sunnah yang berkembang dari waktu ke waktu, Rahman tidak bersikeras menyangkal tesa-tesa yang dikemukakan oleh orientalis.[31] Dalam membedakan makna antara Sunnah dan Hadits, Fazlur Rahman menjelaskan bahwa:

......... jika yang pertama (sunnah) merupakan suatu proses yang hidup dan berkelanjutan, maka yang kedua (hadits) bersifat formal dan berusaha memberikan kepermanenan yang mutlak kepada sintesa dari sunnah yang hidup pada abad kesatu, kedua, dan ketiga Hijriah.[32]
E. Kesimpulan

Berangkat penjelasan dari tiga tokoh yang memiliki pemikiran dalam konsep sunnah diatas, nampak adanya keberagaman dan kreatifitas intelektual yang berlainan. Agaknya Rahman memandang bahwa inti permasalahan islam adalah permasalahan intelektualisme ( pemikiran ) yang paling berpengaruh dalam maju dan mundurnya islam, sehingga Rahman dengan teorinya dapat membuka cakrawala pemikiran tentang sunnah dan hadits.

Pencarian data historis sekitar sunnah nabi kepedulian dan jasa besar Rahman dalam menelaah eksistensi Sunnah nabi dari tantangan orientalis, yang mana mayoritas ahli usul fiqh zaman modern memandangnya secara apriori tanpa pernah berusaha menjawab tangtangan tersebut[33] sehingga kritiknya yang tajam terhadap sunnah telah membawanya pada orang yang dianggap sebagai ingkar al-sunnah.

Keteguhan Syafi’i memegang hadits nabi termanifestasikan dalam sikapnya yang menganggap semua hadits sama – sama mengikat dan jika dipertentangkan dengan dua atau lebih hadits yang jelas bertentangan maka perlu adanya interpretasi untuk mengharmoniskan dan tanpa adanya anggapan antara dua hadits saling bertentangan bila ada cara untuk menerima keduanya. Dan bila keduanya tidak dapat dikompromikan maka kita memilih yang paling sesuai dengan Al-Qur’an serta mempertahankan sunnah nabi yang tidak dipermasalahkan lagi.

Yang cukup mengejutkan sarjana muslim, Schacht terhadap pandangan sunnah syafi’i, adalah pendapatnya yang kontroversi menilai tugas – tugas nabi SAW dalam menetapkan hukum. Tuduhan Scchacht bahwa nabi pada waktu di madinah menjadi nabi sekaligus pembuat hukum. Hal itu bertentangan dengan pandangan Schacht sendiri yang mengatakan bahwa nabi di madinah tidak wewenang kekuasaan membuat hukum atau undang – undang.


DAFTAR PUSTAKA

Adams, Charles C., “Islam” dalam A Reader’s Guide Tothe Great Religion, ed. Charles C. Adam, (New York: The Free Press, 1965).


Azami, M.M., Menguji Keaslian Hadits-Hadits Hukum, Sanggahan atas The Origins of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht, terj: Asrofi Shodri, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004).



Fathullah, Ahmad Lutfi, Fenomena Sunnah al-Nabawiyyah: antara Kritik dan Penafsiran al-Salaf al-Salih dan Khalaf Liberal, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pemikiran Islam Muhammadiyah: Respon terhadap Fenomena Liberalisme Islam, (Solo: UMS, 2004).



Khadduri, M., Islamic Jurisprudence, (Baltimore: Syafi’is Risala, 1961).



Madjid, Nurcholis, Kata Pengantar ar-Risalah, (Jakarta: Pustaka Firdaus & Universitas Islam as-Syafi’iyyah, 1992).



Mas’adi, Ghufron A., Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998).



Minhadji, Akh., Kontroversi Pembentukan Hukum Islam Kontribusi Joseph Schacht, terj: Ali Masrur, (Yogyakarta: VII Press, 2001).



Muslehuddin, M., Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, terj: Yudian Wahyudi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991).



Rahman, Fazlur, Membuka Pintu Ijtihad, terj: Anas Mahyuddin, (Bandung: PT. Pustaka, 1983).



Schacht, Joseph, The Origins of Muhammadan Jurisprudence.

Syafi’i, Imam, Ar-Risalah, terj: Ahmadie Thoha, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus dan Universitas Islam As-Syafi’iyyah, 1992).




[1] M.M. Azami, Menguji Keaslian Hadits-Hadits Hukum, Sanggahan atas The Origins of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht, terj: Asrofi Shodri, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), XVII


[2] Nurcholis Madjid, Kata Pengantar ar-Risalah, (Jakarta: Pustaka Firdaus & Universitas Islam as-Syafi’iyyah, 1992), XII


[3] Ahmad Lutfi Fathullah, Fenomena Sunnah al-Nabawiyyah: antara Kritik dan Penafsiran al-Salaf al-Salih dan Khalaf Liberal, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pemikiran Islam Muhammadiyah: Respon terhadap Fenomena Liberalisme Islam, (Solo: UMS, 2004), I


[4] Imam Syafi’i, Ar-Risalah, terj: Ahmadie Thoha, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus dan Universitas Islam As-Syafi’iyyah, 1992), h. 128


[5] M. Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, terj: Yudian Wahyudi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 60


[6] Ibid, h. 60


[7] Qur’an, 59 : 7


[8] Ibid, 4 : 80


[9] Ibid, 53 : 3-4


[10] Imam Syafi’i, Op. Cit., h. 128


[11] M. Khadduri, Islamic Jurisprudence, (Baltimore: Syafi’is Risala, 1961), h. 29-30


[12] M. Muslehuddin, Op. Cit., h. 61


[13] M.M. Azami, Op. Cit., V


[14] Ibid, V


[15] Ibid, V


[16] Lihat Akh. Minhadji, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam Kontribusi Joseph Schacht, terj: Ali Masrur, (Yogyakarta: VII Press, 2001), h. 1-4


[17] Charles C. Adams, “Islam” dalam A Reader’s Guide Tothe Great Religion, ed. Charles C. Adam, (New York: The Free Press, 1965), h. 317


[18] Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, h. 30


[19] M.M. Azami, Op. Cit., h. 45


[20] Joseph Schacht, Op. Cit., h. 58-59


[21] Ibid,


[22] M.M. Azami, Op. Cit., h. 45


[23] Ibid, h. 50


[24] Ibid, h. 104


[25] Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), h. 6


[26] Ibid, h. 27


[27] Analisis Rahman mengenai Evolusi Historis Sunnah terdapat pada Islamic Metodologi in History, (Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965), h. 173


[28] Ghufron A. Mas’adi, Op. Cit., h. 89


[29] Ibid, h. 90


[30] Ibid,


[31] Ibid, h. 129


[32] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj: Anas Mahyuddin, (Bandung: PT. Pustaka, 1983), h. 14-16


[33] Ghufron A. Mas’adi, Op. Cit., h. 133
     
      Baca Selengkapnya »      

TAFSIR ILMIAH AL-QUR’AN

TAFSIR ILMIAH AL-QUR’AN



PENDAHULUAN

Manusia dalam kehidupannya terus-menerus mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut terjadi seiring dengan perjalanan waktu dan peredaran masa yang terus bergulir. Kemajuan-kemajuan di berbagai bidang terus bermunculan dan tumbuh dengan pesatnya. Berbagai bidang dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih mulai bermunculan.

Seiring dengan kemajuan zaman, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, permasalahan-permasalahan kontemporer pun bermunculan. Apalagi dengan makin maraknya penemuan-penemuan ilmiah di berbagai bidang, seperti ilmu pasti, ilmu falak, geologi, kimia, kedokteran, fisiologi dan fungsi organik tubuh, biologi baik hewan maupun tumbuhan, matematika, ilmu-ilmu sosial dan lain-lain.

Tidak pelak pemahaman terhadap ajaran Islam juga terus mengalami perkembangan yang signifikan. Dengan demikian, bermuncullah fenomena baru dalam Islam, yang salah satunya adalah dalam bidang ilmu tafsir, yaitu masalah penafisiran al-Qur’an dengan metode ilmiah atau yang lebih dikenal dengan tafsir ilmiah al-Qur’an. Munculnya penafsiran dengan cara ini menimbulkan perbedaaan pendapat di kalangan para ulama’ Islam. Sebagian dari mereka membolehkan penafsiran dengan cara ini dan sebagian yang lain menolak cara penafsiran tersebut. Bagaimanakah sikap para ulama’ tentang tafsir ilmiah al-Qur’an tersebut?


TAFSIR ILMIAH AL-QUR’AN

Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat memunculkan masalah-masalah baru, masalah kontemporer. Munculnya teori-teori ilmiah baru dari para ilmuan memerlukan pembuktian akan kebenaran teori-teori tersebut.

Telah diketahui bersama bahwa terori-teori ilmiah tidak akan diakui kebenarannya dan bahkan akan dilempar jauh-jauh jika tidak mempunyai dalil atau dasar yang menguatkan kebenaran teori tersebut. Kebutuhan akan dalil-dalil ataupun landasan untuk menguatkan kebenaran teori itulah yang kemudian memunculkan penafsiran al-Qur’an dengan metode ilmiah guna memperkuat teori-teori tersebut yang kemudian dikenal dengan istilah Tafsir Ilmiah Al-Qur’an.

Tafsir model ini awal mulanya muncul di kalangan para ilmuan (scientists) yang menginginkan mengambil dalil dari Al-Qur’an untuk teori-teori yang mereka lahirkan. Yang menjadi permasalahan sekarang ini apakah tafsir model ini diperbolehkan dalam Islam?

Definisi Tafsir Ilmiah Al-Qur’an

Sebelum beranjak kepada pendapat para ulama’ tentang tafsir ilmiah al-Qur’an terlebih dahulu kita definisikan dahulu maksud dari Tafsir Ilmiah Al-Qur’an. Seperti yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Qardhawi, Tafsir Ilmiah al-Qur’an adalah penafsiran Al-Qur’an dengan ilmu-ilmu alam: dari sisi kebenaran ilmiah atau teorinya, dengan tujuan untuk menerangkan tujuan sasaran dan makna-maknanya.

Adapun ilmu-ilmu alam tersebut adalah seperti ilmu kimia, Biologi, ilmu pasti, geologi, ilmu anatomi tubuh manusia, ilmu kedokteran, ilmu falak dan lain sebagainya. Bisa juga dimasukkan ilmu-ilmu social seperti sosiologi, antropologi, ekonomi, geografi dan lain-lainnya.

Orang-orang yang tertarik dengan penafsiran model ini adalah mereka yang bergelut dalam bidang ilmu pengetahuan alam, bukan dari kalangan ulama-ulama yang menekuni bidang agama dan syari’ah. Dengan demikian, terjadilah perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum tafsir model ini. Ada yang membolehkan dan adapula yang menolaknya dengan alasan-alasannya.

Pendapat Ulama’ tentang Tafsir Ilmiah Al-Qur’an

Banyak sekali ulama’-ulama’ yang menolak penafsiran model tadi. Salah seorang ulama’ yang menentang penafsiran ini adalah Imam Akbar Mahmud Syaltut. Ia dengan tegas menentang sekelompok kalangan pelajar yang menggunakan ilmu-ilmu modern atau mengambil teori-teori ilmiah dan filsafat untuk menafsirkan Al-Qur’an. Penolakan ini termaktub dalam mukaddimah buku tafsirnya, seperti yang dikutip Dr. Yusuf Qardhawi, yang berbunyi:


“Mereka meneliti apa yang ada di dalam A-Qur’an. Ternyata mereka dapatkan firman Allah SWT yang berbunyi, “Tiadalah kami alpakan sesuatu pun dari al-Kitab.”(Al-An’am: 38). Lalu mereka berusaha menakwilkan sesuai dengan apa yang terlintas dalam benak mereka untuk membuka satu medan baru dalam tafsir Al-Qur’an. Akhirnya mereka menafsirkan ayat-ayat Allah itu dengan berlandaskan pada teori-teori ilmu pengetahuan modern, lalu mereka terapkan (sesuaikan) ayat-ayatnya dengan apa yang ada di dalam kaidah-kaidah ilmu pengetahuan modern ini. Mereka mengira bahwa apa yang mereka lakukan ini merupakan merupakan salah satu bentuk pengabdian mereka pada Al-Qur’an serta mengangkat panji-panji Islam.”

Ulama’-ulama’ lain yang menolak penafsiran ilmiah ini adalah Syaikh Amin Al-Khuli, Ust. Syaikh Muhammad Al-Maraghi, Dr. Abdul Halim Mahmud, Sayyid Quthb. Alasan Sayyid Quthb menentang penafsiran ilmiah tersebut adalah adanya kandungan dalam penafsiran tersebut yang menyimpang dari Al-Qur’an. Sedikitnya ada tiga makna yang kesemuanya sama sekali tidak sesuai dengan Al-Qur’an, yaitu:

1. akan terjadi kehancuran internal, yaitu prasangka dan dugaan manusia terhadap Al-Qur’an itu sendiri, yang mana ilmu lebih dominan dari Al-Qur’an, ia (al-Qur’an hanya akan mengikuti ilmu tadi.

2. akan merusak tabiat dan misi Al-Qur’an. Dimana Al-Qur’an sebenarnya adalah hakekat final yang mutlak yang membahas pembangunan manusia yang sesuai – dengan kadar dan tabiat manusia yang relatif – dengan tabiat wujud ini serta aturan-aturan ilahi. Sehingga akan menimbulkan benturan antara manusia dengan alam yang ada di sekitarnya, bahkan dia akan bersahabat dengannya dan mampu mengetahui sebagian misteri-misterinya, serta mampu mempergunakan sebagian aturan-aturannya untuk kepentingan kekhilafahannya, yakni berupa hukum-hukum alam yang bisa disingkap melalui pemahaman, penelitian, eksperimen dan aplikasi sesuai dengan kemampuan akal yang diberikan Allah padanya agar dia mampu beramal bukan untuk menerima pengetahuan-pengetahuan yang telah siap pakai.

3. akan menimbulkan takwil yang terus-menerus – dengan nuansa yang dibuat-buat – terhadap Al-Qur’an agar kita mengalihkan makna Al-Qur’an mengikuti teori-teori spekulatif yang belum pasti, sedangkan teori-teori tersebut akan terus dan terus berkembang dan akan hilang dan tergantikan dengan kemunculan teori baru.

Dengan demikian, jelaslah bahwa alasan para ulama’ menolak penafsiran al-Qur’an secara ilmiah adalah adanya kekhawatiran akan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam menafsirkan makna al-Qur’an. Hal ini disebabkan para ilmuan tersebut menafsirkan Al-Qur’an sekehendak hatinya guna memperkuat kebenaran teori-teori ilmiah mereka yang pada akhirnya akan terlihat dominasi ilmu pengetahuan terhadap al-Qur’an (lebih mengedepankan ilmu pengetahuan dari Al-Qur’an itu sendiri).

Di sisi lain, ilmu pengetahuan akan terus dan terus berkembang. Perkembangan tersebut akan memunculkan teori-teori baru yang akan menghapus kebenaran teori sebelumnya. Sedangkan Al-Qur’an adalah kitabullah yang bersifat mutlak dan tidak akan pernah berubah oleh zaman dan tidak akan usang ditelan waktu.

Sebenarnya penggunaan ilmu pengetahuan modern untuk menafsirkan Al-Qur’an khususnya dan dan agama secara khusus sangat berguna untuk memperkuat dan memperjelas hakekat kebenaran agama Islam dan hal-hal yang ghaib yang ada di dalam Al-Qur’an pada akal manusia yang mungkin saja menganggapnya suatu yang tidak mungkin.


KESIMPULAN

Dari uraian di atas kita dapat menarik benang merah bahwa sebenarnya tafsir ilmiah Al-Qur’an itu diperbolehkan dalam Islam selama tidak menyimpang dari makna yang terkandung dalam Al-Qur’an dan bukan semata-mata untuk memperkuat teori-teori ilmiah. Penafsiran ini sangatlah diperlukan guna memperkuat hakekat kebenaran ajaran Islam yang selalu sesuai dengan perkembangan zaman. Juga untuk memperkuat dan memperkokoh keimanan kita akan kebenaran agama kita, membantu memecahkan masalah-masalahnya (agama), membantah kebohongan orang-orang yang membencinya. Ilmu-ilmu dengan pengetahuan barunya bisa memperkuat bisa memperkuat beberapa hukum yang ada di dalam syari’ah dengan menerangkan hal-hal yang mendatangkan mashlahat bagi manusia dan mencegah mafsadat dari mereka.

Wallahu a’lam bissawab
     
      Baca Selengkapnya »      

Ijtihad Umar Ibn Al-Khattab

Ijtihad Umar Ibn Al-Khattab
Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam
Amiur Nuruddin
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara Medan



PENDAHULUAN


Sejak dari periode awal sejarah Islam, perilaku kehidupan kaum muslimin dalam keseluruhan aspeknya telah diatur oleh Hukum Islam. Aturan-aturan ini pada esensinya adalah religius dan terjalin (inherent) secara religius[1]. Oleh karena itu dalam pembinaan dan pengembangannya selalu diupayakan berdasarkan kepada Al-Qur’an, sebagai wahyu Ilahi yang terakhir kepada manusia, yang pengaplikasiannya untuk sebagian besar dicontohkan dan dioperasionalkan oleh Sunnah Rasulullah.


Al-Qur’an pada mulanya diwahyukan sebagai respon terhadap situasi masyarakat tertentu, yang kemudiannya secara alamiah tumbuh dan berkembang lebih luas, dengan tersebarnya Islam ke berbagai penjuru. Kebanyakan persoalan yang dihadapi kaum Muslimin di masa Rasulullah sudah barang tentu berbeda dengan yang dihadapi oleh generasi-generasi yang datang mengiringinya. Hal ini terjadi di samping karena proses kemasyarakatan yang berjalan terus-menerus, juga disebabkan kontak dan saling mempengaruhi antara umat Islam dan budaya lain yang bersentuhan. Oleh karena Al-Qur’an hanya memuat sebagian kecil hukum-hukum terinci, dan Sunnah yang terbatas pada kasus-kasus yang terjadi di masa Rasulullah, maka untuk memecahkan persoalan-persoalan baru, terutama yang berhubungan dengan persoalan kemasyarakatan (mu’amalah), diperlukan adanya ijtihad. Ijtihad yang merupakan upaya pemikiran maksimal manusia yang dikerjakan secara sungguh-sungguh dalam menemukan dan menerapkan pesan-pesan Tuhan yang termuat atau tersirat pada suatu teks (nash) agama atau preseden, ternyata telah dapat mengaktualkan aturan-aturan Islam pada setiap waktu dan keadaan.


Ijtihad sebenarnya telah berlangsung sejak masa Rasulullah. Banyak sahabat Nabi yang telah berijtihad tentang berbagai persoalan, baik ketika mereka berada disamping Rasulullah, ataupun ketika mereka berjauhan dengan beliau. Terhadap hasil ijtihad yang beliau ketahui secara langsung, ataupun melalui perantara-perantara sahabat-sahabat yang lain, beliau senantiasa menentukan sikap dan kalau perlu memberikan keputusan; ada yang beliau setujui dan ada yang pula yang beliau betulkan. Semangat ijtihad tumbuh subur di kalangan sahabat, karena Rasulullah memang memberi peluang yang besar kepada mereka untuk berijtihad. Di samping itu dalam bentuk tindakan praktis, Rasulullah memberi kesempatan agar sahabat-sahabat berani mengemukakan pendapat, terutama dalam kasus-kasus yang memerlukan pemecahan secepatya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau ada beberapa orang sahabat yang tercatat dalam sejarah, sebagai orang-orang yang sering diajak musyawarah oleh Rasulullah.


Setelah Rasulullah wafat, keperluan kepada ijtihad semakin meningkat. Kalau pada masa Rasulullah, di samping ada ijtihad, berbagai persoalan masih dapat dikembalikan dan dikonsultasikan kepada beliau, tetapi setelah itu keadaannya menjadi lain. Tanggung jawab sepenuhnya untuk memecahkan segala persoalan jelas terpikul kepada ummat yang ditinggalkannya. Kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai rasul pamungkas (khatam al-anbiya wa al-mursalin) Nampaknya difahami mereka secara kreatif. Untuk itulah, mereka dengan segala upaya dan kesungguhan, berijtihad, mencari pemecahan masalah, dengan selalu mengambil inspirasi dan mengakap pesan-pesan universal dari al-Qur’an dan Sunnah. Dalam ijtihad kadangkala terlihat, mereka membawa pemecahan yang berbeda, bukan saja di kalangan mereka, bahkan juga dengan praktek-praktek yang telah berlaku di masa Rasulullah. Dalam sejarah Islam, sahabat yang paling berani berbuat demikian ialah Umar Ibn Al-Khattab.


Umar Ibn Al-Khattab, setelah masuk Islam, membawa perubahan besar terhadap umat Islam. Dukungan yang diberikan oleh Umar kepada Islam, sejak dari awal telah menunjukan hasil yang mengagumkan. Kalau sebelum Umar masuk Islam, ummat Islam masih merasa ketakutan untuk menyatakan keislaman mereka, karena kuatnya ancaman dan tekanan dari kaum musyrikin Mekkah, tetapi setelah beliau mengaku sebagai muslim, ummat Islam mulai berani melaksanakan ajaran agama secara terbuka. ‘Abdullah Ibn Mas’ud, seorang sahabat yang banyak berperan mengembangkan pemikiran Umar[2], menyatakan: “bahwa Islamnya Umar merupakan kejayaan, hijrahnya merupakan pertolongan dan pemerintahannya merupakan rahmat. Sebelum Umar masuk Islam, katanya, kami tidak berani shalat di samping ka’bah. Akan tetapi kemudian setelah beliau masuk Islam dan berhasil memperjuangkan haknya untuk shalat di sana, lalu kamipun shalat bersamanya.[3]


Kalau diperhatikan sepintas lalu, tampaknya kebijakan-kebijakan Umar itu mungkin dipandang “bertentangan” dan “menyimpang” dari perintah al-Qur’an atau Sunnah yang berlaku sebelumnya. Akan tetapi, seperti dikemukakan oleh Ahmad Hasan dalam bukunya The Early Development of Islamic Jurisprudence,[4] bahwa tindakan Umar semacam itu justru bukan merupakan suatu penyimpangan, tetapi berangkat dari ketaatan yang sejati kepada semangat al-Qur’an yang dilakukannya berdasarkan pertimbangan pribadi.


Kerangka pemikiran dalam tulisan ini dikembangkan dari anggapan bahwa generasi-generasi Muslim yang paling awal nampaknya tidak memandang ajaran-ajaran al-Qur’an dan Sunnah sebagai ajaran-ajaran yang bersifat kaku dan statis. Pada dasarnya ia adalah ajaran-ajaran yang dinamis, bergerak secara kreatif sesuai dengan bentuk sosial yang beraneka ragam. Sebagai salah seorang sahabat yang dekat dengan Rasulullah, Umar memang dapat dijadikan teladan yang tidak diragukan integritasnya terhadap Islam. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa ijtihad Umar untuk sebagian besar telah memberikan pengaruh terhadap perkembangan pemikiran dalam Islam, terutama dalam bidang Hukum Islam. Maka bila sebuah riwayat yang menceritakan bahwa Umar telah melakukan sesuatu tindakan dibaca terlepas dari konteks sosialnya, tentu riwayat tersebut akan menjadi sedikit manfaatnya. Akan tetapi bila dapat ditelusuri orde sosial dan difahami kekuatan sosiologis yang menyebabkan Umar berbuat dimikian, maka riwayat tersebut akan mendatangkan arti yang besar bagi perkembangan pemikiran sekarang ini.


LATAR-BELAKANG KEHIDUPAN UMAR


Bahwa Umar Ibn Al-Khattab sebagai salah seorang tokoh terbesar sepanjang sejarah tampaknya diakui oleh Barat dan Timur. H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers dalam Shorter Encycloaedia of Islam menyebutkan, bahwa Umar Ibn Al-Khattab, Khalifah II adalah salah seorang dari tokoh-tokoh terbesar pada permulaan Islam dan pendiri imperium Arab.[5] Hanya disayangkan kedua editor di atas tidak menguraikan latar belakang kehidupan Umar, yang semestinya diperlukan dalam melihat kebesaran seorang tokoh. Kesangsian terhadap banyaknya riwayat-riwayat terinci yang tidak benar, nampaknya dijadikan mereka sebagai alasan untuk tidak melakukan hal tersebut.


Memang, gambaran tentang masa lalu banyak ditentukan oleh hasil rekonstruksi para sejarawan yang tidak lepas dari subyektivitas mereka. Akan tetapi yang dituntut dari setiap rekonstruksi masa lampau ialah agar pekerjaan itu dilakukan dengan jujur, sehingga tidak perlu khawatir dengan riwayat-riwayat yang ternyata dapat diterima oleh pertimbangan logika dan patokan ilmiah. Nampaknya sikap seperti ini menjadi sangat penting sejauh fakta yang dapat dikumpulkan hanya bersumber kepada riwayat-riwayat yang dituturkan dari generasi ke generasi.


Dalam beberapa sumber yang ditulis oleh sejarawan muslim, seperti Ibn al-Asir, Ibn Sa’ad dan Ibn Hajr, garis keturunan Umar bertemu dengan Muhammad Rasulullah pada leluhurnya generasi kedelapan. Penelusuran garis keturunan ini bagi masyarakat Arab bukanlah merupakan hal yang sulit, karena sudah menjadi tradisi masyarakat tersebut untuk mengabadikan urutan garis keturunan dalam syi’ir dan hafalan. Bahkan lebih dari itu, orang-orang yang mempunyai ilmu dalam bidang nasab, yaitu suatu pengetahuan yang membicarakan garis keturunan (silsilah) seseorang atau kelompok masyarakat, dianggap sebagai orang yang mempunyai kedudukan istimewa dan terhormat dalam masyarakat.


Dari berbagai sumber yang menguraikan garis keturunan Umar disebutkan bahwa Umar adalah putra Al-Khattab, Al-Khattab putra Nufail, Nufail putra ‘Abd al-‘Uzza, ‘Abd al-‘Uzza putra Riyah, Riyah putra ‘Abdullah, ‘Abdullah putra Qurth, Qurth putra Rizah, Rizah putra ‘Adi dan ‘Adi putra Ka’ab.[6] Ka’ab mempunyai putra yang lain di samping ‘Adi, bernama Murrah, dan dari Murrah ini silsilahnya menurun sampai kepada Muhammad Rasulullah. Oleh sebab itu garis keturunan Umar dan Muhammad Rasulullah bertemu pada moyang mereka yang bernama Ka’ab. Dilihat dari garis ayah, maka secara Genealogis, yaitu keterikatan satu sama lain karena keturunan yang sama, Umar berasal dari keluarga Bani ‘Adi. Sedang keturunan dari garis ibu, ibunya berasal dari Bani al-Makhzumi, yang bernama Hantamah putri Hasyim Ibn al-Mughirah al-Mukhzumi. Umar dilahirkan di Mekkah dan diperkirakan empat tahun sebelum terjadinya perang Fijar,[7] atau sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad al-Khudari Bek, tiga belas tahun lebih muda dari Muhammad Rasulullah.[8]


Menurut penelitian yang dilakukan oleh dua orang bersaudara, Ali dan Naji al-Thanthawi, terhadap riwayat-riwayat yang berkenaan dengan Umar dikatakan, bahwa dari keseluruhan hidup Umar yang berakhir dalam usia enam puluh lima tahun (W. 644 M) sebagian yang pertama berada dalam kegelapan, sementara sebagiannya yang kedua penuh dengan kecemerlangan dan peninggalan sejarah yang mengagumkan, yang dimulai sejak ia mengucapkan dua kalimah syahadah dan mengaku sebagai seorang muslim.[9] Sejalan dengan penelitian ini, memang dirasakan ada kesulitan untuk menelusuri dan menulis biografi Umar sejak dari awal, sebagai yang diungkapkan oleh H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, akan tetapi hal ini tidaklah berarti tidak mungkin sama sekali. Pengungkapan kembali hal-hal yang penting dan menonjol, terutama peristiwa-peristiwa pada masa muda Umar dapat diketahui dari ucapan dan pernyataan beliau jauh setelah peristiwa itu terjadi.


Ada dua hal yang nampaknya menjadi perhatian para ahli. Pertama peristiwa yang menyangkut pengalaman Umar sebagai pengembala trnak dan kedua pengalamannya sebagai peniaga. Kedua pengalaman ini nampaknya berpengaruh besar pertumbuhan watak dan kepribadian Umar. Dr. Mahmud Isma’il dalam tulisannya yang berjudul Falsafah al-Tasyri’ ‘inda Umar Ibn Al-Khattab, mengatakan bahwa pengalaman Umar sebagai pengembala unta yang diperlakukan keras oleh ayahnya berpengaruh terhadap temperamen Umar yang menonjolkan sikap keras dan tegas dalam pergaulan. Sedang pengalamannya sebagai peniaga yang sukses, yang membawa barang dagangan pulang pergi ke Syiria, berpengaruh terhadap kecerdasan dan kepekaan serta pengetahuannya terhadap berbagai tabi’at manusia.[10]


Al-Khattab, ayah Umar, dikabarkan adalah salah seorang anggota terkemuka suku Quraisy yang berasal dari Bani Adi. Walaupun ia bukan orang yang tergolong hartawan, namun ia adalah orang yang pintar, berani dan tidak gentar menghadapi peperangan. Dalam perang Fijar, yang terjadi antara suku Quraisy dan kabilah-kabilah lain, ia tercatat sebagai salah seorang yang memperkuat barisan Quraisy. Oleh sebab itu dapat diduga, apabila sebagian dari sifat-sifat dan temperamen ayahnya mengalir kepada Umar. Adanya unsure warisan semacam ini dan didukung oleh bobot tubuh yang memadai nampaknya menempatkan Umar selalu menjadi perhatian banyak orang.


Dr. Muhammad al-Thamawi, seorang dosen dan ketua jurusan Al-Qanun al-‘Am (Perundang-undangan Umum) pada fakultas Hukum Universitas ‘Ain al-Syams, Mesir, telah mencoba mengumpulkan riwayat-riwayat yang menggambarkan kondisi fisik Umar Ibn Al-Khattab. Berdasarkan informasi yang ia peroleh, baik yang berasal dari sumber-sumber klasik maupun ulasan-ulasan yang terdapat pada sumber-sumber modern, diungkapkan bahwa Umar Ibn Al-Khattab mempunyai tubuh yang tinggi dan tegap dengan raut muka yang menarik. Bila dia berjalan, melangkah dengan mantap dan bila dia berbicara, bersuara dengan lantang. Atas dasar sumber yang sama DR. Husein Heikal dalam karyanya, Al-Faruq Umar, menyimpulkan bahwa Umar benar telah mewarisi sifat keras ayahnya, yang kemudian didukung pula oleh kekuatan badannya.


Di samping isyarat-isyarat di atas yang telah memberikan gambaran tentang kepribadian Umar, maka petunjuk lain yang tidak kalah pentingnya ialah sikap Rasulullah sendiri, yang nampaknya, atas dasar pertimbangan yang cukup rasional, mengharapkan keislaman Umar, sebagai salah seorang yang akan memperkuat perjuangan Islam. Ini berarti bahwa Umar memang telah diperhitungkan dan dianggap sebagai orang yang mempunyai pengaruh besar di tengah-tengah suku Quraisy. Lebih dari itu, Umar dikenal pula sebagai seorang yang sangat keras menantang risalah Muhammad Rasulullah.


Kalau ditelusuri lebih cermat, nampaknya, sikap keras Umar bukan saja sebelum ia masuk Islam, tetapi setelah ia masuk Islam juga masih mempunyai sikap yang sama. Di kala Abu Bakr meminta pendapat sahabat-sahabat terkemuka tentang Umar yang akan menggantikan beliau sebagai khalifah, ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Auf berkata: “Demi Allah, dia (Umar) memang seorang yang terbaik di mata engkau, akan tetapi dia mempunyai sikap yang keras.”[11]


UMAR IBN KHATTAB DAN PERUBAHAN SOSIAL


Dalam melihat faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan sosial, secara garis besar Soerjono Soekanto membaginya kepada dua macam. Ada yang terletak di dalam masyarakat itu sendiri (faktor Intern) dan ada yang bersumber dan sebagai pengaruh dari masyarakat lain, atau dari alam sekitarnya (faktor ekstern).[12] Yang termasuk faktor intern ialah:


1. Bertambah dan berkurangnya penduduk.


2. Adanya penemuan-penemuan baru


3. Terjadinyan pertentangan (konflik) dalam masyarakat.


4. Timbulnya pemberontakan atau revolusi di dalam masyarakat itu sendiri.


Sementara itu, yang termasuk faktor-faktor ekstern ialah:


1. Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia.


2. Terjadinya peperangan.


3. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain.


Agaknya dalam melihat perubahan-perubahan sosial yang terjadi pada masa Umar kerangka di atas dapat dipergunakan. Untuk mengoperasikan kerangka tersebut diambil hal-hal yang dianggap menonjol, sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi selama masa pemerintahan Umar.


Selama sepuluh tahun pemerintahan Umar (13 H/634 M-23 H/644 M),[13] sebagian besar ditandai oleh penaklukan-penaklukan untuk melebarkan pengaruh Islam. Ia mengendalikan penaklukan itu dari Madinah, sebagai pusat pemerintahannya. Sikap tegas yang sudah terbina sejak dari awal turut mewarnai berbagai kebijaksanaan yang diambilnya. Ia adalah pembaharu (innovator).[14]


Setidak-tidaknya ada tiga faktor penting yang nampaknya ikut mempengaruhi kebijakan-kebijakannya dalam bidang hukum, yaitu faktor-faktor militer, ekonomis dan demografis.

1. Faktor Militer


Adanya penaklukan besar-besaran pada masa pemerintahan Umar adalah merupakan fakta yang diakui kebenarannya oleh para sejarawan. Bahkan ada yang mengatakan, kalau tidaklah karena penaklukan-penaklukan yang dilakukan pada masa Umar, maka Islam belum akan tersebar seperti sekarang.[15] Penaklukan-penaklukan ini sudah barang tentu menuntut adanya mobilisasi besar-besaran dan peningkatan efektivitas dan efisiensi dalam penanganan personil-personil militer. Untuk kepentingan itu Umar membentuk suatu system organisasi militer yang dapat mendukung system keamanan dan pengendalian wilayah yang kian bertambah luas. Beliau menyetujui saran sahabat-sahabat lainnya untuk mendaftarkan personil militer dalam satu diwan. Dan beliau terkenal akhirnya sebagai orang yang pertama menciptakan lembaga itu.[16]


Dengan adanya diwan ini, beliau telah melangkah lebih maju, yaitu dengan terbentuknya tentara professional, (Jaisy Muhtarif).[17]


2. Faktor Ekonomis


Sebagai akibat lebih lanjut dari penaklukan-penaklukan yang terjadi, maka terbukalah sumber-sumber ekonomi yang tidak diperoleh sebelumnya di tengah-tengah jazirah Arab. Pajak-pajak dari daerah taklukan mengalir ke daerah Madinah. Abu Yusuf melaporkan dari sumber yang berasal dari Sa’ad Ibn Al-Musayyab, bahwa ketika seperlima rampasan perang Persia dibawa ke Medinah, Umar memerintahkan agar diletakan di Mesjid dan menyuruh ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Auf dan Abdullah Ibn Arqam menjaganya. Setelah pagi hari, barang-barang hasil rampasan itu dibuka tutupnya, maka tampaklah oleh Umar sesuatu yang belum pernah dilihatnya sebanyak itu, berupa emas, perak, intan, dan berlian. Ia lalu menangis. Maka ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Auf berkata: “Sesungguhnya kita bersyukur, tetapi kenapa justru menangis.” Jawab Umar: “Ya, kita bersyukur. Namun suatu kaum yang diberi kekayaan seperti ini, pasti akan menimbulkan permusuhan dan kusumat di antara mereka.


Perubahan yang nyata tampak di sini adalah menjadi pentingnya kedudukan sosial seseorang, oleh karena kedudukan tersebut mempunyai nilai materi. Semakin dekat kepada Rasulullah dan semakin banyak jasanya dalam Islam serta lebih senior pengalaman keislamannya, maka semakin besar pulalah haknya atas tunjangan sosial dari negara. Langkah ini perlu ditempuh oleh Umar karena barangkali masyarakat pada waktu itu sudah jauh berbeda dengan masyarakat pada waktu Abu Bakr. Masyarakat pada masa Abu Bakr walaupun pada awalnya Umar sudah tidak sependapat dengan Abu Bakr masih relatif agak homogen dibanding dengan waktu Umar. Dan itu adalah akibat langsung dari ekspansi Islam yang dilakukan secara besar-besaran.


3. Faktor Demografis


Sebelum penaklukan ke luar jazirah Arab, penduduk negara Islam hanya terdiri dari etnis Arab dan minoritas Yahudi. Walaupun telah terdpat orang-orang Persi yang masuk Islam, namun jumlah mereka belumlah begitu berarti. Berbeda halnya setelah penaklukan, jumlah warga Islam non Arab menjadi bertambah besar, sehingga kelompok-kelompok sosial dalam komunitas Islam semakin beragam dan kompleks.


Bersamaan dengan itu terjadi pula asimilasi antara berbagai kelompok. Terutama setelah dibangunnya kota Kufah sebagai tempat bertemunya berbagai kelompok dan suku baik dari Utara maupun Selatan. Mobilitas penduduk semakin intent. Kota Madinah tidak saja dikunjungi oleh suku suku Arab, tetapi juga oleh orang-orang ‘Ajam. Begitu juga sebaliknya orang-orang Arab mengunjungi, bahkan menetap di Mesir, Syiria, Persi, dan lain-lain. Hal ini jelas menimbulkan kontak budaya antara mereka, sehingga tidak mustahil terjadi saling mengambil dari unsur-unsur kebudayaan masing-masing.


Dalam menghadapi perubahan-perubahan sosial paling tidak ada dua sikap yang menjadi kunci kesuksesan Umar. Kedua sikap itu ialah: pertama, beradaptasi dengan tantangan baru itu secara kreatif, dan kedua, mengambil suatu pandangan sejarah yang kontekstual.


Kasus-kasus Ijtihad Umar Ibn Al-Khattab


Umar Ibn Al-Khattab adalah salah satu seorang sahabat yang terbesar sepanjang sejarah Islam sesudah Nabi Muhammad. Kebesarannya terletak pada keberhasilannya, baik sebagai negarawan yang bijaksana maupun sebagai mujtahid yang ahli, dalam membangun sebuah negara besar yang ditegakan atas prinsip-prinsip keadilan, persamaan dan persaudaraan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam kedudukannya sebagai mujtahid, Umar termasuk pada ranking pertama dalam tujuh besar sahabat-sahabat Nabi yang banyak memberikan fatwa, dan orang terdepan membawa panji-panji mazhab ra’y,[18] yang kepergiannya ke hadirat Allah membawa sembilan persepuluh ilmu, menurut Ibn Mas’ud.[19]


Berikut adalah kasus-kasus yang sebenarnya hanya sebagian kecil dari ijtihad Umar.


Kasus Muallaf


Berdasarkan fakta sejarah, golongan muallf terdiri dari orang-orang Islam yang masih lemah imannya dan orang-orang kafir (non Islam) yang diharapkan sesuatu daripadanya. Oleh sebab itulah barangkali, para ahli Hukum Islam, sebagai dilaporkan oleh Rasyid Rida membagi Muallaf menjadi enam macam. Empat macam dari kalangan muslimin dan dua macam dari kalangan Non Muslim.[20]


Yang termasuk dalam golongan Islam adalah:


a. Pemuka-pemuka Muslim yang mempunyai pengaruh di tengah-tengah kaumnya yang masih kafir.


b. Pemimpin-pemimpin yang masih lemah iman, yang dihormati oleh kaumnya.


c. Orang-orang Islam yang berada di perbatasan.


d. Orang-orang Islam yang karena pengaruhnya diperlukan untuk memungut zakat.


Sedangkan orang-orang yang berasal dari non Muslim ialah:


a. Orang-orang yang diharapkan akan beriman dengan adanya bagian muallaf yang diberikan kepada mereka.


b. Orang-orang yang dikhawatirkan tindakan kejahatannya terhadap orang-orang Islam.


Nampaknya bagian muallaf diberikan karena ada tujuan-tujuan dan maksud-maksud tertentu yang sifatnya sangat kondisional. Oleh sebab itulah, ketika kondisi umat Islam sudah kuat dan stabilitas pemerintah sudah makin mantap, Umar menghentikan pemberian bagian muallaf. Umar mencabut perintah yang dituliskan Abu Bakr, dikala ia masih menjadi khalifah bagi penyumbangan tanah-tanah tertentu pada sejumlah orang atas dasar ini. Umar berpendapat bahwa Rasulullah telah memberikan bagian itu untuk memperkuat Islam, tetapi karena keadaan telah berubah maka bagian itu tidak valid lagi.[21]


Dalam kasus muallaf, nampakny Umar, memang tidak melihat ada kemaslahatannya untuk meneruskan pemberian kepada orang-orang yang pernah mendapat sebelumnya. Dan kalau diteliti lebih mendalam perbuatan Umar sebenarnya sejalan dengan kandungan ayat 60 surah al-Taubah.


Berdasarkan penalaran di atas, maka hakikat dari ijtihad Umar, dalam kasus muallaf dapat disebut sebagai ijtihad Tahqiq al-Manath (pemikiran mendalam untuk menegakan tambatan hukum). Penalaran dengan cara ini, menurut al-Syatibi, tidak akan pernah berakhir dan tidak akan putus-putusnya.[22]


Ia tidak bersentuhan langsung dengan nash (teks), karena yang menjadi obyek sesungguhnya adalah ketegasan dan kejelasan hakikat sesuatu yang merupakan gantungan atau tambatan hukum syara’.


Bagi Umar nampaknya tambatan hukum tidak bisa ditegakan pada masanya. Pada dasarnya Islam sudah jauh berbeda dengan masa Rasulullah. Islam sudah kuat dan stabilitas sudah mantap. Pemikirannya tentang implikasi teks telah membawanya untuk menghentikan bagian muallaf. Dari sini dapatlah dipahami bahwa Umar bukanlah berbuat sesuatu yang bertolak belakang dengan Al-Qur’an. Tetapi sebenarnya ia mempertimbangkan situasi yang ada dan mengikuti ruh dan jiwa perintah al-Qur’an.



Kasus Potong Tangan Pidana Pencurian


Secara garis besar pencurian dalam Islam dibagi kepada dua macam: pencurian yang dipidana dengan hukuman potong tangan dan pencurian yang dihukum dengan hukuman ta’zir (hukuman yang diadakan oleh masyarakat atau pemerintah terhadap suatu kejadian tertentu sejauh ketentuannya tidak diterangkan dalam al-Qur’an atau Hadits).


Beberapa hal yang perlu diperhatikan terhadap kejahatan pencurian yang diancam dengan hukum potong tangan ialah:


a. pencurinya sudah mukallaf


b. pencurian itu dilakukan atas kemauan sendiri


c. tidak terdapat syubhat (semi milik) dalam harta curian.


Pada prinsipnya setiap kejahatan yang diancam dengan hukuman hadd, yaitu kejahatan-kejahatan yang sudah ditentukan sendiri hukumannya oleh al-Qur’an. Dalam melaksanakan eksekusi terhadap kejahatan-kejahatan itu dituntut sikap keras dan tegas, tidak diperkenankan adanya hak-hak istimewa, pandang bulu, koneksi, dan lain sebagainya.


Dalam kasus ini, Umar Ibn Al-Khattab dikabarkan pernah tidak melaksanakan hukuman tersebut sewaktu masyarakat Islam sedang mengalami musibah kekurangan persediaan makanan dan bahaya kelaparan.[23] Peristiwa ini terjadi pada musim kemarau panjang, yang karena kegersangan tanah yang tidak pernah ditimpa hujan selama sembilan bulan terus menerus, bumi berubah menjadi seperti abu, sehingga tahun itu dikenal dengan tahun abu. Diperkirakan tahun abu ini terjadi menjelang akhir tahun kedelapan belas Hijriyah. Pada masa itu Umar seringkali mengucapkan kata-kata yang menggambarkan keyakinan yang begitu besar terhadap keadilan yang penuh dan persamaan yang mutlak antar sesama manusia.


Di samping riwayat di atas, diceritakan pula bahwa Umar juga tidak melaksanakan potong tangan seorang laki-laki yang mencuri suatu barang dari Bait al-Mal. Begitu pula Umar tidak memotong tangan beberapa orang budak yang terbukti karena kelaparan, mereka bersama-sama mencuri seekor unta. Dan sebagai hukuman pengganti Umar membebankan kepada pemilik budak-budak itu untuk mengganti dua kali lipat dari harga unta tersebut kepada pemiliknya.


Jadi bagi Umar tidak selamanya hukuman potong tangan harus dilaksanakan. Penangguhan potong tangan juga dilaksanakan dalam peperangan. Larangan Rasulullah untuk memotong tangan-tangan pencuri dalam peperangan diartikan oleh Umar agar pencuri ketika itu tidak lari dan bergabung dengan musuh. Pertimbangan-pertimbangan seperti itu jelas mempengaruhi pemikiran Umar dalam menerapkan ketentuan ayat yang menerangkan tentang hukuman potong tangan, sehingga penafsirannya tidak kering dan terpaut dengan teks-teks perundang-undangan dalam Islam. Selain itu pertimbangan Umar tidak melakukan pemotongan tangan juga bertolak dari pengecualian yang ditentukan dalam al-Qur’an terhadap orang yang berada dalam keterpaksaan.[24] Dan kelonggaran yang diberikan terhadap kondisi keterpaksaan berkaitan erat dengan usaha mewujudkan kemashlahatan yang menjadi tujuan dan esensi hukum Islam.


Kasus Rampasan Perang


Dalam sejarah Islam, kontak senjata yang pertama kali terjadi antara kaum Muslimin dan kaum Musyrikin adalah pada tanggal 17 Ramadhan tahun kedua Hijriyah di desa Badr. Dalam peperangan yang terkenal dengan perang Badr ini, kaum Muslimin meraih kemenangan untuk pertama kali pula, setelah sebelumnya dalam waktu yang tidak kurang dari lima belas tahun, mereka mengalami berbagai macam penderitaan, penyiksaan dan pengusiran. Saat itu kaum Muslimin mendapatkan banyak harta yang ditinggalkan pemiliknya. Kemudian timbul pertanyaan untuk siapa harta sebanyak itu. Apakah untuk mereka yang turun ke medan juang, atau juga untuk mereka yang membentengi Rasulullah dari serangan musuh?. Berhubungan dengan hal itu, al-Qur’an telah menegaskan bahwa seperlima dari harta rampasan perang dialokasikan sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan. Adapun sisanya dibagikan kepada tentara yang ikut dalam peperangan yang jumlahnya disesuaikan dengan peranan dan alat yang digunakan.


Bertolak dari uraian tersebut tidaklah mengherankan kalau berbagai protes diajukan kepada Umar ketika penaklukan besar-besaran terjadi karena dia tidak mau merampas dan membagi-bagikan tanah yang ditaklukan kepada pasukan-pasukan Arab. Namun walaupun demikian tidak bisa dianggap bersikap otoriter, karena dalam kekerasannya, Umar tidak pernah meninggalkan musyawarah dengan para sahabat dalam mengambil suatu keputusan. Dan sikapnya yang tidak mau membagikan tanah-tanah yang telah ditaklukan dia lakukan setelah melakukan musyawarah dengan para sahabat yang lain.


Agaknya dengan berbagai analisa yang telah dikemukakan di atas yang dilengkapi dengan berbagai komentar, akhirnya ditemukan semacam kesimpulan bahwa betapapun suatu hukum dapat berubah secara formal menghadapi perubahan sosial, tapi jiwa dan etik yang mendasari hukum formal itu tetap bertahan dan tidak berubah.



PENUTUP


Hukum dalam Islam selalu diupayakan berakar pada pesan-pesan Allah dalam Al-Qur’an, sebagai wahyu yang paling final dan sempurna, yang sebagian besar telah membawa prinsip-prinsip umum yang bernilai mutlak, yang dapat berlaku sepanjang waktu dan keadaan. Ijtihad adalah upaya pemikiran maksimal manusia yang dilakukan secara sungguh-sungguh dalam menemukan dan menerapkan pesan-pesan Tuhan yang termuat dan tersirat dalam Al-Quran dan Sunnah.


Nabi Muhammad, di samping sebagai Rasulullah yang mendapat wahyu dari Allah, beliau juga sebagai manusia biasa yang membawa berbagai kebijaksanaan dan pendapat yang tidak terlepas dari konteks kesejarahannya. Olah karena itu dalam kedudukannya sebagai uswah hasanah, Rasulullah telah memberi contoh yang baik bagaimana memecahkan persoalan umat melalui penggunaan akal yang tepat. Dan atas dasar didikan Rasulullah itulah, para sahabat telah dikondisikan untuk mampu melahirkan bentuk-bentuk baru dalam memecahkan persoalan yang mereka hadapi.


Di antara sahabat-sahabat yang mendapat kepercayaan adalah Umar Ibn Khattab. Pendekatannya, yang sejak awal lebih banyak bersifat rasional dan intelektual, telah melahirkan pelbagai perubahan hukum secara formal, berdasarkan tuntutan kemaslahatan dan konteks zamannya. Hal itu, merupakan gambaran konkret dan hidup tentang ijtihad Umar, yang dari padanya dapat ditarik inspirasi untuk melihat dan memecahkan pelbagai masalah hukum sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu, sama dengan tantangan yang dihadapi dan diselesaikan oleh Umar Ibn Khattab. Wallahu a’lam bissawab. []


BUKU PUSTAKA


Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz IV, (Mesir: Al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, t.t.),


Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Cairo: Maktabah Nahdhah al-Mishiriyyah, Cet. XI, 1975),


Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Pustaka, Cet. I, 1984).


Ali al-Thanthawi dan Naji al-Thanthawi, Akhbar Umar wa Akhbar ‘Abdullah Ibn Umar, (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. I)


Al-Khudari Bek, Muhadarat Tarikh al-Umam al-Islamiyyah, (Mesir: Al-Maktabah al-Nijariyah al-Kubra, 1969)


Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, Cet. III, 1973)


Fathi ‘Usman, al-Fikr al-Qanuni al-Islami, (Cairo: Maktabah Wahbah, t.t.)


Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: University of Chicago Press, Edisi kedua, 1979),


H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill. 1974)


Ibn al-Asir, Usud al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah, (Mesir: Dar al-Sya’b, Jilid IV), t.t.


Ibn Hajr, Kitab al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, (Beirut, Dar al-Fikr, Jilid II, 1978),


Ibn Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyyah, Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, Cet. II, 1955


Joseph Schact, An Introduction to Islamic Law, (London: Oxford at the Clarendon Press, 1971),


Mahmud Ismail, “Falsafah al-Tasyri’ ‘inda Umar Ibn Al-Khattab” dalam Umar Nazhrah ‘Ashriyyah Jadidah, (Beirut: al-Muassisah al-‘Arabiyyah li al-Dirasah wa al-Nasyr, Cet. I, 1973)


Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, Terjemahan Mahbub Junaidi, (Jakarta: Pustaka Jaya, Cet. 8, 1986)


Muhammad Anis ‘Ubadah, Umar Ibn Al-Khattab wa al-Tasyri’ al-Islami, (Kairo, Majlis al-A’la li al-Syuun al-Islamiyyah), t.t


Muhammad al-Khudari Bek, Itmam al-Wafa’ fi Sirah al-Khulafa, (Mesir, Al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, Cetakan IX, 1964),


Muhammad ‘Ammarah, Umar wa al-Tasyri’ al-Iqtishadi, dalam Umar Nazhrah ‘Ashriyyah Jadidah, (Beirut: Al-Muassisah al-‘Arabiyyah li al-Dirasat wa al-Nasyr, Cet. I, 1973)


Shobhi Mahmasani, Falsafah al-Tasyri’i fi al-Islam, (Mesir: Dar al-Kasysyaf li al-Nasyr, 1946)


The New Encyclopaedia Britanica, Jilid III, Edisi 15, (Chicago: The University of Chicago, 1973-1974)

T.M. Hasbi as-Shiddieqy, Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Yogyakarta: IAIN al-Jami’ah al-Islamiyyah al-Hukumiyyah, 1381)






[1]Lihat Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: University of Chicago Press, Edisi kedua, 1979), hlm. 68. sedemikian pentingnya kedudukan Hukum Islam dalam sejarah maka pengamat Barat, seperti Joseph Schact membuktikan bahwa tidak mungkin untuk memahami Islam. Lihat Joseph Schact, An Introduction to Islamic Law, (London: Oxford at the Clarendon Press, 1971), hlm. 1.


[2]Lahirnya pemikiran logis dalam Hukum Islam yang dipelopori oleh Abu Hanifah di Irak tidak terlepas dari saham Ibn Mas’ud, kata Ahmad Amin. Dan Ibn Mas’ud adalah murid setia Umar Ibn Al-Khattab. Lihat, Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Cairo: Maktabah Nahdhah al-Mishiriyyah, Cet. XI, 1975), hlm. 241.


[3]Lihat Ibn Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyyah, Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, Cet. II, 1955, hlm. 342.


[4]Buku yang cukup komprehensif membahas perkembangan hukum Islam pada periode awal ini ditulis pada mulanya sebagai Tesis Ahmad Hasan di bawah bimbingan Fazlur Rahman. Buku ini sudah diterjamahkan, Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Pustaka, Cet. I, 1984). h. 34


[5]H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill. 1974), hlm. 600.


[6]Lihat Ibn Hajr, Kitab al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, (Beirut, Dar al-Fikr, Jilid II, 1978), hlm. 518; Ibn Sa’ad, Kitab al-Thabaqat al-Kabir, (Leiden, E.J. Brill, Jilid III, 1904), hlm. 190; Ibn al-Asir, Usud al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah, (Mesir: Dar al-Sya’b, Jilid IV), t.t.,hlm. 145.


[7]Muhammad Anis ‘Ubadah, Umar Ibn Al-Khattab wa al-Tasyri’ al-Islami, (Kairo, Majlis al-A’la li al-Syuun al-Islamiyyah), t.t., hlm. 10; ‘Abd al-Muta’al al-Sa’idi, Al-Siyasah al-Islamiyyah, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.), hlm.116.


[8]Muhammad al-Khudari Bek, Itmam al-Wafa’ fi Sirah al-Khulafa, (Mesir, Al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, Cetakan IX, 1964), hlm. 64.


[9]Ali al-Thanthawi dan Naji al-Thanthawi, Akhbar Umar wa Akhbar ‘Abdullah Ibn Umar, (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. I)., hlm. 11.


[10]Mahmud Ismail, “Falsafah al-Tasyri’ ‘inda Umar Ibn Al-Khattab” dalam Umar Nazhrah ‘Ashriyyah Jadidah, (Beirut: al-Muassisah al-‘Arabiyyah li al-Dirasah wa al-Nasyr, Cet. I, 1973), hlm. 55.


[11]Al-Thamawi, op.cit., hlm. 27. Ahmad Husen, Min Qadaya al-Ra’y fi al-Islam, (Mesir: Dar al-Kitab al-‘Araby, t.t)., hlm. 42.


[12]Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Baru Kesatu, (Jakarta: Rajawali, 1982), hlm. 4.


[13]Al-Khudari Bek, Muhadarat Tarikh al-Umam al-Islamiyyah, (Mesir: Al-Maktabah al-Nijariyah al-Kubra, 1969), hlm. 197.


[14]Lihat The New Encyclopaedia Britanica, Jilid III, Edisi 15, (Chicago: The University of Chicago, 1973-1974), hlm. 625.


[15]Sebuah penilaian yang memerlukan pengkajian lebih lanjut. Lihat Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, Terjemahan Mahbub Junaidi, (Jakarta: Pustaka Jaya, Cet. 8, 1986), hlm. 266.


[16]Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, Cet. III, 1973), hlm. 199. Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Mesir: Dar al-Bayan, t.t.), hlm.243-244.


[17]Muhammad ‘Ammarah, Umar wa al-Tasyri’ al-Iqtishadi, dalam Umar Nazhrah ‘Ashriyyah Jadidah, (Beirut: Al-Muassisah al-‘Arabiyyah li al-Dirasat wa al-Nasyr, Cet. I, 1973), hlm. 39.


[18]Lihat Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Cairo: Maktabah al-Mahdah al-Mishiriyyah, 1975, hlm. 240-241. T.M. Hasbi as-Shiddieqy, Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Yogyakarta: IAIN al-Jami’ah al-Islamiyyah al-Hukumiyyah, 1381) ., hlm. 23.


[19]Lihat Ibn Qaiyyim, op.cit., hlm. 16.


[20]Lihat Rasyid Rida, op.cit., hlm. 494-496. Al-Sabiq, op.cit., hlm. 328-330.


[21]Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terjemahan Agah Barnadi, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 107.


[22]Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz IV, (Mesir: Al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, t.t.), hlm. 89.


[23]Ibn Qayyim, op.cit., Juz III, hlm. 22. Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, op.cit., hlm. 275. Ahmad Hasan, op.cit., hlm. 109. Shobhi Mahmasani, Falsafah al-Tasyri’i fi al-Islam, (Mesir: Dar al-Kasysyaf li al-Nasyr, 1946), hlm. 167.


[24]Fathi ‘Usman, al-Fikr al-Qanuni al-Islami, (Cairo: Maktabah Wahbah, t.t.), hlm. 56 dan 356.
     
      Baca Selengkapnya »      

SEKILAS TENTANG USHUL FIQH

SEKILAS TENTANG USHUL FIQH


I. Pengertian Ushul Fiqih:


Orentasi ulama ushul fiqih dalam mendifinisikan Ushul fiqih.


- Mendifinisikan ushul fiqih sebelum menjadi sebuah bidang ilmu, dalam hal ini Ushul fiqih harus dilihat dari Aspek majmuk (idhafi) susunan antara kalimat ushul dan fiqih. Orentasi ini dianut oleh segolongan ulama seperti, imam ghazali, ibnu barhan, Al amidi, sofiyudin alhindi, ibnul humam, ibnu aqil, dan ibnul mutahhar al hilli dari golongan syiah. Ibnu barhan mengatakan: “Innaka la’ ta’rif ushul fiqh hatta ta’rif ma’na al fiqh awwalan summa ushulihi staniyan.”


- Mendifinisikan ushul fiqih terbatas pada aspek ilmiah, artinya tidak menjelaskan makna ushul fiqih secara murakkab tapi hanya menjelaskan maknanya dalam bentuk peristilahan (laqabi). Orentasi ini di anut oleh segolongan ulama seperti al baidhawi, assubki, ubaidillah sodr syariah dan at thusi dari golongan syiah.


Sesuai dengan dengan orentasi pertama maka ushul fiqih terdiri dari dua kalimat yaitu; ushul dan fiqih.


Makna Ushul : yang bentuk jamak dari ashl secara etimologi mempunyai beberapa arti:


1. menurut abul husain al basri dan imam haramain Al Ashl berarti: ma yubna alaihi gairuhu hissiyan kana au gairuhu. Yaitu, (pondasi sesuatu baik bersifat materi atau bukan).


2. menurut imam amidi, Al Ashl berarti : ma yustanadu tahqiqusyae ilaihi (suatu yang digunakan sebagai sandaran).


3. menurut at thufi, al qarafi dan ulama lainnya Al Ashl berarti: ma minhu as syae’ atau mansyau’ syae’ (sumber sesuatu).


4. menurut ibnu najjar dan imam al qaffal Al Ashl berarti: ma ya tafarrau’ alaihi gairuhu ( akar dari cabang sesuatu).


Dari makna - makna ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan makna Al Ashl disini hanya perbedaan teks atau ibarat saja karena makna Al Ashl disini sama-sama berarti pondasi atau landasan yaitu ma yubna alaihi gairuhu.


Sedang menurut Istilah Ashl mempunyai beberapa arti:


1. Dalil (landasan atau dasar hukum) seperti ashal dari wajib solat adalah al quran dan hadist..


2. Qaidah Mustamirrah (dasar yang terus berlaku) seperti memakan bangkai dalam keadaan darurat adalah tidak sesuai dengan al qaidah almustamirrah yaitu keharaman bangkai.


3. Rajhan (yang terkuat) seperti ungkapan yang mengatakan: Al Aslu fil kalam al hakikah yakni; Aslu inda assa’mi al hakikah lal majaz (yang terkuat dari kandungan hukum adalah hakikatnya.


4. Al makis Alaih (yang disamakan dengannya) seperti: At ta’fif lil walidain aslun li dhorbihima : Atta’fif Aslun yuqosu alaihi ad darb fil hurmah. artinya: memukul orang tua disamakan keharamannya dengan mengatakan cis atau ah.


5. Al Mustashab (memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya) Seperti orang yang hilang tetap mendapatkan warisan selama tidak ada berita tentang kematiannya



Dari empat makna diatas yang sesuai dengan pemaknaan secara etimologi (ma yubna alaih gairuhu) adalah al ashl berarti Dalil.


Makna Fiqih : dilahat dari dua aspek: 1. Aspek bahasa. 2. aspek istilah.
Aspek bahasa: para ulama beda pendapat menjadi empat golongan:


- menurut jumhur Ushuliyin dan ibnu barhan: Al fiqh berarti (al fahmu mutlakan) Faham secara mutlak, seperti : faqihtu kalamak (saya memahami ucapanmu).


- Menurut imam syairazi dan segolongan ulama hanafi Al fiqh berarti: memahami sesuatu yang detail (fahmul asya’ addaqiqah sawa’un kanat gardul mutakallim am la).


- Menurut imam fahrudin arrazi, abul husaen al basri dan al jurjani Al fiqh berarti fahmu gardul mutakallim min kalamihi (memahami maksud ucapan orang yang berbicara).


Dari makna-makna ini yang paling tepat dengan mu’jam bahasa arab adalah memahami sesuatu secara umum atau absolut.
Aspek Istilah atau terminologi: Fiqih menurut imam al baidhawi berarti al ilmu bil ahkam as syariyah al amaliyah al muktasabu min al adilah at tafsiliyah (Ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan manusia (amaliah) yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci. Menurut Abu Hanifah Fiqih adalah Ma’ rifatun nafsi malah wama alaiha (pengetahuan tentang diri terhadap segala yang berkaitan dengan akidah maupun amaliyah). Menurut imam haramain Al fiqh berarti Marifatul Ahkam allati thariquha al ijtihad (pengetahuan tentang hukum melalui penalaran ijitihad.


Dari makna diatas bahwa objek kajian fiqih yakni hukum perbuatan mukallaf tentang halal, haram, wajib, makruh dst.



Makna Istilah ilmiah (Al laqobi) Ushul Fiqh :


Pakar Ushuliyin berbeda pendapat dalam mengartikan Ushul fiqih beraneka ragam ada yang menekankan pada fungsi Ushul fiqih itu sendiri dan ada pula yang menekankan pada hakekatnya.


a. Menurut Imam baidhawi : Ma’rifatu dalail al fiqhi ijmaalan wa kaifiyatul istifadati minha wa haalil mustafid (Ilmu pengetahuan tentang dalil fiqih secara keseluruhan (global) dan tentang metode penggunaan dalil tersebut, serta pengetahuan tentang mujathid dan persyaratan sebagai mujtahid.


b. menurut ibnu abdsyakur : ilmun biqawaid yatawassalu biha ila istinbat al masail al fiqhiyah an dala’iliha.(pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dapat mencapai kemampuan dalam menggali masalah-masalah fiqih).


c. Menurut ibnu barhan: Adillatul Ahkam Asyariyah (Dalil-dalil hukum syariat).


Dari makna-makna di atas dapat disimpulkan bahwa, pembahasan ilmu suhul fiqh berkisar kepada dalil global, mekanisme istinbath, syarat mujtahid dan bagaimana mengoprasionalkan kaidah-kaidah dalam hukum syara’.



II. Ruang Lingkup (objek Kajian ) Ushul Fiqh


Secara garis besar terbagi menjadi 3 (tiga) :


1. Sumber hukum dgn semua seluk beluknya


2. Metode pendayagunaan sumber hukum/metode penggalian hukum dari sumbernya


3. Persyaratan orang yang berwenang melakukan istinbath dgn semua permasalahannya.



Secara terperinci kajian ushul fiqih mencakup :


1. Sumber sumber hukum syara’ baik yg disepakati maupun yang diperselisihkan


2. Ijtihad, yakni syarat2 dan sifat2 orang yg melakukan ijtihad


3. mencari jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara zahir, baik ayat dgn ayat atau sunnah dgn sunnah, dll.


4. hukum syara’ yang meliputi syarat maupun macam2nya, baik berupa tuntutan, larangan, pilihan, atau keringanan (rikhsah), hakim, dan mahkum alaih, dll.


5. Kaidah2 yang akan digunakan dlm mengistinbath hukum dan cara menggunakannya.



III. Tujuan dan Fungsi Ushul Fiqh :


1. Memberikan pengertian dasar tentang kaidah2 dan metodologi ulama mujtahid dlm menggali hukum


2. Menggambarkan persyaratan yg hrs dimiliki mujtahid agar mampu menggali hukum syara’ secara lebih tepat,


3. memberi bekal utk menentukan hukum melalui berbagai metode yg dikembangkan oleh para mujtahid sehingga dpt memecahkan berbagai persoalan baru


4. memelihara agama dari berbagai penyimpangan dan penyalahgunaan dalil.



IV. Sumber Pengambilan Ushul Fiqh :


1. Ilmu Kalam (teologi)


2. Ilmu bahasa Arab


3. Tujuan syara’ (maqashid Syari’ah)



V. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh


- Ilmu Ushul Fiqh tidak tumbuh dgn sendirinya, tetapi benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah dan sahabat. Masalah utama dlm ushul fiqh seperti Ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada sejaka zaman Rasulullah dan sahabat, Namun belum terbukukan dlm bentuk tulisan secara sistematis (belum berbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri).


- Tahapan Perkembangan Ushul Fiqh :


1. Tahap Awal (abad 3 H), yaitu masa pemerintahan dinasti Abbasiyah. Pada umumnya kitab2 ushul fiqh yg ada pada abad ini tidak mencerminkan pemikiran2 ushul fiqh yang utuh dan mencakup segala aspeknya, kecuali kitab ar Risalah yg dikarang imam Syafi’i.


2. Tahap Perkembangan (abad 4 H), merupakan abad kelemahan dinasti Abbasiyah dan terpecah2 dalam daulah2 kecil. Pada masa ini ilmu ushul fiqh semakin berkembang dan ulama2 masing2 mazhab menyusun kitab ushul fiqh sendiri.


3. Tahap penyempurnaan (abad 5-6 H). Dlm masa ini terjadi kemajuan dlm bidang ushul fiqh yg menyebabkan para ulama memberikan perhatian khusus utk mendalaminya. Kitab2 ushul fiqh yg ditulis pada zaman ini, disamping mencerminkan adanya kitab ushul fiqh bagi masing2 mazhab, juga menunjukkan adanya dua aliran dalam ushul fiqh, yaitu aliran Hanafiyah yang dikenal sebagai aliran Fuqaha, dan Aliran mutakallimin. Di antara para ulama yg terkenal dari aliran Hanafiyah ialah Abu Ziyad ad Dabusy dan Abu Husain Ali ibn Husain al Bazdawi. Sedangkan yang terkenal dari Aliran Mutakallimin adalah Imam Haramain, Al Ghazali (golongan asy’ariyah), al Qodhi abd Jabbar , Abu Hasan al Bisri (mu’tazilah)



VI. Aliran-aliran dlm Ushul Fiqh.


1. Aliran asy’syafi’iyah dan jumhur mutakkalimin, aliran ini membangun ushul fiqh secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh masalah2 cabang keagamaan. Kitab standar aliran ini antara lain arrisalah (karangan Imam syafi’i), al Mu’tamad (abu Husain Muhammad ibn Ali al Bisri), al Burhan (imam Haramain), dll.


2. Aliran Fuqaha, dinamakan demikian karena dlm menyusun teorinya aliran ini byk dipengaruhi oleh furu’. Diantara kitabnya al Ushul (imam abu husain al Karkhi), ushul al sarakhsi (imam syarakhsi), dll.

Aliran Gabungan, diantara kitabnya at tahrir (ibn hummam), at tankih (sadru syariah), jam’u jawami’ (ibn subki).
     
      Baca Selengkapnya »      

Uslub Arabiy


الأسلوب العربي
1.         ثُمَّ نَهَضَ يُتَابِعُ سَيْرَهُ، وَقَدْ بَدَأَتِ الطَّرِيْقُ تَتَشَعَّبُ، فَانْطَلَقَ يَسْأَلُ هَذَا وَذَاكَ
Iapun bangkit untuk melanjutkan perjalanan, sementara jalan itu mulai bercabang-cabang. Iapun bertanya kesana kemari.
2.         وَلَكِنْ هَذَا كُلُّهُ كَانَ يَزِيْدُ فِى قَلَقِى وَيُضَاعِفُ اِضْطِرَابِى
Tetapi ini semua justeru semakin menambah kegelisahan dan kegundahanku
3.         أَمَا مِنْ وَسِيْلَةٍ إِلَى تَحْطِيْمِ هَذِهِ الْقُيُوْدِ؟ أَلاَ سَبِيْلَ إِلىَ فِرَارٍ وَنَجَاةٍ؟
Tidak adakah cara untuk menghancurkan belenggu-belenggu ini? Tidak adakah jalan untuk lari dan menyelematkan diri?
4.         عَلىَ أَنِّى لاَ أَمْلِكُ إِلاَّ أَنْ أَحْتَرِمَ إِرَادَتَهَا
Tapi aku tidak bisa berbuat selain menghormati keinginannya
5.         لَقَدْ هَدَمْتُ أَنَا سَعَادَتَهَا هَدْمًا
Aku benar-benar telah menghancurkan kebahagiaannya
6.         أَيُّ حُبٍّ ذَلِكَ الَّذِى تُقْسِمِيْنَ بِهِ؟ إِنَّكِ لَتَهْدِمِيْنَهُ هَدْمًا.
Cinta macam apa yang kau buat bersumpah itu? Sungguh kau telah menghancurkannya sehancur-hancurnya
7.          لَقَدْ أَثَرْتُ حَفِيْظَكَ عَلىَ بَرِيْئَيْنِ
Aku telah membakar kemarahanmu terhadap dua orang yang tak berdosa
8.         لَقَدْ أَخَذَ مِنْهُ اْلإِعْيَاءَ كُلَّ مَأْخَذٍ
Sementara kelelahan benar-benar mencekamnya
9.         قَدْ نَادَيْتُ، فَلَمْ يُلَبِّ نِدَائِي أَحَدٌ
Aku telah memanggil-manggil, tapi tak seorangpun menyahut.
10.  إِنَّهَا بِضْعُ لَحَظَاتٍ أُدِيْرُ فِيْهَا مَفَاتِيْحَ الْمِذْيَاعِ فَتَنْسَابُ اْلأَنْغَامُ مَعَ انْسِجَامٍ
Hanya butuh beberapa waktu untuk memutar tuning radio, maka meluncurlah lagu-lagu dalam keserasian.
11.  لِمَاذَا أُحِسُّ السَّاعَةَ اِنْفِضَاضًا وَكَآبَةً عَلىَ حِيْنٍ أَنَّ الْجَوَّ كُلُّهُ مِدْعَاةٌ إِلَى فَرَحٍ وَابْتِهَاجٍ؟
Mengapa saat ini aku merasa gelisah dan bermuram durja, padahal suasana sepenuhnya mengajak kepada suka cita dan kegembiraan?
12.  وَلَكِنَّهُ تَذَكَّرَ أَنَّ هَذَا زَادُهُ كُلُّهُ فِى رِحْلَتِهِ الطَّوِيْلَةِ
Tetapi ia teringat bahwa hanya inilah bekalnya dalam perjalanan panjang tersebut.
13.  وَدَخَلَ الْمَدِيْنَةَ دُخُوْلَ الْحَائِرِ الْوَجِلِ، وَقَدْ بَدَأَ صَخْبُ الْحَيَاةِ يَكْتَنِفُهُ
Ia memasuki kota itu seperti orang yang kebingungan dan ketakutan, sementara hiruk-pikuk kehidupan menyelimutinya.
14.   
     
      Baca Selengkapnya »