Minggu, 25 Maret 2012

MASLAHAH MURSALAH

MASHLAHAH MURSALAH



PENDAHULUAN


Allah SWT telah menurunkan agama Islam kepada umat manusia dengan perantaraan nabi-Nya Muhammad SAW. Agama Islam yang merupakan agama universal mengandung aturan-aturan hukum yang langsung dari Allah SWTagar manusia selamat, baik di dunia maupun di akherat. Agama (Islam) beserta aturan-aturan (hukum) yang dibuat oleh Allah tersebut merupakan wahyu, diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya melalui perantaraan Malaikat Jibril. Sedangkan Nabi dan Rasul terakhir adalah Muhammad, s.a.w.


Wahyu yang diturunkan oleh Allah tersebut, adakalanya untuk menyelesaikan persoalan hukum yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu, dan dalam ilmu al-Qur’an dikenal dengan istilah asbabun-nuzul atau sebab-sebab turunnya wahyu (ayat al-Qur’an).


Pada masa Rasulullah SAW, segala permasalahan yang dihadapi para sahabat langsung ditanyakan kepada beliau. Dengan demikian, jawaban rasul terhadap pertanyaan-pertanyaan itu bersifat final.


Pada masa ini, sumber hukum yang digunakan adalah dua, yaitu al-Qur’an dan Hadits Nabi yang merupakan empirisasi dan interpretasi serta implementasi dari wahyu Allah SWT.


Seiring dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW, meluasnya wilayah kekuasaan Islam, rihlahnya para sahabat Nabi ke berbagai wilayah, dan banyaknya sahabat yang syahid di medan laga, maka umat Islam mendapat tantangan baru di bidang hukum. Terkadang, masalah (hukum) yang sedang dihadapi tidak ada hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dan dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang sedang dihadapi tersebut, para sahabat selalu ber-ijtihad, dan mereka dapat dengan mudah menemukan hukum atas masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu karena para sahabat sangat mengenal teknik Nabi ber-ijtihad.


Hasil ijtihad para sahabat tersebut, jika tidak dibantah oleh sahabat Nabi yang lainnya, maka dianggap ijma’ para sahabat. Sebaliknya, jika hasil ijtihad sahabat Nabi tersebut dibantah oleh sahabat Nabi yang lain, maka hasil ijtihad sahabat Nabi tersebut tidak dapat dianggap sebagai ijma’ para sahabat, melainkan hanya pendapat pribadi para sahabat Nabi tentang persoalan-persoalan (hukum) tertentu. Dengan demikian, terlihat bahwa sumber hukum Islam pada masa sahabat hanya tiga yaitu; al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat.


Masa pun terus bergulir, para sahabat Nabi pun mulai wafat. Otoritas tasyri’ pun diambil alih oleh generasi tabi’in kemudian tabi’ tabi’in dan seterusnya.


Setelah periode sahabat berlalu, pemecahan persoalan-persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat. Namun karena persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam selalu berkembang dan merupakan persoalan hukum baru, di mana dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama dalam mengagali hukumnya, memakai beberapa metode istinbath hukum di antaranya; maslahah-mursalah atau istishlah (Imam Malik), Istihsan (Imam Hanafi), qiyas (Imam Syafi’i), istishab (Imam Ahmad bin Hambal) dan lain sebagainya.


Beberapa metode istinbath hukum yang dipakai oleh para imam mujtahid di atas, metode qiyas mendapat tempat di hati sebagian besar ulama dan umat Islam karena berdasarkan kepada nash-nash (al-Qur’an dan atau as-Sunnah) tertentu.


Mayoritas ulama menerima qiyas sebagai sumber hukum Islam yang keempat setelah al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat. Sedangkan metode istinbath hukum yang lainnya, termasuk maslahah-mursalah atau istishlah yang diperkenalkan oleh Imam Malik selalu diperdebatkan, bahkan ditolak oleh mayoritas penganut mazhab asy-Syafi’iyah.[1]


Melihat fenomena di atas, penulis mencoba memberikangambaran tentang mashlahah-mursalah ini kepada para pembaca sekalian.



A. PENGERTIAN MASLAHAH MURSALAH


Kata mashlahah memiliki dua arti,[2] yaitu:
1. Mashlahah berarti manfa’ah baik secara timbangan kata yaitu sebagai masdar, maupun secara makna.
2. Mashlahah fi’il (kata kerja) yang mengandung ash-Shalah yang bermakna an-naf’u. Dengan demikian, mashlahah jika melihat arti ini merupakan lawan kata dari mafsadah.

Maslahat kadang-kadang disebut pula dengan ( الاستصلاح ) yang berarti mencari yang baik ( طلب الاصلاح).

Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta`rif yang diberikan di antaranya :

1. Imam Ar-Razi mendefinisikan mashlahah sebagai berikut[3]:

Maslahah ialah, perbuatan yang bermanfaat yang telah ditujukan oleh syari’ (Allah) kepada hamba-Nya demi memelihara dan menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya.

2. Imam Al-Ghazali[4] mendefinisikan sebagai berikut:

Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat. Selanjutnya is menegaskan maksud dari statemen di atas bahwa maksudnya adalah menjaga maqasid as-syari’ah yang lima, yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta. Selanjutnya ia menegaskan, setiap perkara yang ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah maka ia disebut mashlahah. Sebaliknya jika tidak ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah, maka ia merupakan mafsadat, sedang mencegahnya adalah mashlahah.


3. Al-Khawarizmi[5] mendefinisikan mashlahah sebagai berikut:


Memelihara tujuan hukum Islam dengan mencegah kerusakan/bencana (mafsadat) atau hal-hal yang merugikan diri manusia (al-khalq).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpuan bahwa mashlahah mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbath) Islam, namun tidak berdasarkan pada nash tertentu, namun berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya hukum syara’ (maqashid as-syari’ah).

Kemaslahatan yang menjadi tujuan syara’ bukan kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu saja. Sebab tujuan pensyari’atan hukum tidak lain adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia dalam segala aspek kehidupan dunia agar terhindar dari berbagai bentuk kerusakan.

Penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syari’ah merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam menetapkan hukum syara’ selain melalui pendekatan kebahasaan yang sering digunakan oleh para ulama. Jika dibandingkan dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syari’ah dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan kaidah kebahasaan, maka pendekatan melalui maqashid asy-syari’ah dapat membuat hukum Islam lebih fleksibel, luwes karena pendekatan ini akan menghasilkan hukum Islam yang bersifat kontekstual. Sedangkan pengembangan hukum Islam melalui kaidah kebahasaan akan menghilangkan jiwa fleksibilitas hukum Islam. Hukum Islam akan kaku (rigid) sekaligus akan kehilangan nuansa kontekstualnya.[6]


B. SYARAT-SYARAT MASLAHAH MURSALAH

Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam pembentukan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syari`atnya.

Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut[7] :

1. Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan, Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka.

Maka maslahah-maslahah yang bersifat dugaan, sebagaimana yang dipandang sebagian orang dalam sebagian syari`at, tidaklah diperlukan, seperti dalih mashlahah yang dikatakan dalam soal larangan bagi suami untuk menalak isterinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut pandangan kami tidak mengandung terdapat maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan isterinya ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai.

2. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam-Ghazali memberi contoh tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh: orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang membentengi mereka, maka orang kafir akan menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi orang islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. Demi memlihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.

3. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari`.Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh Syari`. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.


C. MACAM-MACAM MASLAHAH


Maslahat dari segi pembagiannya dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu dilihat dari segi tingkatan dan eksistensinya.

1. Maslahat dari Segi Tingkatannya.

Ulama ushul membagi maslahah dari segi tingkatan kepada tiga bagian, yaitu[8]:

1. Maslahah dharuriyah (Primer)

Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan, timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat. Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara, yang merupakan perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu:
Jaminan keselamatan jiwa (al-muhafadzah alan-nafs)
Jaminan keselamatan akal (al-muhafadzhoh alal-aql)
Jaminan keselamatan keluarga dan keturunan (al-muhafadzoh alan-nasl)
Jaminan keselamatan harta benda (al-muhafadzoh alal-maal)
Jaminan keselamatan agama/kepercayaan (al-muhafadzoh alad-diin)

Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara agama adalah kewajiban jihad (berperang membela agama) untuk mempertahankan akidah Islmiyah. Begitu juga menghancurkan orang-orang yang suka memfitnah kaum muslimin dari agamanya. Begitu juga menyiksa orang yang keluar dari agama Islam.

Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara jiwa adalah kewajiban untuk berusaha memperoleh makanan, minuman, dan pakaian untuk mempertahankan hidupnya. Begitu juga kewajiban mengqshas atau mendiat orang yang berbuat pidana.

Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara akal adalah kewajiban untuk meninggalkan minum khamar dan segala sesuatu yang memabukkan. Begitu juga menyiksa orang yan meminumnya.

Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara keturunan adalah kewajiban untuk menghidarkan diri dari berbuat zina. Begitu juga hukuman yang dikenakan kepada pelaku zina, laki-laki atau perempuan.

Kemaslahatan dalam taraf ini mencakup lima prinsip dasar universal dari pensyari’atan atau disebut juga dengan konsep maqosidus syar’i. Jika hal ini tidak terwujud maka tata kehidupan akan timpang kebahagiaan akhirat tak tercapai bahkan siksaan akan mengancam. Oleh karena itu kelima macam maslahat ini harus dipelihara dan dilindungi.

2. Maslahah Hajjiyah (Sekunder)

``Maslahah hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan. Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat, muamalat, dan dan bidang jinayat.
Termasuk kategori hajjiyat dalam perkara mubah ialah diperbolehkannya sejumlah bentuk transaksi yang dibutuhkan oleh manusia dalam bermu’amalah, seperti akad muzaro’ah, musaqoh, salam maupun murobahah. Contoh lain dalam hal ibadah ialah bolehnya berbuka puasa bagi musafir, dan orang yang sakit ataupun bolehnya mengqoshor sholat ketika dalam perjalanan.

Termasuk dalam hal hajjiyah ini, memelihara kemerdekaan pribadi, kemerdekaan beragama. Sebab dengan adanya kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan beragama, luaslah gerak langkah hidup manusia. Melarang/mengharamkan rampasan dan penodongan termasuk juga dalam hajjiyah.

3. Maslahah tahsiniyah atau kamaliyat (Pelengkap/tersier)

Maslahah tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak.

Kemaslahatan ini lebih mengacu pada keindahan saja ( زينة للحياة) sifatnya hanya untuk kebaikan dan kesempurnaan. Sekiranya tidak dapat diwujudkan atau dicapai oleh manusia tidaklah sampai menyulitkan atau merusak tatanan kehidupan mereka, tetapi ia dipandang penting dan dibutuhkan.Tahsiniyah juga masuk dalam lapanganan ibadah, adat, muamalah, dan bidang uqubat. Lapangan ibadah misalnya, kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai pakaian yang baik-baik ketika akan shalat mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunah, seperti shalat sunah, puasa sunah, bersedekah dan lain-lain.

Lapangan adat, seperti menjaga adat makan, minum, memilih makanan-makanan yang baik-baik dari yang tiak baik/bernajis. Dalam lapangan muamalah, misalnya larangan menjual benda-benda yang bernajis, tidak memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi dari kebutuhannya. Dalam lapangaan uqubat, misalnya dilarang berbuat curang dalam timbangan ketika berjual beli, dalam peperangan tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan orang-orang yang sudah lanjut usia.

Di antara contoh tahsiniyat yang berkaitan dengan harta ialah diharamkannya memalsu barang. Perbuatan ini tidak menyentuh secara langsung harta itu sendiri (eksistensinya), tetapi menyangkut kesempurnaannya. Hal itu berlawanan kepentingan dengan keinginan membelanjakan harta secara terang dan jelas. Jelaslah bahwa dalam hal itu tidak membuat cacat terhadap pokok harta (ashul mal), akan tetapi berbenturan dengan kepentingan orang yang membelanjakan hartanya, yang mungkin masih bisa dihindari dangan jalan ihtiyath. Seperti juga contoh pensyari’atan thoharoh sebelum shalat, anjuran berpakaian dan berpenampilan rapih pengharaman makanan-makanan yang tidak baik dan hal-hal serupa lainnya.


2. Maslahat dari Segi Eksistensinya.

Dalam menguak metode kontroversial ini terdapat pertalian erat dengan pembahasan qiyas yaitu sisi penggalian illat (legal clause) yakni al-munasabah (pemaparan sifat/kondisi yang secara rasio selaras dengan penerapan hukum.) Bila syara’ mengakuinya berarti al-munasib tersebut layak dijadikan sandaran penetapan hukum. Sebaliknya bila syara’ menolaknya maka tentu ia tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Berpijak dari hal ini ditinjau dari aspek kelayakannya al-munasib terbagi dalam tiga klasifikasi[9], yaitu:

1. al-munasib al-mu’tabar (syara’ mengukuhkannya)

2. al-munasib al-mulgho (syara’ menolak keberadaannya) dan

3. al-munasib al-mursal (syara’ tidak menyikapi keberadaannya dengan mengukuhkan atau menolaknya)

Dilihat dari segi eksistensi atau wujudnya para ulama ushul[10], juga membagi mashlahah menjadi tiga macam, yaitu[11]:


1. Maslahat Mu’tabarah

Mashlalah mu’tabarah ialah kemashlahatan yang terdapat dalam nash yang secara tegas menjelaskan dan mengakui kebenarannya. Dengan kata lain yakni kemaslahatan yang diakui oleh syar’i dan terdapatnya dalil yang jelas, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad al – Said Ali Abd. Rabuh[12]. Yang masuk dalam mashlahat ini adalah semua kemaslahatan yang dijelaskan dan disebutkan oleh nash, seperti memelihara agama, jiwa, keturunan dan harta benda, yang selanjutnya kita sebut dengan maqashid asy-syari’ah. Oleh karena itu. Allah SWT telah menetapkan agar berusaha dengan untuk melindungi agama, melakukan qishas bagi pembunuhan, menghukum pemabuk demi pemeliharaan akal, menghukum pelaku zina dan begitu pula menghukum pelaku pencurian. Seluruh ulama sepakat bahwa semua maslahat yang dikategorikan kepada maslahah mu’tabarah wajib ditegakkan dalam kehidupan, karena dilihat dari segi tingkatan ia merupakan kepentingan pokok yang wajib ditegakkan.


2. Maslahat Mulgah

Yang dimaksud dengan maslahat mulghah ini ialah maslahat yang bertentangan dengan ketentuan nash. Dengan kata lain, maslahat yang tertolak karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan dalil yang jelas. Dapat disimpulkan juga bahwa syara’ menyikapi maslahat ini dengan menolak keberadaannya sebagai variabel penetap hukum (illat). Contoh: menyamakan pembagian warisan antara seorang perempuan dengan saudara laki-lakinya. Penyamakan ini memang banyak maslahatnya namun berlawanan dengan ketentuan nash. Namun penyamakan ini dengan alasan kemaslahatan, penyelesaian kasus seperti inilah yang disebut dengan Maslahat Mulgoh. Seperti juga kasus bentuk sanksi kafarat bagi orang yang menggauli istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan yang terdiri dari tiga macam kafarat. Menurut konsep kaffarat ini dogmatik yang menghendaki adanya kemaslahatan berupa tindakan jera (al-zajr) tanpa mempertimbangkan maslahat lainnya maka tidak diragukan bahwa menurut sebagian orang ia tidak dapat dijadikan illat hukum karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Jadi kafarat ini harus dilakukan secara berurutan Lain halnya dengan pendapat Imam Malik ia mengatakan boleh memilih diantara ketiga kafarat itu dengan tujuan demi kemaslahatan yang lebih tepat.


3. Maslahah Mursalah.


Yang dimaksud dengan mashlahah mursalah ialah maslahat yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun yang mengakuinya ataupun menolaknya. Maslahat ini merupakan maslahat yang sejalan dengan tujuan syara’ yang dapat dijadikan dasar pijakan dalam mewujudkan kebaikan yang dihajatkan oleh manusia serta terhindar dari kemudhorotan. Karena tidak ditemukan variabel yang menolak ataupun mengakuinya maka para ulama berselisih pendapat mengenai kebolehannya dijadikan illat hukum. Kalangan Malikiyyah menyebutnya maslahah mursalah, Al-Ghozali menyebutnya istishlah, para pakar ushul fiqih menyebutnya al-munasib al-mursal al-mula’im, sebagian ulama menyebutnya al-istidlal al-mursal, sementara Imam Haromain dan Ibnu Al-Sam’ani memutlakkannya dengan istidlal saja.


D. KEHUJJAHAN MASLAHAH MURSALAH

Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul di antaranya :
Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulam-ulama syafi`iyyah, ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyah seperti ibnu Hajib dan ahli zahir.[13]
Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama imam maliki dan sebagian ulama syafi`i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyyah dan syafi`iyyah mensyaratkan tentang mashlahah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashl yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehingga dalam hubungan hukum itu terdapat tempat untuk merealisir kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemaslahatan yang dibenarkan syara`, tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah yang dibenarkan syara` ini, karena luasnya pengetahuan mereka dalam soal pengakuan Syari` (Allah) terhadap illat sebagai tempat bergantungnya hukum, yang merealisir kemaslahatan. Hal ini hampir tidak ada maslahah mursalah yang tidak memiliki dalil yang mengakui kebenarannya.
Imam Al-Qarafi[14] berkata tentang maslahah mursalah `` Sesungguhnya berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka membedakn antara satu dengan yang lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat``.

Diantara ulama yang paling banyak melakukan atau menggunakan maslahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan; Allah mengutus utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahahan. Kalau memang mereka diutus demi membawa kemaslahahn manusia maka jelaslah bagi kita bahwa maslahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara`/agama mengingat hukum Allah diadakan untuk kepentingan umat manusia baik dunia maupun akhirat.[15]


E. ALASAN ULAMA MENJADIKANNYA SEBAGAI HUJJAH

Jumhur ulama berpendapat bahwa maslahah mursalah hujjah syara’ yang dipakai sebagai landasan penetapan hukum. Karena kejadian tersebut tidak ada hukumnya dalam nash, hadist, ijma’ dan qiyas. Maka dengan ini maslahah mursalah ditetapkan sebagai hukum yang dituntut untuk kemaslahatan umum.

Madzhab Maliki yang merupakan pembawa bendera Maslahat Mursalah mengemukakan, setidaknya terdapat tiga alasan mengapa mashlahah mursalah tersebut dijadikan sebagai hujjah dalam penentuan hukum, yaitu sebagai berikut[16]:

1. Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahat mursalah diantarannya: - Sahabat mengumpulkan Al-Qur’an kedalam beberapa mushaf dengan alasan menjaga Al-Qur’an dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirannya. - Khulafa ar-rosyidun menetapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada para tukang. Padahal menurut hukum asal kekuasaan mereka didasarkan atas kepercayaan (amanah). Jika tidak dibebani ganti rugi ia akan ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya. - Umar Bin Khattab memerintahkan para penguasa (pegawai negeri) agar memisahkan antara harta kekayaan pribadi dengan harta yang diperoleh dari kekuasaannya - Umar Bin Khattab sengaja menumpahkan susu yang dicampur air guna member pelajaran kepada mereka yang mencampur susu dengan air - Para sahabat menetapkan hukuman mati kepada semua anggota kelompok (jama’ah) karena membunuh satu orang secara bersama-sama.

2. Adanya maslahat sesuai dengan maqosid as-Syar’i (tujuan-tujuan syar’i) artinya dengan mengambil maslahat berarti sama dengan merealisasikan maqosid as-syar’i

3. Seandainya maslahat tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahah selama berada dalam konteks maslahat syar’iyyah, maka orang-orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan.

Terdapat juga alasan lain yang mempunyai esensi yang sama dengan alasan-alasan di atas, yaitu[17] :

1. kemaslahatan umat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya, maka jika hukum tidak ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan manusia yang baru dan sesuai dengan perkembangan mereka, maka banyak kemaslahatan manusia diberbagai zaman dan tempat menjadi tidak ada. Jadi tujuan penetapan hukum ini antara lain menerapkan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan zamannya.

2. Orang yang mau meneliti dan menetapkan hukum yang dilakukan para sahabat nabi, tabi’in, imam-imam mujtahid akan jelas, bahwa banyak sekali hukum yang mereka tetapkan demi kemaslahatan umum, bukan karena adanya saksi yang dianggap oleh syar’i. Seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam mengumpulkan berkas-berkas yang tercecer menjadi suatu tulisan al-Qur’an, dan memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, lalu mengangkat umar bin khattab sebagai gantinya. Umar menetapkan jatuhnya talaq tiga dengan sekali ucapan, menetapkan kewajiban pajak, menyusun administrasi, membuat penjara dan menghentikan hukuman potong tangan terhadap pencuri dimasa krisis pangan. Semua bentuk kemaslahatn tersebut menjadi tujuan diundangkannya hukum-hukum sebagai kemaslahatan umum, karna tidak ada dalil syara’ yang menolaknya.

Sedangkan alasan-alasan golongan yang tidak memakai maslahat,[18] adalah:

1. Maslahat yang tidak didukung oleh dalil khusus akan mengarah pada salah satu bentuk pelampiasan hawa nafsu

2. Maslahat mu’tabaroh termasuk qiyas dalam arti umum

3. Seandainya kita memakai dalil maslahah sebagai sumber hukum pokok yang berdiri sendiri niscaya hal itu akan menimbulkan terjadinya perbedaan hukum akibat perbedaan situasi dan kondisi sehingga syari’at tidak bisa universal (sepanjang zaman)

4. Mengambil dalil maslahat tanpa berpegang pada nash terkadang akan berakibat pada penyimpangan hukum syari’at.


F. CONTOH PENERAPAN MASHLAHAH MURSALAH

Seperti yang telah penulis sebutkan sebelumnya, banyak sekali contoh-contoh permasalahan yang diselesaikan dengan melihat maslahatnya. Sebagai satu contoh, ketika terjadi perang melawan nabi-nabi palsu pada zaman khalifah Abu Bakar, seiring dengan banyaknya para huffazh al-Qur’an wafat Abu Bakar mulai mengumpulkan berkas-berkas yang tercecer menjadi suatu tulisan al-Qur’an atas usulan dan desakan sahabat Umar bin Khattab. Beliau juga memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Bahkan, menjelang ajal menghampiri beliaupun sempat berwasiat agar beliau digantikan oleh sahabat Umar bin Khattab sebagai khalifah.

Contoh lain dari penerapan maslahah mursalah ini ialah Umar menetapkan jatuhnya talaq tiga dengan sekali ucapan, menetapkan kewajiban pajak, menyusun administrasi, membuat penjara. Bahkan, Umar menghentikan hukuman potong tangan terhadap pencuri. Hal itu terjadi ketika di Madinah dirundung musim paceklik yang menyebabkan terjadinya krisis pangan.

Dengan demikian, semua bentuk kemaslahatan tersebut menjadi tujuan diundangkannya hukum-hukum sebagai kemaslahatan umum. Hal ini bisa dilakukan selama tidak ada dalil syara’ yang menolaknya.


PENUTUP

Dari beberapa penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa selama tidak ada nash yang menunjang hukum suatu perkara, mashlahah mursalah bias dijadikan hujjah untuk meng-istinbath hukumnya. Tentunya dengan beberapa syarat yang telah disebutkan di atas.

Jika dicermati lebih dalam ternyata seluruh madzhab menggunakan maslahat Mursalah dalam memngambil isthinbath hukum. Hal ini terlihat ketika mereka menggunakan pendekatan qiyas, digunakan pendekatan sifat munasib yang tidak menganggap perlu adanya dalil. Sifat munasib inilah yang sebenarnya yang disebut maslahah mursalah.

Jadi, sebenarnya akar perbedaan pendapat mengenai maslahah muraslah sebagai hujjah syar’iyah terletak pada sisi pandangan mereka terhadap maslahah mursalah. Golongan yang dimotori Imam Malik serta Imam Ahmad Bin Hambal berpendapat bahwa maslahat yang mereka pakai berpijak pada syarat-syarat yang dibenarkan oleh syara’ bukan berdasarkan hawa nafsu atau menyimpang dari kebenaran sebagaimana pandangan kelompok yang menentang kehujjahan maslahah mursalah. Sedangkan golongan yang diwakili madzhab Hanafi, Syafi’i dan Madzhab Zahiri menekankan kehati-hatian dengan berbagai persyaratan maslahah yang sesuai dengan tujuan syari’at. Banyak persoalan baru bisa dikategorikan Maslahah Mursalah. Artinya persoalan baru itu memang mengandung maslahat dan dibutuhkan manusia dalam membangun kehidupan mereka, tetapi tidak ditemukan dalil yang mengakui ataupun menolaknya. Seiring dengan perjalanan waktu, hal ini akan terus berlangsung sepanjang masa dengan berbagi perbedaan latar belakang sosial budaya. Dengan demikian, untuk mengatasinya persoalan ini tidak lain tentulah pendekatan yang digunakan hanyalah dengan pendekatan maslahah mursalah.


DAFTAR PUSTAKA


‘Abdu Rabbuh, Muhammad Sa’id ‘Ali, Buhust fi al-Adillah al-Mukhtalaf fiha ‘Inda al-Ushuliyyin,Kairo: Mathba’ah As-Sa’adah, 1997.


Abu Zahrah, Muhammad, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr Al-Islamiy.


az-Zuhaily, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islamiy Juz 2 , Dimasyq: Dar al-Fikr, 2005.


Suratmaputra, Ahmad Munif, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali: Mashlahah-Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.

Syalabiy, Muhammad Mushthafa, Madkhal fi at-Ta’srif bi al-Fiqh al-Islamiy wa Qawa’id al-Milkiyyah wa al-‘Uqud fihi , Bairut: Dar an-Nahdlah al-‘Arabiyah, 1985.




[1] Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali: Mashlahah-Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), 184.


[2] Muhammad Sa’id ‘Ali ‘Abdu Rabbuh, Buhust fi al-Adillah al-Mukhtalaf fiha ‘Inda al-Ushuliyyin (Kairo: Mathba’ah As-Sa’adah, 1997), 78-79.


[3] ‘Abdu Rabbuh, Buhust fi al-Adillah, 79.


[4] Wahbah az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamiy Juz 2 ( Dimasyq: Dar al-Fikr, 2005), 36-37.


[5] az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh, 37.


[6] Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali:, 104.


[7] Muhammad Mushthafa Syalabiy, Madkhal fi at-Ta’srif bi al-Fiqh al-Islamiy wa Qawa’id al-Milkiyyah wa al-‘Uqud fihi (Bairut: Dar an-Nahdlah al-‘Arabiyah, 1985), 256.


[8] az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh, 35-36.


[9] az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh, 33-35. Lihat juga, al-Mustashfa juz 1 hal. 139, Syarh al-Isnawi juz 3 hal. 67, al-Madkhal ila Madzhab Ahmad hal. 136, al-Ibhaj li as-Subkiy juz 3 hal.43, 111, Raudlah an-Nadzir juz 1 hal. 38- seterusnya.


[10] Ulama’ ushul ialah ulama’ yang ahli dalam ushul fiqh. Semua ulama’ madzhab adalah ulama’ ushul.


[11] ‘Abdu Rabbuh, Buhust fi al-Adillah, 94-100. az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh, 49-50. Ghazali membagi mashlalah menjadi tiga bagian, yaitu, mashlalah yang diakui eksistensinya oleh syari’/dibenarkan syara’ (al-mashlahah al-mu’tabarah), mashlahah yang tidak diakui eksistensinya /yang ditolak syara’ (al-mashlahah al-mulghah), dan mashlalah yang tidak ada ketentuan pengakuan dan penolakan eksistensinya oleh syara’ (al-mashlahah al-mursalah). Dengan demikian, medan untuk berkutatnya akal adalah pada mashlahah yang tidak ada ketentuan hukumnya dari syari’, yaitu mashlahah mursalah.


[12] ‘Abdu Rabbuh, Buhust fi al-Adillah, 95.


[13] ‘Abdu Rabbuh, Buhust fi al-Adillah, 101.


[14] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Dar al-Fikr Al-Islamiy) 284.


[15] Abu Zahrah, Ushul, 285.


[16] Abu Zahrah, Ushul, 280-282.


[17] az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh, 42-43.


[18] Lihat, az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh, 41-42.
     
      Baca Selengkapnya »      

WACANA PENCARIAN HUKUM ISLAM


WACANA PENCARIAN HUKUM ISLAM KAJIAN EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM VERSI IMAM MALIK.

Dalam sebuah hadits diiwayatkan dari Nabi:
اذا صحّ الحديث فهو مذهبي “ jika sebuah hadits terbukti kesahihanya, itulah madzhabku”.  Kata Syafi’i (hlm xv). adagium ini telah menggerakan paradigma intelektual islam dalam lanskap tektualis, sehingga ditengarai turut membidani lahirnya pendapat klasik bahwa sumber hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadits. Sebab hadits adalah dokumentasi sunnah. Namun kaum revisionis barat ( orientalis ) menolak pendapat itu mentah – mentah, berdasarkan fakta sejarah bahwa hadits terbukti banyak yang palsau. Tidak dipungkiri, kemunculan hadits tidak terlepas dari kaitan sosial, politik, kultural, juga geografis yang melingkupinya. Orientalis menafikan keabsahan hadits sebagai sumber hukum islam sudah established sejak zaman nabi.
Kehadiran buku karya Yassin Dutton ini adalah sebagai representasi dari keinginannya untuk menyajikan suatu tesis akan pengungulan “ Madzhab ketiga versi Imam Malik dengan Magnum opus-nya yakni kitab Muwattha’-nya. Madzhab ketiga dalam konteks ini menegaskan pandangan tegas Imam Malik, bahwa pandangannya dalam hal hukum islam dapat dikatakan sejalan dengan pendapat klasik, yakni pendasaran hukum islam adalah pada Al-Qur’an dan Sunnah, hal mana Malik yang membedakannya sama sekali dengan konsep hadis; sunnah lebih dekat pada ‘ amal ( Tradisi ). Pendapat Imam Malik ini sekaligus juga pun bertentangan dengan para sarjana barat, khususnya Joseph Schacht, yang menafikan kedudukan sunnah sebagai salah satu sumber hukum islam ( setelah Al Qur’an).
Dalam wacana pergumulan hukum islam, khususnya dalam konteks sejarah pemikiran dan perkembangan hukum islam, Imam Syafi’i sebagai kampium nomor wahid dalam barisan ulama klasik yang berpendapat bahwa hukum islam adalah hukum yang berasal dari dua sumber otoritatif yakni Al-Qur’an dan Hadits ( atau yang sering dianggap sebagai dokumentasi lisan/tulisan baru ‘ sunnah’ tradisi nabi SAW ), selain sumber – sumber otoritatif lainnya seperti Ijma’ dan Qiyas ( Analogi). Makanya di dunia dan kalangan Sunni, dimana peran dan ketokohan Syafi’i ( dan para ulama klasik setelahnya )begitu mengakar, pencitraan dan imaji. Bahwa sumber / rujukan hukum  islam adalah Al-Qur’an dan Hadits demikian.
Kajian ini berusaha menelusuri kembali masa sebelum as- Syafi’i dan merekonstruksi gambaran tentang bagaimana pendekatan yang dipakai oleh madzhab yang paling ‘lama’ ( as- Syafi’i) dianatara madzhab – madzhab ‘lama’ lainnya,yakni madzhab Madinah terhadap masalah – masalah penerapan Al-Qur’an sebagai hukum ( hal 7).
Dalam buku ini dikatakan bahwa Imam Malik dalam Muwattha’nya sangat mengunggulkan otoritas ‘amal ahl-Madinah sebagai satu-satunya rujukan tunggal bagi seluruh pengetahuan islam, tak terkecuali dalam bidang hukum. Madinah dalam pendapat Malik adalah tempat atau “ kota rasul”, tempat paling utama, pertama dan sentral dimana wahyu islam dan keterlibatan tuhan diejawantahkan secara praktis. Maka pengetahuan Madinah, yang notabene terefleksikan dalam praktik nyata (‘amal) penduduknya niscaya diunggulkan dari pengetahuan siapa dan berasal dari daerah teritorial manapun. ( hlm xvii)  Josep Schacht dalam konteks ini menyatakan bahwa justru di Madinah-lah tema tentang sunnah yang terpelihara melalui tradisi daripada melalui hadits ( hal 7).
Kajian yang memfokuskan pada unsur Al- Qur’an secara khusus yang terdpat dalam kitab Muwattha’ Malik ini dibagi dalam tiga bagian pertama buku ini memberikan penjelasan tentang latar belakang konteks Madinah secara umum. Setting ke-Madinah-an ini memiliki signifikansi penting untuk meletakkan magnum opusnya tersebut yakni Muwattha’, serta bagaimana hubungan antara terma sunnah ( tradisi ) dan hadits sebagai sumber hukum islam. Dikatakan Dutton, bahwa seringnya Imam Malik mengutip hadits dan pendapat – pendapat dari sumber – sumber, menunjukkan penghargaannya yang cukup tinggi terhadap mereka sebagai representasi dan rujukan dari tradisi pengetahuan Madinah serta kepercayaanya yang tinggi terhadap tradisi kota tersebut.
Karena bagi Malik, sunnah tidak melulu apa saja yang terdokumentasikan dalam hadits ( dalam hal ini tentunya hadits yang berkategori shahih), tetapi ‘amal ( tradisi ) yang dipraktikkan pendudukan Madinah secara terus menerus, maka di dalam Muwattha’, sebagaimana kita lihat, bukan saja berisi teks – teks hadits rasul yang established, tetapi juga, bahkan lebih banyak praktik – praktik penduduk Madinah, lebih dari itu, teks- teks hadits Muwattha’ juga sebatas yang berkesesuaian denga ‘amal.
Peranan penting yang dimiliki Madinah disebabkan oleh adanya; pertama,  karena Madinah banyak memiliki ulama dan kedua, karena Madinah memiliki keterkaitan historis dengan nabi dan para sahabat, khususnya al-Khulafa ar-Rasydin, kota ini juga memiliki akses yang lebih luas terhadap pemikiran – pemikiran dan perkembangan – perkembangan intelektual di wilayah muslim lainya, daripada ulama yang berada di setiap pusat pengetahuan lainaya. Ini dikuatkan dengan komentar Abd’Allah, bahwa Malik sangat bergantung pada konsensus mereka melebihi 90 persen dari masanya, yang hal ini juga mengindikasikan sebuah kontinuitas yang berlangsung lama antara fikih “ tujuh fuqaha dan fikih Imam Malik ( hal 21-23).     
Adapun bagian kedua buku ini berisikan sejauh mana unsur – unsur Al-Qur’an yang terdapat dalam kitab Muwattha’ tersebut. Bab ini juga maencakup penjelasan tentang sisi tekstual dari Al-Qur’an, aspek – aspek yang lebih bersipat teknis dari penerpan. Malik terhadap Al-Qur’an dalam kitab tersebut, walaupun sering bertentangan dengan kontekstal tradisi.  masih dalam bab yang sama, Dutton juga amenjelaskan tentang hubungan penting antara tradisi pada satu sisi dan kontribusi Dinasti Umayyah terhadap perkembangan yang lebih bersipat  kronologis, yakni arti penting naskh dan arti penting asbab an- nuzul dalam penafsiran al-Qur’an. ( hal 8).
Ditegaskan bahwa dalam kitab Muwattha’ terdapat banyak rujukan dari Al-Qur’an, baik secara implisit maupun ekplisit. Kebanyakan rujukan ini berkaitan dengan tafsir terhadap masing – masing kata, atau kalimat dan terhadap juga beberapa bagian berkaitan dengan Al-Qur’an secara umum dan berkaitan secara khusus. Dengan bagaimana ia harus diamalkan dalam ritual – ritual ibadah formal seperti salat, diaman bacaan Al-Qur’an menjadi sebuah unsur esensial (hal 137).
Dari seluruh teks nash dalam Al-Qur’an kemungkinan tidak satu pun yang dipandang lebih terperinci dan jelas, dari ayat – ayat tentang warisan, dan metode penafsiran Malik yang menunjukkan keterkaitan antara Al-Qur’an dan hukum fikih, tidak terilustrasikan dengan baik kecuali pada bagian warisan.
Perkembangan kronologis ini memunculkan sebuah ‘ pelapisan’ yang definitif terhadap hukum – hukum yang terdpat dalam kitab Muwattha’ yang terepresikan dalam penggolongan ini dalam masing – masing bab dan beragam perbedaan antara term- term sunnah dan konsep amr Malik. Dikatakan bahwa yang pertama menunjukkan hukum – hukum yang berasal dari masa nabi dan yang kedua menunjukkan hukum – hukum yang berisi signifikansi ijtihad.
Adapun bagian ketiga bab ini berisikan sejumlah kesimpulan dimana aksioma yang diterima secara umum, yakni bahwa hukum islam didasarkan pada dua sumber berupa Al-Qur’an dan as-sunnah.
Dari contoh –contoh dalam bab ini akan tampak bahwa Malik dan bahkan ulama pada umumnya, telah menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar utama hukum islam yang disempurnakan, pertama sunnah dan kedua ijtihad generasi selanjutnya. Hal ini dengan jelas ditunjukkan oleh fakta – fakta bahwa pokok persoalan dari hukum islam sepenuhnya adalah persoalan formulasi Al-Qur’an itu sendiri, yang sebaliknya menjelaskan uniformitas mengagumkan dari infrastruktur  hukum islam di samping perbedaan – perbedaan doktrin yang ada; perdebatan – perdebatan dan pertentangan – pertentangan yang terjadi lebih berhubungan dengan hal – hal yang mendetail ( Furu’ Iyyah-penj) daripada mengenai konsep – konsep dasarnya ( hal 331-332).
Adapaun kesimpulan – kesimpulan utama yang dapat ditarik dari kajian ini adalah sebagai berikut:
Dalam kitab Muwattha’ terdapat banyak sekali kumpulan materi Al-Qur’an yang dinyatakan secara jelas, tetapi sebagain besar dinyatakan secara tidak langsung dan taken for granted.
Unsur Al-Qur’an merupakan sebah bagian integral dari hukum islam awal sebagimana ditunjukkan dalam kita Muwattha’ dan menjadi dalil pengesah yang dibelakangan baginya.
Dalam term – term penerapanya, Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari sunnah; tetapi al-Quran menjadi motor bagi sunnah, dan sunnah menjadi pengejawantahan dari Al-Qur’an.
Sunnah ini lebih diketahui ( ( bagi ulama Madinah ) dari ‘amal ketimbang hadits; begitu juga, ketika terdapat sebuah penafsiran terhadap teks al- Qur’an dan hadits, maka penafsiran ini lebih disandarkan pada latar belakang ‘amal dari pada semata – mata teks.
Dengan demikian hadits lebih memiliki peran ilustratif daripada otoritatif dan pemahaman yang sebenarnya terhadap al- Qur’an dan sunnah sebagai sumber hukum islam.
‘Amal  dan Sunnah tidak sama dan keduanya tidak dapat dikumpulkan dibawah terjemahan yang sama berupa praktek atau tradisi yang hidup.
Kesimpulan tambahan, bahwa perkembangan hukum islam pada abad 1-2 H, adanya dan kecendrungan – kecendrungan terjadinya perbedaan pendapat ( Ikhtilaf )  yang timbul dari ambiguitas – ambiguitas bahasa atau kemungkinan beragamanya penafsiran. Dan sebuah kecendrungan terjadinya persamaan pendapat yang tampak dari semakin termarjinalkanya pendapat – pendapat yang sazz sebelumnya.  
Sebagai penutup dari kajian buku ini, perlu ditegaskan bahwa dalam konteks ini, ada dua hal pokok yang penting ditegaskan, yakni; pertama sejumlah penulis telah mengklaim bahwa konsep Malik tentang sunnah merupakan konsep yang sempit. Tetapi dari penjelasan diatas khususnya komentarnya terhadap al- lays Ibn Sa’ad bahwa seluruh masyarakat yang berada dibawah masyarakat Madinah – telah tampak bahwa Malik tidak hanya menjelaskan praktik sunnah di Madinah sebagai fenomena lokal yang dipertahankan dan diamalkan di Madinah, tetapi menjadikanya sebagai fenomena yang secara ideal harus diamalkan oleh seluruh muslim.
Kedua, ialah praktik yang digambarkan oleh Malik dalam beberapa had, lebih merupakan sebuah praktik’ideal’ daripada sebuah praktik aktual. Dengan kalimat lain, bahwa penyebutan Malik terhadap praktik penduduk Madinah sebagai sebuah pilihan diantara sekian pilihan menunjukkan bahwa praktik ini tidak hanya merupakan konstruk teoritis dan ideal, tetapi lebih merupakan respon praktis terhadap situasi –situasi faktual. Sifat kepraktisan ini terefleksikan dari respon – respon dan kesadaran Imam Malik terhadap praktik – praktik yang ada lainnya, jika merupakan konstruk ideal, maka seseorang akan menganggapnya sebagai pendapat, bukan pilihan saja.
Sebagaimana ditegaskan dalam pendahuluan buku ini, bahwa tidak mengherankan jika dalam konteks Muwattha’, agak berseberangan dengan pendapat paradigma Syafi’i. Malik perpandangan dengan kebenaran tidak dilihat sejaumana kesesuaianya dengan bunyi literal teks (Al-Qur’an dan terutama hadits), namun seberapa besar tingkat muwafaqoh -nya dengan amal ( tradisi ), atau ‘ tradisi yang hidup’. ( istilah Josep Schacht ) yang dipraktekkan secara kontinue oleh penduduk Madinah.
Dalam perspektik pembentukan dan perkembangan hukum islam. Karya Yassin ini telah ikut menjelaskan secara jernih dan utuh tentang proses penerapan al- Qur’an sebagai sumber hukum pokok, klarifikasi antara term sunnah dan hadits yang memiliki pengaruh penting dalam perkembangan hukum, dan metode yang dipakai oleh Imam Malik dalam kitab Muwattha’ –nya beserta  proses penafsirannya.
     
      Baca Selengkapnya »      

Hari Anda adalah Hari Ini


Hari Anda Adalah Hari Ini
Jika datang pagi maka janganlah menunggu tibanya sore. Pada hari ini Anda hidup, bukan di hari kemarin yang telah berlalu dengan segala kebaikan dan kejelekannya, dan bukan pula hari esok yang belum tentu datang.
Hari ini dengan mataharinya yang menyinari Anda, adalah hari Anda. Umur Anda hanya sehari. Karena itu anggaplah rentang kehidupan Anda adalah hari ini saja, seakan-akan Anda dilahirkan pada hari ini dan akan mati hari ini juga. Saat itulah Anda hidup, jangan tersangkut dengan gumpalan masa lalu dengan segala keresahan dan kesusahannya, dan jangan pula terikat dengan ketidakpastian-ketidakpastian di masa yang penuh dengan hal-hal yang menakutkan serta gelombang yang sangat mengerikan. Hanya untuk hari ini sajalah seharusnya Anda mencurahkan seluruh perhatian, kepedulian dan kerja keras.
Pada hari ini Anda harus mempersembahkan kualitas shalat yang khusyu', bacaan Al-Quran yang sarat tadabbur, dzikir yang sepenuh hati, keseimbangan dalam segala hal, keindahan dalam akhlak, kerelaan dengan semua Allah berikan, perhatian terhadap keadaan sekitar, perhatian pada jiwa dan raga, serta bersikap sosial terhadap sesama.
Hanya untuk hari ini saja, saat mana Anda hidup. Oleh karena itu, Anda harus benar-benar membagi setiap jamnya. Anggaplah setiap menitnya sebagai hitungan tahun, dan setiap detiknya sebagai hitungan bulan, saat-saat dimana Anda bisa menanam kebaikan dan mempersembahkan sesuatu yang indah. Beristighfarlah atas semua dosa, ingatlah selalu kepada- Nya, bersiap-siaplah untuk sebuah perjalanan nanti, dan nikmatilah hari ini dengan segala kesenangan dan kebahagiaan. Terimalah rezeki yang Anda dapatkan hari ini dengan penuh keridhaan: Istri, suami, anak-anak, tugas-tugas, rumah, ilmu, dan posisi Anda.
“Maka berpegangteguhlah dengan apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS Al-A'raf: 144)
Jalanilah hidup Anda hari ini dengan tanpa kesedihan dan guncangan jiwa, tanpa rasa tidak menerima dan keirian, dan tanpa kedengkian.
Satu hal yang harus Anda lakukan adalah menuliskan pada dinding hati Anda suatu kalimat (yang juga harus Anda tuliskan dia atas meja Anda): "Harimu adalah hari ini". Jika Anda makan nasi hangat hari ini, maka apakah nasi yang Anda makan kemarin atau nasi besok hari yang belum jadi akan berdampak negatif terhadap diri Anda?
Jika Anda bisa minum air jernih dan segar hari ini, maka mengapa Anda harus bersedih atas air asin yang Anda minum kemarin? Atau, mengapa malah mengharapkan air yang hambar dan panas yang akan datang esok hari ?
Jika Anda jujur terhadap diri Anda sendiri maka dengan kemauan keras, Anda akan bisa menundukkan jiwa Anda pada teori ini : "Saya tidak akan pernah hidup kecuali hari ini." Oleh karena itu, manfaatkanlah hari ini, setiap detiknya, untuk membangun kepribadian, untuk mengembangkan semua potensi yang ada, dan untuk membersihkan amalan Anda.
Katakanlah: "Hari ini saya akan mengatakan yang baik-baik saja. Saya tidak akan pernah mengucapkan kata-kata kotor dan menjijikkan, tidak akan pernah mencela dan mengghibah. Hari ini saya akan menertibkan rumah dan kantor, agar tidak semrawut dan berantakan, agar rapi dan teratur. Karena saya hanya hidup untuk hari ini saja maka saya akan memperhatikan kebersihan dan penampilan diri. Juga, gaya hidup, keseimbangan cara berjalan, bertutur dan tindak tanduk."
Karena saya hanya hidup untuk hari ini saja maka saya akan berusaha sekuat tenaga untuk taat kepada Rabb, melakukan shalat sesempurna mungkin, melakukan shalat-shalat nafilah sebagai bekal untuk diri sendiri, bergelut dengan Al-Qur'an, mengkaji buku-buku yang ada, mencatat hal-hal yang perlu, dan menelaah buku yang bermanfaat.
Saya hidup untuk hari ini saja, karenanya saya akan menanam nilai-nilai keutamaan di dalam hati ini dan mencabut pohon kejahatan berikut ranting-rantingnya yang berduri: takabur, ujub, riya', dan buruk sangka.
Saya hidup untuk hari ini saja, karenanya saya akan berbuat baik kepada orang lain dan mengulurkan tangan kebaikan kepada mereka: menjenguk yang sakit, mengantarkan jenazah, menunjukkan jalan yang benar bagi yang kebingungan, memberi makan orang kelaparan, menolong orang yang sedang dalam kesulitan, membantu yang dizhalimi, membantu yang lemah, mengasihi yang menderita, menghormati seorang yang alim, menyayangi anak kecil, dan menghormati yang sepuh.
Karena saya hidup untuk hari ini saja maka saya akan hidup untuk mengucapkan, "Wahai masa lalu yang telah berlalu dan selesai, tenggelamlah bersama mataharimu. Aku tidak akan menangisi kepergianmu, dan kamu tidak akan pernah melihatku tercenung sedetikpun untuk mengingatmu. Kamu telah meninggalkan kami semua, pergi dan tak pernah kembali lagi."
"Wahai masa depan, yang masih berada dalam keghaiban, aku tidak akan pernah bergelut dengan mimpi-mimpi dan tidak akan pernah menjual diri untuk ilusi. Aku tidak memburu sesuatu yang belum tentu ada karena esok hari tidak berarti apa-apa, esok hari adalah sesuatu yang belum diciptakan, dan tidak pantas dikenang."
"Hari Anda adalah hari ini", adalah ungkapan yang paling indah dalam "kamus kebahagiaan", kamus bagi mereka yang menginginkan kehidupan yang paling indah dan menyenangkan.
Dinukil dari:
BUKU LA TAHZAN
     
      Baca Selengkapnya »      

Jangan Tangisi Apa yang Bukan Milikmu


Jangan Tangisi Apa yang Bukan Milikmu


Dalam perjalanan hidup ini seringkali kita merasa kecewa. Kecewa sekali. Sesuatu yang luput dari genggaman, keinginan yang tidak tercapai, kenyataan yang tidak sesuai harapan. Akhirnya angan ini lelah berandai-andai ria. Pffhh…sungguh semua itu tlah hadirkan nelangsa yang begitu menggelora dalam jiwa.
Dan sungguh sangat beruntung andai dalam saat-saat terguncangnya jiwa masih ada setitik cahaya dalam kalbu untuk merenungi kebenaran. Masih ada kekuatan untuk melangkahkan kaki menuju majlis-majlis ilmu, majelis-majelis dzikir yang akan mengantarkan pada ketentraman jiwa.
Hidup ini ibarat belantara.Tempat kita mengejar berbagai keinginan. Dan memang manusia diciptakan mempunyai kehendak, mempunyai keinginan. Tetapi tidak setiap yang kita inginkan bisa terbukti, tidak setiap yang kita mau bisa tercapai. Dan tidak mudah menyadari bahwa apa yang bukan menjadi hak kita tak perlu kita tangisi. Banyak orang yang tidak sadar bahwa hidup ini tidak punya satu hukum: harus sukses, harus bahagia atau harus-harus yang lain.
Betapa banyak orang yang sukses tetapi lupa bahwa sejatinya itu semua pemberian Allah hingga membuatnya sombong dan bertindak sewenang-wenang. Begitu juga kegagalan sering tidak dihadapi dengan benar. Padahal dimensi tauhid dari kegagalan adalah tidak tercapainya apa yang memang bukan hak kita. Padahal hakekat kegagalan adalah tidak terengkuhnya apa yang memang bukan hak kita.
Apa yang memang menjadi jatah kita di dunia, entah itu Rizki, jabatan, kedudukan pasti akan Allah sampaikan.Tetapi apa yang memang bukan milik kita, ia tidak akan kita bisa miliki, meski ia nyaris menghampiri kita, meski kita mati-matian mengusahakannya.

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab(Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakanya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu)supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikaNya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS Al-Hadid ;22-23)

Demikian juga bagi yang sedang galau terhadap jodoh.Kadang kita tak sadar mendikte Allah tentang jodoh kita,bukanya meminta yang terbaik dalam istikharah kita tetapi benar-benar mendikte Allah: Pokoknya harus dia Ya Allah… harus dia, karena aku sangat mencintainya. Seakan kita jadi yang menentukan segalanya, kita meminta dengan paksa.Dan akhirnya kalaupun Allah memberikanya maka tak selalu itu yang terbaik. Bisa jadi Allah tak mengulurkanya tidak dengan kelembutan, tapi melemparkanya dengan marah karena niat kita yang terkotori.
Maka wahai jiwa yang sedang gundah, dengarkan ini dari Allah :

“…. Boleh jadi kalian membenci sesuatu,padahal ia amat baik bagi kalian. Dan boleh jadi kalian mencintai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian.Allah Maha mengetahui kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah 216)

Maka setelah ini wahai jiwa, jangan kau hanyut dalam nestapa jiwa berkepanjangan terhadap apa-apa yang luput darimu. Setelah ini harus benar-benar dipikirkan bahwa apa-apa yang kita rasa perlu didunia ini harus benar-benar perlu bila ada relevansinya dengan harapan kita akan bahagia di akhirat. Karena seorang mukmin tidak hidup untuk dunia tetapi menjadikan dunia untuk mencari hidup yang sesungguhnya: hidup di akhirat kelak!
Maka sudahlah, jangan kau tangisi apa yang bukan milikmu!
     
      Baca Selengkapnya »